Tampilkan postingan dengan label Buah Hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Buah Hati. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Juni 2013

Apakah anak hasil zina bisa masuk surga?

Soal: Apakah anak hasil zina bisa masuk surga bila menjadi orang yang bertakwa, sebab ia berasal dari daging yang hina?

Jawab: Seorang anak zina akan masuk surga apabila ia mati diatas islam. Keadaaanya sebagai anak hasil zina tidak berpengaruh dalam hal ini. Sebab zina tersebut bukanlah perbuatannya, namun perbuatan orang lain. 

Sedangkan Allah Subhaanahu wata’aala berfirman:
وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Qs. Al An’am:164)

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Qs. Al Mudatstir:38)

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ جَنَّاتُ النَّعِيمِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, bagi mereka syurga-syurga yang penuh kenikmatan.” (Qs. Luqman:8)

Adapun yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda yang artinya, “Tidak akan masuk kedalam surga anak hasil zina.” maka hadits ini tidak benar datang dari beliau. Al Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah telah menyebutkannya dalam kitab Al Maudhu’at (datar hadits palsu). Dan memang hadits ini adalah hadits dusta yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Wa billahittaufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.  

(Al Lajnah Ad Daimah Lilbuhutsi Al ‘Ilmiyati wal Ita’) (Sumber Majalah Tasfiyah, Volume edisi 18)





Senin, 24 Juni 2013

Acara Tujuh Bulan Kehamilan, Islamikah?

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah & Salmah

Sekilas Gambaran Satu dari Sekian Banyak Acara Tujuh Bulanan

Dari depan sebuah rumah besar, terlihat adanya keramaian. Tampak perangkat-perangkat adat daerah kawasan Indonesia tengah, tepatnya Sulawesi Selatan dipajang di sekitar rumah, menandai sedang ada hajatan. Memang di rumah itu sedang berlangsung upacara adat tujuh bulan kehamilan ala Bugis Bone yang dilakukan oleh sepasang suami istri dalam menyambut kedatangan anak pertamanya. Upacara semacam ini pun dikenal di daerah lain di Indonesia misalnya di daerah Jawa.

Upacara tujuh bulan kehamilan, dalam bahasa Bugis Bone disebut Mappassili, artinya memandikan. Makna upacara ini adalah untuk tolak bala atau menghindari dari malapetaka/bencana, menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan lenyap. Acara itu diawali dengan iring-iringan pasangan muda tersebut, dalam pakaian adat Bugis menuju sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari bambu dengan hiasan bunga dan pelaminan yang meriah oleh warna-warna yang mencolok. Sebelumnya, calon ibu yang hamil tujuh bulan dari pasangan muda ini harus melewati sebuah anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri dari tujuh anak tangga, memberi makna agar rezeki anak yang dilahirkan bisa naik terus seperti langkah kaki menaiki tangga. Upacara Mappassili diawali dengan membacakan doa-doa yang diakhiri oleh surat Al-Fatihah oleh seorang ustadzah. Bunyi tabuh-tabuhan dari kuningan yang dipegang oleh seorang bocah laki-laki mengiringi terus upacara ini.

Selanjutnya upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia mengambil tempat pembakaran dupa dan diputar-putarkan di atas kepala sang ibu. Asap dupa yang keluar, diusap-usapkan di rambut calon ibu tersebut. Perbuatan ini memberi makna untuk mengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu kelahiran bayi. Menurut kepercayaan mereka, roh jahat itu terbang bersama asap dupa.

Kalau dalam adat Jawa, upaca nujuh bulan dilakukan dengan menyiram tubuh calon ibu, namun di Mappassili hanya memercikkan air dengan beberapa helai daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak punya tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Demikian pula tata cara percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak lain agar anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan kehidupannya lancar bagai air.

Usai dimandikan, dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih meriah lagi ditambah lagi dengan beraneka macam panganan yang masing-masing memiliki symbol tertentu.

Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone berwarna merah ditidurkan di tempat pelaminan. Sang dukun akan mengelus perut calon ibu tersebut dan membacakan doa. Selanjutnya daun sirih yang ditaburi beras diletakkan di kaki, perut, kening kepala calon ibu dimaksudkan agar pikiran ibu tetap tenang, tidak stress. Diletakkan di bagian kaki sebagai harapan agar anak melangkahkan kakinya yang benar. Sementara beras sebagai perlambang agar anak tak kekurangan pangan. Seekor ayam jago sengaja diletakkan di bawah kaki calon ibu. Bila ternyata ayam tersebut malas mematuk beras, menurut mereka ini pertanda anak yang akan lahir perempuan.

Tahap akhir upacara tujuh bulan Bugis Bone ini adalah suap-suapan yang dilakukan oleh dukun, pasangan tersebut (sebagai calon bapak dan ibu) dan orang tua keduanya.

Acara ditutup dengan rebutan hiasan anyaman berbentuk ikan dan berisi telur bagi ibu-ibu yang memiliki anak gadis atau yang sudah menikah. Ini sebagai perlambang agar anak-anaknya segera mendapat jodoh yang baik, dan nantinya melahirkan dengan mudah.


Tinjauan Syari’at

Setiap orang tua pasti mengharapkan anak yang bakal lahir kelak menjadi anak yang baik dan dapat memenuhi harapan mereka terhadapnya. Apalagi sebagai seorang muslim dan muslimah, harapan ditanamkan setinggi-tinggi agar anak yang bakal lahir akan menjadi hamba Allah yang shalih dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Upacara adat tujuh bulanan yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang beragama Islam di atas, juga dimaksudkan untuk kebaikan bagi anak yang dikandung. Dan tidaklah mereka melakukan upacara tersebut melainkan untuk tujuan kebaikan dan keselamatan, harapan mereka agar anak yang akan lahir menjadi anak yang shalih, menjadi hamba Allah yang jujur, bermanfaat bagi agama dan bangsa. Suatu tujuan yang mulia sebenarnya, yang andai ditimbang dengan perasaan ya… rasanya baik juga upacara itu diadakan. Benarkah demikian?

Bila kita berbicara tentang syari’at, maka perasaan harus disingkirkan karena agama itu dibangun bukan berdasarkan perasaan manusia. Agama itu adalah apa kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Acara tujuh bulanan di atas (maupun acara tujuh bulanan yang lain menurut adat masing-masing) tidak ada dan tidak pernah dikenal dalam syari’at Islam yang diturunkan kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Seandainya itu baik, tentu yang paling pertama mengerjakannya adalah para shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang mereka itu adalah orang-orang yang paling bersegera dalam kebaikan dan telah dipersaksikan kebaikan mereka oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu kalau ada yang mengatakan: “Itu memang bukan dari Islam. Itu kan hanya adat dan yang demikian sudah umum di tengah masyarakat kita.” Maka dijawab bahwa kalau itu hanya adat maka tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam, bilamana bertentangan maka sekali-kali kita tidak boleh melakukannya, dan ukurannya bukan sudah umum atau belum umum bagi masyarakat.

Ibnu Taimiyah rahimahullâh ketika membahas tentang perbedaan ibadah dan adat, beliau berkata: “Pada asalnya ibadah itu tidak disyari’atkan untuk mengerjakannya kecuali apa yang telah disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan adat itu pada asalnya tidak dilarang untuk mengerjakannya kecuali apa yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad bin Hambal dan para imam yang lainnya: Asal kesesatan pada penduduk bumi sesungguhnya tumbuh dari dua perkara berikut:
  1. Mengambil agama dari apa yang tidak disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
  2. Mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Iqtidha’ Shirathal Mustaqim oleh Ibnu Taimiyah, juz 2, hal. 584 bersama tahqiq)
Sekarang kita lihat ringkasan acara tujuh bulanan di atas, ternyata penuh dengan khurafat dan kesyirikan di samping menghambur-hamburkan harta, pemborosan dan perbuatan haram lainnya. Kita tidak membatasi dengan upacara ala Bugis Bone saja, namun seluruh upacara yang bertentangan dengan syari’at Islam mengandung hal-hal demikian.

Syari’at Islam memang menghasung para orang tua agar berupaya memiliki anak yang shalih dan berharap agar anak dapat lahir dengan selamat, namun tidak berarti segala cara harus ditempuh.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Islam kepada kita, yang berisi aturan-aturan hidup yang sangat lengkap dan sempurna. Dalam permasalahan penjagaan keselamatan anak (janin yang dikandung) dari gangguan setan (yang mereka istilahkan ruh-ruh jahat dalam upacara adat yang biasa dilakukan), jauh sebelum kehamilan sang anak, Islam telah menetapkan aturan lewat lisan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Beliau menuntunkan kepada seorang suami yang ingin berjima’ dengan istrinya agar berdoa:
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ. (حديث صحيح رواه البخاري ص ١٤١ ومسلم ص ١٤٣٤ وأبو داود ص ٢١٦١ والترمذي ص ١٠٩٢ وابن ماجه ص ١٩١٩ والدارمي ص ٢٢١٢ وأحمد ١/٢١٧، ٢٢٠، ٢٤٣، ٢٨٦)
Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan pada kami. Apabila ditakdirkan bagi mereka berdua seorang anak (dari jima’ tersebut) maka setan tidak akan memberi mudharat pada anak tersebut. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Ahmad)

Dalam sebagian riwayat disebutkan dengan lafadh:
فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ.
Apabila ditakdirkan bagi keduanya (mendapat) seorang anak dalam jima’ tersebut maka setan tidak akan memudharatkannya selama-lamanya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullâh menukilkan dalam Fathul Bari 9/229 perkataan dari Ad-Dawudi bahwasanya yang dimaksud dengan “tidak akan memudharatkannya” yakni setan tidak akan menyelewengkannya (menyimpangkannya) dari agamanya kepada kekufuran (murtad -pent) dan tidaklah yang dimaksud bahwasanya ia (anak tersebut) terpelihara dari godaan setan untuk berbuat maksiat (yakni tidak berarti anak tersebut suci dari perbuatan maksiat yang tidak sampai memurtadkannya dari Islam -pent). Masih banyak pendapat-pendapat yang lain tentang makna “setan tidak akan memudharatkannya”, bisa dilihat dalam kitab Fathul Bari juz 9, hal. 229 dan dalam Syarhu Muslim jilid 4, juz 10, hal. 5.

Dalam hadits di atas terkandung pengarahan bagi orang tua agar tidak meninggalkan doa. Doa akan dapat melindungi anak dan membentenginya dari gangguan setan tatkala (calon anak tersebut) diletakkan dalam rahim. Hal ini karena setan terus-menerus mendekati (atau bersama) dengan anak Adam dan tidak akan menjauh darinya kecuali bila anak Adam itu berdzikir kepada Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya dari gangguan/godaan setan. Inilah perhatian Islam yang besar terhadap penjagaan janin yang dikandung seorang ibu, sejak dimulainya pembentukan janin tersebut dalam rahim ibunya sampai terlahir ke alam ini. (Lihat Ahkamuth Thifl bab Maa Yuqaalu ‘inda al-jima’ lihifz ath-thifl oleh Ahmad Al-‘Aysawi).

Termasuk pula penjagaan Islam terhadap janin adalah apa yang disabdakan oleh Rasululllah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
اُقْتُلُوْا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ فَإِنَّهُ يَطْمِسُ الْبَصَرَ وَيُصِيْبُ الْحَبَلَ. (حديث صحيح رواه البخاري ص ٣٣٠٨ عن عائشة رضي الله عنها)
Bunuhlah dza ath-thufyatain (nama dari sejenis ular berbisa -pen) karena dapat membutakan pandangan dan menggugurkan kandungan. (HR. Bukhari no. 3308 dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ)
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Bukhari no. 3297 dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar dengan berkata:
اُقْتُلُوا الْحَيَّاتِ وَاقْتُلُوْا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ وَالأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَطْمِسَانِ الْبَصَرَ وَيَسْتَسْقِطَانِ الْحَبَلَ. (أخرجه مسلم ص ٢٢٣٣)
Bunuhlah ular-ular dan bunuhlah dza ath-thufyatain dan abtar (nama dari dua jenis ular berbisa) karena keduanya membutakan pandangan dan menggugurkan kandungan. (HR. Muslim hadits no. 2233)

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 6/401 membawakan perkataan Ibnu ‘Abdil Barr: “Bahwasanya dza ath-thufyatain adalah sejenis ular yang di punggungnya terdapat dua buah garis berwarna putih.” Adapun “Al-Abtar” kata Al-Hafizh adalah: “(Ular) yang terpotong ekornya (seolah-olah ekornya terpotong karena pendeknya).” An-Nadhr bin Syumail menambahkan bahwasanya ular itu berwarna biru dan tatapan matanya dapat menggugurkan kandungan wanita yang hamil. Berkata Ad-Dawudi: “Ular jenis ini ukurannya sejengkal atau lebih besar sedikit.” (Lihat Fathul Bari juz 9)

Islam menuntunkan bagi wanita yang sedang hamil untuk terus memberi makan pada janinnya agar dapat tumbuh berkembang dengan baik. Karena itulah syari’at Islam memberikan keringanan (rukhshah) untuk berbuka puasa bagi wanita hamil, baik puasa wajib terlebih lagi puasa sunnah. Dalam hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwasanya seorang laki-laki datang menemui beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam di Madinah tatkala beliau sedang makan siang, maka beliau bersabda kepadanya (artinya):
“Mari makan siang.” Laki-laki itu menjawab: “Aku sedang puasa.” Maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla meletakkan (menggugurkan kewajiban) puasa bagi musafir dan mengurangi setengan dari shalat (qashar -pen) dan (menggugurkan kewajiban puasa tersebut) dari wanita yang hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits ini memiliki syahid dari hadits lain yang diriwayatkan oleh Nasa’i, lihat Sunan Nasa’i 4/180-182, dan juga Ibnu Majah no. 1668. Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Sunan Nasa’i, dan beliau berkata dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 1353: “Hadits hasan shahih,” wallahu a’lam).

Islam juga menuntunkan agar setiap hamba senantiasa berupaya untuk terus mendekatkan dirinya kepada Dzat yang telah menciptakannya dan memberikan nikmat kepadanya. Karena itu yang paling utama untuk dilakukan oleh seorang ibu selama masa kehamilannya adalah memperbanyak taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ibadah seperti shalat, doa, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Ini penting sekali untuk menambah bekal keimanan seorang ibu, yang dengan iman tersebut insya’ Allah ia akan siap dalam menghadapi segala keadaan.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh orang tua, bahwasanya seorang anak bisa tetap menjadi manusia yang baik selama fithrahnya terus dijaga dan dididik dengan tarbiyah islamiyah yang shahihah. Karena itu bila orang tua mendambakan agar anaknya kelak menjadi “manusia yang baik” dalam arti yang sebenarnya, maka hendaklah mereka mulai dari diri mereka sendiri, menyiapkan diri, berbekal ilmu dan amal.

Penutup

Syari’at Islam sudah terlalu cukup untuk kita. Tak ada satu sisi kehidupan pun atau satu masalah pun melainkan sudah diatur dalam syari’at Islam. Bagaimana tidak, padahal yang menetapkan syari’at tersebut adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabbnya sekalian manusia yang Maha Tahu apa yang dapat mendatangkan maslahat bagi hamba-hamba-Nya dan Maha Tahu apa yang dapat menimbulkan mudharat bagi mereka. Karena itu tengoklah kepada syari’at Islam ini saja, jangan berpaling pada yang lain. Timbanglah segala sesuatu dengan syari’at ini. Bila ternyata bertentangan, tinggalkan tanpa keberatan sedikitpun.

Wallahu a’lam.

Maraji:
1. Ahkamuth Thifl, Asy-Syaikh Ahmad Al-‘Aysawi
2. Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, bersama tahqiq.
3. Fathul Bari, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
4. Shahih Muslim Syarhun Nawawi, Imam Nawawi
(Dinukil dari Majalah Salafy Muslimah/Edisi XIX/Rabi’ul Awwal/1418/1997, Keluarga Sakinah, judul: Acara Tujuh Bulan Kehamilan, Islamikah?, hal. 14-18)
 
 

Bantulah Ia Tunaikan Ketaatan

Di Tulis Oleh Al Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

  رحم الله والدا أعان ولده على بره
“Semoga Allah merahmati orang tua yang membantu anaknya agar senantiasa berbuat baik (berbakti) padanya.”

Orang tua mana yang tak menghendaki anaknya memiliki kesalihan? Orang tua mana pula yang tak mengidamkan anaknya tumbuh dalam ketaatan? Juga, orang tua mana yang tak berharap anaknya selalu berbakti padanya? Tentu, semua orang tua menginginkan semuanya. Anak yang ia lahirkan, tentunya kelak bisa menjadi manusia yang salih, taat kepada Allah Ta’ala, dan penuh bakti pada kedua orang tuanya. Cita-cita itu pasti menggayut di setiap dada orang tua.

Namun, terkadang antara cita dan realita terdinding kendala yang menyulitkan. Sehingga untuk meraih apa yang diinginkan membutuhkan kesabaran, ketekunan dan tentu saja perjuangan yang sungguh-sungguh. Tapi, yakinlah! Allah Subhanahu wa Ta’ala tak akan menyia-nyiakan segenap usaha dan kesabaran yang telah tercurah dari orang tua demi kebaikan anaknya.

Telah menjadi tanggung jawab orang tua untuk mendorong dan memberi bimbingan kepada sang anak. Telah menjadi tanggung jawab orang tua pula untuk senantiasa membantu anak-anaknya sehingga bisa berbuat kebaikan. Karenanya, sebagai orang tua, perlu memerhatikan fasilitas apa saja yang diperlukan bagi sang anak.

Perhatikan, hal-hal yang sifatnya non fisik, seperti perhatian dan kasih sayang. Jangan remehkan nilai sebuah sapaan orang tua terhadap seorang anak. Ketika orang tua menyapa sang anak dengan kalimat, “Sedang apa, Dik?” atau “Wah, bagus sekali tulisannya.” sebenarnya orang tua tengah mengawali membangun ikatan emosional dengan anak. Ikatan batin antara anak dengan orang tua adalah modal sangat berharga untuk tumbuhkembang anak yang lebih sehat.

Agar anak terbantu untuk senantiasa menunaikan kebaikan, perhatikan pula hal-hal yang bersifat fisik. Lengkapi segala sarana yang mengarahkan pada ketaatan. Seperti, siapkan perlengkapan untuk ibadah sang anak. Peci, sarung, mukena (rukuh), baju, jubah dan selainnya. Akan lebih baik jika anak disertakan pula saat memilih dan membeli perlengkapan yang akan dikenakannya. Seraya membimbing sang anak menentukan perlengkapan ibadahnya, orang tua juga bisa menanamkan kepada sang anak sikap tawadhu, sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam berbelanja, serta sikap dan sifat terpuji lainnya.
Bantulah anak-anak menjadi generasi yang salih dengan menciptakan suasana yang kondusif. Sehingga, kepribadiannya bisa tumbuhkembang selaras syariat. Jauhkan anak-anak dari berbagai sarana yang akan menghancurkan keimanannya. Jangan sungkan untuk tunaikan amar ma’ruf nahi munkar secara hikmah pada diri anak.

Bantulah, karena Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk membantunya. Firman-Nya:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان
“Dan tolong menolonglah kalian dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah:2).

Membantunya, berarti turut menyiapkannya menjadi anak-anak yang salih. Bila kini menanam kebaikan, kelak akan menuai hasil kebaikan pula.
هل جزآء الإحسان إﻻ الإحسان
“Tidak ada balasan untuk kebaikan, kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman:60).

Bantulah ia untuk menunaikan kebaikan. Semoga Allah Ta’ala membantu dan memudahkan upaya kita membantu mereka. Amin. Wallahu a’lam.

sumber : http://www.salafy.or.id/bantulah-ia-tunaikan-ketaatan/


Kamis, 20 Juni 2013

Memakai Pakaian Pendek pada Anak Perempuan

Pertanyaan:

Sebagian wanita—semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka—memakaikan pakaian pendek pada putri-putri mereka yang menampakkan betis. Ketika kami nasihati, mereka menjawab, “Dahulu kami juga mengenakan pakaian-pakaian seperti ini, tetapi tidak termudaratkan olehnya setelah kami besar.” Apa pendapat Anda tentang masalah ini?


Jawab:

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v menjawab,
“Saya berpendapat, tidak seharusnya seseorang memakaikan pakaian seperti ini pada putrinya walaupun masih kecil. Sebab, apabila seorang anak telah terbiasa, dia akan tetap seperti itu dan meremehkan masalah seperti ini. Demikian pula apabila si anak terbiasa menjaga kesopanan/malu semenjak kecil, dia akan tetap seperti itu ketika dewasa.

Saya menasihati saudari-saudariku muslimat agar mereka meninggalkan pakaian orang-orang asing yang menjadi musuh-musuh agama. Hendaknya mereka membiasakan putri mereka mengenakan pakaian yang tertutup dan memiliki rasa malu. Sebab, rasa malu termasuk keimanan.”

(Fatawa Muhimmah li Nisa’il Ummah hlm. 122)

sumber : http://qonitah.com/?p=433


Rabu, 19 Juni 2013

Meletakkan Ayat Kursi, Lafzhul Jalalah, dan Kalimat “Muhammad Rasulullah” pada Salah Satu Sisi Perhiasan Emas bagi Kaum Wanita dan Anak-anak

Pertanyaan:

Apa hukum meletakkan Ayat Kursi, lafzhul jalalah (lafadz “Allah), dan kalimat “Muhammad Rasulullahpada salah satu sisi perhiasan emas bagi kaum wanita dan anak-anak? Apa pula hukum masuk lokasi pemandian dalam keadaan memakai emas tersebut? Berilah kami faedah ilmu. Jazakumullahu khairan.


Jawaban:

Perbuatan ini salah. Al-Qur’an diturunkan bukan untuk sesuatu yang sia-sia, dengan menulisnya di atas emas, bejana, dan sebagainya. Allah l menurunkan al-Qur’an hanyalah sebagai obat bagi penyakit-penyakit hati, petunjuk untuk manusia; cahaya, kasih sayang, dan peringatan untuk orang-orang yang beriman. Tidaklah al-Qur’an diturunkan agar mereka menggantungkannya di perhiasan atau di pakaian mereka.

Adapun masuknya mereka ke lokasi pemandian untuk buang hajat dalam keadaan memakainya, hal itu tidak boleh dan tidak sepantasnya. Al-Qur’an harus dimuliakan, diagungkan, dan disucikan dari perlakuan-perlakuan jelek seperti ini. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk. Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya
Kami turunkan dari al-Qur’an itu suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang zalim selain kerugian. (al-Isra: 82)

Oleh karena itu, menggantungkan al-Qur’an dengan cara demikian tidak diperbolehkan. Bahkan, wajib menghapus al-Qur’an dan menghilangkannya dari tempat-tempat tersebut, baik emas maupun selainnya. Sebab, perbuatan menggantungkan al-Qur’an tersebut mengandung penghinaan terhadap al-Qur’an. Demikian pula masuknya mereka ke lokasi pemandian, kamar mandi, atau tempat buang hajat dalam keadaan membawa al-Qur’an, adalah tidak boleh, bagaimanapun keadaannya. Bahkan, wajib menghapus al-Qur’an (dalam kondisi ini) dalam rangka mengagungkan dan memuliakannya sebagaimana telah dinyatakan oleh para ulama. Wallahu a‘lam.

(Dijawab oleh asy-Syaikh Abdullah bin Humaid sebagaimana dalam Fatawa al-Mar’ah)
sumber : http://qonitah.com/?p=337 

Rabu, 05 Juni 2013

Mendidik Anak Dengan Film Kartun

Oleh: Syaikh Sholeh bin Fauzan al-Fauzan hafidzohulloh
Pertanyaan:
Apa hukum mendidik anak-anak dengan film kartun yang di sana terdapat faidah serta mengajarkan akhlak yang terpuji?

Jawaban:
Alloh telah mengharamkan gambar-gambar (makhluk bernyawa, pent) dan diharamkan menyimpannya, lalu bagimana kita gunakan itu untuk mendidik anak-anak kita?! Bagaimana kita mendidik mereka dengan sesuatu yang haram?! Dengan gambar-gambar yang diharamkan dan gambar animasi yang berbicara menyerupai manusia, gambar-gambar ini parah, dan tidak boleh mendidik anak-anak dengannya.

Ini adalah yang diinginkan oleh orang-orang kafir, mereka menginginkan agar kita menyelisihi apa-apa yang dilarang oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Rosul shollallohu alaihi wa sallam melarang gambar-gambar serta menggunakannya dan menyimpannya.[1]

Mereka memprogandakannya di antara anak-anak muda dan kaum muslimin dengan alasan untuk mendidik. Ini adalah pendidikan yang rusak. Dan mendidik yang benar adalah dengan mengajarkan apa-apa yang bermanfaat bagi mereka dalam agama dan dunianya.
__________________
[1] Sebagaimana dalam Shohih al-Bukhori (no. 5949) dari hadits Abu Tholhah rodhiyallohu anhu, (no. 5950) hadits Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu anhu, (no. 5952) hadits Aisyah rodhiyallohu anha, (no. 5961) hadits Aisyah rodhiyallohu anha, (no. 5962) hadits Abu Juhaifah rodhiyallohu anhu.
Dan lihat Shohih Muslim dalam kitab al-Libas bab Tahrim Tashwir Suwar Al-Hayawan Wat Tahrim Itikhodz Ma Fihi Suwar Ghoiru Mumtahanah Bil Firosy Wa Nahwiha, Wa Annal Malaikah Alaihissalam La Yadkhulu Baitan Fiihi Shuwar Aw Kalbun no. 2104 dan yang setelahnya.
***
Sumber: Taujihaat Muhimmah Li Syababil Ummah oleh al-Allamah asy-Syaikh Sholeh bin Fauzan al-Fauzan hal. 51-52.

Diterjemahkan dari: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=663937
sumber : http://almanshuroh.net/mendidik-anak-dengan-film-kartun/


Seruan Memperbanyak Anak

Seruan Memperbanyak Anak
oleh:
Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
(Pengasuh Pesantren Al-Ihsan Gowa)

Di zaman ini, sebagian orang ada yang membuat suatu program pembatasan anak. Mereka memandang bahwa memiliki banyak  anak yang lebih dari dua adalah perkara yang tercela. Akhirnya, mereka pun menggambarkan bahwa banyak anak adalah penyebab kemiskinan, pengangguran, dan munculnya banyak kriminal. Demikianlah mereka menghembuskan syubhat dan keraguan diantara kaum muslimin, sehingga banyak diantara masyarakat Islam larut dalam propaganda mereka dan malu jika memiliki banyak anak!!

Racun yang lebih berbahaya lagi, mereka gambarkan kepada dunia bahwa orang-orang yang punya banyak anak adalah orang-orang bersyahwat tinggi[1]. Pada gilirannya, mereka berusaha keras dalam menghalangi “program poligami” dengan berbagai macam dalih yang lebih lemah dibandingkan sarang laba-laba.

Para pembaca yang budiman, kalau kita ingin jujur dan melihat sejarah manusia, maka program pembatasan anak yang memerangi seruan memperbanyak anak adalah program yang menyalahi bimbingan wahyu serta fitrah dan tabiat manusia.

Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah telah menganjurkan dan membimbing manusia agar memperbanyak anak. Dari sisi fitrah, manusia menyukai jika memiliki banyak keturunan, sebab keturunan itulah yang akan memperbanyak rezeki, memanjangkan umur, memperluas kekerabatan, menguatkan barisan, melahirkan rasa aman, memudahkan berbagai macam urusan dunia dan akhirat, menjadi tabungan kebaikan di saat menghadap kepada Allah -Azza wa Jalla-.

Sebaliknya, suatu bangsa tak akan mendapatkan banyak rezeki, bila memiliki sedikit penduduk, bangsa itu akan cepat punah, relasi dan hubungannya akan sempit, barisan militer dan pertahanannya akan lemah, ketakutan akan merambah di kalangan mereka disebabkan sedikitnya jumlah mereka, menyulitkan mereka dalam menyelesaikan berbagai macam urusan dunia dan kenegaraan yang mestinya dapat diselesai jika banyak sumber daya manusia. Kurang atau bahkan tak ada tabungan kebaikan akhirat baginya dengan sedikitnya anak. Jika ia mati, maka tak ada pewaris yang akan meneruskan kebaikan yang selama ini ia bina dan masih banyak lagi sisi negatif lainnya yang belum kami sebutkan disini.

Para pembaca yang budiman, anak merupakan nikmat dan kegembiraan yang Allah berikan kepada sebagian diantara hamba-hambanya.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا (10)  يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا (12) [نوح/10- 12]
“Maka Aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”. (QS. Nuh : 10-12)
Al-Imam Al-Hafizh Muhammad Ibnu Isma’il Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata,
Maksudnya, “Jika kalian bertobat kepada Allah dan meminta ampunanan-Nya serta menaati-Nya, maka rezeki kalian akan banyak dan Dia akan menyirami kalian dengan berkah (hujan) dari langit, menumbuhkan bagi kalian berkah dari bumi, menumbuhkan bagi kalian tanaman, melimpahkan bagi kalian air susu hewan, serta mengaruniakan kepada kalian anak-anak, yakni memberikan kepada kalian harta benda dan anak keturunan dan menjadikan bagi kalian kebun-kebun yang di dalamnya terdapat berbagai macam tanaman serta menyelainya dengan sungai-sungai yang mengalir diantara kebun-kebun itu. Ini adalah bentuk ajakan dengan (memberi) targhib (dorongan)”. [Lihat Tafsir Ibni Katsir (8/233)]

Ini menunjukkan bahwa anak-anak yang Allah anugerahkan kepada kita merupakan nikmat yang senantiasa diidam-idamkan oleh manusia sebagaimana halnya dengan harta benda. Bahkan terkadang melebihi nilai harta benda. Oleh karenanya, kita terkadang menyaksikan orang-orang yang amat berbahagia di kala ia diberi anak dibandingkan jika ia diberi harta benda yang banyak. Sebaliknya ia amat gelisah jika tak diberi anak[2].

Allah -Azza wa Jalla- berfirman saat mengingatkan kepada kita tentang nikmat anak keturunan agar kita mensyukurinya, bukan mengingkarinya,
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ (72)  [النحل/72]
“Allah menjadikan bagi kalian isteri-isteri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari isteri-isteri kalian itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah ?” (QS. An-Nahl : 72) 

Jika Allah yang memberikan anak-anak kepada kita sebagai anugerah terbesar bagi seorang manusia, maka tentunya konsekuensi hal itu, seorang hamba akan bersyukur dan bertaqwa kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman mengingatkan hal itu,
وَاتَّقُوا الَّذِي أَمَدَّكُمْ بِمَا تَعْلَمُونَ (132) أَمَدَّكُمْ بِأَنْعَامٍ وَبَنِينَ (133) وَجَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (134) إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (135) [الشعراء/132-135]
“Dan bertakwalah kepada Allah Yang telah menganugerahkan kepada kalian apa yang kamu ketahui.  Dia telah menganugerahkan kepadamu binatang-binatang ternak, dan anak-anak, dan kebun-kebun dan mata air. Sesungguhnya Aku takut kalian akan ditimpa azab hari yang besar”. (QS. Asy-Syu’araa’ : 132-135) 

Ini menjelaskan bahwa anak keturunan adalah anugerah dari Allah Robbul alamin, anugerah yang menjadi penyejuk mata, penerus harapan dan menjadi penopang bagi rumah tangga dan bangsa serta agama.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا  [الإسراء/6]
“Kemudian Kami berikan kepada kalian giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantu kalian dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kalian kelompok yang lebih besar (jumlahnya)”. (QS. Al-Israa’ : 6) 

Di dalam ayat ini Allah -Azza wa Jalla- mengingatkan tentang nikmat besar yang diperoleh oleh kaum Yahudi, dimana mereka diberi pertolongan dengan banyaknya jumlah anak dan pasukan.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
ذَرْنِي وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا (11) وَجَعَلْتُ لَهُ مَالًا مَمْدُودًا (12) وَبَنِينَ شُهُودًا (13) وَمَهَّدْتُ لَهُ تَمْهِيدًا (14) ثُمَّ يَطْمَعُ أَنْ أَزِيدَ (15) كَلَّا إِنَّهُ كَانَ لِآَيَاتِنَا عَنِيدًا (16) [المدثر/11-16]
“Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian.  Dan Aku jadikan baginya harta benda yang banyak, dan anak-anak yang selalu bersama dia, dan Ku-lapangkan baginya (rezki dan kekuasaan) dengan selapang-lapangnya. Kemudian dia ingin sekali supaya Aku menambahnya. Sekali-kali tidak (akan Aku tambah), karena sesungguhnya dia menentang ayat-ayat Kami (Al Quran)”. (QS. Al-Muddatstsir : 11-16) 

Semua ayat-ayat ini menerangkan bahwa anak merupakan anugerah dan nikmat besar di sisi Allah. Semakin banyak anak yang mampu dilahirkan dan dididik dengan baik, maka semakin besar pula kebaikan dan pahala yang diperoleh oleh orang tuanya.

Namun disini perlu diperhatikan oleh setiap orang bahwa memperbanyak anak tetap harus mempertimbangkan maslahatnya. Setiap kali ia mau memiliki anak, maka ia memikirkan apakah ia mampu mendidiknya dan mengarahkan kehidupannya ataukah tidak bisa?[3]

Jika mampu melakukan hal itu, maka kenapa tidak memperbanyak anak!! Jika tak mampu, maka Allah yang akan memberikan rezeki kepada anak-anak itu dari jalan yang tak disangka-sangka. Dengan rezki itu, ia gunakan mendidik dan memelihara anak-anaknya.

Olehnya itu, Allah ingatkan para orang tua agar jangan membatasi anak, apalagi membunuhnya dengan alasan takut miskin dan takut jika ia tak mampu memberinya makan.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا
“Dan janganlah kalian membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepada kalian. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”. (QS. An-Israa’ : 31) 

Para pembaca yang budiman, harta benda dan anak merupakan perhiasan dunia yang sering menyilaukan mata para pemiliknya, jika ia tak mengarahkan dan menggunakannya dalam kebaikan. Lantaran itu, seorang muslim harus memperhatikan pendidikan anak-anaknya dengan pendidikan islami, baik di rumah, maupun di madrasah tempat ia menuntut ilmu. Semua itu demi melindungi mereka dari siksa neraka.
Allah -Azza wa Jalla- berfiman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ [التحريم/6]
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At-Tahrim : 06)
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobariy -rahimahullah- berkata dalam menafsirkan ayat ini,
“Ajarilah sebagian orang atas sebagian yang lainnya sesuatu yang dapat kalian gunakan dalam melindungi orang yang kalian ajari dari neraka dan menghalau neraka darinya jika ia menagamalkannya berupa ketaatan kepada Allah dan lakukanlah ketaatan kepada Allah”.[Lihat Jami' Al-Bayan (23/491), cet. Mu'assasah Ar-Risalah]

Kemudian Ath-Thobariy menyebutkan sebuah atsar dari sahabat Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu- bahwa maknanya “…peliharalah…” adalah ajarilah dan didiklah mereka.

Ini menunjukkan bahwa Islam dari dulu sudah mendorong para suami dan penanggung jawab keluarga agar mereka mendidik keluarganya agar mereka selamat di dunia dan akhirat dari neraka.

Anak tiada bermanfaat bagi orang tuanya di akhirat bila sang anak hanya menjadi perhiasan dunia yang dibanggakan dan disombongkan di hadapan hamba-hamba Allah. Anak-anak tak akan berguna bagi pemiliknya bila tidak diarahkan dalam kebaikan[4]. Yang diharapkan oleh orang tua dari anaknya adalah amalan yang dirasakan manfaatnya oleh orang tua. Tentunya hal seperti ini tak akan tercapai, kecuali anak-anak dilatih dan dididik di atas agama agar mereka menjadi sholih, taat dan berbakti. Jika mereka di atas kebaikan dari hasil didikan itu, maka itulah jerih payah orang yang akan ia rasakan sendiri.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا (46) وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا [الكهف/46، 47]
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.  Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka”. (QS. Al-Kahfi : 46-47) 

Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobariy -rahimahullah- berkata saat memaknai ayat ini,
“Yang tertinggal (abadi) bagi mereka berupa amal-amal sholih setelah hancurnya kehidupan dunia ini adalah lebih baik pahalanya –wahai Muhammad- di sisi Robb (Tuhan)mu dibandingkan harta benda dan anak-anak yang dibangga-banggakan oleh kaum musyrikin itu. Semuanya akan fana (hancur), tak akan abadi bagi keluarganya”. [Lihat Jami' Al-Bayan (18/31)]

Jasad yang ganteng dan harta benda yang banyak lagi berharga hanyalah kebanggaan lahiriah di dunia. Adapun di akhirat yang menjadi kebanggan seseorang adalah amal sholih yang dulu dipersembahkan olehnya. Itulah sebabnya, anak –sebagai contoh- jika tidak dugunakan dalam menghasilkan buah berupa amal sholih, maka ia merupakan kerugian dan penyesalan di hari kiamat!!
Anak yang tidak dapat menghasilkan buah seperti itu hanyalah menjadi penyejuk mata sesaat dan kebanggaan di dunia bagi para hamba dunia. Adapun para pencari akhirat, maka ia manfaatkan dan arahkan anaknya di atas kebaikan dan amal sholih.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ [آل عمران/14]
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imraan : 14) 

Semua kesenangan dunia ini jika diniatkan dan digunakan untuk kebaikan dan ketaatan kepada Allah -Azza wa Jalla-, maka itulah kebaikan dan pahala besar yang akan diraih oleh seorang mukmin.
Al-Imam Abul Faroj Abdur Rahman Ibnul Jawziy -rahimahullah- berkata,
“Perkara-perkara tersebut ini, terkadang niat seorang hamba baik dalam melakukannya, sehingga ia pun diberi balasannya atas perkara-perkara. Celaan (dalam perkara-perkara tersebut) hanyalah tertuju pada buruknya niat (maksud) di dalam (melakukannya)”. [Lihat Zadul Masir (1/308)]

Perkara-perkara dunia bagi orang yang tidak baik niat dan maksudnya dalam menggunakannya akan menyeret seseorang hanya bangga dan menyombongkan diri di hadapan hamba-hamba Allah.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ (10) هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (11) مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ (12) عُتُلٍّ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ (13) أَنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ (14) إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آَيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ (15) [القلم/10-15]
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala”. (QS. Al-Qolam : 10-15)

Ayat ini menjelaskan bahwa seringkali dosa (berupa kesombongan dan lainnya) yang dilakukan oleh seseorang, disebabkan oleh banyaknya harta dan anak. Realita di alam dunia telah membuktikan bahwa betapa banyak para pemimpin, penguasa dan orang-orang kaya menolak kebenaran akibat kekayaan dan banyaknya pengikut.[5]

Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini,
“Maksudnya, karena banyaknya harta benda dan anaknya, maka ia melampaui batas dan menyombongkan diri dari kebenaran serta ia menolaknya ketika kebenaran datang dan menganggapnya termasuk dongengan orang-orang dahulu kala yang mungkin benar dan mungkin pula dusta”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 879)]

Sekali lagi bahwa semua kesenangan dunia tak akan membuahkan hasil dan kebaikan bagi pemiliknya –termasuk anak- jika pemiliknya tak memiliki maksud baik saat ia memilikinya di dunia, sehingga ia pun tak memanfaatkannya di jalan-jalan kebaikan, bahkan ia manfaatkan dalam perkara sia-sia dan terlarang di sisi Allah -Azza wa Jalla-.

Allah -Tabaroka wa Ta’ala- berfirman,
يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ (88) إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ (89)  [الشعراء/88-89]
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (QS. Asy-Syu’araa’ : 88-89) 

Para pembaca yang budiman, memperbanyak anak adalah perkara yang dianjurkan oleh agama, dengan catatan bahwa anak-anak itu diberikan pendidikan islami yang mengarahkannya kepada amal sholih dan ketaatan.  Jadi, anjuran itu bukanlah anjuran yang kosong dari tujuan dan maksud yang baik[6]. Tujuan dalam memperbanyak anak adalah untuk menyebarkan kebaikan, menguatkan agama dan menjayakan Islam dan kaum muslimin. Sebab, semakin banyak pendukung kebaikan, maka kebaikan pun akan semakin kuat, dominan dan berkuasa. Sebaliknya, jika pendukung keburukan yang lebih banyak, maka keburukan pasti kuat, menguasa dan merata di kalangan manusia.

Hanya saja seseorang harus memperhatikan -saat memperbanyak anak- bahwa anak harus ditumbuhkan dan dikondisikan dalam kebaikan, di atas bimbingan wahyu. Mereka harus dikondisikan agar hidup, belajar dan bergaul dalam lingkungan yang bersih dari “virus-virus kehidupan” yang terkadang menjangkiti pemikiran mereka, sehingga mereka pun melenceng dari rel kebenaran Islam dan sunnah yang selama ini ia pijaki dan tempuh. Virus-virus itu banyak jumlahnya. Namun secara umum ia hanya terdiri dari dua jenis virus saja: virus syahwat dan virus syubhat!!

Para pembaca yang budiman, agar buah (anak-anak) berbuah manis di sisi Allah, maka orang tua harus mendidik dan membiasakan anak-anaknya dalam melakukan berbagai macam jalan-jalan kebaikan, baik dengan perbuatan kita selaku orang, maupun ucapan. Jika kita tak mampu membimbing mereka di atas ketaatan, maka ber-ta’awun-lah (bekerjasama) dengan seorang pendidik rabbani yang lurus dan penuh kasih sayang, dengan harapan mereka membantu kita dalam kebaikan.
Bila seseorang selaku orang tua melakukan usaha dalam mendidik anak, baik langsung atau pun tidak langsung, maka –insya Allah- ia akan menuai hasil kebaikan di sisi Allah -Azza wa Jalla- berupa pahala dan surga yang ia idamkan selama ini.

Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sebuah sabdanya,
إذا ماتَ الإنسانُ انقطعَ عنهُ عملُه إلاَّ مِنْ ثلاثةٍ إلاَّ مِنْ صدقةٍ جاريةٍ أو علمٍ يُنتفعُ بهِ أوْ ولدٍ صالِحٍ يدعو له
“Jika manusia meninggal, maka terputuslah darinya amal-amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang dirasakan manfaatnya dan anak sholih (baik) yang mendoakan kebaikan untuknya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1631) dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-]

Al-Imam Abu Zakariyya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata,
“Para ulama berkata, “Makna hadits ini bahwa amal seorang mayat akan terputus dengan kematiannya dan terputus kelanjutan pahala baginya, kecuali dalam tiga hal ini. Karena, si mayat menjadi sebab adanya amal-amal itu. Sesungguhnya seorang anak merupakan hasil usahanya. Demikian pula ilmu yang ia tinggalkan berupa pengajaran dan karya tulis. Demikian pula halnya sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya), yaitu wakaf”. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim (11/85)]

Hadits ini juga merupakan dorongan untuk menikah agar memiliki banyak anak. Sebab, semakin banyak seseorang memiliki anak yang sholih, maka semakin banyak pula yang mendoakannya sepeninggalnya.
Al-Imam Asy-Syaukaniy Al-Yamaniy -rahimahullah- berkata,
“Di dalamnya terdapat bimbingan kepada keutamaan sedekah jariyah, ilmu yang tetap (terwarisi) setelah pemiliknya mati dan menikah yang merupakan sebab adanya anak”. [Lihat Nailul Awthor (6/92)]

Para pembaca yang budiman, memperbanyak anak merupakan perkara yang dicintai dan dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya -Shallallahu alaihi wa sallam-. Diantara perkara yang menunjukkan hal itu, beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendoakan sebagian diantara sahabatnya agar diberi anak yang banyak.

Ummu Sulaim -radhiyallahu anha- berkata,
يا رسول الله أنس خادمك ادع الله له قال ( اللهم أكثر ماله وولده وبارك له فيما أعطيته )
“Wahai Rasulullah, Anas adalah pelayanmu. Doakanlah kebaikan untuknya”. Beliau berdoa, “Ya Allah, perbanyaklah anak dan harta bendanya serta berkahilah untuknya dalam sesuatu yang Engkau berikan kepadanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (6378) dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 2480-2481)[7]

Hadits semacam ini yang menganjurkan agar seorang muslim memiliki banyak anak, banyak kita temukan dalam kitab-kita hadits. Diantaranya, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- menganjurkan para calon suami agar memilih wanita yang peranak, dengan melihat kepada kerabatnya[8]. Jika wanita memiliki keluarga besar jumlahnya dan orangnya penyayang kepada suami dan anak-anaknya, maka itulah yang dipilih menurut bimbingan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Semua ini demi menyokong suksesnya seruan memperbanyak anak!!!

Ma’qil bin Yasar Al-Muzaniy -radhiyallahu anhu- berkata,
جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال إني أصبت امرأة ذات حسب وجمال وإنها لا تلد أفأتزوجها ؟ قال ” لا ” ثم أتاه الثانية فنهاه ثم أتاه الثالثة فقال ” تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم ” .
“Ada seorang lelaki datang kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, seraya ia berkata, “Sesungguhnya aku mendapatkan seorang wanita yang memiliki kemuliaan dan kecantikan dan sesungguhnya ia tak dapat melahirkan. Apakah aku menikahinya?” Beliau bersabda, “Jangan!!” Kemudian orang itu mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kedua kalinya. Lalu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pun melarangnya. Kemudian ia mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ketiga kalinya. Lalu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Nikahilah wanita yang amat penyayang dan peranak. Karena, sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya kalian di depan para umat”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (2050) dan An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (3227). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (3091)]
Salah satu diantara tujuan nikah adalah untuk mendapatkan keturunan yang banyak. Disinilah hikmahnya memperbanyak istri sampai maksimal empat orang, tak boleh lebih darinya. Itulah orang yang terbaik. Sebab, dengan nikah ia dapat memperbanyak anak. Dengan adanya anak, banyak jalan-jalan kebaikan yang dapat dilakukan oleh seseorang selaku orang tua[9].

Sa’id bin Jubair -rahimahullah- berkata,
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ: هَلْ تَزَوَّجْتَ؟ قُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَتَزَوَّجْ، فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً
“Ibnu Abbas berkata kepadaku, “apakah kamu sudah menikah?” Aku jawab, “Belum”. Ibnu Abbas berkata, “Menikahlah. Karena sebaik-baik umat ini adalah orang yang banyak istrinya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (5069)]

Para pembaca yang budiman inilah sebagian diantara dalil-dalil yang kami temukan seputar anjuran memperbanyak anak di dalam Islam.

Faedah dan Ibrah
Kemudian dari dalil-dalil dan penjelasan para ulama yang telah kami nukilkan, kita simpulkan beberapa faedah berikut ini:
  1. Memperbanyak anak adalah program yang relevan dengan  bimbingan wahyu serta fitrah dan tabiat manusia.
  2. Mewaspadai makar kaum kafir yang ingin mengurangi jumlah kaum muslimin melalui program pembatasan anak.
  3. Anak dan harta adalah perhiasan dan kebanggaan manusia dan keduanya akan bermanfaat bila digunakan dalam kebaikan.
  4. Memperbanyak anak bukanlah program yang kosong dari makna dan tujuan mulia. Tujuannya adalah untuk menjayakan Islam dan menyebarkan kebaikan.
  5. Melalui pernikahan dan poligami, program memperbanyak anak akan tercapai dengan baik. Karenanya, sokonglah kedua program itu.
  6. Hendaknya seorang ayah memikirkan pendidikan anak-anaknya agar mereka menjadi anak-anak sholih yang akan selalu mendoakan kebaikan bagi orang tuanya[10].


[1] Orang yang melampiaskan syahwatnya pada istrinya yang halal baginya dalam rangka melahirkan generasi yang banyak adalah perkara yang mulia. Yang hina, jika seseorang tak mau dikatakan tinggi syahwat, maka ia pun berselingkuh dengan wanita-wanita haram yang bukan istrinya. Tapi begitulah mata hati mereka dibutakan sehingga tak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Orang yang nikah untuk memperbanyak keturunan dikatakan buruk, dan sebaliknya orang yang berzina dan selingkuh dianggap baik. Subhanllah, sungguh aneh manusia zaman ini.

[2] Beberapa orang yang kami kenal lama tak punya anak dalam waktu yang lama. Dalam penantiannya ia amat gelisah, berusaha keras mendapatkan anak dengan berbagai macam cara. Ketika ia diberi anak, maka ia pun bercita-cita ingin mendapatkan anak setiap tahunnya. Ia amat paham bahwa anak adalah anugerah yang harus disyukuri dan dihargai. Sebab betapa banyak orang yang mau memiliki anak, namun ia tak diberi oleh Allah -Azza wa Jalla-. Inilah fitrah manusia, selalu menginginkan banyak anak.
Namun anehnya, ada orang yang diberi anak, malah ia berkeluh kesah, hanya karena malu dikatakan banyak anak. Padahal ia mampu memelihara, mendidik dan menghidupi mereka!! Maunya hanya punya dua anak saja!!! Tapi di masa tua barulah terasa pentingnya anak yang banyak.

[3] Namun hal ini jangan dijadikan alasan mati bagi setiap orang, sehingga walaupun ia mampu mendidik dan mengarahkan kehidupannya, maka ia tetap menyedikitkan jumlah anaknya. Seseorang harus berusaha, tak boleh langsung pasrah dan berpangku tangan!!

[4] Jika anak-anak menjadi buruk, bergaya preman, berandal dan nakal serta jauh dari agama, maka orang tua tak mendapatkan hasil yang ia tunggu berupa doa dan amal sholih dari sang anak.

[5] Salah satu diantara pengikut adalah anak-anak keturunan.

[6] Tujuan menikah dan memperbanyak anak bukanlah hanya sekedar bersenang-senang dan menyalurkan syahwat. Lebih dari itu, menikah dan memperbanyak anak adalah untuk menjayakan Islam dengan adanya generasi rabbani yang terdidik di atas dan sunnah disertai bimbingan para salaf.

[7] Di akhir hadits itu, Anas -radhiyallahu anhu- berkata,
فوالله إن مالي لكثير وإن ولدي وولد ولدي ليتعادون على نحو المائة اليوم
“Demi Allah, sesungguhnya harta bendaku amat banyak, serta anak-anakku dan anak keturunan dari anak-anakku sungguh telah mencapai sekitar 100-an orang pada hari ini”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2481)]

[8] Yakni, jika kerabat dekatnya rata-rata orang yang banyak anaknya, maka itu tanda bahwa calon istri yang kita akan persunting adalah wanita peranak. Demikian pun sebaliknya.

[9] seperti, memberinya nafkah, mendidiknya, membiayai segala hajatnya, mengarahkan kehidupannya. Semua ini tentunya butuh pengorbanan dari orang tua. Namun di balik pengorbanan itu, ada segunung pahala menantinya.

[10] Materi ini rampung 21 Rajab 1434 H bertepatan dengan 31 Mei 2013 M, pasca dauroh “Jalan Pintas Menuju Surga” oleh Syaikh Utsman bin Abdillah As-Salimiy –hafizhahullahu- yang berlangsung 19-20 Rajab 1434 H di Al-Markaz Al-Islamiy dan Masjid As-Sunnah, jalan Baji Rupa, no. 8. Semoga Allah memberikan balasan yang baik kepada beliau.

Rabu, 13 Juni 2012

Memperhatikan Pendidikan Anak


Oleh Ustad Ayip
Para nabi dan rasul yang Allah Ta’ala utus ke muka bumi ini selalu memberi perhatian kepada anak-anaknya. Kisah para nabi atau rasul beserta anak-anak mereka banyak diabadikan di dalam Alqur’an. Kisah mereka memberi gambaran, betapa sangat urgen memperhatikan keadaan anak, terlebih masalah pendidikan diniyah (agama).
Nabi Nuh ‘alaihissalam tetap menasihati anaknya untuk tidak bergaul dengan kelompok masyarakat yang kufur kepada Allah Ta’ala. Saat kondisi sedemikian kritis, Nabi Nuh ‘alaihissalam menyeru anaknya untuk tetap bersamanya menaiki perahu. Kala itu, air bah yang begitu dahsyat akan menenggelamkan manusia-manusia yang kufur kepada Al-Khaliqurrahman, Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَنَادَىٰ نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ الْكَافِرِينَ
“…Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: Wahai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami, dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir.” (QS. Hud:42)
Nabi Nuh ‘alaihissalam menasihati anaknya untuk berlepas diri dari orang-orang kafir.
Nilai pendidikan yang bisa dipetik dari kisah di atas, sungguh menanamkan semangat al-wala’ wal-bara’ terasa amat penting. Apalagi ditengah kehidupan manusia sekarang yang mengangkat tinggi paham pluralisme sebagai paham yang dijejalkan ke dalam kehidupan kaum muslimin. Melalui paham pluralisme, manusia dihasung untuk membenarkan semua paham agama. Padahal agama yang benar dan diridhai disisi Allah hanyalah Islam.
Bagaimana mungkin seorang anak akan memiliki kepribadian seorang muslim yang benar, jika apa yang dilihat dalam keseharian adalah perilaku kaum kafir. Bagaimana mungkin kebiasaan-kebiasaan yang islamis akan tertanam pada diri anak, jika orang-orang yang berada disekitarnya adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-NYA.
Contoh yang sederhana, perilaku makan dan minum dalam Islam telah diatur sedemikian rupa. Islam mengajarkan etika terkait makan dan minum. Seperti, makan-minum hendaknya dengan tangan kanan, membaca bismillah saat memulai makan-minum dan tata aturan makan-minum lainnya. Apa yang akan terjadi pada diri anak manakala dalam kehidupan sehari-hari yang dilihat dan didengar sang anak adalah kebiasaan-kebiasaan yang tak mengajarkan itu semua? Apakah anak akan berperilaku islamis terkait perilaku makan-minumnya?
Tentu, nilai-nilai islamis itu tak akan bisa diserap sang anak. Bahkan, sang anak akan menyerap nilai-nilai kekufuran manakala dirinya hidup bersama orang-orang kafir. Dia tak mendapat lingkungan yang mendukung bagi tumbuh-kembang kepribadiannya kearah yang diridhai-NYA.
Maka, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pendidikan anak sangat dituntut. Sungguh, sangat membahayakan berinteraksi dengan kaum kafir, manakala tidak memiliki benteng yang kokoh. Karenanya, Islam mengatur sedemikian rupa muamalah dengan kaum kafir. Wallahu ‘a’lam.

Mengenalkan Anak Pada Tauhid


Oleh: Al Ustadz Ayip Syafruddin
Saat anak mampu berbicara, kenalkanlah pada kalimat tauhid La Ilaaha Illallah, Muhammad Rasulullah,ajari cara mengucapkannya dengan talqin yaitu dengan cara orang tua mengucapkan kalimat tauhid lalu anak menirukannya. Biasakan anak mendengar kalimat thayyibah ( La ilaaha illallah). Dengan sering memperdengarkan kalimat tersebut diharap memudahkan anak untuk menirukannya.
Ajari juga anak mengenal Allah Ta’ala, seperti mengajari bahwa Allah Ta’ala berada diatas langit, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar apa saja yang dibicarakan manusia. Dengan ilmu Allah, Dia senantiasa mengawasi makhluk-Nya. Demikian dijelaskan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Tuhfatul wadud bi Ahkamil Maulud.
Dalam hadits Mu’awiyyah bin Hakam As-Sulaimi radhiyallahu ‘anhu, melalui metode dialog, Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallam mengajari seorang budak anak wanita berkenaan tentang tauhid. Rasulullahshalallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada anak wanita tersebut, “Dimana Allah?”. Anak wanita itu pun menjawab “Allah di atas langit”. Kemudian beliau bertanya lagi, “Siapa saya?” Jawab gadis belia, “Engkau Rasulullah (utusan Allah).” Kemudian Rasulullah memerintahkan agar anak wanita itu dibebaskan dari status budaknya, “Dia seorang mukminah”(HR: Abu Daud No.930) di shahihkan Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah).
Begitulah metode belajar yang di contohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, ringan, mengalir dan tidak terkesan kaku. Metode demikian akan mampu menggugah rasa keingin tahuan anak yang lebih luas dan dalam. Anak dibawa untuk berfikir secara ramah dan tidak terkesan memaksa.
Mengajari tauhid merupakan metode para Nabi dan Rasul Allah. Para Nabi dan Rasul Allah menyampaikan kepada ummat tentang tauhid. Bahkan, menyampaikan masalah tauhid adalah perkara yang pertama dan utama, karena dengan memahami dan meyakini perkara tauhid akan menjauhkan diri dari kesyirikan.
Nabi Hud yang diutus kepada kaum ‘Ad, Nabi Shalih yang diutus kepada kaum Tsamud, dan Nabi Syu’aib yang diutus kepada penduduk Madyan, mereka semua para Nabi menyampaikan pesan dakwah tauhid,
أُعْبُدُ اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلآهٍ غَيْرُهُ
“Sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada ilah (sesembahan) bagimu (yang berhak diibadahi) selain-Nya.”(Al-A’raf: 65, 78, 85).

Demikian sunnah para nabi dan rasul, bersemangat dalam menyampaikan dakwah tauhid. Tentu saja, anak yang merupakan buah hati jangan sampai terlupakan untuk diajari tentang tauhid. Tanamkan iman didalam dadanya, semoga sang anak tumbuh menjadi insan yang shalih serta senantiasa mentauhidkan Rabb-nya. Amiin…

Kamis, 29 Desember 2011

Pendidikan Anak Tanggung Jawab Siapa

Ibu adalah tempat pendidikan pertama bagi anak-anak dan rumah adalah sebuah batu bata yang dengannya batu bata serupa terbentuk menjadi bangunan masyarakat. Di dalam rumah yang terbangun di atas pondasi menjaga ketentuan-ketentuan Allah, yang tegak dengan pilar-pilar kecintaan, kasih sayang, sikap itsar (mengutamakan orang lain) dan saling membantu dalam kebajikan dan taqwa, di dalam rumah seperti inilah akan lahir generasi pilihan ummat, anak sholeh dambaan setiap orang tua.

Sebelum seorang anak terdidik di tempat pendidikan dan masyarakat, rumah dan keluargalah yang terlebih dahulu mendidiknya. Seorang anak ibarat peminjam yang dari kedua orang tuanya ia mendapatkan pinjaman prilaku luhur, sebagaimana kedua orang tuanya bertanggung jawab dalam porsi besar dalam penyimpangan prilaku anak. Betapapun besar tanggung jawab ini, namun banyak orang tua yang mengabaikannya dan tidak melaksanakan sebagaimana semestinya, akibatnya mereka menelantarkan anak dan melalaikan pendidikan mereka. Kemudian, bila terlihat penyimpangan pada prilaku anak-anak merekapun berkeluh kesah. Mereka tidak sadar bahwa merekalah sebab pertama bagi penyimpangan tersebut, yaitu akibat mereka melalaikan amanah anak yang Allah berikan kepada mereka.
Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahuinya ” (QS. Al-Anfaal : 27)

Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “ Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang suami pemimpin dirumahnya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya, dan seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya”. ( HR. Bukhari daN Muslim dari Abdullah Bin Umar Radiyalallahu ‘Anhu)



Dan dalam riwayat Muslim : “Dan anakmu mempunyai hak atasmu”.

Banyak bentuk-bentuk pelalaian atau kesalahan pendidikan anak yang dilakukan oleh orang tua diantaranya.

Yang pertama : Memasukkan anak ke tempat pendidikan atau sekolah yang di dalanmnya mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan aqidah, tauhid dan terdapat pelanggaran syar’i di dalamnya.

Keimanan, tauhid serta aqidah adalah perkara yang terpenting yang kita miliki, sangat ironis sekali kalau ada orang tua yang mengorbankan aqidah anaknya hanya dengan tujuan dapat ijazah di sekolah umum misalnya atau bahkan sekolah Kristen atau Hindu hanya karena sekolah itu bagus atau ternama.

Rasululllah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrahnya (Islam), bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi “ (HR. Bukhari dari Abu Hurairah Radiyalallahu ‘Anhu)

Apakah para orang tua tidak takut terhadap suatu hari yang mereka akan dimintai pertanggung jawabkan atas apa yang mereka lakukan, atas amanah anak yang mereka abaikan, atas agama anak yang mereka tidak perdulikan…!!! Lalu setelah itu mereka berharap mempunyai anak yang sholeh ???!!!.

Lihat seorang bapak yang sholeh, mewasiatkan anaknya tentang perkara dien, tentang perkara tauhid tentang perkara aqidah, tentang supaya anaknya berhati – hati dari hal-hal yang membatalkan keimanannya. Sebagaimana yang Allah khabarkan tentang hamba yang sholeh Luqman yang berkata kepada anaknya

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ



“ Dan ( ingatlah ) ketika Luqman berkata kepada anaknya “ Hai anakku janganlah kamu mempersekitukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah benar-benar kedzaliman yang besar “ (Qs. Luqman :13)

Wahai para orang tua selektiplah dalam memilih tempat pendidikan, jangan engkau masukkan anak-anakmu ketempat pendidikan yang disana terdapat pelanggaran terhadap syariat islam apalagi pelanggaran terhadap aqidah islamiyah.

Yang kedua : Melalaikan pendidikan agama terhadap anak.

Diantara bentuk pelalaian yang sangat besar adalah ketika orangtua melalaikan pendidikan agama anak-anaknya. Perbuatan seperti ini merupakan pelanggaran amanah anak yang paling besar, sebagian orang tua menganggap dirinya sukses ketika anaknya selesai menempuh pendidikan sarjana atau insinyur atau yang sejenisnya. Dia lupa bahwa sukses mendidik anak adalah ketika pendidikkan orang tua menjadi sebab anaknya menjadi anak sholeh.

Rasululllah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “ Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada seseorang maka Allah pahamkan agama pada orang tersebut” (HR. Bukhari dan Muslim dari Muawiyah Radiyalallahu ‘Anhu)

Dalam hadist lain Rasululllah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

“Jika mati seorang manusia, maka terputuslah amalannya kecuali 3 perkara :

1. Shadaqah Jariyah
2. Ilmu yang bermanfaat
3. Anak sholeh yang mendoakan kedua orang tuanya”.
(HR. Muslim)

Yang lebih ironisnya lagi, sudah orang tua melalaikan pendidikan agama anaknya, lalu ketika anaknya Allah kehendaki kebaikkan dengan Allah beri hidayah untuk menuntut ilmu agama diluar sana, untuk mengenal tauhid dan aqidah yang benar, untuk melaksakan sholat berjama’ah, untuk mengenakan hijab, untuk memelihara jengot, untuk berpakaian diatas mata kaki malah orang tua melarangnya atau memarahinya…!!!

Yang ketiga : Memasukan media perusak kedalam rumah

Diantara salah satu bentuk kesalahan dalam mendidik anak bahkan kesalahan yang sangat fatal adalah memasukan media perusak aqidah, akhlaq dan perangai anak, seperti TV, PS majalah seronok dan semisalnya kerumah. Sebagian orangtua beranggapan hal itu dilakukan untuk menyenangkan anak atau supaya anak dirumah tidak kemana-mana. Itulah kalau seseorang jauh dari ilmu agama, sengsara didunia dan diakhirat. Dia menganggap memasukan TV atau media perusak lainnya itu adalah sebagai ungkapan kasih sayang orang tua kepada anaknya, dia tidak sadar apa yang para orang tua lakukan memasukan TV kerumah sebuah perkara yang sangat berbahaya bagi anak, bagi kehidupan dunianya dan akhiratnya. TV adalah perusak aqidah, akhlak, adab, kepribadian seseorang apalagi seorang anak yang masih polos dijejali dengan hal-hal yang merusak sebagaimana yang ditayangkan ditelevisi.

Yang Keempat: Memanjakan anak dan tidak mengajari mereka untuk memikul tanggung jawab.

Diantara kesalahan yang banyak dilakukan orang tua adalah ketika para orang tua memanjakan anaknya, memberikan semua apa yang mereka minta dan inginkan dengan dilatar belakangi karena ingin membuat mereka senang. Pengarahan atau pendidikan seperti ini merupakan sebuah kesalahan, dampak jelek dari pendidikan seperti ini akan terlihat ketika anak sudah besar, seperti sikap lari dari tanggung jawab, cengeng dalam menghadapi problema kehidupan dan dampak buruk lainnya.

Yang kelima : Bersikap keras dan kasar kepada anak .

Sebagian orang tua ada yang menganggap bahwasanya sikap kasar, keras dengan memukul hingga membekas dibadannya misalnya atau membuat anak takut kepada dirinya adalah sebuah pendidikan yang akan menghasilkan anak yang nurut atau akan terjaga secara sebab dari ha-hal yang merusak anak. Justru hal ini akan menjadi sebab anak menjadi tertekan, minder, atau bahkan akan menjadi sebab anak benci terhadap orang tuanya.

Yang keenam : Kurangnya perhatian orang tua kepada anak atau curahan kasih sayang orang tua kapada anak.

Hal ini diantara sekian hal yang dapat mendorong mereka mencari hal-hal itu diluar rumah. Dengan harapan bisa menemukan orang yang bisa memberikan itu semua.

Dan tidak sedikit ada seorang anak perempuan merelakan menyerahkan kehormatannya hanya karena ingin mencari kasih sayang dari seorang pria, ada juga yang terjerumus kepada kenakalan remaja dan dampak buruk lainnya hanya karena ingin mencari perhatian.

Yang Ketujuh: Tidak memahami psikologis dan karakter anak-anak

Banyak diantara orang tua yang tidak memahami psikologis atau kejiwaan dan karakter anak-anaknya. Padahal anak-anak mempunyai pembawaan dan karakter yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang mudah emosi, atau tersinggung atau bersikap dingin dan lain-lain. Akan tetapi orang tua tadi berinteraksi dengan anak-anak tersebut dengan pola yang sama, terlepas dari sisi kejiwaan mereka. Hal ini terkadang dapat menyebabkan penyimpangan mereka.

Wahai para orang tua inilah diantara penyimpangan dalam mendidik anak yang tidak sadar mungkin diantara kita ada yang melakukannya. Ingatlah bahwa kita akan ditanya diakhirat kelak

فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

“ Maka demi Rabbmu kami pasti akan menanyai mereka semua “ (Qs. Al Hijr : 92)

Rasullulah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “ Sesungguhnya Allah akan mempertanyakan setiap pemimpin dari apa yang telah di pimpin, apakah menjaga atau menyia-nyiakan “ ( Hadist hasan, diriwayatkan oleh Nasa’i)

Wahai para orang tua apakah kalian tega atau tidak merasakan kasihan terhadap anak – anak kalian kalau anak kalian sengsara didunia dan diakhirat kelak. Bukankah kebahagiaan yang kita inginkan untuk anak-anak kita, lalu apakah artinya kebahagiaan kalau didunia seakan – akan anak kita terlihat bahagia (menurut anggapan mereka) tapi diakhirat sengsara akibat para orang tua tidak memperhatikan pendidikan yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama islam, melalaikan pendidikan agama sehingga mereka terjatuh lepada perkara-perkara yang diharamkan Allah dan tidak menunaikan kewajiban-kewajiban yang diwajibkan atas mereka. Pada hakekatnya pun mereka tidak bahagia didunia dan diakhirat mereka terancam mengalami kesengsaraan akibat mereka tidak mengenal syariat ini dan mengamalkanya.

Oleh : Abu Ibrahim Abdullah Bin Mudakir Al Jakarty
http://tauhiddansyirik.wordpress.com/2010/03/30/pendidikan-anak-tanggung-jawab-siapa/