Tampilkan postingan dengan label Nasehat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nasehat. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 September 2013

Tiga Perangai Kebaikan

oleh : Al-Ustadz Abul Fadhilah Abdul Qodir Al-Bughisiy –hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]

Orang-orang pilihan akan senantiasa mendapatkan taufiq dari Allah -Azza wa Jalla-  untuk menapaki jalan-jalan kebaikan. Ia senantiasa mendapatkan bimbingan dari Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Hamba yang akan berusaha sekuat tenaga meraih kebaikan yang telah disiapkan oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala-.

Jika anda ingin mengetahui suatu kebaikan pada diri seorang hamba, maka lihatlah pada perangai dirinya!! Adakah perangai kebaikan yang menghiasi dirinya?!

Inilah yang pernah dikatakan seorang ulama tabi’in di zamannya, Muhammad bin Ka’ab Al-Qurozhiy -rahimahullah-,
إذا أراد الله تعالى بعبد خيرا جعل فيه ثلاث خلال فقه في الدين وزهادة في الدنيا وبصرا بعيوبه
“Jika Allah -Ta’ala- menginginkan kebaikan kebaikan pada diri seorang hamba, maka Allah jadikan (letakkan) pada dirinya Tiga perangai : paham tentang agama, zuhud terhadap dunia dan melihat (memperhatikan) aib-aibnya”. [HR. Abu Nu'aim dalam Hilyah Al-Awliya' (3/213), Ibnul Mubarok dalam Az-Zuhd (no. 282), Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (10535), Ibnusy Syajariy dalam Al-Amali Asy-Syajariyyah *(hal. 43), Ibnul Jawziy dalam Shifah Ash-Shofwah (2/132) dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah (9/258)]
Inilah tiga sifat dan perangai pada diri seorang sebagai tanda kebaikan yang ada pada dirinya. Ia merupakan anugrah ilahi yang tiada taranya. Tiga hal ini adalah penghimpun kebaikan dunia dan akhirat.

Kita lihat perkara pertama yang beliau sebutkan, yaitu perkara pentingnya ilmu dan pemahaman seorang hamba tentang agamanya. Ilmu bagaikan pelita yang akan membimbing seseorang kepada jalan yang benar, lurus, dan singkat, tanpa berkelak-kelok lagi membahayakan!!

Seorang yang jahil tentang agama, laksana orang yang buta, tak punya arah yang jelas. Ia akan bingung dalam arah yang ia akan tuju, ia hanya meraba dan mengira-ngira saja. Terkadang ia memegang ular yang ia sangka tongkat atau kayu bakar. Tapi ternyata ia mengambil sesuatu yang membahayakan dirinya.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
أَفَمَنْ يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَى إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ  [الرعد : 19]
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran”. (QS. Ar-Ro’d : 19)
Jawabnya, tentu tak sama!!! sebab orang yang berilmu memiliki cahaya dan arah yang jelas.
Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata saat menjelaskan sisi kedua belas keutamaan ilmu agama dan pemiliknya,
أنه سبحانه جعل اهل الجهل بمنزلة العميان الذين لا يبصرون…فما ثم الا عالم او اعمى وقد وصف سبحانه اهل الجهل بأنهم صم بكم عمي في غير موضع من كتابه
“Allah –Subhanahu- menjadikan orang yang jahil seperti keadaan orang buta yang tidak bisa melihat… Jadi, disana tak ada, selain orang yang berilmu atau orang buta. Sungguh Allah –Subhanahu- telah menyifati orang yang jahil bahwa mereka itu tuli, bisu dan buta dalam beberapa tempat dalam Kitab-Nya”. [Lihat Miftah Dar As-Sa'adah (1/49), cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah]

Orang yang tak mau berusaha mempelajari dan mendalami ilmu yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah ibarat orang buta. Sebab, terkadang orang yang seperti ini dengan kejahilannya, ia bagaikan orang buta yang tak dapat melihat sesuatu yang terang dan jelas di depannya. Malasnya ia mempelajari ilmu agama membuat ia luput merasakan manisnya kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah!! Padahal semua itu telah ada di sekitarnya!!!

Ibnu Asyur Al-Malikiy -rahimahullah- berkata,
“Nama “buta” dipinjam bagi orang yang tak mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah kebenaran. Karena, ilmunya tentang sesuatu yang tampak lagi jelas adalah tertiadakan, sehingga ia pun menyerupai orang buta”. [Lihat At-Tahrir wa At-Tanwir (13/123)]

Ia malas dan lemas mendatangi majelis-majelis ilmu yang diajarkan padanya kebaikan dunia dan akhiratnya. Orang semodel ini hanya senang gaya hidup santai, bersenang-senang, bahkan bermaksiat. Jika diajak ke majelis ilmu, maka ia malas dan enggan seperti enggannya kambing berjalan. Namun jika diajak berwisata ke Bali atau luar negeri, maka ia adalah orang yang paling girang dan gesit dalam hal itu[1]. Buta, sungguh buta orang jahil ini!!

Menghabiskan uang ke Bali amat mudah dan ringan baginya dibanding berinfak dan bersedekah di jalan Allah. Orang yang tak berilmu akan sering melakukan perbuatan yang ia sangka kebaikan, ternyata keburukan. Sebaliknya, ia kira kebaikan itu adalah keburukan, sehingga ia pun meninggalkan banyak kebaikan!!!

Disinilah akan tampak bagi anda pentingnya ilmu agama, sebab ia adalah pelita yang menerangi dan menjelaskan bagi manusia antara jalan yang baik dan jalan yang buruk.

Para pembaca yang budiman, tanda lain yang dapat kita lihat pada diri seorang hamba berupa kebaikan, yaitu sifat zuhud terhadap dunia, sebuah sifat yang akan mengantarkan manusia pada kemuliaan di hadapan Allah dan para hamba-Nya.

Jika kita menilik arti kata “zuhud”, maka ia bermakna meninggalkan sesuatu. Adapun “zuhud” dalam agama kita adalah seorang hamba meninggalkan sesuatu diantara urusan dunia yang tidak memberikan manfaat di akhirat kelak. [Lihat Majmu' Fatawa (14/458) dan Idah Ash-Shobirin (hal. 265)]

Seorang yang zuhud akan meninggalkan segala bentuk ucapan dan perbuatan maksiat. Semua itu tidaklah mendatangkan manfaat, bahkan kerusakan dan kerugian. Demikian pula seorang yang zuhud akan meninggalkan sesuatu yang melalaikannya dari akhirat. Misalnya, di saat ia mendengarkan seruan adzan, maka ia segera mendatangi masjid untuk melaksanakan sholat bersama jama’ah kaum musimin. Perdagangan dan pekerjaan serta segala sesuatu yang menyibukkannya, ia tinggalkan demi menjalankan ibadah sholat.

Seorang yang zuhud jika memiliki sesuatu diantara barang-barang dunia yang ia perkirakan akan melalaikannya dari kewajiban dan kebaikan, maka ia segera meninggalkannya dan menginfakkannya di jalan Allah.

Namun jangan dipahami bahwa “zuhud” itu memerintahkan seseorang membuang dunia dengan segala kelezatannya. Sama sekali ini bukanlah zuhud yang diperintahkan dalam Islam!!! Ini adalah “zuhud bid’ah” yang dicetuskan oleh kaum sufi yang mengharamkan kenikmatan dunia yang Allah telah halalkan bagi para hambanya. Itu bukanlah zuhud, bahkan kejahilan dan kesesatan!!

Seorang yang zuhud tetaplah diperintahkan mencari dunia yang mendatangkan manfaat baginya di akhirat. Adapun sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat di akhirat, maka ia tinggalkan dan beralih kepada perkara dunia yang menghasilkan kebaikan dan pahala di akhirat.

Oleh karena itu, manusia-manusia yang paling zuhud di dunia, semisal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, mereka tetap mencari dunia dan bekerja di pasar, kebun dan lainnya. Zuhud tidaklah mengharamkan dunia secara mutlak dan total!!

Syaikhul Islam Ahmad bin Abdil Halim Al-Harroniy Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata,
وَ ” الزُّهْدُ ” النَّافِعُ الْمَشْرُوعُ الَّذِي يُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ هُوَ الزُّهْدُ فِيمَا لَا يَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ فَأَمَّا مَا يَنْفَعُ فِي الْآخِرَةِ وَمَا يُسْتَعَانُ بِهِ عَلَى ذَلِكَ فَالزُّهْدُ فِيهِ زُهْدٌ فِي نَوْعٍ مِنْ عِبَادَةِ اللَّهِ وَطَاعَتِهِ وَالزُّهْدُ إنَّمَا يُرَادُ لِأَنَّهُ زُهْدٌ فِيمَا يَضُرُّ أَوْ زُهْدٌ فِيمَا لَا يَنْفَعُ فَأَمَّا الزُّهْدُ فِي النَّافِعِ فَجَهْلٌ وَضَلَالٌ
Zuhud yang bermanfaat lagi disyariatkan adalah zuhud yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu zuhud dalam perkara yang tak memberi manfaat di akhirat. Adapun yang memberikan manfaat di akhirat dan sesuatu yang dijadikan pembantu atas hal itu, maka zuhud terhadapnya adalah zuhud terhadap satu jenis diantara ibadah dan ketaatan kepada Allah[2]. Zuhud hanyalah diinginkan, karena ia adalah kezuhudan terhadap perkara yang memberi madhorot (bahaya dan kerugian) ataukah kezuhudan terhadap perkara yang tidak mendatangkan manfaat. Adapun kezuhudan terhadap perkara yang bermanfaat, maka ini adalah kejahilan dan kesesatan”. [Lihat Majmu' Fatawa (10/511]

Sesuatu yang bermanfaat dari urusan dunia, akan dijadikan sarana oleh orang zuhud dalam meraih banyak kebaikan dan pahala di akhirat[3]. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِز
“Bersemangatlah atas sesuatu yang memberikanmu manfaat, mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah lemah”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 2644) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. 79)]

Seorang yang meninggalkan dunia tidaklah mendapatkan pujian di sisi Allah dengan sekedar ia meninggalkannya. Demikian pula senang kepada dunia tidaklah dicela begitu saja. Seseorang hanyalah mendapatkan pujian jika ia melakukan semua itu karena menginginkan kebaikan dari Allah dan negeri akhirat!! Sebaliknya, ia akan dicela jika ia mencintai dunia, di saat dunia menjadi penghalang baginya dari mencintai negeri akhirat!!!

Al-Imam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata,
فَثَبَتَ أَنَّ مُجَرَّدَ الزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا لَا حَمْدَ فِيهِ كَمَا لَا حَمْدَ عَلَى الرَّغْبَةِ فِيهَا وَإِنَّمَا الْحَمْدُ عَلَى إرَادَةِ اللَّهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ وَالذَّمُّ عَلَى إرَادَةِ الدُّنْيَا الْمَانِعَةِ مِنْ إرَادَةِ ذَلِكَ
“Jadi, tetaplah (nyatalah) bahwa sekedar zuhud terhadap dunia, tidaklah ada pujian padanya sebagaimana halnya tak ada pujian atas kecintaan kepada dunia. Hanyalah pujian itu ada (dalam hal itu) karena menginginkan Allah dan negeri akhirat; dan celaan ada (dalam hal itu) karena menginginkan dunia yang menjadi penghalang dari menginginkan hal tersebut (yakni, Allah dan negeri akhirat)”. [Lihat Majmu' Fatawa (20/146)]

Inilah zuhud yang lurus dan benar sesuai dengan petunjuk dan cahaya wahyu. Adapun zuhud kaum sufi, maka ia adalah bid’ah dan penyimpangan yang tak pernah diajarkan oleh para nabi dan rasul, bahkan ia merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah!! Sebab, dengan zuhud –menurut mereka-, seorang hamba harus perlahan-lahan meninggalkan dunia dan mengharamkannya atas dirinya. Padahal Allah berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (32) قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ  [الأعراف : 32 ، 33]
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-A’raaf : 32-33) 

Para pembaca yang budiman, perkara terakhir diantara tanda kebaikan pada diri seorang hamba adalah seorang hamba selalu menyadari dan melihat segala aib dan kekurangan dirinya, sehingga ia pun sibuk mengurusi dirinya. Ia tak pernah memperhatikan aib orang lain, sebab ia sadar bahwa hal seperti itu akan menyibukkannya dari segala macam kebaikan, lalu membuatnya lalai dari membenahi diri sendiri[4].


Catatan kaki :
[1] Fenomena banyaknya kaum muslimin yang melancong dan rekreasi ke Bali merupakan perkara yang amat menyedihkan kita. Mereka mendatangi tempat-tempat maksiat, bahkan tempat-tempat praktik kemusyrikan dengan dalih “wisata”. Padahal agama melarang kita dari mendatangi tempat-tempat kemusyrikan dan kekafiran.

[2] Maksud beliau bahwa jika zuhud terhadap sesuatu yang bermanfaat di akhirat, maka artinya zuhud terhadap ibadah dan ketaatan dan jelas ini adalah zuhud yang tercela. Disini beliau mau menjelaskan zuhud yang tercela dengan ucapan itu.

[3] Ia gunakan berinfak dan bersedekah atau ia gunakan dalam melaksanakan suatu ibadah, seperti sholat, haji, zakat, berjihad, membantu kaum miskin, menafkahi anak-istri dan masih banyak lagi jalan-jalan kebaikan.

[4] Ini bukan berarti bahwa seseorang tak boleh mengetahui penyimpangan dan kesesatan suatu kaum yang menjadi aib bagi mereka. Boleh saja demi amar ma’ruf dan nahi munkar!! Bahkan boleh jadi wajib hukumnya!!!

Tulisan ini selesai pada Hari Jumat, 6 Dzul Qo’dah 1434 H di rumah kami, Gowa. Semoga Allah memberkahinya dan penghuninya.

sumber : http://pesantren-alihsan.com/


 

Persoalan Hidayah

oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]


Setiap orang pasti mendambakan kebahagiaan bagi dirinya dan orang lain, sebab sudah menjadi tabiat manusia bahwa ia senang jika melihat orang lain berbahagia seperti dirinya. Namun perlu diketahui bahwa persoalan hidayah bukanlah perkara mudah bagi setiap orang. Persoalan hidayah hanya ada di tangan Allah -Azza wa Jalla-. Dia-lah yang menentukan siapa diantara hamba-hamba-Nya yang berhak mendapatkannya. Tak ada seorang makhluk pun yang berhak menentukan bahwa si fulan dan fulan yang mendapatkan hidayah.

Seorang hamba hanyalah dibebani oleh Allah untuk berusaha memberikan petunjuk tentang jalan-jalan hidayah. Adapun seorang diberi hidayah untuk mengamalkan dan melakukan jalan-jalan tersebut, maka bukanlah urusan hamba si pemberi nasihat. Tapi semuanya kembali kepada Allah -Azza wa Jalla-. Bahkan diri seorang hamba, ia tak mampu beri hidayah, kecuali Allah yang menunjukinya dan memberinya taufiq untuk menapaki jalan-jalan hidayah.
Para pembaca yang budiman, hidayah bagaikan permata –bahkan lebih dari itu-, sulit untuk didapatkan, kecuali bagi orang-orang yang Allah rahmati. Lantaran itu, para nabi saja tak mampu memberi hidayah kepada keluarga mereka.

Lihat saja Nabi Nuh -alaihish sholatu was salam- tak mampu memberikan hidayah kepada anak dan istrinya.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ (45) قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (46) قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ (47)  [هود/45-48]
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.” Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” Nuh berkata: Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang Aku tiada mengetahui (hakekat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Huud : 45-47) 

Perhatikanlah, Nabi Nuh -Shallallahu alaihi wa sallam- telah lama mendakwahi kaumnya, dan keluarganya. Bahkan anak dan istrinya termasuk orang-orang merugi, karena tak mengikuti jalan hidayah yang Nuh ajarkan kepada mereka. Mereka lebih memilih jalan kekafiran. Na’udzu billah min dzalik.

Inilah yang Allah jelaskan dalam firman-Nya,
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا (5) فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا (6) وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا (7) ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا (8) ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا (9) [نوح/5-9]
Nuh berkata: “Ya Tuhanku Sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian Sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”. (QS. Nuuh : 5-9)

Dakwah ini dilakukan setelah da’wah dengan cara diam-diam tidak berhasil. Sesudah melakukan da’wah secara diam-diam, kemudian secara terang-terangan namun tidak juga berhasil. Maka nabi Nuh -alaihish sholatu was salam- melakukan kedua cara itu dengan sekaligus. Tapi juga tak berhasil memberikan hidayah kepada kaumnya. Ini menunjukkan mahalnya hidayah.

Nasib yang serupa juga menimpa istri Nabi Luth -alaihish sholatu was salam-. Beliau hidup serumah dengan istrinya, bergaul, dan berjumpa. Akan tetapi hidayah itu tak menembus relung hatinya. Hidayah itu hanya masuk telinga kanan, lalu keluar dari telinga kiri!!

Allah -Ta’ala- berfirman,
فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ (83) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ (84)  [الأعراف/83-85]
“Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu”. (QS. Al-A’raaf : 83-84)

Istrinya dibinasakan, karena ia enggan mengikuti jalan hidayah yang ditawarkan oleh suaminya kepadanya. Alangkah sialnya seorang wanita yang berada di dalam rumah ilmu dan kenabian, dibacakan ayat-ayat dan nasihat kepadanya, tapi ia masih tetap enggan dan durhaka kepada suaminya.
Allah -Ta’ala- berfirman,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ  [التحريم/10]
“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (Jahannam)”. (QS. At-Tahrim : 10)

Al-Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata, “Maksudnya, (perumpamaan) tentang bergaulnya dan hidupnya mereka di tengah kaum muslimin, hal itu tidak membuahkan hasil bagi mereka, dan tidak pula memberi manfaat kepada mereka sedikitpun di sisi Allah, jika iman tak ada dalam hati”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (8/171)]

Hidayah untuk beriman, mengamalkan sunnah, dan meninggalkan maksiat adalah perkara khusus, hanya ada di tangan Allah. Jadi, tak ada diantara hamba Allah yang mampu menentukan orang lain mendapatkan hidayah sampai Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- saja tak mampu memberi hidayah kepada paman beliau yang telah banyak membela dan menolong dakwah beliau.
Dari Sa’id bin Al-Musayyab dari ayahnya berkata,
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللَّهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ { مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
وَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Tatkala kematian menghampiri Abu Tholib, maka ia didatangi oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Beliau mendapati di sisinya ada Abu Jahl, Abdullah bin Abi Umayyah bin Al-Mughiroh. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Wahai pamanku, “Nyatakanlah, Laa ilaaha illallah (Tidak sembahan yang haq, selain Allah), sebuah kalimat yang aku akan jadikan persaksian bagimu di sisi Allah”. Kemudian Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah menimpali, “Wahai Abu Tholib, apakah engkau membenci agama Abdul Muththolib?!” Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- senantiasa mengajukan kalimat itu kepada Abu Tholib, dan mengulang-ulanginya sampai Abu Tholib menyatakan sesuatu yang paling terakhir ia katakan kepada mereka bahwa ia tetap berada di atas agama Abdul Muththolib, dan enggan menyatakan, “Laa ilaaha illallaah”. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Ingatlah, demi Allah, aku akan memohonkan ampunan bagimu selama aku tak dilarang darimu”.

Lantaran itu, Allah -Azza wa Jalla- menurunkan firman-Nya,
 مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam”. (QS. At-Taubah : 113)
Allah -Ta’ala- menurunkan ayat tentang Abu Tholib seraya berfirman kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-,
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al-Qoshosh : 56)“. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab At-Tafsir (3/273), dan Muslim dalam Kitab Al-Iman (1/54)]
Al-Imam Abu Zakariyya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para ahli tafsir sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Tholib. Demikianlah kesepakatan mereka tentang hal itu telah dinukil oleh Az-Zajjaj dan yang lainnya. Ayat ini umum, karena tak ada yang dapat memberi hidayah, dan tidak pula menyesatkan orang lain, kecuali Allah -Ta’ala-”. [Lihat Syarah Shohih Muslim (1/97)]

Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata setelah membawakan ayat-ayat dan hadits di atas, “Demikian itu karena apabila beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- saja yang merupakan makhluk utama secara mutlak dan paling agung kedudukannya di sisi Allah, serta paling dekat amalannya; beliau saja tak mampu memberi hidayah kepada orang-orang yang beliau cintai berupa hidayah taufiq. Hidayah itu semuanya hanyalah ada di tangan Allah. Dia-lah yang bersendirian dalam memberi hidayah kepada hati sebagaimana halnya Dia bersendirian dalam menciptakan makhluk. Karenanya, tampaklah bahwa Dia adalah sembahan yang haq”. [Lihat Al-Qoul As-Sadid (hal. 79)]
Urusan makhluk, seperti memberikan hidayah kepada makhluk; semuanya kembali kepada Allah, sampai Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- saja tak mampu memberikan hidayah (taufiq) kepada mereka. Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah- berkata usai menjelaskan hal ini, “Jika permasalahannya demikian, maka bagaimanakah pandangan kalian tentang selain beliau (Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-)? Maka tak ada campur tangan dalam urusan makhluk bagi siapa saja, seperti arca-arca, berhala-berhala, para wali, dan para nabi. Urusan makhluk semuanya kembali kepada Allah”. [Lihat Al-Qoul Al-Mufid (1/290) karya Al-Utsaimin]

Jadi, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- tak punya campur tangan dalam urusan makhluk, seperti memberi hidayah, menyelamatkan manusia dari siksa neraka, atau memasukkan mereka ke dalam surga. Semua ini adalah urusan Allah.

Olehnya, Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- pernah mendakwahi kerabatnya dan mengabarkan kepada mereka bahwa beliau tak mampu menolong dan menyelamatkan mereka di hari kiamat, jika mereka berbuat syirik.

Hendaknya seorang muslim selalu memohon hidayah taufiq agar ia senantiasa dibimbing oleh Allah menuju jalan-jalan hidayah yang mengantarkan ke surga-Nya. Lantaran itu, Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- mengajarkan kita doa yang masyhur:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Yang Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (3517). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2091)]

sumber : http://pesantren-alihsan.com/

Sabtu, 14 September 2013

Miss World, Wanita Tua atau Muda?


بسم الله الرحمن الرحيم

Allah jalla wa ‘ala berfirman,
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللاَّتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan wanita-wanita tua yang tidak bisa lagi memiliki anak, yang tidak lagi bernafsu untuk menikah, maka tidak ada dosa bagi mereka untuk melepaskan jilbab-jilbab mereka tanpa menampakkan perhiasan, dan jika mereka menjaga kesucian (dengan tetap mengenakan jilbab) maka itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui [An-Nur: 60]

Penjelasan Makna Ayat:
1) Wanita-wanita tua yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah mereka yang tidak lagi haid, tidak lagi bisa memiliki anak dan tidak lagi bernafsu untuk memiliki suami, maka dibolehkan bagi mereka untuk melepaskan jilbab mereka, baik di depan mahram maupun non mahram.

2) Wajib bagi wanita tua untuk tetap menggunakan kerudung, yaitu pakaian yang menutup dari kepala sampai ke dada (khimar) dan jubah wanita (dir’un). Adapun yang dibolehkan untuk dilepaskan oleh wanita tua dalam ayat ini hanyalah Jilbab, yaitu pakaian yang menutupi seluruh tubuh, yang digunakan di atas kerudung dan jubah wanita.

3) Walaupun telah tua dan dibolehkan melepaskan jilbab, namun tetap tidak dibolehkan menampakkan perhiasan. Dan tentunya larangan ini lebih ditekankan bagi wanita muda.

4) Allah ta’ala juga mengabarkan, bahwa lebih baik bagi wanita tua untuk tetap mengenakan jilbab, karena hal itu lebih menjaga KESUCIAN DIRI. [Disarikan dari Tafsir Ath-Thobari, 19/216, Ibnu Katsir, 6/83]


TELADAN DARI SEORANG WANITA DI MASA SALAF

Sa’id bin Manshur, Ibnul Mundzir dan Al-Baihaqi rahimahumullah meriwayatkan tentang seorang wanita shalihah dari generasi As-Salafus Shalih, Hafshoh binti Sirin rahimahallah di umur tuanya, dari ‘Ashim Al-Ahwal rahimahullah, ia berkata,
دخلت على حفصة بنت سيرين وقد ألقت عليها ثيابها فقلت أليس يقول الله {والقواعد من النساء اللاتي لا يرجون نكاحا فليس عليهن جناح أن يضعن ثيابهن} قال : اقرأ ما بعده {وأن يستعففن خير لهن} وهو ثياب الجلباب
“Aku pernah menemui Hafshoh binti Sirin dan ia benar-benar masih mengenakan jilbabnya. Maku aku katakan: Bukankah Allah ta’ala telah berfirman “Dan wanita-wanita tua yang tidak bisa lagi memiliki anak, yang tidak lagi bernafsu untuk menikah, maka tidak ada dosa bagi mereka untuk melepaskan jilbab-jilbab mereka (tanpa menampakkan perhiasan).” Hafshah berkata: Bacalah ayat setelahnya “Dan jika mereka menjaga kesucian (dengan tetap mengenakan jilbab) maka itu lebih baik bagi mereka” maknanya tetap mengenakan jilbab itu lebih baik.” [Ad-Durrul Mantsur, 11/112]

Itulah wanita yang tetap muda walau telah tua, bandingkan dengan wanita-wanita muda yang telah tua sebelum waktunya:
- Sebagian mereka tidak mengenakan jilbab, hanya memakai kerudung dan jubah
- Lebih parah lagi yang hanya memakai kerudung gaul, celana dan kaos ketat
- Lebih parah lagi yang berpakaian tapi telanjang.

Allaahul Musta’an.

Tolak Miss World

Kamis, 05 September 2013

Mutiara Hikmah Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq Terhadap Orang-orang yang tidak mau Berzakat

Kota Madinah Diselimuti Kesedihan

Saat matahari menyingsing di hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriyah, Madinah diselimuti kesedihan dengan wafatnya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Musibah terbesar yang menimpa umat, khususnya para sahabat yang selama ini merasakan pahit getir perjuangan Islam bersama Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. Sebuah musibah yang benar-benar membuat galau hati orang-orang terbaik umat ini. Di antara mereka pun ada yang tak tahu harus berbuat apa. Sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radiallohu anhu, mengurung diri di rumah bersama sang istri Fathimah. Sahabat ‘Utsman bin Affan radiallohu anhu, terdiam seribu bahasa. Sementara sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radiallohu anhu, tak dapat menguasai dirinya, hingga tidak terkontrol ucapannya. Dengan lantang beliau berseru, “Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, tidak wafat! Beliau hanya dipanggil oleh Allah subhaanahu wata’aala, untuk sementara waktu sebagaimana yang pernah dialami Nabi Musa (selama 40 hari, pen.), serta akan kembali untuk memotong tangan dan kaki orang-orang (yang mengatakan bahwa beliau telah wafat).” (Lihat al-‘Awashim Minal Qawashim karya al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi, hlm. 37—39, dan ar-Rahiqul Makhtum, hlm. 468)

Sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq1 radiallohu anhu Pelipur Lara Kegalauan Umat

Demikianlah kondisi umum yang menyelimuti kota Madinah di hari kematian Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Betapa rahmat Allah subhaanahu wata’aala, yang sangat luas menghendaki sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, manusia terbaik di umat ini setelah Rasul-Nya shallallohu alaihi wasallam, sebagai pelipur lara bagi segala kegalauan di hari itu.

Alkisah, ketika itu sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, tidak berada di tempat kejadian. Beliau sedang berada di As-Sunh, sebuah tempat yang terletak di ‘awali (dataran tinggi) kota Madinah. Saat mendengar berita kematian Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, dengan cepat beliau radiallohu anhu meluncur ke rumah sang putri, ‘Aisyah radiallohu anha, tempat wafat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Sesampainya di rumah ‘Aisyah, sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, langsung mendatangi pembaringan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Disingkapnya kain yang menutupi wajah beliau shallallohu alaihi wasallam, didekapnya tubuh beliau shallallohu alaihi wasallam, dan diciumnya, seraya mengatakan, “Sungguh engkau, wahai Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, selalu dalam kebaikan ketika hidup dan mati. Demi Allah, tidaklah Allah subhaanahu wata’aala, menjadikan untukmu dua kematian. Sungguh kematian yang Allah subhaanahu wata’aala, tetapkan untukmu telah tiba.”

Kemudian beliau radiallohu anhu keluar menuju Masjid Nabawi yang telah dipenuhi oleh para sahabat. Ketika itu, ‘Umar bin al-Khaththab radiallohu anhu tak dapat menguasai dirinya dan kata-katanya pun tak lagi terkontrol, sebagaimana tersebut di atas. Naiklah sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, ke atas mimbar. Beliau mulai pembicaraan dengan memuji Allah subhaanahu wata’aala, kemudian berkata, “Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad shallallohu alaihi wasallam, maka Muhammad shallallohu alaihi wasallam, sekarang telah wafat. Barang siapa yang menyembah Allah subhaanahu wata’aala, maka sesungguhnya Allah Mahahidup dan tidak akan mati.” Setelah itu, beliau radiallohu anhu membacakan firman Allah subhaanahu wata’aala :
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan (kebaikan) kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali ‘Imran: 144)

Dengan jiwa yang teguh, ilmu yang tinggi, dan akhlak yang mulia, sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu,—biidznillah—berhasil mengondisikan umat dan membimbing mereka kepada kebenaran. Akhirnya, tidaklah mereka keluar dari masjid melainkan telah terbimbing di atas kebenaran. Ayat ke-144 dari Surah Ali ‘Imran tersebut kemudian dilantunkan di lorong-lorong kota Madinah, seakan-akan baru diturunkan di hari itu.

Kemudian—seiring berjalannya waktu—sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, yang sangat dekat posisinya dengan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, tersebut dibai’at oleh kaum Muhajirin dan Anshar sebagai pemimpin umat (khalifah). Di balai pertemuan (saqifah) Bani Sa’idah, beliau dipercaya untuk memimpin umat melanjutkan misi perjuangan Islam yang telah dilakukan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.  (Lihat al-‘Awashim Minal Qawashim, hlm. 42—45)

Kondisi Umat di Awal Masa Kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu

Para pembaca yang mulia, kondisi umat di awal masa kekhalifahan sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, sangat berbeda dengan kondisi mereka di masa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Mereka terbagi menjadi empat kelompok.

1. Sekelompok orang yang berteguh diri di atas jalan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Mereka adalah mayoritas umat.

2. Sekelompok orang yang masih menyatakan keislaman, namun tidak mau berzakat. Jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan kelompok yang pertama.

3. Sekelompok orang yang terang-terangan mengumumkan kekafiran dan keluar dari Islam, seperti pengikut Thulaihah dan Sajah. Jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dua kelompok sebelumnya. Hanya saja, di setiap suku ada orang-orang yang memerangi orang-orang murtad tersebut.

4. Sekelompok orang yang tidak menampakkan sikapnya, sambil menunggu pemenang dari tiga kelompok tersebut, untuk kemudian bergabung dengan mereka.” (Lihat Fathul Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, 12/288—289)


Kebijakan Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, di Tengah Derasnya Arus Kemurtadan

Kondisi umat yang memprihatinkan tersebut tak membuat Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, putus asa. Berbagai kebijakan strategis pun beliau tempuh untuk stabilisasi keadaan. Dengan keilmuan yang tinggi dan perhitungan yang matang, beliau memutuskan untuk mengirim pasukan perang kepada kelompok orang-orang murtad dan orang-orang yang tidak mau berzakat. Berkat pertolongan Allah subhaanahu wata’aala, tidaklah berlalu setahun melainkan beliau telah berhasil mengatasi semua itu.

Al-Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahulloh dalam kitabnya al-Fashl fil Milali wal Ahwa’i wan Nihal mengatakan, “Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, mengirim pasukan perang kepada mereka semua. Fairuz dan pasukannya yang dikirim ke markas al-Aswad (di Shan’a) berhasil membunuhnya.2 Sementara Musailamah al-Kadzdzab yang bermarkas di Yamamah juga berhasil dibunuh (oleh pasukan Khalid bin al-Walid radiallohu anhu, pen.). Thulaihah dan Sajah kembali memeluk Islam. Demikian pula mayoritas orang-orang murtad lainnya. Tidak sampai setahun, semua telah kembali ke pangkuan Islam. Walillahil hamdu.”3

Subhanallah, ternyata kebijakan Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, yang terkesan keras tersebut sangat strategis dalam mengembalikan kepercayaan umat terhadap agamanya dan mengantarkan Islam kepada kejayaannya. Gerakan bersenjata para nabi palsu dan pengikutnya berhasil ditumpas. Bahkan, sebagian mereka kembali ke dalam agama Islam. Para penentang zakat yang juga melakukan perlawanan bersenjata berhasil dilumpuhkan dan ditundukkan di bawah naungan syariat Islam yang mulia. Syiar Islam kembali bercahaya di tengah umat, yang sebelumnya sempat redup. Panji-panji tauhid pun kembali berkibar, yang sebelumnya sempat melemah.

Tak heran, bila sahabat Abu Hurairah radiallohu anhu, berkata, “Demi Allah, Dzat yang tiada berhak diibadahi kecuali Dia, seandainya Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, tidak diangkat sebagai khalifah, niscaya Allah subhaanahu wata’aala, tidak diibadahi.” Beliau mengulangi ucapan tersebut tiga kali, kemudian menyebutkan hujjahnya. (al-Bidayah wan Nihayah karya al-Imam Ibnu Katsir, 6/305)

Demikian pula al-Imam Ali Ibnul Madini t, beliau berkata, “Sesungguhnya Allah subhaanahu wata’aala, mengokohkan agama ini dengan Abu Bakar ash-Shiddiq radiallohu anhu, di tengah derasnya arus kemurtadan, dan dengan Ahmad bin Hanbal t di tengah maraknya keyakinan sesat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah).” (Tadzkiratul Huffazh karya al-Imam adz-Dzahabi, 2/432)


Syubhat Orang-Orang yang Tidak Mau Berzakat di Masa Kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu,
Tidak diragukan lagi bahwa zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan dalam Islam. Di dalam Al-Qur’anul Karim, banyak sekali ayat yang menunjukkan perintah berzakat. Di antaranya adalah firman Allah subhaanahu wata’aala :
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, serta taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (an-Nur: 56)

Dalam mutiara kenabian, terpancar petuah mulia bahwa menunaikan zakat merupakan bagian dari lima rukun Islam. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَصِيَامِ رَمَضَانَ, وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Agama Islam dibangun di atas lima hal: (1) bersyahadat bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad itu utusan Allah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) shaum di bulan Ramadhan, dan (5) berhaji ke Baitullah.” (HR. al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16, dari sahabat Abdullah bin Umar c)

Menurut aturan syariat, tidak berzakat merupakan dosa besar. Di dalam Al-Qur’anul Karim, dengan tegas Allah l mengancam orang-orang yang tidak mau berzakat. Allah subhaanahu wata’aala, berfirman:
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (at-Taubah: 34—35)

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil terhadap harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat, dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imran: 180)4

Di dalam kitab-kitab hadits, didapati pula ancaman Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, terhadap orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut.

Para pembaca yang mulia, kewajiban berzakat merupakan keyakinan yang telah terpatri dalam sanubari umat di masa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Namun, ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, wafat dan sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, menjadi khalifah, muncullah syubhat (kerancuan berpikir) pada sebagian elemen umat bahwa kewajiban zakat tersebut hanya berlaku semasa hidup Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, tidak berlaku sepeninggal beliau n. Mereka berdalil dengan firman Allah subhaanahu wata’aala :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, serta berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (at-Taubah: 103)

Menurut mereka, selain Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, tidak ada yang dapat membersihkan dan menyucikan jiwa mereka, sehingga bagaimana mungkin doanya dapat (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka? Akhirnya, mereka tidak mau menunaikan zakat di masa kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, (Lihat Fathul Bari, 12/290)


Sikap Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohuanhu dan Para Sahabat

Para sahabat Nabi bersepakat bahwa orang-orang yang tidak mau berzakat di masa kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, tersebut bersalah, apapun alasannya. Namun, mereka berbeda pendapat dalam menyikapinya. Dengan pertimbangan kondisi dan lain hal, mayoritas sahabat berpendapat bahwa orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut sementara waktu dibiarkan saja dan dilakukan upaya pendekatan persuasif kepada mereka, dengan harapan keimanan mereka bisa kokoh dan siap untuk berzakat. Disampaikanlah pendapat tersebut kepada Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu. Ternyata Khalifah tidak sependapat dengan mereka. Beliau radiallohu anhu lebih memilih bersikap tegas terhadap orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat tersebut dan bertekad bulat untuk memerangi mereka. (Lihat al-Bidayah wan Nihayah, 6/311)

Sikap tegas Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu tersebut, awalnya tidak mendapat respon dari para sahabat, termasuk ‘Umar bin al-Khaththab radiallohu anhu. Terjadilah diskusi ilmiah di antara mereka, hingga tampak jelas bahwa kebenaran berada di pihak Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu. Akhirnya, terhimpunlah kata sepakat di kalangan para sahabat bahwa orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut harus diperangi.

Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari no. 6924—6925, dari Abu Hurairah radiallohu anhu bahwa Umar bin al-Khaththab radiallohu anhu berkata kepada Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, “Wahai Abu Bakr, mengapa engkau memerangi mereka padahal Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, telah bersabda: ‘Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan laailaaha illallah (tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah). Barang siapa mengucapkannya niscaya akan terlindungi dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya, serta perhitungannya di sisi Allah’.”

Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, berkata, “Demi Allah, aku akan memerangi siapa saja yang membedakan antara shalat dan zakat, karena zakat adalah hak harta (yang wajib ditunaikan, pen.). Demi Allah, jika mereka menolak untuk menyerahkan seekor anak kambing betina (sebagai zakat) kepadaku, yang dahulu mereka menyerahkannya kepada Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, niscaya aku akan memerangi mereka karenanya.”

Umar bin al-Khaththab radiallohu anhu berkata, “Demi Allah, tidaklah aku meyakini kecuali seperti apa yang telah dilapangkan oleh Allah subhaanahu wata’aala, pada dada Abu Bakr, yakni keharusan memerangi mereka. Aku menjadi tahu bahwa pendapat itulah yang benar.”
Asy-Syaikh Hafizh al-Hakami t berkata, “Umar bin al-Khaththab z dan sebagian besar sahabat memahami bahwa seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat berarti telah terlindungi dari hukuman dunia. Berdasarkan hal ini, mereka tidak menyetujui tindakan memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat (karena mereka masih mengucapkan dua kalimat syahadat, pen.). Adapun Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu memahami bahwa seseorang (yang mengucapkan dua kalimat syahadat, pen.) boleh diperangi hingga benar-benar terbukti bahwa ia telah menunaikan hak-haknya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi n, ‘Barang siapa menunaikannya niscaya akan terlindungi dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya, serta perhitungannya di sisi Allah.’ Kemudian beliau z berkata, ‘Zakat adalah hak harta yang harus ditunaikan.’ Pemahaman Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, tersebut ternyata juga diriwayatkan secara tegas oleh beberapa sahabat—di antaranya Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan yang lainnya radiallohu anhum,— bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, bersabda, ‘Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bersaksi pula bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat…..’ Hal ini pula yang dikandung oleh firman Allah subahaanahu wata’aala :
“Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (at-Taubah: 5)

Oleh karena itu, perlindungan (terhadap jiwa dan harta) tersebut tidak terwujud melainkan dengan menunaikan berbagai kewajiban yang datang dari Allah subhaanahu wata’aala, dan diiringi tauhid. Ketika Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu menjelaskan hal ini kepada para sahabat, mereka pun sependapat dengannya dan meyakini bahwa itulah pendapat yang benar.” (Ma’arijul Qabul, 2/430)

Terkait dengan latar belakang kesepakatan para sahabat untuk memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut, para ulama yang tergabung dalam al-Lajnah ad-Da’imah lil-Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ menjelaskan bahwa kesepakatan para sahabat bersama Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu tersebut berdasarkan dua alasan.

1. Adanya kekufuran pada orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut.

2. Sikap mereka yang tidak mau berzakat.

Penolakan mereka terhadap perintah Allah subhaanahu wata’aala, (kewajiban berzakat) merupakan bentuk kekufuran, sedangkan penolakan mereka untuk menyerahkan zakat kepada Khalifah merupakan bukti nyata bahwa mereka tidak mau berzakat. Jadi, dua alasan itulah yang melatarbelakangi kebijakan memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut. (Majallah al-Buhuts al-Islamiyyah, 42/45)

Sebagai penutup kajian kali ini, ada satu faedah penting terkait rincian hukum terhadap orang-orang yang tidak mau berzakat. Berikut ini pemaparannya.

- Jika seseorang tidak berzakat karena penentangannya terhadap kewajiban syariat zakat, dia dihukumi sebagai seorang kafir murtad.

- Jika dia tidak berzakat karena sifat bakhil dan malas, namun tetap meyakini kewajiban syariat zakat, maka zakatnya diambil secara paksa dan dia diberi pelajaran.

- Jika dia tidak mau berzakat dan siap berperang karenanya, dia tergolong murtad, karena kesiapan berperang untuk mempertahankan sikapnya tersebut merupakan bukti penentangannya terhadap syariat zakat. Inilah kondisi (sebagian) orang-orang murtad (di masa kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu). Mereka tidak mau berzakat dan siap berperang karenanya. Kalaulah mereka tidak mau berzakat dan tidak siap berperang karenanya, niscaya para sahabat akan mencukupkan dengan mengambil (paksa) zakat dari mereka, memberi pelajaran kepada mereka, dan tidak memerangi mereka. Namun, ketika mereka tidak mau berzakat dan bersiap untuk berperang karenanya, ini adalah bukti penentangan mereka terhadap syariat zakat. (Lihat Syarh Risalah Kitab al-Iman Abi Ubaid Qasim bin Sallam karya asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah ar-Rajhi, 1/43)

Para pembaca yang mulia, demikianlah secercah cahaya dari kehidupan Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, yang penuh ilmu dan iman, khususnya ketika menghadapi berbagai fitnah dan gejolak besar yang terjadi di tengah-tengah umat. Semoga kita dapat mendulang mutiara hikmah darinya.

Amin Ya Rabbal Alamin.

Catatan Kaki:
1 Sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, terlahir dengan nama Abdullah bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi at-Taimi. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, pada Murrah bin Ka’b. Sahabat Nabi n yang mulia ini akrab dipanggil dengan ‘Atiq (sebuah julukan beliau). Sebabnya ada beberapa versi. Menurut al-Imam al-Laits bin Sa’d, al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Imam Yahya bin Ma’in, dan yang lainnya, karena ketampanan wajah beliau. Adapun menurut al-Imam al-Fadhl bin Dukain, karena bersegeranya beliau dalam kebaikan. Menurut al-Imam Mush’ab bin az-Zubair, karena bersihnya nasab beliau dari keburukan. Menurut riwayat Ummul Mukminin Aisyah radiallohu anha, karena beliau terbebas dari azab api neraka.

Abu Bakr adalah kunyah beliau, sedangkan ash-Shiddiq adalah gelar kehormatan yang Allah subhaanahu wata’aala, sematkan untuk beliau melalui lisan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Sebabnya adalah beliau bersegera membenarkan segala yang datang dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, senantiasa jujur dalam keimanannya, dan tidak pernah muncul dari beliau kejelekan dalam semua kondisi. (Lihat Tarikh al-Khulafa’ karya al-Imam as-Suyuthi, hlm. 31—33 dan Tahdzib al-Asma’ wal Lughat karya al-Imam an-Nawawi, 2/181)
2 Menurut al-Qadhi ‘Iyadh dan yang sependapat dengannya, terbunuhnya al-Aswad al-‘Ansi terjadi sesaat menjelang wafatnya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. (Lihat Fathul Bari, 12/292)
3 Dinukil dari Fathul Bari, 12/289.
4 Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang tidak menunaikan zakat. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Fathul Bari, 3/318)

(Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc)


Bacaan Qur’an-mu jangan Mengganggu Orang Lain

Bacaan Qur’an-mu jangan Mengganggu Orang Lain
oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-


Ini adalah sebuah fenomena yang sering terjadi di sebagian masjid-masjid, adanya sebagian pengurus masjid yang memutar kaset ngaji alias kaset murottal atau sholawatan, sehingga mengganggu orang lain yang sedang sholat atau membaca Al-Qur’an atau orang yang sedang berdzikir. Ada lagi di sebagian tempat yang membaca Al-Qur’an melalui lisannya dengan suara keras, sedang orang-orang yang ada di sampingnya dari kalangan orang-orang yang sedang sholat, berdzikir, atau majelis taklim yang sedang berlangsung. Mereka semua merasa terganggu. sementara yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras tadi santai saja dan tak merasa bersalah dengan sikapnya itu.

Para pembaca yang budiman, fenomena yang seperti ini amat perlu kita kaji hukumnya agar kita semua tahu. Karenanya, kali ini kami turunkan materi dan artikel ringkas berupa fatwa dari sebagian ulama kita.

Seorang penanya pernah berkata kepada Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahullah-,
ما حكم قراءة القرآن في المسجد بصوت مرتفع مما يسبب التشويش على المصلين؟
“Apa hukum membaca Al-Qur’an di masjid dengan suara yang tinggi sehingga menyebabkan gangguan bagi orang-orang yang sedang sholat?”

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahullah- menjawab,
حكم قراءة الرجل في المسجد في الحال التي يشوش بها على غيره من المصلين، أو الدارسين، أو قارئ القرآن، حكم ذلك حرام، لوقوعه فيما نهى عنه النبي صلى الله عليه وسلم، فقد روى مالك في الموطأ عن البياضي (هو فروة بن عمرو) أن النبي صلى الله عليه وسلم خرج على الناس وهم يصلون وقد علت أصواتهم بالقراءة، فقال: “إن المصلي يناجي ربه فلينظر بما يناجيه به، ولا يجهر بعضكم على بعض بالقرآن” . وروى نحوه أبو داود من حديث أبي سعيد الخدري -رضي الله عنه- .
“Hukum seseorang membaca Al-Qur’an di masjid dengan kondisi yang memberikan gangguan dengannya bagi yang lain dari orang-orang yang sedang sholat atau mengajar, atau membaca Al-Qur’an; hukum perkara itu adalah haram, karena terjerumusnya ia ke dalam sesuatu yang dilarang oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Sungguh Malik telah meriwayatkan (sebuah hadits) di dalam Al-Muwaththo’ dari Al-Bayadhiy (yaitu, Farwah bin Amer) bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah keluar menemui manusia, sedang mereka melaksanakan sholat. Sementara suara mereka tinggi (keras) dalam membaca Al-Qur’an. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya orang yang sedang sholat bermunajat (berbincang secara lirih) dengan Robb-nya. Karenanya, hendaklah ia memperhatikan dengan apa ia munajati Robb-nya dan janganlah sebagian orang diantara kalian mengeraskan suaranya atas yang lain dalam membaca Al-Qur’an”.[1]
Hadits ini diriwayatkan semisalnya oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id Al-Khudri -radhiyallahu anhu-”[2]

[Sumber Fatwa: Majmu' Fatawa wa Rosa'il Asy-Syaikh Al-Utsaimin (13/13/no. 364)]


Fatwa yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahullah- sejalan dengan penjelasan Al-Imam Abul Walid Al-Bajiy -rahimahullah-.

Abul Walid Al-Bajiy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan alasan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang untuk mengangkat suara saat membaca Al-Qur’an dalam sholat sunnah, sedang saudaranya juga sholat sunnah,
“Karena, di dalam hal itu terdapat gangguan kepada yang lain dan halangan untuk menghadap kepada sholat, konsentrasinya hati kepada sholat, dan perhatian seseorang terhadap sesuatu yang ia ucapkan kepada Robb-nya berupa bacaan Al-Qur’an. Jika mengangkat suara dalam membaca Al-Qur’an adalah terlarang ketika itu (yakni, dalam kondisi sholat), karena mengganggu orang-orang yang sholat, nah kalau dilarang mengangkat suara saat berbicara dan lainnya, maka tentunya lebih utama (untuk dilarang) berdasarkan sesuatu yang telah kami sebutkan; juga karena di dalam perbuatan itu terdapat perendahan terhadap masjid-masjid, serta tidak menghormatinya, tidak membersihkannya sebagaimana wajibnya, dan tidak menfokuskannya untuk tujuan masjid itu dibangun, yakni mengingat Allah -Ta’ala-”. [Lihat Al-Muntaqo Syarh Al-Muwaththo' (1/185)]
  • Kesimpulan
  1. Membaca Al-Qur’an dengan suara keras sehingga mengganggu orang lain yang sedang sholat atau bermajelis ilmu adalah terlarang.
  2. Niat yang baik tidaklah cukup dalam membenarkan suatu perkara yang keliru. Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang seseorang membaca Al-Qur’an jika mengganggu yang lain, walaupun si pembaca niatnya baik.
  3. Jika suara bacaan Al-Qur’an saja terlarang jika mengganggu orang lain, maka tentunya suara-suara lain yang mubah lebih terlarang lagi jika menimbulkan gangguan. Terlebih lagi jika suara itu haram, misalnya suara musik.[3]
  4. Hendaknya seseorang melirihkan suara dalam berdoa. Demikian pula saat membaca Al-Qur’an jika takut bacaannya mengganggu orang lain.


[1] HR. Malik dalam Al-Muwaththo’ (no. 177), dan Ahmad dalam Al-Musnad (4/344). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no. 856).
[2] HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/94), dan Abu Dawud dalam As-Sunan (no. 1332). Syaikh Al-Albaniy menilainya sebagai hadits shohih dalam Ash-Shohihah (1597) & (1603).
[3] Jika anda ingin mengetahui dalil-dalil tentang haramnya musik, silakan baca artikel kami dalam website ini dengan judul “Saatnya Mati’in Musik Lho” dan “Beginikah Cara Menyambut Metallica?”.

sumber : http://pesantren-alihsan.com/