Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi Islam. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Desember 2011

Riba Sebuah Dosa Besar yang Dianggap Ringan

Sebagaimana kita ketahui sebuah realita yang sangat menyedihkan terjadi di negeri ini yaitu menyebarnya berbagai kemaksiatan yang hal itu menjadi sebab turunnya adzab Allah. Dan diantara kemaksiatan yang menjadi sebab turunnya adzab Allah kepada kita adalah kemaksiatan riba, hal ini sebagaimana dalam sebuah hadist, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Apabila telah nampak zina dan riba disebuah kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan adzab Allah (kepada mereka -penj) “ (HR. Al Hakim dan Ath Thabrani di shahihkan oleh Syaikh Al Al Bani di dalam Shahihul Jami)

Mengambil harta dari hasil riba adalah sebuah dosa besar yang sangat membahayakan bagi kehidupan dunia dan akhirat seseorang, tapi sangat memprihatinkan sebagian besar kaum muslimin meremehkan dosa ini dengan ringan mereka melakukan pratik-pratik riba. Allahu Musta’an. Berikut ini adalah diantara bahaya kemaksiatan riba, semoga dengan sebab ini orang tergugah untuk meninggalkan riba karena takut kepada Allah.


Pertama : Riba perbuatan dosa yang sangat besar yang mengakibatkan kecelakaan pelakunya didunia dan diakhirat

Hal ini sebagaimana dalam sebuah hadist, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda “ Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.” Para sahabat bertanya : “ apa itu wahai Rasulullah “ Beliau menjawab : “ … (diantaranya –penj)… memakan harta riba… “ (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘Anhu)

Berkata Al Allamah Asy Syaikh Shalih Al Fauzan Hafidzahullah : “ Dari hadist ini diambil faeadah haramnya riba dan besar bahayanya “ ( Al Mulakhos syarh Kitabut tauhid : 202)

Bahkan dalam sebuah hadist digabungkan didalam penyebutan riba dengan dosa yang paling besar yaitu syirik, sebagaimana dalam sebuah hadist Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : “ Riba memiliki dari tujuh puluh pintu dan syirik juga demikian “ (HR. Al Bazzar dan Ibnu Majah dishahihkan oleh syaikh Al Al Bani )

Kedua : Orang yang memakan riba tidak bisa berdiri pada hari kiamat kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukkan syaithan

Hal ini sebagaimana Firman Allah Ta’ala :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ المَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“ orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperi berdirinya orang yang kemasukkan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…“ (Qs. Al Baqarah : 275)

Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menjadikan pelaku riba tidak dapat berdiri pada hari kiamat kecuali seperti berdirinya orang kemasukkan syaithan lantaran penyakit gila, yakni dia seperti orang yang kerasukkan syaithan. Keadaan seperti ini salah satu bentuk hukuman bagi mereka, merupakan kehinaan dan keburukan yang jelas.


Ketiga : Allah mengumandangkan perang bagi para pelaku riba


Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنتُمْ مُؤْمِنِينَ

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ

“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang – orang yang beriman. Maka jika kamu tidak menegrjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (pula) dianiaya.” (Qs. Al Baqarah : 278 – 279 )

Ayat-ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras lagi berbahaya kepada para pelaku riba, yaitu tunggulah perperangan dari Allah dan RasulNya wahai para pemakan riba, siapakah yang mampu melawan Allah Dan Rasul Nya. Kita memohon kepada Allah keselamatan dan penjagaan.

Keempat : Balasan bagi para pelaku riba adalah dimasukkan kedalam api neraka

Allah Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ

“ Hai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan melipat ganda dan dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat “ (Qs. Ali Imran : 130-131)

Dalam ayat lain Allah juga berfirman

وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“ Orang – orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya” (Qs. Al Baqarah : 275)

Berkata Al Imam Adz Dzahabi Rahimahullah : “ Ini adalah ancaman yang sangat besar dengan dikekalkan didalam neraka orang yang makan dari hasil riba, sebagaimana yang kamu saksikan bagi orang yang kembali memakan riba setelah peringatan. Tidak ada daya dan upaya kecuali karena pertolongan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung ” (Al Kabaair Imam Adz Dzahabi : 35 )

Kelima : Dosa riba lebih parah daripada dosa zina

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : “ Satu dirham dari riba yang dimakan oleh seseorang dan ia tahu itu (riba), maka lebih besar disisi Allah daripada berzina tiga puluh enam kali “ (HR. Imam Ahmad dan Ath Thabrani dishahihkan oleh syaikh Al Al Bani didalam shahihul jami’) Bahkan dalam sebuah hadist disebutkan seakan-akan seperti menzinahi ibunya sendiri. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : “ Riba itu memiliki tujuh puluhan pintu, yang paling ringan adalah seperti seseorang yang menggauli ibunya sendiri “ (Hadist ini dishahihkan syaikh Al Al Bani di shahihul jami’)

Keenam : Allah melaknat para pelaku riba dan orang yang terlibat didalamnya

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : “ Allah melaknat orang yang memakan (hasil) riba, yang memberi makan dengannya, penulisnya, dan dua saksinya jika mereka mengetahuinya” (HR. Imam Muslim dari Abdullah Bin Mas’ud Radiyallahu ‘Anhu)

Berkata Al Allamah Asy Syaikh Shalih Al Fauzan Hafidzahullah : “ Sungguh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah melaknat orang yang makan riba dan memberi riba, dua orang saksinya dan pencatatnya. Riba dosa yang paling besar setelah dosa syirik “ ( Iaanatul Mustafiid Syarh Kitabut Tauhid : )

Wahai kaum muslimin itulah diantara bahaya memakan harta dari hasil riba, cukuplah kalau kita tahu perbuatan riba adalah perbuatan maksiat kepada Allah segera kita untuk meninggalkan perbuatan dosa itu karena takut kepada Allah, apalagi dengan berbagai macam bahaya yang telah disebutkan diatas.

Agar kita terhindar dari riba penting bagi kita untuk mengetahui apa itu riba macam dan pembagiannya

Riba secara bahasa adalah tambahan, dari firman Allah “ Kemudian apabila Kami turunkan air (hujan) diatasnya hiduplah bumi itu dan subur “ (Qs. Alhajj : 5) yaitu tambahan.

Adapun secara syar’i : Tambahan didalam akad antara sesuatu yang mewajibkan didalamnya kesamaan (timbangan/takaran –penj) dan adanya tempo didalam akad antara sesuatu yang wajib didalamnya serah terima ditempat “ ( Al Qaulul Mufiid ala Kitabit Tauhid : 320)

Dijelaskan bawasanya riba ada beberapa macam :

1. Riba Dain (riba dalam hutang
) Riba ini disebut juga riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang dilakukan pada masa jahiliyah. Dan riba jenis ini ada dua bentuk.

Pertama : Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo.

Misalnya : Si A punya hutang kepada si B 10 juta dengan tempo tiga bulan, saat jatuh tempo si A tidak bisa bayar, sehingga temponya ditambah dengan menambah hutangnya menjadi 11 juta.



Kedua : Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad

Misalnya : Si A hendak berhutang kepada si B. maka si B mensyaratkan diawal akadnya (ketika mau hutang) : kamu saya hutangi 10 juta dengan tempo 3 bulan dengan syarat diganti 11 juta. Hal ini seperti yang banyak terjadi di bank-bank kovesional.



2. Riba Nasi’ah (tempo)

Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima ditempat). Yaitu pada barang-barang yang terkena hukum riba. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

“ Emas dengan emas, perak dengan perak, bur (suatu jenis gandum -penj) dengan bur, sya’ir (suatu jenis gandum -penj) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima ditempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau meminta tambah maka dia telah terjatuh kedalam riba, yang mengambil dan yang memberi dalam hal ini sama “ (HR. Muslim dari Abu Said Al Khudri Radiyallahu ‘anhu)

Contoh untuk riba nasi’ah :

Tidak boleh menjual atau menukar (barter) 2kg garam dengan 1kg kurma, secara nasi’ah (tempo), harus serah terima ditempat. Tapi boleh tafadhul (selisih timbangan) karena berbeda jenis tidak disyaratkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan).

3. Riba fadhl (tambahan)

Yaitu adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan tamatsul (sama) secara syar’i.

Contoh untuk riba fadhl :

Tidak boleh seseorang menukar 1 kg garam dengan dengan satu 1 1/2 kg garam, ini namanya riba fadhl. Karena garam termasuk perkara yang diwajibkan secara syar’i tamatsul (kesamaan timbangan) maka tidak boleh adanya tafadhul (selisih timbangan)

Itulah penjelasan sederhana dari bahaya makan dari hasil harta riba dan macam-macam riba, semoga penjelasan ini bermanfaat untuk kaum muslimin. Semoga Allah menjauhi kita dan kaum muslimin dari bahaya riba.

Oleh : Abu Ibrahim ‘Abdullah Al Jakarti
http://tauhiddansyirik.wordpress.com/2010/06/15/648/

Rabu, 21 Desember 2011

Perang Terhadap Pelaku Riba

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)

Penjelasan mufradat ayat:

ذَرُوا

Maknanya: “Tinggalkanlah.” Yaitu tinggalkan mencari sesuatu dari yang kalian miliki sebagai modal kalian, sebelum menghasilkan riba.

فَأْذَنُوا

Pada lafadz ayat ini terdapat dua bacaan. Yang pertama dengan huruf dzal yang di-fathah dan ini merupakan bacaan kebanyakan ahli qira`ah. Sebagian ada yang membaca فَآذِنُوا dengan huruf alif yang dipanjangkan dan dzal yang di-kasrah. Ini merupakan bacaan Hamzah dan ‘Ashim dalam riwayat Ibnu ‘Ayyasy (lihat Tafsir Al-Alusi). Berdasarkan bacaan yang pertama, maknanya adalah yakini dan ketahuilah. Sedangkan berdasarkan bacaan yang kedua bermakna sampaikan dan kabarkanlah kepada mereka bahwa kalian memerangi mereka (para pemakan riba). Ibnu Jarir At-Thabari menguatkan makna yang pertama.

بِحَرْبٍ

Maknanya adalah peperangan yang mengantarkan kepada pembunuhan. Adapula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah musuh. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi)

رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ

“Pokok harta kalian.” Yang dimaksud adalah harta yang dimiliki oleh seseorang yang masih ada di tangan orang lain sebagai pinjaman, maka boleh bagi pemilik harta untuk mengambil modal (harta)nya itu. Adapun keuntungan yang dihasilkan dari riba, maka tidak boleh bagi dia untuk mengambilnya sedikitpun.

Penjelasan Makna Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Tatkala Allah menyebutkan tentang orang-orang yang memakan riba dan merupakan perkara yang dimaklumi bahwa kalau seandainya mereka orang-orang mukmin dengan keimanan yang memberi manfaat, tentu tidak akan muncul (perbuatan) dari mereka apa yang telah nampak pada mereka itu. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut keadaan kaum mukminin dan pahala mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mereka dengan keimanan dan melarang mereka dari memakan hasil riba jika mereka benar-benar sebagai mukmin. Mereka inilah orang-orang yang menerima nasihat dari Rabb mereka dan tunduk terhadap perintah-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka agar bertakwa, dan di antara bentuk ketakwaan tersebut adalah agar mereka meninggalkan apa yang tersisa dari harta riba, yaitu muamalah (transaksi) yang sedang berlangsung pada saat itu. Adapun yang telah lalu, maka barangsiapa yang menerima nasihat, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memaafkan apa yang telah lalu. Sedangkan orang yang tidak peduli akan nasehat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menerimanya, sesungguhnya dia telah menyelisihi Rabbnya dan memerangi-Nya dalam keadaan dia lemah, tidak memiliki kekuatan untuk memerangi Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana, yang memberi kesempatan kepada orang yang dzalim (untuk bertaubat, pen.) namun Dia tidaklah membiarkannya. Sehingga jika Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menyiksa, maka Dia menyiksanya dengan siksaan yang kuat dan tidak lemah sedikitpun. Jika kalian bertaubat dari bermuamalah dengan cara riba, maka kalian boleh mengambil modal dasar dari harta kalian dan kalian tidak mendzalimi orang yang bermuamalah dengan kalian dengan cara mengambil tambahan yang merupakan hasil riba. Kalian juga tidak didzalimi dengan mengurangi modal dasar kalian.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Berkenaan tentang ayat ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tatkala beliau berdiri di hadapan para shahabatnya pada haji wada’, di mana beliau bersabda:

أَلاَ إِنَّ كُلَّ رِبًا مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ، لَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ

"Ketahuilah, sesungguhnya setiap riba dari riba jahiliyyah adalah batil, bagi kalian modal dasar dari harta yang kalian miliki. Kalian tidak mendzalimi dan tidak pula didzalimi." (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari sahabat ‘Amr bin Al-Ahwash. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud, no. 3087)

Hukuman bagi Pelaku Riba
Pada bahasan tafsir di edisi yang lalu, telah disebutkan dalil tentang haramnya riba. Riba termasuk di antara dosa yang sangat besar yang mendatangkan kebinasaan bagi pelakunya. Ini merupakan perkara yang telah disepakati umat ini. Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu mengatakan ketika mengomentari ayat ini: “Ayat ini menunjukkan bahwa memakan hasil riba dan bekerja dengan menghasilkan riba termasuk di antara dosa besar. Tidak ada perselisihan dalam hal ini.” (lihat Tafsir Fathul Qadir, karya Al-Imam Asy-Syaukani)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Adapun riba, maka pengharamannya di dalam Al-Qur’an lebih keras.” Lalu beliau menyebut ayat ini dan berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut riba di antara dosa-dosa besar, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, jilid 29 hal. 23)

Berkenaan dengan hukuman pelaku riba di dunia, maka ayat ini telah menjelaskan bahwa Allah Jalla jalaluhu telah menyatakan perang, yang mengantarkan kepada pembunuhan. Oleh karenanya para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa telah mendapatkan penjelasan tentang haramnya hasil riba, namun tidak mengindahkannya, maka hukumnya adalah dibunuh. Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata: “Barangsiapa yang tetap berada di atas amalan ribanya dan tidak melepaskan diri darinya, maka wajib atas pemimpin kaum muslimin untuk meminta dia bertaubat. Jika ia melepaskan dirinya (maka ia selamat dari hukuman) dan jika tidak, maka pemimpin kaum muslimin memenggal lehernya.”

Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin juga berkata: “Demi Allah, sesungguhnya para pemberi pinjaman uang (yang menerapkan riba, ed.) adalah para pemakan riba dan sesungguhnya mereka telah mengetahui adanya pernyataan perang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Jika kaum muslimin memiliki pemimpin yang adil yang meminta mereka bertaubat, dimana jika mereka bertaubat (maka mereka selamat) dan jika tidak maka mereka ditebas dengan pedang.”
Demikian pula yang dinukilkan dari Qatadah dan Rabi’ bin Anas t. (lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Ibnu Khuwaiz Mandad –ulama dari kalangan Malikiyyah– berkata: “Kalau sekiranya sebuah penduduk negeri sepakat untuk menghalalkan riba, maka mereka telah menjadi murtad. Hukum terhadap mereka sama seperti hukum terhadap orang-orang yang murtad. Jika mereka tidak menghalalkannya, boleh bagi penguasa memerangi mereka. Tidakkah engkau melihat Allah telah memberikan izin untuk itu dalam firman-Nya: “Maka yakinlah akan peperangan (terhadap mereka) dari Allah dan Rasul-Nya.” (lihat Tafsir Al-Qurthubi)

Riba Termasuk Perbuatan Dzalim
Di dalam ayat yang mulia ini juga menjelaskan bahwa bermuamalah dengan cara riba termasuk salah satu bentuk kedzaliman terhadap yang lainnya. Dari sisi inilah riba itu diharamkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menguraikan permasalahan ini, di mana beliau berkata:
“Sesungguhnya perkara-perkara yang diharamkan dalam syariat, kembali kepada perkara kedzaliman. Baik terhadap hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ada kalanya terhadap hak seorang hamba atau hak hamba-hamba-Nya. Setiap kali seorang berbuat dzalim terhadap hak para hamba, maka hamba (yang berbuat dzalim itu) itu telah mendzalimi dirinya sendiri dan tidak sebaliknya. Maka setiap dosa yang dikerjakan termasuk dalam bentuk kedzaliman hamba tersebut terhadap diri sendiri. Orang yang pertama mengakui hal ini adalah bapak seluruh manusia (Adam u), tatkala ia menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka ia berkata:

قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

"Keduanya berkata: 'Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi'." (Al-A’raf: 23)
Dalam kalimat ini terdapat pengakuan terhadap dosa yang telah dilakukannya dan meminta kepada Rabbnya dengan menampakkan sikap sangat butuh serta berharap maghfirah dan rahmat-Nya. Maghfirah (permohonan ampun) adalah bentuk menghilangkan kesalahan, sedangkan rahmat adalah menurunkan kebaikan. Ini berkenaan tentang mendzalimi diri sendiri, bukan mendzalimi orang lain. Musa ‘alaihissalam juga mengatakan tatkala menyebutkan seseorang yang tergolong dari musuhnya:

فَقَضَى عَلَيْهِ قَالَ هَذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِيْنٌ. قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

"Dan matilah musuhnya itu. Musa berkata: 'Ini adalah perbuatan setan, sesungguhnya setan adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).' Musa berdoa: 'Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.' Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Qashash: 15-16)
Ia mengakui akan perbuatannya yang mendzalimi dirinya sendiri dari kejahatan yang ia lakukan terhadap orang lain, yang ia tidak diperintah untuk melakukannya. Yunus ‘alaihissalam juga mengatakan:

لاَ إلَهَ إلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ

“Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim.” (Al-Anbiya`: 87)
Dalam hadits yang shahih disebutkan bahwa doa yang pernah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu agar berdoa dalam shalatnya:

اللَّهُمَّ إنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيْرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إلاَّ أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

“Ya Allah, sesungguhnya aku telah mendzalimi diriku dengan kedzaliman yang banyak dan tidak ada yang mengampuni segala dosa kecuali Engkau, maka ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Muttafaq ‘alaihi)
Doa ini sesuai dengan doa Nabi Adam ‘alaihissalam dalam hal mengakui kedzaliman terhadap diri sendiri dan meminta ampunan dan rahmat-Nya. Demikian pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah berada di atas kendaraannya, beliau mengucapkan hamdalah, tasbih dan takbir, lalu berkata:

لاَ إلَهَ إلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي

"Tiada Ilah yang berhak disembah kecuali Dia, Maha Suci Engkau. Aku telah mendzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku."
Lalu beliau tertawa . Hadits ini mahfuzh dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Jika demikian halnya, maka kedzaliman itu ada dua macam: Melalaikan al-haq dan melampaui batas, sebagaimana yang telah saya terangkan di beberapa tempat. Maka meninggalkan kewajiban merupakan kedzaliman, sebagaimana halnya melakukan perkara haram juga kedzaliman. (Majmu’ Al-Fatawa, 29/277-278)

Bertaubat dari Muamalah Riba
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Para ulama kita berkata: Sesungguhnya cara bertaubat dari orang yang di tangannya terdapat harta yang haram, jika dari hasil riba, maka hendaklah dia kembalikan kepada yang telah dia ambil ribanya. Ia harus mencari orang tersebut jika dia tidak mengetahui keberadaannya. Jika ia telah putus asa (setelah berusaha keras) untuk menemukannya, maka hendaklah ia sedekahkan harta tersebut atas nama orang itu. Jika ia mengambilnya dengan cara dzalim, maka hendaklah ia melakukan hal yang sama terhadap orang yang pernah didzaliminya. Jika tersamarkan olehnya, sehingga dia tidak mengetahui berapa jumlah harta yang haram dibanding yang halal yang ada di tangannya, maka hendaklah ia berusaha mengetahui kadar apa yang ada di tangannya dari harta yang harus dikembalikannya, sampai dia tidak ragu lagi bahwa apa yang tersisa di tangannya telah bersih. Lalu dia kembalikan harta yang telah dia pisahkan dari miliknya tersebut kepada orang yang pernah dia dzalimi (hartanya) atau yang dia ambil riba darinya. Jika telah putus asa dalam mencari orang tersebut, maka dia bersedekah dengan harta tersebut atas nama orang itu.
Jika telah menumpuk kedzaliman yang ada dalam tanggungannya dan dia mengetahui bahwa dia wajib mengembalikan sesuatu yang dia tidak mampu membayar selamanya karena demikian banyak jumlahnya, maka cara bertaubatnya adalah dia melepaskan semua apa yang ada di tangannya, baik kepada orang-orang miskin atau kepada sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin. Sampai tidak ada lagi yang tertinggal di tangannya kecuali yang paling minimal berupa pakaian yang dapat menutupinya dalam shalat. Yaitu yang menutup auratnya, antara pusar sampai lututnya. Juga yang mencukupi kebutuhan makanannya dalam sehari, karena itulah yang boleh baginya untuk dia mengambil dari harta orang lain dalam kondisi darurat, walaupun orang yang diambil barangnya tersebut merasa benci.” (lihat Tafsir Al-Qurthubi dalam menjelaskan ayat ini dalam permasalahan yang ke-36)

Masalah: Hukum pelaku riba yang meninggalkan harta riba untuk ahli warisnya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ditanya tentang seseorang yang bermuamalah dengan cara riba, lalu meninggalkan harta dan seorang anak, dalam keadaan anak tersebut mengetahui keadaan ayahnya. Apakah harta tersebut halal bagi anaknya sebagai warisan atau tidak? Maka beliau menjawab:
“Adapun kadar jumlah yang diketahui oleh si anak bahwa itu hasil riba maka hendaklah ia keluarkan (dari harta warisan), dengan mengembalikan kepada para pemilik harta tersebut jika memungkinkan. Jika tidak maka ia sedekahkan. Sedangkan yang tersisa, tidak diharamkan atasnya. Namun pada kadar yang masih tersamarkan (apakah termasuk bagian dari riba atau tidak, pen.), disukai baginya untuk meninggalkannya. Jika tidak, wajib untuk diarahkan guna melunasi hutang atau menafkahi keluarga. Dan jika sang ayah memperolehnya dengan cara muamalah riba yang dibolehkan oleh sebagian para ahli fiqih, maka boleh bagi ahli waris tersebut untuk memanfaatkannya. Jika bercampur antara harta yang halal dan yang haram sementara tidak diketahui kadar masing-masing darinya, maka dia membaginya menjadi dua bagian.” (Majmu’ Al-Fatawa, 29/307)
Demikian pula Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, pernah ditanya tentang seseorang yang meninggal yang di masa hidupnya dia bermuamalah dengan cara riba. Apakah ada cara yang syar’i bagi kerabatnya yang hidup dan ingin menebus dosanya yang meninggal?
Beliau menjawab: “Disyariatkan bagi ahli warisnya agar menentukan secara teliti kadar yang masuk ke dalam hartanya dari hasil riba lalu dia sedekahkan atas nama yang meninggal dan mendoakannya dengan maghfirah dan ampunan.” (lihat Al-Fatawa Al-Islamiyyah, 2/hal. 387, yang disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad)
Wallahu a’lam.


http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=426

Selasa, 20 Desember 2011

Hukum Jual Beli Dua Harga

Oleh : Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi)

Pertanyaan 15-169, 15/6/1393 H
Penanya :
Apa pendapatmu pada transaksi jual beli mobil: Jika dibeli secara tunai harganya 10.000 riyal, namun jika dibeli secara kredit (angsuran) 12.000 riyal sebagaimana yang berlaku saat ini di berbagai dealer/showroom mobil?

Jawaban:
Jika seseorang membeli mobil atau selainnya dari orang lain, misalnya dengan harga 10.000 riyal secara tunai atau 12.000 riyal -secara kredit- kemudian berpisah dari majelis akad, tanpa ada kesepakatan dari dua akad tadi (mau tunai ataukah kredit), maka jual beli semacam ini tidak diperbolehkan karena adanya ketidakjelasan harga yang dipilih dan tidak ada kejelasan tunai ataukah kredit. Kebanyakan ulama beralasan dengan hadits yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli 2 harga dalam satu jual beli.[1]

Namun jika telah disepakati oleh orang yang melakukan akad sebelum berpisah dari majelis akad antara dua harga tadi (yaitu dibeli secara tunai ataukah kredit), lalu setelah itu mereka berdua berpisah setelah menentukan dua harga tersebut, maka jual beli semacam ini sah, karena harga dan waktu pembayaran telah ditentukan.

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
[1] Hadits tersebut adalah dari Abu Hurairah,
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dua harga dalam satu jual beli.” (Hadits riwayat Malik, At Tirmidzi dan An Nasa’i. Dan Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih)

Hukum Jual Beli Valuta

Hukum Jual Beli Valuta


Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
Transaksi jual beli valuta (mata uang) disebut sharf dan sharf ini harus ada at Taqabudh (barang yang masih dipegang) saat majelis akad. Bila at Taqabudh ini telah terjadi di majelis akad maka hal tersebut tidak apa-apa hukumnya.
Dalam arti, bahwa jika seseorang menukar mata uang Riyal Saudi dengan Dollar Amerika, maka hal ini tidak apa-apa sekalipun dia ingin mendapatkan keuntungan nantinya akan tetapi dengan syarat dia mengambil dollar yang dibeli dan memberikan Riyal Saudi yang dijual.
Sedangkan bila tanpa at Taqabudh, maka hal itu tidak sah dan termasuk ke dalam riba nasiah.
[Kitab ad Da’wah, edisi 5, dari fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, Jilid 2 hal. 40]


Oleh : Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Hal itu tidak apa-apa, yakni bila seseorang membeli dollar atau mata uang lainnya lalu menyimpannya kemudian menjualnya lagi bila nilai tukarnya naik, tidak apa-apa asalkan dia membelinya dari tangan ke tangan (diserahterimakan secara langsung), bukan secara nasiah (tempo).
Membeli dollar dengan Riyal Saudi atau Dinar Irak haruslah dari tangan ke tangan, ketentuan pada mata uang ini sama seperti membeli emas dengan perak yaitu harus dari tangan ke tangan. Wallahul musta’an.
(Fatawa Islamiyyah, dari fatwa Syaikh Ibn Baz, Jilid II, hal. 364)

Selasa, 13 Desember 2011

Jual Beli Yang Terlarang

Allah Ta’ala membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat. Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat terhadap kewajiban lainnya.



Jual Beli Ketika Panggilan Adzan

Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua.

Berdasarkan Firman Allah Ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al Jumu’ah : 9).

Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan Shalat Jum’at. Allah mengkhususkan melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Allah mengatakan “dzalikum” (yang demikian itu), yakni yang Aku telah sebutkan kepadamu dari perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri Shalat Jum’at adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan shalat Jumat adalah juga perkara yang diharamkan.

Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya.

Allah Ta’ala berfirman : “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (QS. 24:36-37-38).

Jual Beli Untuk Kejahatan

Demikian juga Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Allah. Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan.

Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala : “Janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan" (Al Maidah : 2)

Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Allah dan Rasul-Nya telah melarang dari yang demikian.

Ibnul Qoyim berkata : "Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim. Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi sabilillah maka ini adalah keta’atan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan."

Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim

Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir.

Allah ta’ala telah berfirman : “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. 4:141).

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Islam itu tinggi dan tidak akan pernah ditinggikan atasnya" (shahih dalam Al Irwa’ : 1268, Shahih Al Jami’ : 2778)

Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya

Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, “Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembilan”.. Atau perkataan “Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula.”

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya.” (Mutafaq alaihi).

Juga sabdanya: “Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya" (Mutafaq ‘alaih)

Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya. Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual dengan harga sembilan : “Saya beli dengan harga sepuluh”

Kini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta mengingkari segenap pelakunya.

Samsaran

Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya, pent).

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam : “Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang dating ke kota)”

Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: “Tidak boleh menjadi Samsar baginya” (yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi).

Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Biarkanlah manusia berusaha sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Allah" (Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603)

Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata “Saya akan membelikan barang untukmu atau menjualkan.“ Kecuali bila pendatang itu meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang.

Jual Beli dengan ‘Inah

Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara ‘inah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah’ dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk denngan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian, sampai kalian kembail kepada agama kalian.” (Silsilah As Shahihah : 11, Shahih Abu Dawud : 2956)

Dan juga sabdanya: “Akan datang pada manusia suatu masa yang mereka menghalalkan riba dengan jual beli “ (Hadits Dha’if , dilemahkan oleh Al Albany dalam Ghayatul Maram : 13)

Wallahu a’lam

Sumber : Diambil dari Mulakhos Fiqhy Juz II Hal 11-13, dengan beberapa tambahan
Penulis: Syaikh Shaleh bin Fauzan Abdullah Alu Fauzan

( www.assunnah.cjb.net)

Jumat, 09 Desember 2011

Hukum Jual Beli Tokek

Bismillah, washalatu wassalam ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi washahbihi ajma’in.

Akhir-akhir ini budidaya jual beli tokek (baca: cicak besar) yang bernilai ratusan juta rupiah sedang ramai-ramainya diperbincangkan di kalangan publik. Beritanya tokek ini diyakini sebagai obat alternatif menyembuhkan penyakit HIV AIDS. Sekilas bila dipandang budidaya jual beli tokek ini cukup menjanjikan bagi pebisnisnya. Bayangkan dalam waktu singkat dapat menghasilkan ratusan juta rupiah dan kaya mendadak. Namun ironinya, jarang sekali yang mempertanyakan tentang hukum syari’atnya. Tentunya bagi seorang muslim sudah selayaknya mempertanyakan sesuatu yang ia tidak memiliki ilmu (pengetahuan) tentangnya. Terlebih lagi khususnya dalam bab mu’amalah jual beli.

Bisnis jual beli tokek telah merebak di kalangan publik, lantas bagaimanakah pandangan syari’at dalam bisnis jual beli tokek ini?

Para ulama tidak memperbolehkan bisnis jual beli tokek ini ; seperti yang dikemukakan di dalam madzhab Al Hanafiyyah, mereka sepakat bahwa jual beli seperti ular, kalajengking dan cicak/tokek tidak diperbolehkan (Badai’ Ash Shanai’ fii Tartiibi Asy Syara-i’ 11/99), (Tabyiin Al Haqa-iq Syarah Kanzud Daqa-iq 10/452)

Demikian pula madzhab Asy Syafi’iyyah mengemukakan bahwa ; “Tidak boleh membeli dan menjual (tokek). Dan tidak ada harganya bagi orang yang membunuhnya, karena (tokek itu) tidak ada makna (kandungan) manfaatnya baik ketika ia hidup ataupun dibunuh. Adapun harganya seperti memakan harta yang batil”. (Al Haawi fii Fiqhi Asy Syafi’i Al Ma-wardi (Jilid 5/ hal 381)

Bahkan Nabi menganjurkan untuk membunuh cicak, sebagaimana yang datang dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah saw bersabda :
من قتل وزغًا فى أول ضربة كتبت له مائة حسنة ومن قتلها فى الضربة الثانية فله كذا وكذا حسنة لدون الأولى وإن قتلها فى الضربة الثالثة فله كذا وكذا حسنة لدون الثانية .
“Barang siapa yang membunuh cicak dengan sekali pukul, maka ia mendapatkan pahala seratus kebaikan, dan bila ia membunuhnya pada pukulan kedua, maka ia mendapatkan pahala kurang dari itu, dan bila pada pukulan ketiga, maka ia mendapatkan pahala kurang dari itu.”
(HR. Ahmad 2/355, no 8644, Muslim 4/1758, no 2240, Abu Dawud 4/366, no 5263, Tirmidzi 4/76, no 1482, dan ia (Tirmidzi) mengatakan : Hasan shohih. Ibnu Majah 2/1076, no 3229, dan di riwayatkan juga oleh Al Baihaqi 2/267 no 3254)

Berkata An Nawawi : Hadits ini mengandung anjuran untuk bersegera membunuh (cicak), memberikan perhatian padanya, dan semangat untuk membunuhnya pada pukulan pertama, karena jika ia ingin memukulnya dengan beberapa pukulan terkadang pukulan-pukulan tadi menghalau kematiannya (secara cepat). (Syarah Muslim 14/236)

Dan diriwayatkan dari ‘Aamir bin Sa’ad dari ayahnya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh cicak dan menamainya dengan Fuwaisiqa”. (HR. Muslim (7/42) 5981, dan Abu Daud (2/788) 5262).

Berkata Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah : “Walhasil, Nabi shallallahu’alahi wasallam menyuruh untuk membunuh cicak, dan beliau (Nabi shallallahu’alaihi wasallam) bersabda : “Sesungguhnya Dahulu cicak itu meniup-niup (api agar semakin berkobar membakar-pen) nabi Ibrahim ‘alaihissalam”. Maha Suci Allah! Serangga yang lemah ini mampu meniup-niup api atas ibrahim! Oleh karena itu kita membunuhnya berdasarkan perintah Allah Ta’ala dan dalam rangka memberikan pertolongan kepada bapak kita Ibrahim ‘alaihissholatu wassalam, karena (cicak tersebut) meniup-niup api atas (nabi Ibrahim). (Liqa-ul Babil Maftuuh) kaset no 218 Side 1).

Perkataan Para Ulama Tentang Membunuh Cicak (Tokek)
Berkata Abu Umar bin Abdil Bar : “Para ulama telah sepakat tentang bolehnya membunuh tikus di tanah halal dan haram (kota suci Makkah), kalajengking dan cicak”. (Al Istidzkar 4/156, Fathul Bari 4/41)

Menurut madzhab Al Hanafiyah : “Boleh membunuh cicak, dan tidak mengapa padanya”. (Al Hidayah 1/165, Al Lubab fii Syarhil Kitab 1/104)

Menurut madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah : “bahwasanya dianjurkan untuk membunuh (cicak) di tanah halal dan haram”. (Al Majmu’ 7/315, Al Inshaf 6/225, Al Muhalla 7/239)

Dan ini merupakan madzhab ‘Aisyah dan datang dari jalan Waki’, berkata Ibrahim bin Naafi’ ; Aku bertanya kepada ‘Atho, apakah boleh membunuh cicak di negeri Al Haram? Ia berkata : tidak mengapa, dan tidak ada dari kalangan para sahabat yang menyelisihi mereka”. (Al Muhalla 7/244)
Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan bahwa memperjualbelikan tokek tidak diperbolehkan, karena anjuran yang datang dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah membunuhnya. Dan tidak dibedakan baik tanah halal ataupun tanah haram, baik ketika sedang berihram atau tidak.

Dan Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
إنَّ الله إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيءٍ حَرَّمَ عَلَيهِمْ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia akan mengharamkan harganya.” (HR. Ahmad: 1/247, 322 dan Abu Dawud no. 3488)
Inilah penjelasan singkat yang bisa kami suguhkan tentang hukum budidaya jual beli tokek. Wal ilmu ‘indallah.

Kontributor : Al-Ustadz Abu Abdirrahman Abdul Aziz
http://atsarussalaf.wordpress.com/2010/05/12/hukum-jual-beli-tokek/

Hukum Jual Beli Pakaian Wanita Yang Ketat Dan Transparan

Pertanyaan:
Kami mohon fatwa dari samahah (para ulama yang kami hormati) tentang hukum menjual-belikan celana ketat dengan berbagai jenisnya, di antaranya yang disebut dengan celana jeans, stelan yang terdiri dari celana dan blus, sepatu wanita ber-hak tinggi, cat rambut dengan aneka jenis dan warnanya, terutama yang biasa dipakai oleh kaum wanita, pakaian wanita yang transparan, atau yang disebut dengan sifon, gaun wanita dengan lengan pendek, dan rok ukuran 2/3 atau mini?

Jawaban:
Segala hal yang digunakan, atau diduga kuat akan dalam perbuatan haram, maka haram untuk diproduksi, didatangkan, dijual-belikan, dan dipasarkan di tengah-tengah umat islam. Diantaranya ialah berbagai barang yang banyak menyebar di kalangan kaum wanita muslimah –semoga Allah melimpahkan hidayah kepada mereka- berupa: pakaian transparan, sempit dan pendek, atau segala pakaian yang dapat menonjolkan kecantikan, keindahan dan lekak-lekuk tubuh wanita dihadapan para lelaki non mahrom.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Setiap pakaian yang diduga kuat akan dikenakan untuk melakukan tindak kemaksiatan, maka anda tidak boleh menjual, atau membuatkannya untuk orang yang akan mengenakannya dalam kemaksiatan dan perbuatan kezhaliman. Oleh karena itu dibenci menjual roti, dan daging kepada orang yang diketahui akan menjadikannya sebagai hidangan penyerta acara minum khamer, atau menjual wewangian kepada orang yang akan menjadikannya sebagai pelengkap acara minum khamer atau perzinaan. Demikian juga halnya setiap barang yang pada asalnya mubah diperjualbelikan bila digunakan sebagai penunjang kemaksiatan.

Setiap pengusaha muslim memiliki kewajiban untuk senantiasa bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, dengan menjalankan syari’at nasehat-menasehati sesama muslim. Dengan demikian ia tidaklah memproduksi atau memasarkan kecuali barang-barang yang mendatangkan kemanfaatan dan kebaikan bagi umat Islam. Sebagaimana sudah sepantasnya bila seorang pengusaha muslim menjauhi setiap barang yang mendatangkan kejelekan dan kerusakan pada mereka. Ketahuilah bahwa rizki dan usaha yang halal terlalu banyak jumlahnya bila dibandingkan dengan yang haram.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ . الطلاق 2-3
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Qs. At Thalaq: 2-3)
Perlu diketahui bahwa kewajiban nasehat-menasehati ini merupakan bukti akan keimanan anda. Allah Ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (Qs. At Taubah: 71)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قيل لِمَنْ يا رسول الله؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ. مسلم
“Agama itu adalah nasehat.” Dikatakan kepada beliau: “Nasehat untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Nasehat untuk Allah, Rasul-Nya, para pemimpin dan seluruh lapisan masyarakat Islam.” (Riwayat Muslim)

Sahabat jabir bi Abdillah Al Bajali radhiallahu ‘anhu mengisahkan: “Aku pernah membai’at (berjanji setia) kepada Raulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa mendirikan sholat, membayar zakat dan memberi nasehat kepada setiap orang Islam.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan yang dimaksudkan oleh Syeikhul Islam rahimahullah dari ucapannya di atas bahwa: “Oleh karena itu dibenci menjual roti, dan daging kepada orang yang diketahui akan menjadikannya sebagai hidangan penyerta acara minum khamer….” adalah dibenci yang bermaknakan haram, sebagaimana hal ini dapat diketahui dari berbagai fatwa beliau lainnya.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufiq kepada anda. Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Oleh: Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta (Komite Tetap Urusan Riset Ilmiah dan Fatwa)
Anggota Tetap Komite Urusan Riset Ilmiah dan Fatwa.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota: Bakr Abu Zaid.
Anggota: Shaleh Fauzan.
Anggota: Abdul Aziz Alus Syeikh.

Hukum Berinteraksi Dengan Perusahan Leasing ( Perkreditan )

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Kita banyak membaca seputar adanya beberapa perusahaan leasing (perkreditan) melalui beberapa surat kabar dan kita juga mendengar hal itu melalui orang-orang (dari mulut ke mulut). Apakah boleh berinteraksi dengan perusahaan-perusahaan tersebut dan memanfaatkan jasa layanannya?

Jawaban
Kita harus mengetahui lebih dahulu apa yang dimaksud dengan perusahaan-perusahaan perkreditan; apakah yang dimaksud adalah penjualan secara kredit atau apa? Jika yang dimaksud adalah penjualan dengan kredit, maka penjualan secara tangguh adalah dibolehkan berdasarkan makna zhahir Al-Qur’an dan dalil yang jelas dari As-Sunnah.
Mengenai hal itu, dalam Al-Qur’an Allah berfirman :
“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…” hingga firman-Nya:
“…dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguannmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya…” (Qs. Al-Baqarah:282)

Hal tersebut, yakni penjualan secara tangguh (kredit) adalah boleh hukumnya berdasarkan dalil As-Sunnah yang jelas sekali, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus kepada seorang laki-laki yang telah mempersembahkan kepada beliau pakaian dari Syam agar menjualnya dengan dua buah baju kepada Maisarah (budak Khadijah, isteri beliau) [1]

Dalam kitab Ash-Shahihain dan selain keduanya dari hadits yang diriwayatlkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.

“Artinya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang ke Madinah sementara mereka biasa melakukan jual beli secara salam (memberikan uang di muka namun barangnya belum bisa diambil/memesan) terhadap kurma setahun atau dua tahun, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa memesan kurma, maka hendaklah dia memesan dalam takaran (Kayl) yang sudah diketahui, dan wazan (timbangan) yang sudah diketahui hingga batas waktu yang sudah diketahui.” [2]

Akan tetapi kami pernah mendengarkan bahwa ada sebagian orang yang menjual barang yang tidak dimilikinya setelah dia mengetahui ada permintaan dari pembeli kepadanya, seperti seseorang mendatangi seorang pedagang sembari berkata padanya, “Saya ingin barang yang begini akan tetapi saya tidak bisa membayarnya.” Lalu si pedagang pergi dan membelinya dari pemilik asalnya, kemudian menjualnya lagi kepada orang yang mencarinya tersebut dengan harga tangguh (kredit) yang lebih mahal daripada harga ketika dia membelinya.

Tidak diragukan labi bahwa ini merupakan pengelabuan (siasat licik) yang amat jelas sekali untuk melakukan riba, sebab sipedagang ini tidak pernah berminat membeli barang itu ataupun membeli untuk dirinya sendiri. Tujuannya hanyalah ingin mendapatkan keuntungan yang akan diberikan oleh si pembeli kepadanya. Dan ini akan menjadi pembeda antara jual beli kontan dengan jual beli kredit.

Sebagian orang terkadang sengaja berkata, “Saya mengambil keuntungan dari anda, misalnya 8%. Atau mengatakan, pada tahun ke dua sebesar 10%. Atau, pada tahun ke tiga menjadi sebesar 15%, demikian seterusnya, riba semakin bertambah setiap kali waktunya diperpanjang, atau setiap kali terlambat membayarnya. Ini merupakan bukti yang nyata sekali bahwa yang dimaksud oleh si pedagang tersebut hanyalah riba saja.

Seorang yang berakal, bila merenungi hal itu pasti akan menemukan bahwa tindakan mengelabui tersebut lebih dekat kepada riba dari jenis Inah yang telah diingatkan oleh Rasulullah. Jual beli Inah adalah seseorang menjual sesuatu dengan harga tangguh (kredit) lalu membelinya lagi secara tunai (kontan) dengan harga yang lebih murah dari harga
saat dia mejualnnya kepadanya.

Bisa jadi si penjual ini, yakni penjual pertama ketika menjualnya tidak terbetik di hatinya bahwa dia akan membelinya lagi dari orang yang telah membeli darinya, demikian pula tidak pernah terbetik di hati si pembeli bahwa dia akan menjualnya lagi, kemudian setelah itu dia mengurungkan niatnya dan menawarkannya di pasaran; sehingga tidak halal (boleh) bagi penjual pertama untuk membelinya dengan harga yang lebih rendah (murah) dari harga ketika dia menjualnya, sebab ini termasuk jual beli Inah yang telah diperingatkan oleh Rasulullah agar tidak dilakukan, dalam sabdanya:

“Artinya: Jika kalian telah melakukan jual beli dengan cara Inah, senantiasa memegang ekor sapi, rela dengan tanah garapan pertanian (senantiasa mendahulukan kehidupan dunia atas kehidupan akhirat,-pent) dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kalian kehinaan yang tidak akan dicabutNya hingga kalian kembali kepada ajaran dien kalian.” [3]

Sebagaimana telah diketahui bahwa pengelabuan (siasat licik) terhadap penjualan secara kredit yang telah saya sebutkan di muka lebih dekat dengan pengelabuan dalam masalah Inah. Oleh karena itu, saya menasehati saudara-saudaraku, para penjual dan pembeli dari melakukan transaksi seperti ini, yang mereka tidak akan mendapatkan selain
dicabutnya keberkahan pada jual beli mereka. Sementara Allah telah berfirman:

Artinya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Qs. Al-Baqarah: 276)

Disamping itu, traksaksi seperti ini mengandung dampak negatif dari aspek ekonomi karena begitu mudahnya sehingga membuat kaum fakir nekat melakukannya dan menanggung hutang serta menyibukkan beban diri mereka dengan hutang-hutang yang telah bertumpuk ini. Barangkali, ada waktunya mereka sama sekali tidak mampu melunasinya, maka ketika itu terjadilah berbagai problematika dan perselisihan antara si penjual dan pembeli bahkan bisa jadi sampai kepada kondisi kebangkrutan, lalu apa akibat yang akan dituai oleh penjual yang sengaja menginginkan riba dari
transaksi tersebut? Allah berfirman:

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: ‘Jadilah kamu kera yang hina.’ Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Qs.Al-Baqarah: 66-67)

Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan nasehat kepada segenap saudara-saudaraku, kaum muslimin agar tidak melakukan pengelabuan terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah dan hendaknya mereka mengetahui bahwa yang menjadi standar dalam akad-akad jual-beli adalah tujuan-tujuannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya: Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang tergantung kepada niatnya.” [4]

Bila orang ini memang benar-benar temannya, maka alangkah baiknya dia meminjamkannya dengan pinjaman yang baik (Qardl Hasan), yang tidak mengandung riba di dalamnya. Dengan begitu, dia termasuk orang-orang yang berbuat ihsan sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya.

“Artinya: sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (ihsan).”
(Qs. Al-Baqarah: 195)

Dan saya menasehati saudara saya yang melakukan transaksi seperti ini agar menggugurkan riba yang ditambahkannya kepada harga mobil tersebut dan hanya mengambil sebatas harga pembeliannya saja.

[Kitab Ad-Da’wah, edisi 5, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Jilid 2, hal. 55-60]
_________
Catatan Kaki:
[1]. HR At-Tirmidzi, Kitab Al-Buyu (1213), An-Nasai, Kitab Al-Buyu (7 /294),
Ahmad (6 /147).
[2]. HR Al-Bukhari, Kitab As-Salam (2239-2241), Muslim, Kitab Al-Musaqah (1604)
[3]. HR Abu Dawud, Kitab Al-Buyu’ (3462), Hadits ini memiliki jalur periwayatan
yang dapat menguatkan kualitasnya (lihat, As-Silsilah Ash-Shahihah, No. 11.
[4]. HR Al-Bukhari, Kitab Bad’ul Wahyi (1), Muslim, Kitab Al-Imarah (1907)

http://atsarussalaf.wordpress.com

Jumat, 11 November 2011

Akibat Yang Akan Dirasakan Oleh Pelaku Riba

Para pembaca, tidaklah Allah melarang dari sesuatu kecuali karena adanya dampak buruk dan akibat yang tidak baik bagi pelaku. Seperti Allah melarang dari praktek riba, karena berakibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Para pembaca, edisi kali ini kami akan mengupas tentang dampak buruk dari praktek riba yang masih banyak kaum muslimin bergelut dengan praktek riba tersebut.

Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar yang akan membinasakan pelakunya di dunia dan akhirat. Dengan tegas Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan (artinya):

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqarah: 275]

Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menerangkan:

“Allah mengabarkan tentang orang-orang yang makan dari hasil riba, jeleknya akibat yang mereka rasakan, dan kesulitan yang akan mereka hadapi kelak di kemudian hari. Tidaklah mereka bangkit dari kuburnya pada hari mereka dibangkitkan melainkan seperti orang yang kemasukan setan karena tekanan penyakit gila. Mereka bangkit dari kuburnya dalam keadaan bingung, sempoyongan, dan mengalami kegoncangan, serta khawatir dan cemas akan datangnya siksaan yang besar dan kesulitan sebagai akibat dari perbuatan mereka itu.” [Taisirul Karimir Rahman, hal. 117]

Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala melarang kita dari perbuatan yang merupakan kebiasaan orang-orang Yahudi tersebut. Dengan sebab kebiasaan memakan riba itulah, Allah subhanahu wa ta’ala sediakan adzab yang pedih bagi mereka.

“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil, Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” [An-Nisa’: 161]

Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui, bahwa praktek riba dengan segala bentuk dan warnanya justru akan berdampak buruk bagi perekonomian setiap pribadi, rumah tangga, masyarakat, dan bahkan perekonomian suatu negara bisa hancur porak-poranda disebabkan praktek ribawi yang dilestarikan keberadaannya itu. Riba tidak akan bisa mendatangkan barakah samasekali. Bahkan sebaliknya, akan menjadi sebab menimpanya berbagai musibah. Apabila ia berinfak dengan harta hasil riba, maka ia tidak akan mendapat pahala, bahkan sebaliknya hanya akan menjadi bekal menuju neraka.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa perekonomian di negara-negara barat sangat maju, rakyatnya makmur, dan segala kebutuhan hidup tercukupi, padahal praktek riba tumbuh subur di negara-negara tersebut?

Keadaan seperti ini janganlah membuat kaum muslimin tertipu. Allah subhanahu wa ta’ala Dzat yang tidak akan mengingkari janji-Nya telah berfirman (artinya):

“Allah memusnahkan riba dan menumbuh-kembangkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa.” [Al-Baqarah: 276]

Makna dari ayat tersebut adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memusnahkan riba, baik dengan menghilangkan seluruh harta riba dari tangan pemiliknya, atau dengan menghilangkan barakah harta tersebut sehingga pemiliknya itu tidak akan bisa mengambil manfaat darinya. Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan menghukumnya dengan sebab riba tersebut di dunia maupun di akhirat. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Jadi, walaupun harta yang dihasilkan dari praktek riba ini kelihatannya semakin bertambah dan bertambah, namun pada hakikatnya kosong dari barakah dan pada akhirnya akan sedikit. Bahkan, bisa habis samasekali.

Dari sini, benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Tidak ada seorang pun yang banyak melakukan praktek riba kecuali akhir dari urusannya adalah hartanya menjadi sedikit.” [HR. Ibnu Majah, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah]

Siapa yang akan bisa selamat kalau Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam sudah mengumumkan peperangan kepadanya?

Disebutkan oleh sebagian ahli tafsir bahwa peperangan dari Allah subhanahu wa ta’ala adalah berupa adzab yang akan ditimpakan-Nya, sedangkan peperangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan pedang. [Lihat Tafsir Al-Baghawi]

Seorang mufassir (ahli tafsir) yang lain, yaitu Al-Imam Al-Mawardi rahimahullah menyatakan bahwa ayat (yang artinya): “maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian” [Al-Baqarah: 279] bisa mengandung dua pengertian:

Pertama, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka Aku (Allah) akan memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memerangi kalian.

Kedua, bahwa jika kalian tidak menghentikan perbuatan riba, maka kalian termasuk orang-orang yang diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni sebagai musuh bagi keduanya. [Lihat An-Nukat wal ‘Uyun]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah pada Tafsir-nya tentang ayat ke-279 dari surat Al-Baqarah di atas menyatakan:

“Ayat ini merupakan ancaman yang sangat keras bagi siapa saja yang masih melakukan praktek riba setelah datangnya peringatan (dari perbuatan tersebut).”

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Barangsiapa yang senantiasa melakukan praktek riba dan dia enggan untuk meninggalkannya, maka seorang imam (pemimpin) kaum muslimin berhak memerintahkannya untuk bertaubat, jika dia mau meninggalkan praktek riba (bertaubat darinya), maka itu yang diharapkan, namun jika dia tetap enggan, maka hukumannya adalah dipenggal lehernya.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

“Ancaman seperti ini tidak diberikan kepada pelaku dosa besar kecuali pelaku riba, orang yang membuat kekacauan di jalan, dan orang yang membuat kerusakan di muka bumi.” [Lihat Thariqul Hijratain, hal. 558]

Lebih parah lagi kondisinya jika praktek riba itu sudah menyebar di suatu negeri, dan bahkan masyarakatnya sudah menganggap hal itu merupakan sesuatu yang lumrah. Maka ketahuilah bahwa keadaan seperti ini akan mengundang murka dan adzab Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ

“Jika telah nampak perbuatan zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka sendiri untuk merasakan adzab Allah.” [HR. Al-Hakim dan Ath-Thabarani, dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah di dalam Shahihul Jami’]

Maka dari itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam -dengan penuh belas kasih kepada umatnya- benar-benar telah memperingatkan umatnya dari praktek riba yang bisa menyebabkan kebinasaan, sebagaimana dalam sabdanya:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قُلْنَا: وَمَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّباَ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ

“Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang menyebabkan kebinasaan.” Kami (para shahabat) bertanya: “Apa tujuh hal itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “…memakan (mengambil) riba…” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Ancaman bagi yang ikut andil dalam praktek riba

Selain pemakan riba, dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mencela beberapa pihak yang turut terlibat dalam muamalah yang tidak barakah tersebut. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan riba, memberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), juru tulisnya, dan dua saksinya. Beliau mengatakan: ‘Mereka itu sama’.” [HR. Muslim]

Mereka semua terkenai ancaman laknat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena dengan itu mereka telah berta’awun (tolong menolong dan saling bekerjasama) dalam menjalankan dosa dan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [Al-Maidah: 2]

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ

“Allah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba (orang yang memberi riba kepada pihak yang mengambil riba), dua saksinya, dan juru tulisnya.” [HR. Ahmad, dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah, lihat Shahihul Jami’]

Dua hadits di atas menunjukkan ancaman bagi semua pihak yang bekerjasama melakukan praktek ribawi, yaitu akan mendapatkan laknat dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, yang berarti dia mendapatkan celaan dan akan terjauhkan dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.

Para pembaca, cukuplah hadits berikut sebagai peringatan bagi kita semua dari bahaya dan akibat yang akan dialami oleh pelaku riba di akhirat nanti.

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari shahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا ؟ فَقَالَ: الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا

“Tadi malam aku melihat (bermimpi) ada dua orang laki-laki mendatangiku. Lalu keduanya mengajakku keluar menuju tanah yang disucikan. Kemudian kami berangkat hingga tiba di sungai darah. Di dalamnya ada seorang lelaki yang sedang berdiri, dan di bagian tengah sungai tersebut ada seorang lelaki yang di tangannya terdapat batu-batuan. Kemudian beranjaklah lelaki yang berada di dalam sungai tersebut. Setiap kali lelaki itu hendak keluar dari dalam sungai, lelaki yang berada di bagian tengah sungai tersebut melemparnya dengan batu pada bagian mulutnya sehingga si lelaki itu pun tertolak kembali ke tempatnya semula. Setiap kali ia hendak keluar, ia dilempari dengan batu pada mulutnya hingga kembali pada posisi semula. Aku (Rasulullah) pun bertanya: ‘Siapa orang ini (ada apa dengannya)?’ Dikatakan kepada beliau: ‘Orang yang engkau lihat di sungai darah tersebut adalah pemakan riba’.” [HR. Al-Bukhari]

Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menjauhkan kita dari perbuatan riba dan seluruh amalan yang bisa mendatangkan kemurkaan-Nya.

Wallahu a’lam bish shawab.

http://www.assalafy.org/mahad/?p=561#more-561

Rabu, 09 November 2011

Jual Beli Dengan Sistem Kredit

Kepada ustadz, saya mempunyai pertanyaan dan mohon penjelasannya.
Bagaimana hukumnya jual-beli barang dengan sistem kredit? Apakah sama dengan riba? Demikian pertanyaan saya, atas jawaban ustadz, saya ucapkan jazakallahu khairan katsiran.

Halimah
asy-syauqiyyah@plasa.com

Dijawab oleh:
Al Ustadz Luqman Baabduh

Jual beli dengan sistem kredit (cicilan), yang ada di masyarakat digolongkan menjadi dua jenis:
Jenis pertama, kredit dengan bunga. Ini hukumnya haram dan tidak ada keraguan dalam hal keharamannya, karena jelas-jelas mengandung riba.
Jenis kedua, kredit tanpa bunga. Para fuqaha mengistilahkan kredit jenis ini dengan Bai’ At Taqsiith. Sistem jual beli dengan Bai’ At Taqsiith ini telah dikaji sejumlah ulama, di antaranya:

As-Syaikh Nashirudin Al Albani

Dalam kitab As-Shahihah jilid 5, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, hadits no. 2326 tentang “Jual Beli dengan Kredit”, beliau menyebutkan adanya tiga pendapat di kalangan para ulama. Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan menjual dengan kredit apabila harganya berbeda dengan harga kontan (yaitu lebih mahal, red). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah  melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.

As Syaikh Al Albani menjelaskan, maksud larangan dalam hadits tersebut adalah larangan adanya dua harga dalam satu transaksi jual beli, seperti perkataan seorang penjual kepada pembeli: Jika kamu membeli dengan kontan maka harganya sekian, dan apabila kredit maka harganya sekian (yakni lebih tinggi).

Hal ini sebagaimana ditafsirkan oleh Simaak bin Harb dalam As Sunnah (karya Muhammad bin Nashr Al Marwazi), Ibnu Sirin dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 hal. 137 no. 14630, Thoowush dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14631, Ats Tsauri dalam Mushonnaf Abdir Rozaq jilid 8 no. 14632, Al Auza’i sebagaimana disebutkan oleh Al Khaththaabi dalam Ma’alim As Sunan jilid 5 hal. 99, An Nasa’i, Ibnu Hibban dalam Shahih Ibni Hibban jilid 7 hal. 225, dan Ibnul Atsir dalam Ghariibul Hadits.

Demikian pula dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah  bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”

Misalnya seseorang menjual dengan harga kontan Rp 100.000,00, dan kredit dengan harga Rp 120.000,00. Maka ia harus menjual dengan harga Rp 100.000,00. Jika tidak, maka ia telah melakukan riba.

Atas dasar inilah, jual beli dengan sistem kredit (yakni ada perbedaan harga kontan dengan cicilan) dilarang, dikarenakan jenis ini adalah jenis jual beli dengan riba.

As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al Waadi’i

Dalam kitabnya Ijaabatus Saailin hal. 632 pertanyaan no. 376, beliau menjelaskan bahwa hukum jual beli seperti tersebut di atas adalah dilarang, karena mengandung unsur riba. Dan beliau menasehatkan kepada setiap muslim untuk menghindari cara jual beli seperti ini.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Abi Hurairah yang diriwayatkan oleh An Nasa’i dan At Tirmidzi, bahwa Rasulullah  melarang transaksi jual beli (2 harga) dalam satu transaksi jual beli.

Namun beliau menganggap lemahnya hadits Abu Hurairah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf, Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasulullah  bersabda:
“Barangsiapa yang menjual dengan 2 harga dalam 1 transaksi jual beli, maka baginya harga yang lebih murah dari 2 harga tersebut, atau (jika tidak) riba.”

Hal ini sebagaimana disebutkan beliau dalam kitabnya Ahaadiitsu Mu’allah Dzoohiruha As Shahihah, hadits no.369.

Dalam perkara jual beli kredit ini, kami nukilkan nasehat As-Syaikh Al Albani:
“Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa cara jual beli yang seperti ini yang telah banyak tersebar di kalangan pedagang di masa kita ini, yaitu jual beli At Taqsiith (kredit), dengan mengambil tambahan harga dibandingkan dengan harga kontan, adalah cara jual beli yang tidak disyari’atkan. Di samping mengandung unsur riba, cara seperti ini juga bertentangan dengan ruh Islam, di mana Islam didirikan atas pemberian kemudahan atas umat manusia, dan kasih sayang terhadap mereka serta meringankan beban mereka, sebagaimana sabda Rasulullah  yang diriwayatkan Al Imam Al Bukhari :
“Allah merahmati seorang hamba yang suka memberi kemudahan ketika menjual dan ketika membeli…”

Dan kalau seandainya salah satu dari mereka mau bertakwa kepada Allah, menjual dengan cara kredit dengan harga yang sama sebagaimana harga kontan, maka hal itu lebih menguntungkan baginya, juga dari sisi keuntungan materi. Karena dengan itu menyebabkan sukanya orang membeli darinya, dan diberkahinya oleh Allah pada rejekinya, sebagaimana firman Allah:

… Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath Thalaq: 2-3)

Demikian nasehat dari As-Syaikh Al Albani. Sebagai kesimpulan, kami nasehatkan kepada kaum Muslimin, hendaknya memilih cara kontan jika menghadapi sistem jual beli semacam ini.
Wallahu a’lamu bisshawaab

Penulis : Al Ustadz Luqman Baabduh

Permasalahan Seputar Riba

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin

Masalah 1: Hukum Menyimpan Uang di Bank
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/345):
“Menyimpan uang di bank dan semisalnya dengan permintaan atau tempo tertentu untuk mendapatkan bunga sebagai kompensasi dari uang yang dia tabung adalah haram.
(Demikian juga) menyimpan uang tanpa bunga di bank-bank yang bermuamalah dengan riba adalah haram, sebab ada unsur membantu bank tersebut bermuamalah dengan riba dan menguatkan mereka untuk memperluas jaringan riba. Kecuali bila sangat terpaksa karena khawatir hilang atau dicuri, sementara tidak ada cara lain kecuali disimpan di bank riba. Bisa jadi dia mendapatkan rukhshah (keringanan) dalam kondisi seperti ini karena darurat…”
Jawaban senada juga disampaikan secara khusus oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Lihat Fatawa Ibn Baz (2/194) dan Fatawa Buyu’ (hal. 127). Periksa pula Fatawa Al-Lajnah (13/346-347, dan 13/376-377).

Masalah 2: Apakah Bunga Bank termasuk Riba?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/396-397):
“Riba dengan kedua jenisnya: fadhl dan nasi`ah, adalah haram berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman juga:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian." (Al-Baqarah: 278-279)
Disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, yang memberi riba, penulis, dan kedua saksinya. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

هُمْ سَوَاءٌ

“Mereka semua sama.”
Dengan demikian diketahui bahwa bunga yang diberikan kepada nasabah berupa persentase dari uang pokoknya, baik itu per pekan, bulanan atau tahunan, semuanya termasuk riba haram yang terlarang secara syar’i, baik persentase ini berfluktuatif maupun tidak (suku bunga flat)….”
Al-Lajnah Ad-Da`imah juga pernah ditanya: “Apa hukum penambahan nominal yang diambil oleh bank?”
Mereka menjawab (13/349): “Faedah (bunga) yang diambil bank dari nasabah dan bunga yang diberikan bank kepada nasabah adalah riba yang telah tetap (pasti) keharamannya berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’.”

Masalah 3: Bolehkah Mengambil Bunga Bank (Riba)?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/354-355):
“Bunga harta yang riba adalah haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Wajib atas pihak yang di tangannya ada sesuatu dari bunga tersebut untuk berlepas diri darinya, dengan cara menginfakkannya untuk hal yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Di antaranya adalah membangun jalan, membangun sekolah, dan memberikannya kepada faqir miskin. Adapun masjid, tidak boleh dibangun dari harta riba. Dan tidak diperbolehkan bagi seorangpun untuk mengambil bunga bank, tidak pula terus-menerus mengambilnya….”
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu mempunyai fatwa yang panjang tentang masalah ini. Kita nukilkan di sini karena hal ini sangat penting.
Beliau ditanya: "Ada seorang pemuda yang tengah studi di Amerika. Dia terpaksa menyimpan uangnya di bank riba. Konsekuensinya, pihak bank memberinya bunga. Apakah boleh baginya mengambil dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang baik? Sebab bila tidak diambil akan dimanfaatkan oleh pihak bank."
Beliau menjawab:
"Pertama, tidak dibolehkan bagi seseorang untuk menyimpan uangnya di bank-bank tersebut, karena pihak bank otomatis akan mengambil dan memanfaatkan uang itu untuk usaha. Perkara yang telah dimaklumi, kita tidak diperkenankan memberi wewenang kepada pihak kafir atas harta kita, yang mana mereka akan menjadikannya sebagai (modal) usaha. Namun bila kondisinya darurat, khawatir hartanya dicuri atau dirampas, bahkan berisiko hilangnya nyawa demi mempertahankannya, maka tidak mengapa dia menyimpan uangnya di bank-bank tersebut karena darurat.
Namun, bila dia menyimpannya (di bank itu) karena darurat, dia tidak boleh mengambil apapun sebagai ganti. Haram atasnya untuk mengambil sesuatu (faedah). Bila dia mengambilnya maka itu adalah riba. Bila itu adalah riba, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)
Ayat di atas secara tegas dan jelas menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengambil sesuatupun darinya.
Pada hari Arafah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di depan massa yang besar dari kalangan kaum muslimin. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنَّ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ

“Ketahuilah, bahwa riba jahiliyyah disirnakan.”
Riba yang telah sempurna transaksinya sebelum Islam, telah disirnakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Beliau juga bersabda):

وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ مِنْ رِبَانَا رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ

“Dan riba yang pertama kali aku sirnakan dari riba-riba kita adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muththalib. Semuanya disirnakan.”
Bila anda mengatakan: “Bila uang (bunga) itu tidak diambil, mereka (orang kafir) akan mengambil dan menyalurkannya ke gereja-gereja serta membiayai perang untuk memusnahkan kaum muslimin.”
Jawabannya: Sesungguhnya bila anda melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan meninggalkan riba, maka apapun yang terjadi dari situ adalah tanpa sepengetahuan anda. Anda (hanya) dituntut dan diperintahkan untuk melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila menimbulkan beberapa mafsadah, maka itu di luar kuasa anda. Anda memiliki perkara yang telah ditentukan dari Allah, yaitu:

اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا

“Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)." (Al-Baqarah: 278)
Kedua, Anda katakan: Apakah bunga yang mereka berikan kepada saya termasuk uang saya?
Jawabannya: Itu bukan uang Anda. Sebab boleh jadi mereka mengembangkan uang tersebut dalam sebuah usaha lalu merugi. Maka bisa dipastikan bahwa bunga yang mereka berikan kepada anda bukanlah pengembangan dari uang anda.
Bisa pula mereka meraup keuntungan yang berlipat, namun mungkin pula tidak meraup keuntungan apa pun dari uang anda. Sehingga tidak bisa dikatakan: “Bila saya kuasakan sebagian uang anda kepada mereka maka mereka akan menyalurkannya ke gereja-gereja atau membeli persenjataan untuk memerangi kaum muslimin.”
Ketiga, kita katakan: Mengambil bunga berarti terjatuh kepada apa yang diakui sebagai riba. Orang tersebut akan mengaku di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala nanti pada hari kiamat bahwa itu adalah riba. Jika (sudah jelas) riba, maka mungkinkah seseorang beralasan bahwa itu untuk kemaslahatan, padahal dia meyakini bahwa itu adalah riba? Jawabnya: Tidak mungkin, sebab tidak ada qiyas bila dihadapkan kepada nash (dalil).
Keempat, apakah dapat dipastikan mereka menyalurkan uang tersebut kepada apa yang anda sebutkan, yaitu untuk kemaslahatan gereja atau untuk perlengkapan perang melawan kaum muslimin? Jawabnya: Tidak dapat dipastikan.
Bila demikian, kalau kita mengambil bunga tersebut, maka kita telah terjatuh pada larangan yang pasti untuk menghindar dari mafsadah yang belum pasti. Akalpun akan menolak hal ini, yakni seseorang melakukan mafsadah yang sudah pasti untuk menyingkirkan mafsadah yang belum pasti, yang mungkin terjadi dan mungkin pula tidak.
Sebab, boleh jadi pihak bank mengambilnya untuk kemaslahatan pribadi. Mungkin pula pihak karyawan bank yang mengambilnya untuk kemaslahatan mereka pribadi. Dan tidak dapat dipastikan bahwa uang tersebut disalurkan ke gereja-gereja atau untuk membiayai perang melawan kaum muslimin.
Kelima, sesungguhnya bila Anda mengambil apa yang disebut sebagai ‘bunga’ dengan niat menginfakkan dan mengeluarkannya dari hak milik anda, sebagai upaya untuk lepas darinya, maka sama saja anda melumuri diri anda dengan kotoran untuk diupayakan cara menyucikannya. Ini tidaklah masuk akal.
Justru kita katakan: Jauhilah kotoran tersebut terlebih dahulu sebelum anda terlumuri dengannya. Kemudian setelah itu upayakan cara menyucikannya.
Apakah masuk akal, seseorang berupaya agar pakaiannya terkena kencing dengan maksud membersihkannya bila telah terkena? Ini tidak masuk akal, selamanya, sepanjang anda meyakini bahwa bunga itu adalah riba, kemudian anda berupaya mengambil, mensedekahkan, dan berupaya melepaskan diri darinya.
Justru kita katakan: Jangan anda ambil bunga tersebut sama sekali dan bersihkan diri anda darinya!
Keenam, kita katakan: Jika seseorang mengambilnya dengan niat tersebut, apakah dia merasa yakin dapat mengalahkan hasrat jiwanya, berlepas diri darinya dengan menyalurkannya untuk sedekah dan kemaslahatan umum?
Sekali-kali tidak. Boleh jadi pada awalnya dia mengambil dengan niat tersebut, namun hatinya mengingatkan dan membisiki agar pikir-pikir dulu. Apalagi bila dia mendapati nominalnya ternyata sangat besar, 1 juta atau 100 ribu real, misalnya.
Maka awalnya dia punya azam (keinginan kuat), lalu menjadi berpikir-pikir, setelah itu pindahlah ke kantong pribadi.
Seseorang tidak boleh merasa aman dari bisikan dirinya. Terkadang dia ambil dengan niat tersebut, namun azamnya luntur tatkala melihat nominal uang yang sangat banyak. Dia pun berubah menjadi kikir dan akhirnya tidak mampu mengeluarkannya (sebagai sedekah).
Pernah diceritakan kepada saya, ada seseorang yang terkenal bakhil. Suatu hari dia naik ke loteng rumahnya dan meletakkan jarinya di telinganya seraya berteriak memanggil para tetangganya: “Selamatkan saya! Selamatkan saya!” Tetangganya pun tersentak kaget. Mereka berdatangan dan bertanya: “Ada apa denganmu, wahai Abu Fulan?” Diapun berkata: “Saya tadi telah memisahkan harta saya untuk saya keluarkan zakatnya. Namun saya dapati uang zakat tersebut sangat banyak. Hati kecil saya berkata: ‘Bila orang lain yang mengambilnya, maka hartamu akan berkurang.’ Maka tolonglah saya darinya.”
Ketujuh, sesungguhnya mengambil riba adalah tindakan tasyabbuh (menyerupai) orang Yahudi yang dicela Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ كَثِيْرًا. وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيْمًا

“Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa`: 160-161)
Kedelapan, mengambil riba tersebut mengandung kemudaratan dan celaan terhadap kaum muslimin. Sebab ulama Yahudi dan Nasrani tahu bahwa Islam mengharamkan riba. Bila seorang muslim mengambilnya, mereka akan berkata: “Lihatlah kaum muslimin! Kitab suci mereka mengharamkan riba, namun mereka tetap mengambilnya dari kita.”
Tidak syak lagi, ini adalah titik lemah kaum muslimin. Bila musuh-musuh mengetahui bahwa kaum muslimin menyelisihi agamanya, maka mereka mengetahui dengan yakin bahwa ini adalah titik kelemahan. Karena kemaksiatan tidak hanya berdampak kepada pelakunya, tetapi juga kepada Islam secara keseluruhan.

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً

“Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orangorang yang dzalim saja di antara kamu.” (Al-Anfal: 25)
Perhatikanlah! Para shahabat radhiyallahu ‘anhum adalah hizbullah dan pasukan-Nya, dan mereka bersama dengan sebaik-baik manusia, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada perang Uhud. Ada satu kemaksiatan yang terjadi pada mereka, lalu apa yang terjadi? Kekalahan setelah kemenangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حَتَّى إِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِي اْلأَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا أَرَاكُمْ مَا تُحِبُّوْنَ

“Sampai pada saat kalian lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepada kalian apa yang kalian sukai.” (Ali ‘Imran: 152)
Kemaksiatan memiliki pengaruh besar terhadap keterbelakangan kaum muslimin, penguasaan musuh terhadap mereka, dan kekalahan di hadapan musuh-musuh mereka. Bila sebuah kemenangan yang ada di depan mata dapat hilang karena sebuah kemaksiatan, bagaimana kiranya dengan sebuah kemenangan yang belum terwujud?
Musuh-musuh Islam sangat bergembira bila kaum muslimin mengambil riba, walaupun di sisi lain mereka tidak menyukainya. Namun mereka bergembira, sebab kaum muslimin terjatuh dalam kemaksiatan, sehingga akan terkalahkan.
Maka, satu dari delapan mafsadah yang dapat saya singgung di sini sudah cukup untuk melarang mengambil bunga bank. Dan saya kira, bila seseorang mencermati dan mengamati masalah ini dengan seksama, dia akan mendapati bahwa pendapat yang benar adalah tidak boleh mengambilnya.
Inilah pendapat dan fatwa saya. Bila benar maka datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menganugerahkannya dan segala puji untuk-Nya. Namun bila salah maka itu dari pribadi saya. Tetapi saya mengharap bahwa pendapat tersebut benar, berdasarkan dalil-dalil sam’i (Al-Kitab dan As-Sunnah) dan hikmah-hikmah yang telah saya uraikan.” (Fatawa Asy-Syaikh Ibn ‘Utsaimin, 2/709-713, dinukil dari Fatawa Buyu’ hal. 120-124)
Beliau juga mempunyai fatwa senada dalam Liqa`at Babil Maftuh (2/138-141) pada liqa` yang ke-27. Wallahul muwaffiq.
Dalam permasalahan seseorang yang menyimpan uang di bank lalu ia tahu tentang haramnya riba, apakah ia harus mengambil uangnya saja atau beserta ribanya, terdapat perbedaan pendapat. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan dalam kaset Silsilatul Huda wa Nur (231), bahwa ada yang berpendapat riba tersebut tidak diambil secara mutlak adapula yang berpendapat boleh diambil dan diberikan kepada fuqara. Ada lagi yang berpendapat riba tersebut boleh diambil tapi jangan dimanfaatkan oleh dia secara pribadi. Namun riba tersebut hendaknya diberikan untuk pembuatan fasilitas umum yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara bersama seperti jalan atau saluran air dan yang sejenisnya. (ed)

Masalah 4: Bolehkah membayar bunga yang diminta pihak bank dengan bunga yang diberikan pihak bank kepada kita?
Misalnya, meminjam uang di bank dengan bunga 5% per bulan, lalu dibayar dengan bunga dari uang yang disimpan di bank.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab kasus di atas (13/360-361): “Engkau menyimpan uang di bank dengan mengambil bunganya adalah haram. Dan engkau meminjam uang di bank dengan bunga juga haram. Maka tidak diperbolehkan bagimu untuk membayar bunga pinjaman yang diminta pihak bank dengan bunga yang diberikan pihak bank kepadamu karena tabunganmu.
Tetapi, yang wajib bagimu adalah berlepas diri dari bunga yang telah engkau terima dengan menginfakkannya dalam perkara-perkara kebaikan, untuk fakir miskin, memperbaiki fasilitas umum dan semisalnya. Dan engkau wajib bertaubat dan beristighfar serta menjauhi muamalah riba, karena hal itu termasuk dosa besar.”

Masalah 5: Bolehkah mengambil bunga bank untuk membayar pajak?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/367): “Tidak diperbolehkan bagimu menyimpan uang di bank dengan faedah (bunga), untuk membayar pajak yang dibebankan kepadamu dari bunga tersebut, berdasarkan keumuman dalil tentang haramnya riba.”

Masalah 6: Hukum transfer uang via bank.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu menjawab: "Bila sangat diperlukan transfer via bank-bank riba, maka tidak mengapa insya Allah, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya.” (Al-An’am: 119)
Tidak syak lagi bahwa transfer via bank termasuk kebutuhan primer masa kini secara umum….” (Fatawa Ibn Baz, 1/148-150, lihat Fatawa Buyu’ hal. 138-139)

Masalah 7: Hukum muamalah dengan cabang-cabang bank yang tidak mengandung riba, sementara kantor pusatnya adalah bank riba.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/374-375): “Tidak mengapa bila bermuamalah dengan bank atau cabangnya, bila muamalahnya tidak ada unsur riba. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Juga karena hukum asal muamalah adalah halal, dengan bank ataupun yang lainnya, selama tidak mengandung perkara yang haram…."

Masalah 8: Hukum bekerja di bank.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu menjawab: "…Tidak diperbolehkan bekerja di bank seperti ini (bank riba), sebab termasuk ta’awun di atas dosa dan permusuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma`idah: 2)
Disebutkan dalam Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau:

لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكاَتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Melaknat pelaku riba, yang memberi riba, penulis dan kedua saksinya. Beliau berkata: ‘Mereka semua sama’.”
Adapun gaji yang telah anda terima, maka itu halal bagi anda bila anda tidak tahu hukumnya secara syar’i, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيْمٍ

"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa." (Al-Baqarah: 275-276)
Adapun bila anda tahu bahwa pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan, maka wajib bagi anda untuk menyalurkan gaji yang telah anda terima untuk kepentingan-kepentingan kebaikan dan menyantuni fakir miskin, disertai dengan taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Barangsiapa bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taubat nasuha niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahankesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:

وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (An-Nur: 31) [Fatawa Ibn Baz, 2/195-196]
Fatwa senada juga disampaikan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t, sebagaimana dalam Fatawa Buyu’ (hal 128-132), juga Fatawa Al-Lajnah (13/344-345).

Masalah 9: Berbisnis dengan modal uang haram.
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab (13/41-42): “Pertama: Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyariatkan muamalah di kalangan kaum muslimin dengan akad-akad yang mubah, seperti akad jual-beli, sewa menyewa, salam, syarikah, dan semisalnya, yang mengandung kemaslahatan hamba.
Kedua: Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan sebagian akad karena mengandung unsur kemudaratan, seperti akad riba, asuransi bisnis, dan sebagian jual-beli barang haram seperti jual beli alat musik, menjual khamr, ganja dan rokok, karena mengandung beraneka macam kemudaratan.
Sehingga, setiap muslim wajib menempuh cara-cara mubah dalam mencari ma’isyah (penghidupan) dan usaha. Dan hendaklah dia menjauhi harta-harta yang haram dan cara-cara yang terlarang.
Bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tahu kejujuran niat seorang hamba dan tekadnya mengikuti syariat-Nya, upaya terbimbing dengan Sunnah Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi kemudahan atas segala urusannya dan akan melimpahkan rizki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Dalam sebuah hadits:

مَنْ تَرَكَ شَيْئًا لِلَّهِ عَوَّضَهُ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ

"Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan memberinya ganti yang lebih baik." (HR. Ahmad, 5/28)
Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak diperbolehkan bagi anda untuk berbisnis dengan modal uang haram, baik itu pemberian ayahmu ataupun dari yang lainnya.”

Masalah 10: Jual Beli Sistem Lelang
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini. Yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa jual-beli system lelang pada dasarnya dibolehkan dan halal. Bahkan sebagian ulama menukilkan ijma’ dalam masalah ini, seperti Ibnu Qudamah dan Ibnu Abdil Barr.
Ini adalah pendapat Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/126), dan Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adni hafizhahullah dalam Syarhul Buyu’ (hal. 53).
Dalam sistem lelang, penjual tidak diperkenankan menyebutkan terlebih dahulu harga barang yang dilelang, karena dikhawatirkan ada orang yang mendengar dari jauh dan mengira barang itu dihargai dengan nominal tersebut. Namun para pembeli dikumpulkan, lalu salah satu dari mereka menyebutkan harga nominal harga. Kemudian sang penjual mengatakan: “Siapa yang mau menambah harga?” Demikianlah hingga harga barang tersebut berhenti pada orang terakhir yang menyebutkannya. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 13/120-121, dan Syarhul Buyu’ hal. 53)
Dalam lelang tidak boleh ada unsur najsy, yaitu adanya pihak yang menaikkan harga barang padahal dia bukan pembeli (tidak bermaksud membelinya). Al-Lajnah Ad-Da`imah menjelaskan: “Seseorang yang menambahi harga barang yang dilelang padahal dia tidak bermaksud membelinya, tindakan tersebut adalah haram karena mengandung penipuan terhadap para pembeli. Sebab pembeli akan mengira/meyakini bahwa orang tersebut tidak akan berani menambah harga melainkan karena memang barang itu seharga tersebut, padahal tidak demikian. Inilah yang dinamakan najsy yang dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan larangan haram. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ النَّجْشِ

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang najsy.” (Muttafaqun ‘alaih)
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَلَقَّوْا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلىَ بَيْعِ بَعْضٍ وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ

“Janganlah kalian mencegah kafilah dagang (sebelum masuk pasar). Jangan pula sebagian kalian membeli apa yang sedang dibeli orang lain. Jangan pula kalian saling najsy. Dan orang kota tidak boleh menjualkan barang orang dusun.” (Muttafaqun ‘alaih)
Bila terjadi najsy dan ada unsur penipuan dalam akad yang tidak seperti biasanya, maka sang pembeli diberi pilihan: membatalkan akad atau meneruskannya, sebab kasus di atas masuk dalam khiyar ghubn.”
Dalam lelang, tidak diperbolehkan bagi pembeli untuk bersepakat tidak menambah harga dan menghentikannnya pada nominal tertentu padahal mereka membutuhkannya, dengan tujuan agar penjual melepas barangnya dengan harga di bawah standar. Demikian uraian Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat, lihat Majmu’ Fatawa (29/304).
Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/114) juga melarang tindakan di atas dan menggolongkannya ke dalam akhlak yang tercela. Bagi pembeli yang merasa ditipu, dia boleh memilih antara membatalkan akad atau meneruskannya.
Dalam lelang, biasanya para pembeli melakukan sistem muqana’ah, yaitu bersepakat menjadi kongsi dalam lelang. Setelah lelang selesai, mereka melakukan transaksi lagi di antara mereka sendiri. Sistem ini juga tidak diperbolehkan. Demikian fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/115), karena di dalamnya terkandung unsur kedzaliman terhadap penjual untuk kemaslahatan mereka sendiri.
Wallahu a’lam bish-shawab.