Tampilkan postingan dengan label Shalat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shalat. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 Agustus 2013

Ajari Anakmu Jangan Ribut Di Masjid

oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]

Sebuah fenomena yang kurang sedap dipandang, adanya orang-orang tua yang membawa anaknya ke masjid, tanpa mengajari mereka sebelumnya tentang adab-adab di masjid, misalnya harus tenang dan tak boleh ribut atau tak boleh lari-lari di dalam masjid. Adab-adab ini banyak dilalaikan oleh orang tua dan pendidik saat membawa anak-anak kecil mereka ke masjid-masjid kaum muslimin. Akibatnya, hamba-hamba Allah yang sibuk beribadah disana akhirnya terganggu dengan berbagai ulah mereka yang masih lugu dan tak tahu hal. Terlebih lagi sebagian orang tua dan pendidik tak mau tahu dan pusing. Yang penting menurutnya, anak-anak dibawa ke masjid tujuannya untuk membiasakan mereka masuk masjid dan mengenal tata cara kaum muslimin mengerjakan sholat.

Tujuan seperti ini sebenarnya bagus sekali. Hanya saja, tujuan yang baik tidaklah membuat kita membiarkan mereka ke masjid tanpa diajari dan dibekali dengan adab-adab mulia saat masuk masjid.

Perkara ini pernah dikeluhkan oleh seseorang kepada para ulama kita yang tergabung dalam Lembaga Fatwa di Timur Tengah yang dikenal dengan “Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’”, dengan mengajukan pertanyaan berikut:
س 1: في قريتنا رجل يأتي بأبنائه الصغار الذين لم يبلغوا سن السابعة إلى المسجد، وقد يحدث منهم بعض التشويش على المصلين، ويذهب على المصلين الخشوع في صلاتهم، وعندما نصح من بعض الإخوة بألا يأتي بأبنائه قال إنه في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم كانوا يأتون بأبنائهم إلى المسجد، فالرسول عندما يسمع بكاء الأطفال لا يطول في الصلاة ما حكم ذلك؟ نرجو التوضيح.
“Di kampung kami, ada seseorang yang membawa anak-anak kecilnya yang belum mencapai usia tujuh tahun. Terkadang muncul dari mereka sebagian gangguan bagi oang-orang yang sedang mengerjakan sholat dan hilanglah bagi mereka rasa khusyu’ dalam sholatnya. Ketika ia dinasihati oleh sebagian teman-teman agar ia tak membawa anak-anaknya ke masjid, maka orang itu berkata, “Sesungguhnya di zaman Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dulu, mereka membawa anak-anaknya ke masjid, sedang Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- saat mendengarkan suara tangisan, beliau tidaklah memanjangkan sholatnya dalam sholat”. Apakah hukum hal itu (yakni, membawa anak-anak yang ribut di masjid, –pen.). Mohon penjelasannya”.

Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’ yang saat itu diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah- dengan beranggotakan Syaikh Abdur Razzaq Afifi dan Abdullah bin Ghudayyan memberikan jawaban bersama,
ج 1: الواجب صيانة المساجد من عبث الأطفال وإزعاجهم؛ لأنها بنيت للعبادة، ومن أحضر أطفاله ليدربهم على الصلاة فيجب عليه الحرص عليهم، وتدريبهم أيضا على عدم العبث واللعب بالمساجد أو المصاحف الموجودة في المسجد.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
“Kewajiban kita adalah menjaga masjid-masjid dari senda gurau (bermain-main)nya anak-anak dan ributnya mereka. Karena, masjid-masjid itu dibangun untuk ibadah. Barangsiapa yang membawa anak-anak kecilnya untuk melatih mereka untuk sholat. Maka wajib baginya untuk memperhatikan mereka dan melatih mereka untuk tidak bersenda gurau dan main-main di masjid atau bermain-main dengan mush-haf (Al-Qur’an) yang ada di masjid.
Wa billahit tawfiq wa shollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shohbihi wa sallam”.
[Sumber Fatwa : kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa' (31/264/14313)]
Inilah tuntunan yang tepat bagi orang tua saat membawa anak-anaknya ke masjid. Jadi, boleh bagi mereka membawa anak-anak kecil, asal mereka bisa menjaga adab di masjid, yakni tidak ribut dan tidak mengganggu orang-orang yang fokus ibadah di masjid, entah mereka baca Al-Qur’an, sholat atau berdzikir.

Hal ini lebih diperhatikan lagi saat di Hari Jumat, saat khotib sudah menyampaikan nasihatnya. Demikian pula saat sholat sudah di-iqomat-i. Jadi, orang tua tak boleh bermasa bodoh dalam memperhatikan anaknya, sebab jika ia biarkan mereka ribut, maka yang berdosa adalah orang tua dan pendidiknya.

Para pembaca yang budiman, mengangkat suara alias ribut dan berisik di masjid merupakan perbuatan yang melanggar adab-adab yang diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya. Oleh karenanya, ketika Umar -radhiyallahu anhu- melihat ada dua orang yang ribut di dalam Masjid Nabawi, maka beliau memarahi mereka.

Sahabat As-Saa’ib bin Yazid -radhiyallahu anhu- menceritakan bahwa Umar bin Khoththob -radhiyallahu anhu- memerintahkannya untuk mendatangkan dua orang yang ada di masjid.
Umar berkata kepada keduanya, “Siapakah kalian, dan kalian berdua dari mana?” Keduanya menjawab, “Dari Tho’if”. Kemudian beliau berkata,
لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Andaikan engkau berdua termasuk penduduk Madinah, maka aku akan menginjak kalian. Engkau berdua telah meninggikan suara di Masjid Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 470)]

Andaikan Umar -radhiyallahu anhu- hidup di zaman kita, maka pasti beliau akan banyak memarahi orang-orang tua saat melihat anak-anak dengan bebasnya ribut, berlari dan mengganggu orang sholat dan beribadah!!![1]


[1] Tulisan ini usai diedit di Masjid Al-Ihsan, “Ponpes Al-Ihsan Gowa”, usai rapat pertama tahun ajaran baru, 11 Syawwal 1434 H. Semoga Allah -Azza wa Jalla- melancarkan tarbiyatul awlad yang diemban oleh para guru –atsabahumullah bi ahsani matsubah-.

Rabu, 05 Juni 2013

“Mendulang Pahala Dengan Shalat Berjamah“


وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orangorang yang rukuk.” (al Baqarah: 43)

Tafsir Ayat
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
“Dan dirikanlah shalat.”

Berasal dari kata ) قَامَ ( yang bermakna tetap dan kokoh. Jadi, yang dimaksud ) أَقَامَ ( adalah menetapkan dan mengokohkan. Dengan demikian, menegakkan shalat maknanya adalah menunaikannya dengan melakukan rukunrukunnya, sunnah-sunnahnya, dan tata caranya yang dilakukan pada waktunya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Menegakkan shalat adalah menyempurnakan rukuk dan sujud, bacaan, kekhusyukan, dan konsentrasi.”

Qatadah  rahimahullah berkata, “Makna menegakkan shalat adalah menjaga waktu-waktunya, wudhu, rukuk, dan sujudnya.”

Makna ini pula yang dipakai oleh Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala menulis surat kepada para pegawainya,
إِنَّ أَهَمَّ أَمْرِكُمْ عِنْدِي الصَّلاَةُ، فَمَنْ حَفِظَهَا وَحَافَظَ عَلَيْهَا حَفِظَ دِينَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا أَضْيَعُ
“Sesungguhnya urusan kalian yang terpenting bagiku adalah shalat. Barang siapa menjaga dan memeliharanya, berarti dia memelihara agamanya, dan siapa yang menelantarkannya, berarti dia lebih menelantarkan yang lainnya.” (Riwayat al-Imam Malik dalam al-Muwaththa’, no. 6, al-Baihaqi, 1/445) (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 1/253, Fathul Qadir, 1/114, Tafsir ath-Thabari, 1/248)

Adapun shalat secara bahasa bermakna doa. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, serta mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah: 103)

 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
 إذا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Jika salah seorang kalian diundang, hendaklah ia menjawabnya (memenuhi undangannya). Jika dia berpuasa, hendaklah ia mendoakannya, dan jika ia tidak berpuasa, hendaknya ia makan.” (HR. Muslim no. 1431)

Adapun secara istilah syariat, shalat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Para ulama berbeda pendapat tentang shalat yang dimaksud dalam ayat ini, apakah shalat wajib atau mencakup seluruh shalat, yang wajib dan yang sunnah. Pendapat kedua dikuatkan oleh al-Qurthubi rahimahullah. Beliau berkata setelah menyebutkan pendapat kedua, “Inilah pendapat yang benar karena lafadznya umum, dan orang yang bertakwa mengamalkan kedua jenis shalat tersebut.” (Tafsir al-Qurthubi, 1/261)

وَآتُوا
“Aatuu” berasal dari kata “aliitaa” ) الْإِيْتَاءُ (, maknanya memberikan dan menunaikan. Adapun “zakaah” berasal dari kata “zaka–yazku” ) زَكَا – يَزْكُو ( yang bermakna bertambah dan berkembang. Dinamakan zakat karena mengeluarkan zakat akan menyebabkan harta semakin berkah atau orang yang menunaikannya akan semakin bertambah pahala dan keutamaannya. Ada pula yang berkata bahwa zakat berasal dari “zaka” yang bermakna suci dan bersih. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (at-Taubah: 103)

Terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang zakat yang dimaksud dalam ayat ini:

1. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah zakat mal yang wajib. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud adalah zakat fithr. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Imam Malik rahimahullah.

Yang kuat dari dua pendapat di atas adalah pendapat pertama, dengan beberapa alasan:
• Perintah menunaikan zakat di sini digandengkan dengan perintah menegakkan shalat, yaitu shalat lima waktu.

• Zakat fithr biasanya dihubungkan dengan Ramadhan, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan ayat ini menyebutkan zakat secara mutlak. (lihat Tafsir al-Qurtubi, 2/24, Fathul Qadir, 1/178)

وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.”

Rukuk secara bahasa bermakna membungkuk. Setiap orang yang membungkuk kepada yang lain maka ia disebut melakukan rukuk kepada orang tersebut. Rukuk adalah salah satu perbuatan yang tidak boleh dilakukan kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, sebab hal itu termasuk jenis ibadah, seperti halnya sujud. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kalian, sujudlah kalian, sembahlah Rabb kalian, dan perbuatlah kebajikan supaya kalian mendapat kemenangan.” (al-Hajj: 77)

Ada beberapa faedah dikhususkannya penyebutan rukuk di dalam ayat ini:
1. Untuk membedakan antara shalat kaum muslimin dan shalat kaum Yahudi (yang menyimpang) yang tidak ada rukuk di dalamnya.
2. Untuk menjelaskan bahwa rukuk adalah salah satu rukun shalat yang tidak sah ibadah seseorang

kecuali dengan melakukan rukuk dan menyempurnakannya. Mengungkapkan sebuah ibadah dengan menyebut salah satu amalannya, menunjukkan wajibnya amalan yang disebutkan tersebut. Seperti halnya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji itu adalah wukuf di Arafah.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, ad-Daraquthni, al-Hakim, dan yang lainnya dari Abdurrahman bin Ya’mar radhiyallahu ‘anhu) (Lihat Fathul Qadir, asy-Syaukani; Taisir al-Karim ar-Rahman, al-Allamah as-Sa’di)

Adapun cara melakukan rukuk yang syar’i adalah membungkukkan tulang punggung, membentangkan punggung dan lehernya, serta membuka jari-jemari kedua tangannya sambil menggenggam kedua lututnya. Kemudian melakukannya dengan thuma’ninah dan membaca zikir zikir yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Silakan lihat hadits-hadits tentang sifat rukuk Nabi n dalam Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, karya al-Allamah al-Albani rahimahullah) Ayat di atas dijadikan dalil oleh para ulama tentang disyariatkannya shalat berjamaah. Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Banyak dari kalangan ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang wajibnya shalat berjamaah.”

 Terdapat perselisihan tentang hukum shalat berjamaah.

1. Pendapat pertama, tidak boleh ditegakkan shalat berjamaah kecuali jika imamnya seorang nabi atau shiddiq. Ibnu Abdil Bar  rahimahullah menyebutkan pendapat ini dalam kitabnya, at-Tamhid, dan beliau berkata bahwa ini pendapat bid’ah yang berasal dari kaum Khawarij yang menyelisihi jamaah kaum muslimin. (at-Tamhid, 14/140)

2. Shalat berjamaah adalah syarat sahnya shalat wajib, hukumnya fardhu ‘ain, dan tidak sah shalat seseorang jika ia mengerjakannya sendirian tanpa uzur. Pendapat ini dikuatkan oleh Dawud azh-Zhahiri dan Ibnu Hazm rahimahumallah.

3. Shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain, wajib bagi yang tidak mempunyai uzur, namun bukan syarat sahnya shalat. Jika seseorang mengerjakannya sendirian tanpa uzur, shalatnya sah, namun dia berdosa karena meninggalkan kewajibannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhuma. Ini juga merupakan pendapat Atha’, al-Auza’i, Abu Tsaur, Ahmad, dan sekelompok ulama dari mazhab Syafi’i, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Hibban rahimahumullah.

4. Shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Ini adalah pendapat al-Imam asy- Syafi’i  rahimahullah dan mayoritas pengikut mazhabnya, serta pendapat ulama mazhab Maliki dan Hanafi. An-Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat ini dalam al Majmu’.

5. Shalat berjamaah hukumnya sunnah mu’akkadah, tidak sepantasnya ditinggalkan tanpa uzur syar’i. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha Hijaz, Irak, dan Syam, serta dikuatkan oleh asy-Syaukani dan Ibnu Abdil Bar. (Lihat perbedaan pendapat ulama tentang masalah ini dalam at-Tamhid, 14/140; al-Majmu’ karya an-Nawawi, 4/160; al-Mughni, 2/3, Nailul Authar, asy- Syaukani, 3/151, dan yang lainnya)

Selain pendapat pertama, setiap pendapat yang disebutkan di atas memiliki hujah dan argumen yang kuat, namun yang tampak lebih kuat—wallahu a’lam— adalah pendapat yang ketiga, berdasarkan dalil-dalil berikut.

1. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَىٰ أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا

“Dan apabila kamu berada di tengah tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu dan menyandang senjata. Kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh). Hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjata dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (an-Nisa: 102)

Al-Allamah as-Sa’di  rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat ini, “Ayat ini menunjukkan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain, dari dua sisi:

a. Allah Subhanahu wata’ala memerintahkannya dalam kondisi sulit seperti ini, di waktu yang sangat dikhawatirkan akan kedatangan musuh dan serangan mereka. Jika Allah Subhanahu wata’ala mewajibkannya dalam kondisi sulit ini, tentu diwajibkannya shalat dalam kondisi tenang dan aman, lebih utama.

b. Orang yang mengerjakan shalat khauf meninggalkan banyak syarat dan kewajiban shalat, dan dimaafkan padanya kebanyakan perbuatan (gerakan) yang hakikatnya membatalkan shalat jika dikerjakan tidak dalam kondisi khauf (takut). Tentu tidaklah hal ini diperbolehkan kecuali untuk lebih menguatkan kewajiban berjamaah. Sebab, tidak bertentangan antara yang wajib dan yang mustahab, kalaulah tidak ada kewajiban berjamaah, tidak boleh ditinggalkan hal-hal yang wajib ini karenanya.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّ ةَالِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُ فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
“ Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan dikumpulkannya kayu bakar, kemudian aku perintahkan untuk ditegakkan shalat, lalu dikumandangkan azan untuknya. Lantas aku perintahkan seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku akan mendatangi beberapa orang dan membakar rumah-rumah mereka.” Dalam riwayat lain, “Yaitu mereka tidak menghadiri shalat, maka aku akan membakar mereka.” (Muttafaq ‘alaihi)

3. Dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa ada seorang buta datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki penuntun yang menuntun aku datang ke masjid.” Ia pun meminta keringanan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumahnya. Awalnya Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkannya. Tatkala dia hendak pulang, Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya kepadanya, “Apakah engkau mendengar panggilan untuk shalat (azan)?” Ia menjawab, “Ya.” Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Penuhilah (panggilan tersebut)!” (HR. Muslim no. 653)

4. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى  ، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً، وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

“Barang siapa yang senang bertemu Allah Subhanahu wata’ala kelak dalam keadaan muslim, hendaklah ia memelihara shalat-shalat ini dengan menunaikannya di tempat dipanggilnya, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk. Dan sesungguhnya shalat-shalat ini termasuk sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah rumah kalian sebagaimana orang yang tidak ke masjid ini shalat di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, berarti kalian telah tersesat. Tidaklah seorang lelaki bersuci dan menyempurnakan bersucinya, lalu dia berangkat ke sebuah masjid kecuali Allah Subhanahu wata’ala mencatat baginya setiap langkah yang ia langkahkan dengan satu kebaikan, mengangkat satu derajat baginya, dan menghapuskan darinya satu kesalahan. Sungguh kami melihat bahwa tidak ada yang meninggalkannya selain seorang munafik yang jelas kemunafikannya. Dahulu seseorang didatangkan untuk menghadiri jamaah, hingga dipapah oleh dua orang untuk didirikan di dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654)

Dalil-dalil ini zahirnya menunjukkan wajibnya menegakkan shalat jamaah di masjid. Wallahul muwaffiq.


Jumat, 08 Maret 2013

Hukum Sholat di Rumah Orang Kafir

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Pertanyaan: Kalau kita sedang berkunjung ke rumah orang kristen kebetulan saatnya sholat ashar bolehkah kita sholat di rumah orang tersebut?

Jawaban: Sholat di rumah orang kafir boleh dalam kondisi yang memang dibutuhkan dan tidak menimbulkan fitnah, seperti tidak menimbulkan persangkaan bahwa orang yang melakukan sholat di situ melakukan ibadah seperti ibadah orang kafir atau setuju dengan kesyirikannya. 

Berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
وَجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْه الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ
“Dan dijadikan untukku bumi ini sebagai masjid dan untuk bersuci, maka siapa saja umatku yang telah masuk waktu sholat hendaklah ia segera melakukan sholat.” [Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyaLlahu’anhu]

Dan sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam,
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِد إِلاَّ الْحَمَّامَ وَالْمَقْبُرَةَ
“Bumi ini seluruhnya adalah masjid kecuali WC dan pekuburan.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyaLlahu’anhu, Shahih Sunan Abi Daud: 507]

Demikian pula –sebagai tambahan faidah- tidak dibolehkan sholat di kandang atau tempat-tempat unta dan tempat yang tidak suci dari najis, dan hendaklah menghindari tempat sholat yang padanya terdapat perkara-perkara yang bisa menghilangkan khusyu’, seperti terdapat gambar-gambar, corak-corak dan semisalnya, kecuali dalam kondisi terpaksa seperti sempitnya waktu untuk mencari tempat sholat lain maka tidak mengapa insya Allah ta’ala. Lihat juga Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 6/270, no. 3262.

 وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
sumber : http://nasihatonline.wordpress.com/2013/03/07/hukum-sholat-di-rumah-orang-kafir/

Selasa, 12 Februari 2013

Shalat Jenazah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Keutamaan Shalat Jenazah
 
            Para pembaca rahimakumullah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita. Islam adalah agama yang sempurna. Di antara kesempurnaannya adalah melekatnya hak sesama muslim walaupun telah meninggal dunia. Hak itu adalah menyalatkan jenazahnya dan mengiringinya hingga di pemakaman. Lebih dari itu, pahala besar pun diraih karenanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ شَهِدَ الجَنَازَةَ – وَفِيْ رِوَايَةٍ مَنْ اتَّبَعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا – حَتَّى يُصَلِّيَ، فَلَهُ قِيْرَاطٌ، وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيْرَاطَانِ، قِيْلَ: وَمَا القِيْرَاطَانِ؟ قَالَ: مِثْلُ الجَبَلَيْنِ العَظِيْمَيْنِ
“Barangsiapa menghadiri jenazah - dalam riwayat lain: Barangsiapa mengiringi jenazah seorang muslim dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala – hingga menyalatkannya maka dia mendapatkan pahala satu qirath. Barangsiapa menghadirinya hingga dimakamkan maka dia mendapatkan pahala dua qirath.” Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab, “Seperti dua gunung besar.” (HR. al-Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Hadits di atas merupakan anjuran bagi yang mengiringi jenazah agar tidak terlewatkan dari menyalatkannya, karena padanya terdapat keutamaan yang besar, baik bagi si pengiring jenazah maupun bagi si mayit sendiri.

Ketika jamaah shalat jenazah itu berjumlah empat puluh orang yang tauhidnya tidak terkotori oleh noda kesyirikan, maka akan lebih bermanfaat bagi si mayit. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ، فَيَقُوْمُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُوْنَ رَجُلًا، لَا يُشْرِكُوْنَ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيْهِ
“Tidaklah seorang muslim yang meninggal dunia kemudian dishalatkan oleh empat puluh orang yang tidak pernah berbuat kesyirikan kepada Allah sedikitpun melainkan Allah akan memberikan izin bagi mereka untuk memberikan syafaat kepada si mayit.” (HR. Muslim no. 948)

Semakin banyak jumlah jamaah yang menyalatkan maka lebih utama dan lebih bermanfaat bagi si mayit. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ يَبْلُغُوْنَ مِائَةً، كُلُّهُمْ يَشْفَعُوْنَ لَهُ، إِلَّا شُفِّعُوْا فِيْهِ
“Tidaklah seorang mayit dishalatkan oleh sekelompok kaum muslimin yang mencapai jumlah seratus orang, semuanya memberikan syafaat kepadanya melainkan mereka akan diberi izin untuk memberikan syafaat kepadanya.” (HR. Muslim no. 947)


Hukum Shalat Jenazah

Hukum menyalatkan jenazah seorang muslim adalah fardhu kifayah. Artinya setiap jenazah seorang muslim memilki hak untuk dishalatkan oleh saudara muslim lainnya. Namun bila sudah ada yang mengerjakannya maka gugur kewajiban bagi yang lainnya.

Ada dua golongan yang dikecualikan dari hukum di atas. Kedua golongan tersebut tidak wajib dishalatkan, namun boleh juga (disyariatkan) untuk dishalatkan yaitu;
a. Anak kecil yang belum baligh
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalatkan putra beliau –Ibrahim-. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Ibrahim, putra Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia ketika berusia delapan belas bulan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyalatkannya.” (HR. Abu Dawud no. 3187, hadits hasan, lihat Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud)
Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَالطِّفْلُ-وَفِيْ رِوَايَةٍ: وَالسِّقْطُ – يُصَلَّى عَلَيْه، وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
“Anak kecil -dalam riwayat lain, janin- yang keguguran juga dishalatkan, kedua orang tuanya dimohonkan ampun dan rahmat.” (HR. Abu Dawud no. 3180, dan Ibnu Majah no. 1507 dari hadits al- Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Manakala janin itu usianya belum genap empat bulan, maka tidak dishalatkan, karena belum ditiupkan ruh padanya, sehingga tidak dikategorikan sebagai mayit atau jenazah. (Lihat Ahkamul Jana`iz hal. 81)

b. Mati syahid
Banyak para syuhada baik pada perang Uhud atau yang lainnya tidak dishalatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun di waktu lain, beliau juga menyalatkan sebagian para syuhada, di antaranya adalah paman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hamzah radhiyallahu ‘anhu yang mati syahid di perang Uhud. Tentunya menyalatkannya itu lebih utama karena shalat jenazah itu merupakan doa untuk si mayit sekaligus sebagai tambahan ibadah bagi yang mengerjakannya.

Adapun golongan orang-orang di bawah ini maka berlaku syariat shalat jenazah untuk mereka (fardhu kifayah):
a. Orang yang meninggal dunia karena menjalani hukuman pidana mati (had) seperti rajam atau qishash.
Seorang wanita dari Juhainah menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta dihukum rajam karena terjatuh dalam perbuatan zina, akhirnya dia pun dirajam. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkan jenazahnya.
Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya, “Wahai Nabi, apakah Anda menyalatkannya sedang dia telah berbuat zina?”
Jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah tentu akan mencukupi mereka. Apakah engkau pernah menemukan taubat yang lebih utama daripada seorang wanita yang menyerahkan jiwanya kepada Allah?” (HR. Muslim no. 1696)

b. Pelaku maksiat yang tenggelam dalam berbagai kemaksiatan.
Orang semacam ini tetap dishalatkan, hanya saja para tokoh agama (alim ulama) tidak menyalatkannya sebagai bentuk hukuman dan pemberian pelajaran kepada orang-orang yang setipe dengannya. Sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

c. Orang yang meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

d. Seseorang yang dimakamkan sebelum dishalatkan atau sudah dishalatkan oleh sebagian orang sedangkan sebagian yang lain belum menyalatkannya. Maka boleh bagi mereka untuk menyalatkannya di kuburan.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah mengisahkan, ada jenazah dimakamkan pada malam hari. Keesokan harinya orang-orang baru memberitahukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa yang menghalangi kalian untuk memberitahuku?” Mereka menjawab, “Meninggalnya tadi malam, sedangkan suasana ketika itu sangat gelap. Kami tidak ingin menyusahkan Anda.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun lantas mendatangi kuburannya dan menyalatkannya. (HR. al-Bukhari no. 1247)

e. Seseorang yang meninggal dunia di sebuah negeri dan tidak ada seorang pun yang menyalatkannya di depan jenazah.
Maka jenazah seperti ini dishalatkan oleh sekelompok kaum muslimin dengan shalat ghaib walaupun di negeri yang lain. Hal ini berdasarkan shalat ghaib yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk an-Najasyi, raja negeri Habasyah. Oleh karena itu bukan bagian dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalatkan setiap jenazah dengan shalat ghaib. (Zadul Ma’ad 1/205-206)

Di antara dasar yang menguatkan pendapat bahwa shalat ghaib tidak disyariatkan untuk setiap jenazah yang berada di tempat yang jauh adalah ketika para Khulafa’ur Rasyidin dan selain mereka meninggal dunia, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang berada di tempat yang jauh menyalatkannya dengan shalat ghaib. Jika memang mereka melakukannya tentu akan didapati banyak penukilan tentang hal ini dari mereka.


Bagaimana Hukum Menyalatkan Jenazah Orang Kafir?

Diharamkan menyalatkan dan memohon ampun maupun rahmat bagi orang-orang yang meninggal dunia dalam keadaan kafir.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Aku mendengar seseorang memohon ampun untuk kedua orang tuanya yang masih musyrik. Maka aku bertanya kepadanya, “Apakah engkau memintakan ampun untuk kedua orang tuamu sedang keduanya masih musyrik?” Jawab orang itu, “Bukankah Nabi Ibrahim q juga memintakan ampun untuk ayah beliau yang masih musyrik?” Kemudian aku memberitahukan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka turunlah ayat,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (113) وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ(114)
“Tidak sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (At-Taubah: 113-114)

Di dalam al-Majmu’ (5/144, 258) al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Menyalatkan jenazah orang kafir dan memohon ampun untuknya, hukumnya haram berdasarkan Al-Qur`an dan ijma’ (kesepakatan ulama).”

            Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Arif hafizhahullahu ta’ala



Pertanyaan: Maaf ustadz, mau tanya. Kalau wanita yang baru ditinggal wafat suaminya yang tidak boleh dilakukan apa saja?
0857430xxxxx
Jawab: Wanita yang berada dalam masa iddah karena suaminya meninggal ada beberapa ketentuan yaitu:
1.   Tetap tinggal di rumah suami yang dia tinggal bersamanya selagi memungkinkan kecuali jika ada udzur yang syar’i.
2.   Tidak boleh keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang darurat atau sangat mendesak.
3.   Hindari mengenakan pakaian yang indah.
4.   Tidak boleh menggunakan parfum.
5.   Hindari mengenakan perhiasan emas atau yang lainnya.
6.   Hindari dari memakai celak. (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah no. 19756)
***
Pertanyaan: Bolehkah wanita yang dalam keadaan haid (menstruasi) memandikan jenazah dan mengafaninya?
081313581xxxxx
Jawab: Boleh bagi wanita yang dalam keadaan haid (menstruasi) memandikan jenazah wanita dan mengafaninya dan boleh pula bagi wanita memandikan jenazah dari kalangan laki-laki hanya suaminya saja (adapun selain suaminya dari kalangan laki-laki tidak boleh bagi wanita memandikannya). Jadi haid bukan penghalang untuk memandikan jenazah sesama wanita atau suaminya.  (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah no. 6193)

sumber : http://www.buletin-alilmu.com/2013/01/16/shalat-jenazah-1/

Lanjutan ....
Para pembaca rahimakumullah, pada edisi sebelumnya telah dibahas beberapa hal yang terkait dengan shalat jenazah. Adapun pada edisi ini, akan kami sajikan tata cara shalat jenazah sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan harapan, kita bisa mengamalkannya setelah mempelajarinya.


Tata cara yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Menyusun shaf berjumlah tiga atau lebih. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Hubairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّيْ عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، إِلَّا أَوْجَبَ -وَفِيْ رِوَايَةٍ- إِلَّا غُفِرَ لَهُ
“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia kemudian (jenazahnya) dishalatkan oleh tiga shaf dari kaum muslimin melainkan pasti (dimasukkan surga) -dalam riwayat lain- akan diampuni dosanya.” (HR. Abu Dawud 2/63, at-Tirmidzi 19/258, dan Ibnu Majah 1/454)

Jaminan ini berlaku jika yang menyalatkan dan yang dishalatkan adalah orang yang tidak menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala (tidak berbuat syirik), sebagaimana telah dijelaskan pada edisi yang sebelumnya.

Hadits di atas diperkuat dengan hadits lain dari sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengisahkan bahwa dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama 7 sahabat menyalatkan jenazah, beliau mengaturnya menjadi 3 shaf dengan formasi 3, 2, 2. (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir 7785, lihat Ahkamul Jana`iz hal. 127)

2. Jika tidak ada yang bersama imam kecuali hanya satu makmum saja, maka ia tidak berdiri di samping imam sebagaimana dalam shalat-shalat yang lain, akan tetapi ia berdiri di belakang imam. (HR. al-Hakim 1/365, dari sahabat Abdullah bin Abi Thalhah radhiyallahu ‘anhu)

3. Jika terkumpul banyak jenazah baik laki-laki maupun wanita, maka jenazah-jenazah itu dishalatkan dengan satu kali shalat. Kemudian jenazah laki-laki –sekalipun masih kecil- diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan imam. Sedangkan jenazah wanita pada posisi paling dekat dengan kiblat. Hal ini berdasarkan banyak riwayat di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar h (HR. an-Nasa`i 1/280 dan al-Baihaqi 4/33). Diperbolehkan juga untuk menyalatkan setiap jenazah dengan satu shalat sebagaimana hukum asalnya.

4. Diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah di dalam masjid. (HR. Muslim 3/63 dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Namun lebih utama di luar masjid, di sebuah tempat yang memang dipersiapkan untuk menyalatkan jenazah, berdasarkan pelaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Fath, “Sesungguhnya tanah lapang yang biasa digunakan untuk menyalatkan jenazah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terletak berdempetan dengan masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari arah timur.”

5. Tidak diperbolehkan menyalatkan jenazah di antara kubur-kubur sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyalatkan jenazah di antara kubur-kubur.”(HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath 1/80/2)

6. Posisi imam berdiri sejajar dengan kepala jenazah laki-laki dan jika jenazahnya wanita, maka posisi imam sejajar dengan bagian tengah jenazah. (HR. Abu Dawud (2/66-67), dan at-Tirmidzi (2/146), dari sahabat Abu Ghalib al-Khayyath radhiyallahu ‘anhu).

7. Shalat jenazah dilaksanakan dengan 4 kali takbir berdasarkan penuturan sahabat Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu:
السُّنَّةُ فِيْ الصَّلَاةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يَقْرَأَ فِيْ التَّكْبِيْرَةِ الْأُوْلَى بِأُمِّ الْقُرْآنِ مُخَافَتَةً، ثُمَّ يُكَبِّرَ ثَلَاثًا، وَالتَّسْلِيْمُ عِنْدَ الْآخِرَةِ
“As-Sunnah (petunjuk Nabi) dalam shalat jenazah adalah membaca al-Fatihah pada takbir pertama dengan suara lirih, kemudian bertakbir tiga kali, dan mengucapkan salam pada takbir yang terakhir.” (HR. an-Nasa’i 1/281)

8. Berniat di dalam hati kemudian bertakbir dengan takbir yang pertama sambil mengangkat kedua tangan.
Disyariatkan untuk mengangkat tangan pada takbir yang pertama (HR. at-Tirmidzi 2/165 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu). Adapun pada takbir kedua dan seterusnya tidak diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya. Hanya saja dinukil dari perbuatan sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir (Sunan al-Baihaqi 4/44).

9. Kemudian bersedekap, yaitu dengan meletakkan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan atau lengan bawah, kemudian diletakkan di atas dada, berdasarkan beberapa riwayat yang saling menguatkan. (Lihat Ahkamul Jana`iz 149)

10. Setelah melakukan takbir yang pertama, membaca surah Al-Fatihah. (HR. al-Bukhari 385 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma). Dalam riwayat an-Nasa`i (1/281) ada tambahan membaca surah lain, oleh karena itu sebagian ulama berpendapat disyariatkan membaca surah lain setelah Al-Fatihah. (Ahkamul Jana`iz 151).

11. Membaca surah Al-Fatihah dengan tidak dikeraskan (lirih) berdasarkan hadits Abu Umamah bin Sahl radhiyallahu ‘anhu sebelumnya.

12. Kemudian mengucapkan takbir kedua dan membaca shalawat (HR. asy-Syafi’i dalam al-Umm 1/339-240 dan al-Baihaqi 4/39 dari hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu). Karena tidak ada riwayat khusus bacaan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada shalat jenazah, maka membaca shalawat seperti pada shalawat ketika tasyahud pada shalat fardhu.

13. Kemudian ia melanjutkan dengan mengucapkan takbir-takbir berikutnya dengan membaca doa khusus untuk si mayit dengan ikhlas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاءَ
“Jika kalian menyalatkan jenazah maka hendaknya kalian mengikhlaskan doa untuknya.” (HR. Abu Dawud (2/68), Ibnu Majah (1/456), dan al-Irwa` (732)

14. Membaca doa-doa yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Doa-doa tersebut di antaranya adalah:
a. Hadits Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ مِنْ عَذَابِ النَّارِ
“Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia, selamatkanlah dia, maafkanlah dia, muliakanlah tempatnya, luaskan dan lapangkanlah tempat masuknya, basuhlah dia dengan air dan es serta embun, bersihkanlah dia dari berbagai dosa dan kesalahan sebagaimana Engkau membersihkan pakaian putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), keluarga yang lebih baik, istri yang lebih baik, masukkanlah dia ke dalam surga dan lindungilah dia dari adzab kubur dan adzab neraka.” (HR. Muslim 3/59-60, lihat maknanya dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikram 1/568).

Jika jenazah itu wanita maka doanya dengan lafazh:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا…
        Dengan mengganti dhamir mudzakkar (هُ) dengan dhamir mu’annats (هَا). Lihat al-Mulakhkhash al-Fiqhi 1/212

b. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا، وَصَغِيْرِنَا وَكَبِيْرِنَا، وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا، اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِسْلَامِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِيْمَانِ، اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ، وَلَا تُضِلَّنَا بَعْدَهُ
“Ya Allah, berilah ampunan bagi orang yang masih hidup dan yang sudah mati di antara kami, orang yang hadir dan orang yang tidak hadir, yang kecil dan yang besar, yang laki-laki maupun yang wanita. Ya Allah, siapa saja yang Engkau hidupkan dari kami maka hidupkanlah di atas Islam dan siapa saja yang Engkau matikan dari kami maka matikanlah di atas keimanan. Ya Allah, janganlah engkau halangi pahalanya dari kami dan janganlah Engkau sesatkan kami sepeninggalnya.” (HR. Ibnu Majah (1/456), al-Baihaqi (4/41) dan selainnya)

c. Jika jenazahnya adalah seorang anak kecil, maka disunnahkan untuk berdoa dengan doa berikut ini:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ لَنَا سَلَفًا وَفَرَطًا وَأَجْرًا
“Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pendahulu dan pahala bagi kami.” (Lihat Nailul Authar 4/79)
15. Kemudian mengucapkan takbir yang keempat. Disyariatkan pula membaca doa setelah takbir terakhir ini sebelum mengucapkan salam. Berdasarkan hadits Abu Ya’fur dari ‘Abdullah bin Abu Aufa. (HR. al-Baihaqi 4/35 dengan sanad shahih)

Akan tetapi jika mencukupkan dengan doa sebelumnya (setelah takbir ketiga) maka tidak mengapa, insya Allah.

16. Setelah itu, ia mengucapkan salam sebanyak dua kali seperti salam pada shalat wajib. Yaitu, yang pertama ke arah kanan dan yang kedua ke arah kiri. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ia menyatakan, “Tiga hal yang dahulu selalu dikerjakan oleh Rasulullah namun ditinggalkan oleh orang-orang. Di antaranya adalah ucapan salam pada shalat jenazah seperti ucapan salam pada shalat.” (HR. al-Baihaqi 4/43 dengan sanad shahih, sebagaimana perkataan al-Imam an-Nawawi rahimahullah).

Sebuah hadits shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim dan selainnya dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengucapkan dua salam dalam shalat. Hadits yang kedua ini menjelaskan makna dan maksud pada hadits pertama, yaitu bahwa lafazh “seperti salam pada shalat” bermakna salam sebanyak dua kali.

Diperbolehkan juga mencukupkan dengan salam yang pertama saja (satu salam ke sebelah kanan), hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyalatkan jenazah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir sebanyak empat kali dan salam hanya sekali. (HR. ad-Daruquthni (191), al-Hakim (1/360) dan al-Baihaqi (4/43)

        Wallahu a’lam bish shawab.
Penulis: Ustadz Arif hafizhahullaahu ta’ala

Pertanyaan: Assalamualaikum… Maaf ustadz, saya mau bertanya. Ada orang kafir mengucapkan Assalamu’alaikum.. Apakah seorang muslim harus menjawabnya?
Jawab:
            Wa’alaikumus salamu wa rahmatullahi wa barakatuh..
Apabila ada orang kafir dari kalangan ahlul kitab (orang-orang Yahudi atau Nasrani) mengucapkan salam (Assalamu’alaikum) maka seorang muslim yang diberi salam hendaknya menjawab dengan mengucapkan “Wa’alaikum.” Hal ini berdasarkan bimbingan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُوْلُوْا وَعَلَيْكُمْ
“Apabila orang ahlu kitab (orang-orang Yahudi atau Nasrani) mengucapkan salam kepada kalian maka jawablah “Wa’alaikum.” (Muttafaqun ‘alaih)
Akan tetapi tidak boleh menjawab salam apabila yang mengucapkannya adalah orang-orang kafir selain Ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) karena mereka tidak termasuk yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dijawab salamnya. (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daimah no. 2958)

http://www.buletin-alilmu.com/2013/01/16/shalat-jenazah-2/

Senin, 10 Desember 2012

Apakah Sah Shalat Wanita dengan Memakai Niqab dan Kaos Tangan?

Oleh: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin ditanya:

Apakah wanita boleh melakukan shalat dalam keadaan memakai kaos tangan tanpa ada laki-laki yang bukan mahramnya hadir di sisinya?

Maka beliau menjawab: Kaos tangan adalah pakaian tangan dan wanita haram memakainya ketika ihram, karena Nabi -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لا تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلا تَلْبَسُ الْقَفَازِيْنَ

“Wanita yang ihram tidak memakai niqab (tutup muka) dan tidak memakai kaos tangan.”

Maka wanita diharamkan memakai kaos tangan ini ketika dalam ihram. Tetapi ketika ia tidak ihram atau shalat dan di sekitarnya tidak ada laki-laki yang bukan mahramnya maka yang lebih utama dia melepaskannya dari tangannya supaya dia dapat menyentuhkan langsung kedua tangannya di tempat shalat.

Sepantasnya pula ketika di sekitarnya adalah laki-laki agar dia menutup wajahnya dari mereka, lalu ketika dia sujud hendaknya membuka wajahnya karena seseorang sujud di atas sesuatu yang bersambung dengan dirinya seperti pakaian dan kerudung wanita dimakruhkan kecuali karena ada hajat. Dalilnya adalah perkataan Anas bin Malik -radhiyallâhu ‘anhu-:

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شِدَّةِ الْحَرِّ، فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمْكِنَ جَبْهَتُهُ مِنَ الأَرْضِ بَسَطَ ثَوْبَهُ فَسَجَدَ عَلَيْهِ

“Kami shalat bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi sangat panas. Jika salah seorang dari kami tidak mampu menempelkan dahinya di atas tanah, maka ia membentangkan pakaiannya lalu sujud di atasnya.”

Perkataan: “Jika salah seorang dari kami tidak mampu menempelkan dahinya di atas tanah”, menunjukkan bahwa hal ini tidak dilakukan kecuali darurat.

http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/fiqh-ibadah/shalat-wanita-dengan-memakai-niqab-dan-kaos-tangan/

Salah menghadap kiblat ketika shalat??

Oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani


Pertanyaan: Bila seseorang shalat tidak menghadap kiblat secara tidak sengaja apakah dia harus mengulang shalatnya ketika dia tahu bahwa arah shalatnya salah, sementara waktu shalat masih ada?


Jawaban : Ia tidak usah mengulang shalatnya. Dalilnya adalah bahwa sebagian shahabat pernah shalat dengan menghadap ke arah yang tidak sama, karena keadaan mendung (di malam hari –red), pada keesokan harinya mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihis Salam namun beliau tidak menyuruh mereka untuk mengulang shalat.


Sumber : majmu’ah fatawa al madina al munawwarah. Terb. Markaz khidma at thalib jami’ah islamiyah

Senin, 03 Desember 2012

Sholat di atas Pesawat dan Jarak Safar

Pertanyaan :
Bagaimana cara sholat di atas pesawat ? Berapa jarak safar yang dengannya dibolehkan meng-qashar sholat dan meninggalkan puasa ?

Jawab :
Al-Imam Al-Albani rahimahullah menjawab,
“Safar itu dimulai dari keluarnya seseorang dari negeri/daerahnya, terhitung dari batas daerahnya. Tentang sholat di atas pesawat, orang yang biasa naik pesawat di zaman sekarang ini akan menyaksikan bahwa pesawat memiliki kelebihan dari sisi kenyamanan di mana penumpangnya tidak merasa sedang terbang diantara langit dan bumi.

Beda halnya dengan kapal laut, dimana terkadang memberikan goncangan kepada penumpangnya, lebih besar daripada goncangan pesawat. Karena itu orang yang mengendarai pesawat, bila memang pesawatnya besar, luas dan lapang, ia akan mendapati tempat kosong yang disitu ia bisa berdiri dan duduk saat mengerjakan sholat.


Inilah yang wajib berdasarkan kaidah yang telah lewat penyebutannya : “Bertaqwalah kalian kepada Alloh semampu kalian.”

Termasuk kewajiban yang harus diperhatikan oleh orang yang ingin sholat di atas pesawat adalah memerhatikan pada awal sholatnya dimana arah kiblat, bila memang memungkinkan untuk mengetahuinya, kemudian ia sholat menghadap kiblat tsb. Setelah itu tidak menjadi masalah pesawatnya menghadap ke mana saja, mengarah ke kiri atau kanan. Ia tetap melanjutkan sholatnya sesuai dengan arah awal ia menghadap (walaupun ternyata tidak lagi menghadap kiblat karena arah pesawat telah berubah, pent).


Yang penting, ada dua perkara yang harus diperhatikan oleh penumpang pesawat, penumpang kapal atau penunggang hewan.

Pertama : Bila mampu untuk berdiri dan duduk dalam sholat, hendaklah ia melakukannya. Bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya seperti orang yang mengendarai mobil, hendaknya ia turun dan sholat sebagaimana biasanya.

Kedua : Ia memulai sholatnya diatas kendaraan yang ditumpanginya dengan menghadap kiblat, setelah itu tidak menjadi masalah bila mobil, pesawat atau kapal yang ditumpanginya, ataupun hewan (yang ditungganginya) itu bergerak sehingga arah kiblat berpindah. Kecuali bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya, maka ia sholat seperti biasanya.

Tentang safar, tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Alloh menyebutkan safar dalam Al Qur’an berkaitan dengan qashar sholat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan, Alloh menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menerapkan batasannya. Bisa kita lihat hal ini dalam firman-Nya :
“Apabila kalian melakukan perjalanan di muka bumi (safar) maka tidak ada dosa atas kalian untuk kalian meng-qashar sholat.” QS. An-Nisaa’ ; 101

Lafadz diatas merupakan ungkapan dari safar, dimana Alloh menyebutkannya secara mutlak (tanpa pembahasan ini dan itu…pent)

Demikian pula dalam firman-Nya :
“Siapa diantara kalian yang sakit atau dalam keadaan safar, maka (ia boleh meninggalkan puasa) dengan menggantinya pada hari-hari yang lain.” QS. Al-Baqarah ; 184

Dengan demikian yang benar dari pendapat yang ada dari kalangan ulama tentang pembatasan jarak safar adalah tidak ada batasannya. Setiap itu disebut safar, menurut kebiasaan (‘urf) dan menurut pengertian syar’i, berarti itulah safar, baik jaraknya jauh ataupun dekat. Perjalanan tsb safar menurut kebiasaan yang dikenali di tengah manusia. Dari sisi syar’i memang orang yang menempuhnya bertujuan untuk safar.
 Karena terkadang kita dapati ada orang yang menempuh jarak jauh bukan untuk safar, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
“Terkadang seseorang keluar dari negerinya untuk berburu. Lalu ia tidak mendapatkan buruannya hingga ia terus berjalan mencari-cari sampai akhirnya ia tiba di tempat yang sangat jauh. Ternyata di akhir pencariannya ia telah menempuh jarak yang panjang, ratusan kilometer. Kita menganggap orang ini bukanlah musafir, padahal bila orang yang keluar berniat safar dengan jarak yang kurang daripada yang telah ditempuhnya telah teranggap musafir. Tapi pemburu ini keluar dari negerinya bukan bertujuan safar sehingga ia bukanlah musafir. Berarti yang namanya safar harus menuruti ‘urf (adat masyarakat) dan sesuai pengertian syar’i.” 

[Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal.227]

Sabtu, 01 Desember 2012

(BAGUS) BACAAN “DO’A QUNUT ” DAN ARTINYA DALAM BAHASA INDONESIA | HUKUM MEMBACA “QUNUT SHOLAT SHUBUH”

Doa qunut witir yang terkenal adalah yang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam ajarkan kepada al Hasan bin Ali Radhiyallaahu ‘anhuma. Tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan do’a qunut tersebut untuk selain shalat witir. Tidak terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam berqunut dengan membaca do’a tersebut baik pada shalat shubuh  ataupun shalat yang lain.Wallaahu ‘alam.

Bacaan Do’a Qunut adalah sebagai berikut:
للَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Allahummahdinii fii man hadaiit, wa aafinii fii man aafaiit, wa tawallanii fi man tawallaiit, wa baarik lii fiimaa athaiit. Wa qinii syarra maa qadhaiit. innaka taqdhii wa laa yuqdhaa ‘alaiik. Wa innahu laa yudzillu man waalaiit. Wa laa ya’izzu man ‘aadaiit. Tabaarakta rabbanaa wa ta’aalait. 

Artinya:
Wahai Allah, berikanlah aku petunjuk sebagaimana orang-orang yang telah Engkau berikan petunjuk; Berilah aku perlindungan sebagaimana orang-orang yang telah Engkau berikan perlindungan; Sayangilah aku sebagaimana orang-orang yang Engkau sayangi; Berilah berkah terhadap apa yang telah Engkau berikan kepadaku; Jagalah aku dari keburukan apa yang telah Engkau takdirkan; Sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan hukum dan tidak yang mampu memberikan hukuman kepada-Mu; Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan pernah terhinakan dan tidak akan pernah mulia orang-orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb yang Maha Tinggi.
(HR. Abu Daud dalam Sunan Abi Daud, no. 1425 dan Nasa’i dalam Sunan Nasa’i, no. 1745. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud, no. 1263)


Ini adalah doa yang sangat agung yang berisi berbagai permohonan dan maksud yang mulia. Karena doa ini berisi permohonan agar diberi hidayah, ‘afiyah (perlindungan), kecintaan, keberkahan dan mohon agar dijaga disertai pengakuan bahwa semua itu berada dalam hak dan wewenang Allah عزّوجلّ semata, yang dikehendaki terjadi oleh Allah عزّوجلّ maka pasti terjadi, sedangkan yang dikehendaki tidak terjadi, maka pasti tidak akan terjadi.
=========================

Hukum Qunut Subuh

Penulis: Al Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Pertanyaan :
Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid’ah. Bagaimanakah hukum qunut Shubuh sebenarnya ?

Jawab :
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur’an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama (bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini (dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu adalah tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim : “Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak”.
Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.

Uraian Pendapat Para Ulama

Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Sholih dan Imam Syafi’iy.

Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.

Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits.

Dalil Pendapat Pertama

Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”.

Dikeluarkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh awy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Ha kim dalam kitab Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-’Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama’ wat Tafr iq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Rozy dari Ar-Robi’ bin Anas dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob i’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : “Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata Abu Zur’ah : ” Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fallas : “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”

Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Rozy, beliau berkata : “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-R ozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya”.

Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-R ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : “Shoduqun sayi`ul hifzh khususon ‘anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).

Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.

Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :
Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo’a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo’a (kejelekan atas suatu kaum)” . Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.

Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.

Kemudian sebagian para ‘ulama syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :
Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
“Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (rawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah denga mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :
Pertama : ‘Amru bin ‘Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan ‘Amru bin ‘Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu’tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).

Kedua : Isma’il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Da raquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma’il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.
Catatan :
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihr on, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau”.
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 1/418. Karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari ‘Amru bin ‘Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.
Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da’laj dari Qotadah dari Anas bin M alik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut”.

Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadi ts wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja’far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : “Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma’ in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.

Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya “Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia”, itu tidak terdapat dalam hadits Khal id. Yang ada hanyalah “beliau (nabi) ‘alaihis Salam qunut”, dan ini adalah perkara yang ma’ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)”.

Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin ‘Abdillah dari Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal”.
Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahq iq no. 695.
Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin ‘Abdillah, kata Ibnu ‘Ady : “Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)”. Dan berkata Ibnu Hibba n : “Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya”.

Kesimpulan pendapat pertama:
Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah, juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.
1) Doa
2) Khusyu’
3) Ibadah
4) Taat
5) Menjalankan ketaatan.
6) Penetapan ibadah kepada Allah
7) Diam
8) Shalat
9) Berdiri
10) Lamanya berdiri
11) Terus menerus dalam ketaatan
Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur’an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.
Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.

Dalil Pendapat Kedua

Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakw an dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat : “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”. (HSR.Bukhary-Muslim)

Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : “Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir”.
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansu kh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah .

Dalil Pendapat Ketiga

Satu : Hadits Sa’ad bin Thoriq bin Asyam Al-Asyja’i
قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid’ah)”. Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no.1080 dan dalam Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thohawy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihs an no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shoh ihain.

Dua : Hadits Ibnu ‘Umar
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : “صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ”. فَقُلْتُ : “آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ”, قَالَ : “مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ”.
” Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu ‘Umar sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku”. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy 1246, Al-Baihaqy 2213 dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’ Az-Zawa’id 2137 dan Al-Haitsamy berkata :”rawi-rawinya tsiqoh”.
Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari’atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.
Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa berkata : “dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid’ah”.
Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang berpendapat disyari’atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam: setelah mengetahui apa yang disebutkan diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari’atkannya qunut shubuh secara terus-menerus dengan membaca do’a qunut “Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai akhir do’a kemudian diaminkan oleh para ma’mum, andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya hanya dinukil dalam hadits yang lemah.
Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam Z adul Ma’ad.

Kesimpulan
Jelaslah dari uraian di atas lemahnya dua pendapat pertama dan kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga memberikan kesimpulan pasti bahwa qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut nazilah adalah bid’ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya. Wallahu a’lam.

Silahkan lihat permasalahan ini dalam Tafsir Al Qurthuby 4/200-201, Al Mughny 2/575-576, Al-Inshof 2/173, Syarh Ma’any Al-Atsar 1/241-254, Al-Ifshoh 1/323, Al-Majmu’ 3/483-485, Hasyiyah Ar-Raud Al Murbi’ : 2/197-198, Nailul Author 2/155-158 (Cet. Darul Kalim Ath Thoyyib), Majm u’ Al Fatawa 22/104-111 dan Zadul Ma’ad 1/271-285.
www.an-nashihah.com
http://kaahil.wordpress.com/2012/09/16/bagus-bacaan-doa-qunut-dan-artinya-dalam-bahasa-indonesia-hukum-membaca-qunut-sholat-shubuh-allahummahdinii-fii-man-hadaiit-wa-aafinii-fii-man-aafaiit-wa-tawallanii-fi-man-tawallaii/