Tampilkan postingan dengan label Dukun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dukun. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Juni 2013

Mengenal Warna-warni Sihir

Oleh: Ustadz Abdul Qadir Abu Fa’izah -Hafizhahullah-

Banyak diantara kita yang tidak mengenal hakikat sihir beserta bentuk-bentuk sihir sehingga ada sebagian orang yang sudah jelas melakukan sihir, masih saja menyangka dirinya tidak bersalah.
Para ulama kita telah menjelaskan batasan dan defenisi sihir dengan penjelasan yang sangat gamblang. Al-Imam Al-Azhariy –rahimahullah- berkata, “Sihir (secara bahasa) adalah memalingkan sesuatu dari hakikatnya kepada yang lain”. [Lihat Lisan Al-Arab (4/238)].

Syaikh Abdur Rahman bin Hasan An-Najdiy -rahimahullah- berkata, “Sihir menurut bahasa adalah ungkapan tentang sesuatu yang samar dan halus sebabnya”. [Lihat Qurroh Uyuun Al-Muwahhidin (hal. 130)

Jadi, sihir menurut bahasa adalah segala sesuatu yang memalingkan sesuatu dari hakikatnya kepada yang lainnya dengan sebab yang samar lagi halus.

Ini secara bahasa. Adapun secara istilah syar'iy, maka sihir juga telah dijelaskan oleh para ulama' kita dalam kitab-kitab mereka.

Al-Imam Al-Azhariy kembali berkata, "Sihir adalah amalan yang seseorang mendekatkan diri di dalamnya kepada setan dan (terjadi) dengan bantuan setan". [Lihat Lisanul Arab (4/348)]

Ibnul Arabiy Al-Malikiy -rahimahullah- berkata, “Dia (sihir) adalah ucapan yang terangkai; di dalamnya diagungkan selain Allah dan dikembalikan kepadanya segala takdir dan segala yang ada”. [Lihat Ahkam Al-Qur'an (1/48)]

Kedua pernyataan ini menerangkan bahwa sihir merupakan ucapan yang terangkai (dipahami atau tidak), berisi pengagungan kepada setan demi mendekatkan diri kepadanya dan memiliki pengaruh yang timbul dari bantuan setan.

Sihir jenis inilah yang membuat pelakunya kafir, karena ia mengandung perbuatan kekafiran dan kesyirikan berupa pengagungan dan penyembahan kepada setan.

Adapun sihir jenis kedua, yaitu sihir yang tidak mengandung kekafiran dan kesyirikan serta ia tak lahir dari bantuan setan. Sihir ini terjadi dari kelihaian, kecohan dan tipuan tukang sihir.

Al-Imam Abu Utsman ash-Shobuniy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan jenis-jenis sihir, “Bila ia (si tukang sihir) menggambarkan sesuatu yang ia kafir karenanya, maka ia dimintai tobatnya. Jika ia tobat, maka ia dibebaskan. Tapi bila tidak bertobat, maka kepala harus dipenggal. Bila ia menggambarkan sesuatu yang bukan kekafiran, atau mengucapkan sesuatu yang tak bisa dipahami, maka ia harus dilarang. Bila ia mengulanginya, maka diberi hukum ta’zir (yang tak ditetapkan kadarnya dalam syariat)”. [Lihat Aqidah As-Salaf (hal. 105)]

Jenis sihir yang kedua inilah yang kita kenal hari ini dengan “sulap”. Sihir sulap juga merupakan perkara yang diharamkan dalam agama kita, karena mengandung kecohan dan penipuan kepada orang yang menyaksikannya. Selain itu, ia juga menyerupai sihir jenis yang pertama sehingga banyak orang menyangka sulap itu sama dengan jenis pertama. Karenanya, banyak orang yang mempelajari sihir jenis pertama (yang kafir) dengan sangkaan bahwa ia sama dengan jenis kedua yang tidak mengandung kekafiran.

Para pembaca yang budiman, sulap biasanya tidak mengandung kekafiran dan kesyirikan, hanya menggunakan sistem kecohan dan tipuan. Sedang tindakan menipu dan mengecoh orang dalam agama kita adalah perbuatan haram!!

Namun perlu diketahui bahwa ada juga jenis sulap yang menggunakan bantuan setan, berisi pengagungan, pendekatan dan ketundukan kepada setan. Sulap model seperti ini tergolong dalam jenis sihir pertama, jenis yang mengandung kekafiran dan kesyirikan. Pelaku sulap seperti ini kafir alias murtad!!!

Diantara jenis syirik yang merebak di kalangan masyarakat Indonesia Raya, sihir yang biasa dikenal dengan “ramalan”, yakni meramal nasib seseorang di masa akan datang dengan melihat dan memperhatikan garis-garis pada tanah atau telapak tangan. Inilah yang diistilahkan oleh para ulama kita dengan “al-’iyaafah” (العِيَافَةُ). Diantara jenis sihir, sesuatu yang diistilahkan oleh orang-orang Arab jahiliah dengan “ath-thorqu” (الطَّرْقُ), yaitu mereka ketika mau melakukan suatu perbuatan atau hendak safar, maka mereka melepas atau mengusir burung. Bila burungnya ke arah kanan, maka itu merupakan tanda menurut mereka tentang kebaikan yang akan mereka dapatkan. Tapi bila ke arah kiri, maka ia tanda keburukan, sehingga mereka menganggap usahanya akan rugi.

Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Alusy Syaikh -rahimahullah- berkata, “Sihir adalah sesuatu yang samar memberikan pengaruh pada jiwa, sedangkan al-iyaafah, terpengaruhnya seseorang dengan burung, yaitu dengan mengusir, berpindahnya dari sini kesini, atau dengan bergeraknya burung. Semua ini adalah sesuatu yang samar yang merasuk ke dalam jiwa. Lalu ia pun memberikan pengaruh pada jiwa dari sisi melakukan sesuatu atau menahan diri. Karenanya, al-iyaafah termasuk sihir dengan sebab itu”. [Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 308)]

Merasa sial dengan burung, biasa diistilah dengan kata “ath-thiyaroh” (الطِّيَرَةُ). Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengharamkan ath-thiyaroh, karena ia bagian dari kesyirikan, sebab pelakunya meyakini ada di samping Allah makhluk yang mampu memberikan madhorot dan manfaat.
 Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَك
“Barangsiapa yang ditahan oleh at-tiyaroh dari suatu hajatnya, maka sungguh ia telah berbuat syirik”. [HR. Ahmad (2/220). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ishlah Al-Masaajid (hal. 116)].
Sebagian ulama ada yang menggolongkan ilmu nujum ke dalam bagian ilmu sihir, yaitu ilmu astrologi atau perbintangan.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنْ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنْ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu nujum, maka sungguh ia telah mempelajari bagian dari ilmu sihir. Semakin ia mempelajari ilmu nujum, maka ia akan semakin mempelajari ilmu sihir”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 3905). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 793)].
Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abaadiy -rahimahullah- berkata, “Di dalam Syarh As-Sunnah, “Yang terlarang dari ilmu nujum, ilmu yang diklaim oleh para ahli nujum berupa pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa yang belum terjadi. Terkadang hal itu terjadi di masa yang akan datang, seperti mereka memberitakan tentang waktu bertiupnya angin, turunnya hujan, jatuhnya salju, munculnya panas dan dingin, berubahnya harga dan sejenisnya. Mereka mengklaim bahwa mereka mencapai pengetahuan hal-hal itu melalui peredaran bintang-bintang, berkumpul dan berpisahnya bintang-bintang itu”. [Lihat Aunul Ma'bud (10/319)]

Ilmu nujum tergolong ke dalam ilmu sihir, karena para ahli nujum mengklaim bahwa bintang-bintang memiliki pengaruh terhadap kejadian di alam semesta dengan sebab yang samar, berupa gerakan dan peredaran bintang-bintang. [Lihat At-Tamhid (hal. 310), karya Abdul Aziz An-Najdiy, cet. Dar At-Tauhid, 1423 H]

Para pembaca yang budiman, sihir memiliki cara yang digunakan oleh para ahli sihir. Mereka menggunakan jampi-jampi berupa kalimat-kalimat yang mengandung kekafiran dan terkadang tak bisa dipahami; kalimat yang mengundang kedatangan jin. Kemudian mereka seusai membaca jampi alias mantranya, maka mereka meniupkannya ke buhul-buhul yang mereka ikat, baik itu berupa tali, rambut dan lainnya. Tujuannya agar sihir itu tak terlepas dari seseorang. Inilah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya,
وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ  [الفلق/4]
“Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus (meniup) pada buhul-buhul”. (QS. Al-Falaq : 4)

Di dalam sebuah hadits disebutkan,
مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً ثُمَّ نَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang mengikat suatu ikatan (buhul), lalu ia meniupnya, maka sungguh ia telah menyihir. Barangsiapa yang menyihir, maka sungguh ia telah berbuat syirik. Barangsiapa menggantungkan diri kepada sesuatu, maka ia akan diserahkan kepada sesuatu itu”. [HR. An-Nasaa'iy dalam Sunan-nya (no. 4084)]

Hanya saja hadits ini dho’if  (lemah), karena di dalamnya ada rawi yang lemah, yaitu Abbad bin Maisaroh Al-Minqoriy. Selain itu hadits ini juga munqothi’ (terputus sanadnya), karena berasal dari riwayat Al-Hasan Al-Bashriy dari Abu Hurairoh. Sedangkan Al-Hasan tak pernah mendengarkan hadits ini darinya. Tak heran bila Syaikh Al-Albaniy, Ahli Hadits Negeri Yordania menyatakan lemahnya hadits ini dalam Ghoyah Al-Maroom (no. 288).

Cukuplah bagi kita ayat di atas, tanpa berdalil dengan hadits ini, karena kelemahannya. Jadi, tukang sihir bila jiwanya bulat untuk melakukan keburukan dan kekejian pada diri orang yang akan ia sihir, dan ia pun memohon pertolongan kepada jin-jin, maka ia pun meniup buhul-buhulnya disertai dengan percikan ludahnya. Karena itu, keluarlah dari jiwanya yang busuk ludah yang bercampur dengan keburukan dan kebusukan lagi diiringi dengan ludah yang bercampur dengannya. Sungguh ia telah bekerjasama dengan setan untuk menyakiti orang yang tersihir. Lalu yang tersihir pun terkena sihir. [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 331), tahqiq Muhammad Aiman As-Salafiy, cet. Alam al-Kutub, 1419 H]

Parapembaca yang budiman, sihir memiliki keburukan yang banyak. Diantaranya, ia bisa merusak hubungan antara seseorang dengan saudaranya atau istrinya. Nah, disana ada suatu perbuatan yang hampir mirip dengan sihir dalam memecah belah hubungan manusia. Itulah yang disebut dengan namimah (adu domba). Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ مَا الْعَضْهُ هِيَ النَّمِيمَةُ الْقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidakkah kalian mau kukabarkan apa itu pemecahbelahan? Dia adalah adu domba diantara manusia”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya(2606)]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahullah- berkata, “Adu domba sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mampu memutuskan hubungan dan memecah belah  manusia. Engkau akan menemukan dua orang yang saling bersahabat, lalu datanglah si pengadu domba ini seraya berkata kepada salah satunya, “Sahabatmu itu sebenarnya telah mencelamu”. Kemudian berubahlah rasa cinta menjadi rasa benci. Nah, terjadilah perpecahan. Perbuatan ini menyerupai sihir. Karena, di dalam sihir terdapat pemecahbelahan”. [Lihat Al-Qoul As-Sadid ala Kitab At-Tauhid (1/525)]

Di zaman kita ini banyak musang berbulu domba yang suka membawa gosip-gosip yang menanam benih perselisihan dan permusuhan di kalangan kaum muslimin sampai akhirnya terjadilah kerusakan diantara kaum muslimin. Pekerjaan si pengadu domba ibarat tukang sihir yang mampu menanamkan perselisihan, bahkan perpecahan di kalangan orang-orang saling mencintai.
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne, Kel. Borong Loe, Kec.BontoMarannu, Gowa-Sulsel. Pimpinan Redaksi / Penanggung Jawab : Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qadir Al-Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).
 sumber : http://pesantren-alihsan.org/mengenal-warna-warni-sihir.html




Selasa, 28 Mei 2013

Berlindung kepada Makhluk Halus

Keyakinan Hindu, Budha, animisme, dan kejawen masih kental pada sebagian masyarakat kita, karena nenek moyang mereka dahulu menganut kepercayaan-kepercayaan batil tersebut. Ketika nenek moyang mereka ada yang masuk Islam, sebagian diantara mereka ada yang masih sulit melepas keyakinan dan adat kebiasaan batil mereka yang dulu mereka geluti saat beragama kafir. 
 
Selain itu, ada juga kaum muslimin dari nenek moyangnya, semua muslim. Tapi mereka hidup di lingkungan yang sarat dengan keyakinan dan adat kebiasaan jahiliah tersebut. Oleh karena itu, sering anda melihat ada seorang muslim yang masih melakukan ritual-ritual agama kaum kafir, dan mempercayai primbon-primbon kejawen yang sarat dengan khurofat.

Salah satu diantara bentuk keyakinan dan adat kebiasaan kaum kafir Hindu, Buddha, dan lainnya, BERLINDUNG KEPADA MAKHLUK HALUS (JIN). Kebiasaan ini terdapat dalam agama mereka, karena setan telah menggelincirkan mereka dari jalan Allah. Tampaknya mereka menyembah berhala, pepohonan, Nyi Roro Kidul, dewa-dewa dan lainnya, namun pada hakikatnya mereka menyembah setan dari kalangan jin.

Inilah yang diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya saat menceritakan berlepas dirinya para makhluk yang mereka sembah,
“Berkatalah orang-orang yang telah tetap hukuman atas mereka, “Ya Tuhan kami, mereka inilah orang-orang yang kami sesatkan itu; kami telah menyesatkan mereka sebagaimana kami (sendiri) sesat. Kami menyatakan berlepas diri (dari mereka) kepada Engkau, mereka sekali-kali tidak menyembah kami“. (QS. Al-Qoshosh : 63) 

Ayat ini dijelaskan oleh ayat lain yang menceritakan berlepas dirinya malaikat yang disembah oleh manusia,
“Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (QS. Saba’ : 41)

Jadi, kaum musyrikin (baik yang memang kafir, maupun yang mengaku muslim) ketika berdoa kepada berhala, pepohonan, Nyi Roro Kidul, dewa-dewa, roh-roh nenek moyang dan lainnya, maka sebenarnya yang mereka sembah adalah jin. Oleh karena itu, terkadang sebagian mereka melihat keajaiban dan keanehan dari balik sembahan mereka, seperti keluar bau harum, suara, cahaya, keris, dan lainnya, atau dapat meminum dan memakan sesuatu yang ada di depannya. Semua itu adalah tipu daya setan dari kalangan jin yang hendak menggelincirkan dan menjauhkan manusia dari agama tauhid, yaitu agama Islam yang mengajak kepada penyembahan Allah semata-mata, tanpa sekutu bagi-Nya.

Yang menguatkan hal ini, kisah yang dialami oleh Kholid bin Al-Walid -radhiyallahu anhu- saat ia merobohkan berhala Quraisy yang bernama Manat. Dengarkan kisahnya:
Dari Abu Ath-Thufail, ia berkata,
لمَاَّ فَتَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ إِلَى نَخْلَةَ وَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ وَكَانَتْ عَلَى ثَلاَثِ سَمُرَاتٍ, فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِيْ كَانَ عَلَيْهَا, ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: اِرْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا, فَرَجَعَ خَالِدٌ, فَلَمَّا أَبْصَرَتْ بِهِ السَّدَنَةُ وَهُمْ حَجَبَتُهَا أَمْعَنُوْا فِي الْجَبَلِ وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ: يَا عُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ, فَإِذَا هِيَ امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ نَاشِرَةٌ شَعْرَهَا تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا, فَعَمَّمَهَا بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا, ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: تِلْكَ الْعُزَّى
“Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah merebut kota Makkah, maka beliau mengutus Kholid bin Al-Walid ke daerah Nakhlah, sedang di sana terdapat Uzza. Kholid pun mendatanginya, dan Uzza berupa tiga pohon berduri. Kemudian Kholid menebas pohon-pohon tersebut, dan merobohkan bangunan yang terdapat di atasnya. Lalu ia mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu kepada beliau. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Kembalilah, karena engkau belum berbuat apa-apa”. Kholid pun kembali. Tatkala ia dilihat para security (para penjaga) Uzza, maka mereka mengintai di atas gunung seraya mereka berkata, “Wahai Uzza”. Kemudian Kholid mendatangi Uzza, tiba-tiba ada seorang wanita telanjang yang mengurai rambutnya sambil menaburkan debu di atas kepalanya. Akhirnya Kholid menebas wanita itu dengan pedang sehingga ia membunuhnya. Beliaupun kembali ke Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Itulah Uzza”. [HR. An-Nasa'iy dalam As-Sunan Al-Kubro (6/474/no. 11547), dan Abu Ya'laa Al-Maushiliy dalam Al-Musnad (no. 902). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Ali bin Sinan dalam Takhrij Fath Al-Majid (no. 103)]

Hadits ini amat gamblang menjelaskan bahwa di balik berhala itu terdapat jin yang menyesatkan manusia. Jin inilah yang menjauhkan manusia dari Allah -Azza wa Jalla-, dengan berbagai macam makarnya.

Pembaca yang budiman, berdoa kepada selain Allah, banyak macam dan bentuknya. Salah satu diantara bentuk doa tersebut adalah BERLINDUNG KEPADA JIN, dalam artian: meminta perlindungan kepada jin dari segala keburukan yang akan menimpa kita. [Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 168)]

Meminta perlindungan kepada jin merupakan kemusyrikan yang amat diharamkan di dalam agama kita!! Karena, doa (diantaranya, meminta perlindungan) adalah ibadah, sedang ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan.

Seseorang yang meminta perlindungan kepada jin, roh, malaikat, dan lainnya akan merasakan perendahan diri, dan menghadapnya hati kepada mereka. Sebab, ia tak mungkin akan berlindung kepada jin, kecuali karena ia merasa butuh kepada perlindungan jin. Perbuatan seperti ini berupa perendahan diri, dan menghadapnya hati, tak boleh dilakukan oleh seseorang kepada selain Allah, karena Allah-lah tempat kita berlindung dari segala macam keburukan dan marabahaya, bukan kepada makhluk!!!

Seorang yang memohon perlindungan kepada jin adalah orang yang tercela, karena telah menduakan Allah dalam berdoa dan beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, Allah berfirman mencela sebagian kaum musyrik di zaman dahulu yang meminta perlindungan kepada makhluk jin yang juga sama lemahnya dengan manusia,
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”. (QS. Al-Jin : 6) 

Ada di antara orang-orang Arab bila mereka melintasi tempat yang sunyi, maka mereka minta perlindungan kepada jin yang mereka anggap kuasa di tempat itu. Inilah yang biasa diistilah oleh orang Jawa dengan “bau rekso”, orang mandar dengan istilah “pakkambi’”.

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Maksudnya, jika mereka singgah pada suatu lembah atau tempat yang menyeramkan di padang sahara, dan lainnya –sebagaimana kebiasaan orang Arab di zaman jahiliah-, maka mereka memohon perlindungan kepada pembesar (bau rekso) dari kalangan jin pada tempat itu (dengan harapan) agar mereka tidak menimpakan kepadanya sesuatu yang membuat mereka buruk (celaka)…Tatkala jin melihat bahwa manusia berlindung kepada mereka karena takutnya kepada jin, maka jin itu semakin menambahi mereka perasaan takut, seram, panik sehingga manusia tersebut terus semakin takut dan memohon perlindungan kepada jin”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/239)]

Orang yang berlindung kepada jin akan semakin takut kepadanya. Inilah hukuman bagi mereka, disebabkan dosa kemusyrikan ini. Jadi, ayat ini menunjukkan tentang tercelanya orang-orang yang berlindung kepada jin. Mereka dicela, karena telah memalingkan dan mengarahkan ibadah doa mereka kepada selain Allah. [Lihat At-Tamhid (hal. 171) karya Syaikh Sholih bin Abdil Abdil Aziz At-Tamimiy -hafizhohullah-]

Seorang muslim dilarang keras meminta perlindungan kepada jin atau makhluk halus atau kepada Nyi Roro Kidul, sebab ini adalah dosa besar, bahkan kesyirikan yang akan membatalkan keislaman dan amal sholih kita!! Dosa ini akan membuat kita murtad, keluar dari agama Islam!!!

Seyogyanya seorang muslim ketika ia takut dan khawatir terhadap suatu keburukan dan musibah, maka ia meminta perlindungan kepada Allah -Azza wa Jalla- sebagaimana yang diajarkan oleh Allah di dalam Surat Al-Falaq, dan Surat An-Naas, sebab kedua surat ini termasuk sebaik-baik ruqyah (jampi) di dalam Al-Qur’an. Kedua surat inilah yang Allah turunkan saat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tersihir agar dijadikan sebagai ruqyah yang menjauhkan beliau dari sihir. [Lihat Tajrid At-Tauhid Al-Mufid (hal. 43), karya Al-Imam Ahmad bin Ali Al-Maqriziy Asy-Syafi'iy, tahqiq Ali bin Muhammad Al-Imron, cet. Dar Alam Al-Fawa'id, 1424 H]

Seseorang ketika singgah pada suatu tempat untuk beristirahat, maka disyari’atkan baginya untuk berlindung kepada Allah dari kejelekan makhluknya yang jelek.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
“Barangsiapa yang singgah pada suatu tempat lalu ia berkata (berdoa),
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
(artinya: aku berlindung kepada kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari segala kejelekan sesuatu yang Dia ciptakan)
maka ia (yang berdoa) tak akan dimudhoroti (dibahayakan) oleh sesuatu apapun sampai ia meninggalkan (safar dari) tempat itu”. [HR. Muslim dalam Kitab Ad-Du'a wa At-Taubah wa Al-Istighfar (no. 2708)]

Al-Imam Al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata, “Ini merupakan kabar (hadits) yang shohih , dan ucapan yang benar. Kami telah mengetahui kebenarannya berdasarkan dalil dan eksperimen (percobaan). Karena, sejak aku mendengarkan hadits ini, maka aku mengamalkannya. Oleh karenanya, aku tak pernah dibahayakan oleh sesuatu apapun sampai aku meninggalkannya. Kemudian seekor kalajengking pernah menyengatku di Al-Mahdiyyah pada waktu malam hari. Lantaran itu, aku pun berpikir dalam hatiku. Ternyata aku lupa berlindung (kepada Allah) dengan kalimat (doa) itu”. [Lihat Taisir Al-Aziz Al-Hamid (hal. 170) karya Syaikh Sulaiman bin Abdillah An-Najdiy, tahqiq Abu Ya'laa Muhammad Aiman bin Abdillah Asy-Syabrowiy As-Salafiy, cet. Alam Al-Kutub, 1419 H]

Seorang muslim ketika ia singgah pada suatu tempat, selayaknya tak perlu takut kepada makhluk-makhluk halus (jin), tapi cukuplah ia memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan jin, dan lainnya, seperti yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada kita saat singgah pada suatu tempat. Tak perlu berlindung kepada jin, makhluk halus, bau rekso, dan lainnya. Berlindunglah kalian kepada Allah -Azza wa Jalla- yang menciptakan segala sesuatu, dan menguasainya. Jangan berlindung kepada makhluk lemah seperti kalian. Inilah aqidah tauhid yang harus diyakini dan dipegangi oleh setiap muslim, yaitu ia hanya berdoa dan berlindung kepada Allah Robbul alamin.

Adapun berlindung kepada mahkluk halus dari marabahaya dan keburukan atau musibah, maka ini adalah keyakinan jahiliah kaum paganisme, dan animisme yang ingkar kepada Allah -Azza wa Jalla-.
Jadi, seorang muslim senantiasa berlindung kepada Allah, khususnya dari gangguan dan godaan jin atau manusia, baik di waktu pagi, maupun di waktu petang; saat mau tidur, singgah pada suatu tempat, ketika sakit, dan lainnya. Tak ada dalam ingatannya, kecuali ia selalu berlindung kepada Allah.

Terakhir, kami ingatkan kepada kaum muslimin bahwa jangan sampai setan menipu kalian dengan adanya sebagian orang yang berlindung kepada selain Allah, lalu ia pun selamat dari keburukan (misalnya, dari sergapan binatang buas). Sebab yang namanya kemusyrikan, yah tetap kemusyrikan, baik ada manfaat duniawinya atau tidak.

Syaikh Muhammad bin Sulaiman At-Tamimiy -rahimahullah- berkata menjelaskan hal ini, “Adanya sesuatu (yakni, kesyirikan) yang tercapai dengannya suatu manfaat duniawi berupa terhalangnya kejelekan, atau tercapainya suatu manfaat, ini tidak menunjukkan bahwa sesuatu (kesyirikan) itu bukan kesyirikan”. [Lihat Al-Qoul As-Sadid (hal. 59) karya Syaikh Abdur Rahman As-Sa'diy -rahimahullah-, cet. Wuzaroh Asy-Syu'uunul Islamiyyah wal Auqoof wad Da'wah wal Irsyaad, 1421 H ]

Pembaca yang budiman, inilah pembahasan ringkas seputar hukum berlindung kepada jin, dan lainnya. Semoga Allah menghidupkan dan mematikan kita di atas tauhid. Allahumma amin, ya Robbal alamin.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.  Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).