Penulis: Syaikh Shaleh bin Fauzan Abdullah Alu Fauzan
Allah Ta’ala membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak
melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti
melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap
kewajiban lainnya.
Jual Beli Ketika Panggilan Adzan
Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk
melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang
kedua.
Berdasarkan Firman Allah Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al
Jumu’ah : 9).
Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan
yang menghalanginya untuk melakukan Shalat Jum’at. Allah mengkhususkan
melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering)
menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna
pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Allah mengatakan
“dzalikum” (yang demikian itu), yakni yang Aku telah sebutkan kepadamu
dari perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri Shalat Jum’at adalah
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya. Maka,
melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan
shalat Jumat adalah juga perkara yang diharamkan.
Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan
aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk
menghadirinya.
Allah Ta’ala berfirman : “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang
telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya,
pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah,
mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari
yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka
mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada
mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan
Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
(QS. 24:36-37-38).
Jual Beli Untuk Kejahatan
Demikian juga Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu
terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Allah.
Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat
khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala : “Janganlah kalian
tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan” (Al Maidah : 2)
Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang
lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya
tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Allah dan Rasul-Nya telah
melarang dari yang demikian.
Ibnul Qoyim berkata : “Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud
dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut.
Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil
manakala diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh
seorang Muslim. Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya
dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa
dia adalah Mujahid fi sabilillah maka ini adalah keta’atan dan qurbah.
Demikian pula bagi yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau
memutuskan jalan perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong
menolong untuk kemaksiatan.”
Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim
Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika
dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak
tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir.
Allah ta’ala telah berfirman : “Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman.” (QS. 4:141).
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Islam itu tinggi dan tidak
akan pernah ditinggikan atasnya” (shahih dalam Al Irwa’ : 1268, Shahih
Al Jami’ : 2778)
Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya
Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti
seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga
sepuluh, “Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga
sembilan”.. Atau perkataan “Aku akan memberimu lebih baik dari itu
dengan harga yang lebih baik pula.”
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sebagian diatara
kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian
lainnya.” (Mutafaq alaihi).
Juga sabdanya: “Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya” (Mutafaq ‘alaih)
Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya.
Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual dengan harga sembilan :
“Saya beli dengan harga sepuluh”
Kini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini
terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk
menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta
mengingkari segenap pelakunya.
Samsaran
Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang
bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang
orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu
meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun
sebaliknya, pent).
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam : “Tidak
boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap
orang yang baadi (orang kampung lain yang datang ke kota)”
Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: “Tidak boleh menjadi Samsar
baginya” (yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi).
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Biarkanlah manusia
berusaha sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan
rizki Allah” (Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603)
Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan
barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim)
pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata “Saya akan
membelikan barang untukmu atau menjualkan.“ Kecuali bila pendatang itu
meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau
menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang.
Jual Beli dengan ‘Inah
Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara
‘inah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit,
kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih
rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp
20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya
lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam
hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan. Maka ini
adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang
bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham
yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan
adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar
tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian telah berjual
beli dengan cara ‘inah’ dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk
denngan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Allah
akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat
kehinaan dari kalian, sampai kalian kembail kepada agama kalian.”
(Silsilah As Shahihah : 11, Shahih Abu Dawud : 2956)
Dan juga sabdanya: “Akan datang pada manusia suatu masa yang mereka
menghalalkan riba dengan jual beli “ (Hadits Dha’if , dilemahkan oleh Al
Albany dalam Ghayatul Maram : 13)
Wallahu a’lam
Sumber : Diambil dari Mulakhos Fiqhy Juz II Hal 11-13, dengan beberapa tambahan
(www.assunnah.cjb.net)
http://al-ilmu.biz/artikel-islami/jual-beli-yang-terlarang-2
Senin, 03 Desember 2012
Posted by Maktabah Al-Karawanjy on 12/03/2012 01:38:00 PM with No comments
Posted in Akhlaq, Fiqh, Tanya Jawab
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar