Rabu, 05 Juni 2013

Nasihat bukan Ghibah

Oleh: Ustadz Abdul Qadir Abu Fa’izah -Hafizhahullah-

Ghibah adalah perkara yang haram berdasarkan nash-nash syariat, baik dari Al-Qur’an, maupun Sunnah. Haramnya ghibah telah disepakati oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka berdasarkan dalil-dalil itu.
Diantara dalil haramnya ghibah, firman Allah -Azza wa Jalla-,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ  [الحجرات/12]
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk sangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruk sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Hujuraat: 12)
Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa Allah menyamakan seseorang yang menggibahi orang lain dengan orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Hal itu menunjukkan kepada kita betapa kejinya dan menjijikkannya ghibah ini, sehingga menjadi sesuatu yang diharamkan oleh Allah –‘Azza wa Jalla-. Tentunya kalau kita mempunyai akal yang sehat, kita pasti tidak ingin memakan bangkai apalagi bangkai saudara kita.

Al-Imam Asy-Syinqithiy -rahimahullah- berkata dalam Adhwa’ Al-Bayan (5/168), “Maka wajib bagi seorang muslim untuk jauh dari mencela kehormatan saudaranya dengan sungguh-sungguh”.
Di dalam hadits Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Apakah kalian tahu apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”. Beliau bersabda, “Engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang ia benci”. Ada yang bertanya, “Bagaimana pendapat anda, jika apa yang aku katakan ada pada saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan ada padanya, maka sungguh engkau telah meng-ghibahnya. Jika tidak ada, maka engkau telah menfitnahnya”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Birr wa Ash-Shilah wa Al-Adab, bab: Tahrim Al-Ghibah (no. 6536).]

Dari Sa’id bin Zaid -radhiyallahu anhu- bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الِاسْتِطَالَةَ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Sesungguhnya diantara riba yang paling besar adalah mencela kehormatan seorang, tanpa haq”. [HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Adab, bab: fil Ghibah (no. 4876), cet. Dar Ibn Hazm, 1419 H. Hadits di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no. 5045), dan Ash-Shohihah (no. 1433 & 1871)]

Mencela kehormatan muslim tanpa hak adalah terlarang. Namun jika ia melakukan suatu kekeliruan, maka boleh kita sebutkan jika maslahat menuntut hal itu. Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abadi -rahimahullah- berkata saat menjelaskan sebuah faedah dari hadits ini,
“Di dalamnya terdapat suatu peringatan bahwa kehormatan terkadang boleh dihalalkan dalam sebagian kondisi. Demikian itu, seperti sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, “Penangguhan (bayar utang) oleh orang yang mampu adalah menghalalkan kehormatannya. Lantaran itu boleh bagi pemilik hak untuk berkata tentang orang itu, “Sesungguhnya ia zhalim”, “Sesungguhnya ia melampaui batas”, dan sejenisnya. Semisal perkara ini, penyebutan keburukan-keburukan seorang pelamar, ahli bid’ah, orang fasiq dengan maksud men-tahdzir (mengingatkan keburukannya)”. [Lihat Aunul Ma'bud (13/183) karya Al-Azhim Abadi, tahqiq Shidqi Muhammad Jamil Al-Aththor, cet. Dar Al-Fikr, 1415 H]

Menyebutkan aib seorang muslim adalah haram bila tak ada kemaslahatan atau tujuan syariat yang mengharuskan hal tersebut. Nah, kapankah kemaslahatan atau tujuan syariat menuntut untuk menyebut aib seorang muslim? Pertanyaan ini dijawab tuntas oleh Al-Imam Abu Zakariyya An-Nawawiy -rahimahullah- saat ia berkata,
تُبَاح الْغِيبَة لِغَرَضٍ شَرْعِيّ ، وَذَلِكَ لِسِتَّةِ أَسْبَاب : أَحَدهَا: التَّظَلُّم ؛ فَيَجُوز لِلْمَظْلُومِ أَنْ يَتَظَلَّم إِلَى السُّلْطَان وَالْقَاضِي وَغَيْرهمَا مِمَّنْ لَهُ وِلَايَة أَوْ قُدْرَة عَلَى إِنْصَافه مِنْ ظَالِمه ، فَيَقُول : ظَلَمَنِي فُلَان ، أَوْ فَعَلَ بِي كَذَا . الثَّانِي الِاسْتِغَاثَة عَلَى تَغْيِير الْمُنْكَر ، وَرَدّ الْعَاصِي إِلَى الصَّوَاب ، فَيَقُول لِمَنْ يَرْجُو قُدْرَته : فُلَان يَعْمَل كَذَا فَازْجُرْهُ عَنْهُ وَنَحْو ذَلِكَ . الثَّالِث الِاسْتِفْتَاء بِأَنْ يَقُول لِلْمُفْتِي : ظَلَمَنِي فُلَان أَوْ أَبِي أَوْ أَخِي أَوْ زَوْجِي بِكَذَا فَهَلْ لَهُ ذَلِكَ ؟ وَمَا طَرِيقِي فِي الْخَلَاص مِنْهُ وَدَفْع ظُلْمه عَنِّي ؟ وَنَحْو ذَلِكَ ، فَهَذَا جَائِز لِلْحَاجَةِ ، وَالْأَجْوَد أَنْ يَقُول فِي رَجُل أَوْ زَوْج أَوْ وَالِد وَوَلَد : كَانَ مِنْ أَمْره كَذَا ، وَمَعَ ذَلِكَ فَالتَّعْيِين جَائِز لِحَدِيثِ هِنْد وَقَوْلهَا : إِنَّ أَبَا سُفْيَان رَجُل شَحِيح . الرَّابِع تَحْذِير الْمُسْلِمِينَ مِنْ الشَّرّ ، وَذَلِكَ مِنْ وُجُوه : مِنْهَا جَرْح الْمَجْرُوحِينَ مِنْ الرُّوَاة ، وَالشُّهُود ، وَالْمُصَنِّفِينَ ، وَذَلِكَ جَائِز بِالْإِجْمَاعِ ، بَلْ وَاجِب صَوْنًا لِلشَّرِيعَةِ ، وَمِنْهَا الْإِخْبَار بِعَيْبِهِ عِنْد الْمُشَاوَرَة فِي مُوَاصَلَته ، وَمِنْهَا إِذَا رَأَيْت مَنْ يَشْتَرِي شَيْئًا مَعِيبًا أَوْ عَبْدًا سَارِقًا أَوْ زَانِيًا أَوْ شَارِبًا أَوْ نَحْو ذَلِكَ تَذْكُرهُ لِلْمُشْتَرِي إِذَا لَمْ يَعْلَمهُ نَصِيحَة ، لَا بِقَصْدِ الْإِيذَاء وَالْإِفْسَاد ، وَمِنْهَا إِذَا رَأَيْت مُتَفَقِّهًا يَتَرَدَّد إِلَى فَاسِق أَوْ مُبْتَدِع يَأْخُذ عَنْهُ عِلْمًا ، وَخِفْت عَلَيْهِ ضَرَره ، فَعَلَيْك نَصِيحَته بِبَيَانِ حَاله قَاصِدًا النَّصِيحَة ، وَمِنْهَا أَنْ يَكُون لَهُ وِلَايَة لَا يَقُوم بِهَا عَلَى وَجْههَا لِعَدَمِ أَهْلِيَّته أَوْ لِفِسْقِهِ ، فَيَذْكُرهُ لِمَنْ لَهُ عَلَيْهِ وِلَايَة لِيُسْتَدَلّ بِهِ عَلَى حَاله ، فَلَا يَغْتَرّ بِهِ ، وَيَلْزَم الِاسْتِقَامَة . الْخَامِس أَنْ يَكُون مُجَاهِرًا بِفِسْقِهِ أَوْ بِدْعَته كَالْخَمْرِ وَمُصَادَرَة النَّاس وَجِبَايَة الْمُكُوس وَتَوَلِّي الْأُمُور الْبَاطِلَة فَيَجُوز ذِكْره بِمَا يُجَاهِر بِهِ ، وَلَا يَجُوز بِغَيْرِهِ إِلَّا بِسَبَبٍ آخَر . السَّادِس التَّعْرِيف فَإِذَا كَانَ مَعْرُوفًا بِلَقَبٍ كَالْأَعْمَشِ وَالْأَعْرَج وَالْأَزْرَق وَالْقَصِير وَالْأَعْمَى وَالْأَقْطَع وَنَحْوهَا جَازَ تَعْرِيفه بِهِ ، وَيَحْرُم ذِكْره بِهِ تَنَقُّصًا وَلَوْ أَمْكَنَ التَّعْرِيف بِغَيْرِهِ كَانَ أَوْلَى . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Ghibah dibolehkan untuk tujuan syar’i. Demikian itu untuk enam sebab.
  • Pertama: Mengadukan kezhaliman. Lantaran itu, boleh bagi yang terzhalimi untuk mengadukan kezhaliman seseorang kepada penguasa dan hakim, serta yang lainnya dari kalangan orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk memberikannya keadilan dari yang menzhaliminya, seraya berkata, “Si fulan telah menzhalimi aku”, atau “Dia telah melakukan demikian pada diriku”.
  • Kedua: meminta pertolongan dalam mengubah kemungkaran, dan mengembalikan si pelaku maksiat kepada kebenaran. Maka dia (yang meminta pertolongan) berkata kepada orang yang ia harapkan kemampuannya, “Si fulan akan melakukan demikian, maka cegahlah ia darinya”, dan semisalnya.
  • Ketiga: Meminta fatwa, dengan cara ia berkata kepada si mufti, “Si fulan telah menzhalimi aku, bapakku, saudaraku, suamiku dengan perbuatan demikian. Boleh baginya hal itu? Apa solusi bagiku agar selamat darinya, dan mencegah kezhalimannya dariku?”, dan semisal itu. Ini boleh jika diperlukan. Yang terbaik, ia katakan tentang seorang lelaki, suami, atau orang tua dan anak, “Diantara permasalahanya demikian”. Di samping itu, menjelaskan orangnya adalah boleh berdasarkan hadits Hindun dan ucapannya, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah suami yang kikir”.[ HR. Al-Bukhoriy dalam dalam Kitab Al-Buyu', bab; Man Ajraa Amrol Amshor…(2211), dan Muslim dalam Kitab Al-Aqdhiyah, bab: Qishshoh Hindin (no. 4452) dari jalur lain dari Hisyam.]
  • Keempat: Men-tahdzir (mengingatkan) kaum muslimin tentang suatu keburukan. Hal seperti ini ada beberapa bentuknya. Diantaranya, men-jarh (mencacat) orang-orang yang cacat dari kalangan para rawi, saksi, dan penulis. Hal itu boleh berdasarkan ijma’ (kesepakatan). Bahkan itu wajib demi menjaga syari’at. Diantaranya juga, mengabarkan aibnya ketika bermusyawarah dalam meneruskannya. Termasuk juga dalam hal ini, jika anda melihat seorang yang akan membeli sesuatu yang cacat atau hamba yang suka mencuri atau tukang zina atau pemabuk dan sejenisnya. Anda menyebutkan aibnya kepada si pembeli itu, jika ia belum mengetahui hal itu sebagai nasihat baginya, bukan untuk tujuan menyakiti dan merusak. Diantaranya juga, jika anda melihat seorang pelajar yang berbolak-balik kepada seorang yang fasiq, atau ahli bid’ah, sedang ia mengambil ilmu darinya, dan anda khawatirkan madhorot akan menimpa dirinya, maka wajib bagi anda menasihatinya dengan menjelaskan kepadanya tentang kondisi si fasiq/ahli bid’ah itu dalam keadaan menginginkan nasihat. Termasuk pula, jika seseorang memiliki tugas yang ia tak akan kerjakan sebagaimana mestinya, karena tidak adanya keahlian padanya atau karena kefasiqannya. Maka ia (penasihat) menyebutkan aibnya bagi orang yang memiliki kekuasaan atasnya, agar dijadikan petunjuk tentang kondisinya. Sehingga ia (yang dinasihati) tak tertipu dengan orang itu, dan ia tetap istiqomah”.
  • Kelima: jika seseorang menampakkan kefasiqan atau bid’ahnya, seperti minum khomer, menyita harta manusia, memungut pajak, melakukan perkara-perkara batil. Boleh menyebutkannya dengan dosa yang ia tampakkan, dan tak boleh yang lain, tanpa ada sebab lain.
  • Keenam: memperkenalkan seseorang. Jika ia terkenal dengan suatu gelar, seperti: Al-A’masy (si juling), Al-A’rooj (si pincang), Al-Azroq (sejenis burung elang), Al-Qoshir (si pendek), Al-A’maa (si buta), Al-Aqtho’ (yang putus tangannya), dan sejenisnya, maka boleh memperkenalkannya dengan hal itu. Namun haram menyebutnya dengan hal itu demi merendahkannya. Jika mungkin memperkenalkannya dengan selain hal itu, maka itulah yang lebih utama, wallahu a’lam“. [ Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim Ibn Al-Hajjaj (16/358-359), cet. Dar Al-Ma'rifah, 1421 H, dan Riyadhush Sholihin, bab: (256) Bayan maa Yubaah minal Ghibah, (hal. 508-510), tahqiq Ali bin Hasan Al-Halabiy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1421 H]
Enam sebab dan kondisi tersebut merupakan bentuk nasihat yang syar’iy, bukan celaan atau ghibah yang diharamkan dalam agama, bahkan ia adalah perkara yang dituntut dari orang yang berilmu tentang masalah ini. 

Jika seseorang menampakkan maksiatnya, atau bid’ahnya, maka tak ada salahnya kita menyebutkan kondisi dirinya kepada orang lain agar orang lain waspada dari pelanggaran dan penyimpangannya sebagai bentuk nasihat kepada saudara muslim. Apalagi hari ini banyak sekali ustadz-ustadz suu’ (buruk) yang memiliki akhlak buruk atau aqidah yang batil.

Oleh karena itu, ketika Abdullah bin Ahmad bertanya kepada ayahnya (Imam ahmad bin Hambal) tentang seorang ahli hadits yang mendatangi seorang yang dianggap ahli bid’ah atau menyelisihi sunnah, apa seorang diam, ataukah men-tahdzirnya (mengingatkan penyimpangannya), maka Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- berkata,
“Jika Syaikh itu mengajak kepada bid’ah, sedang ia adalah pemimpin di dalamnya, dan mengajak kepada bid’ah itu, ya engkau boleh men-tahdzir (mengingatkan bahaya)nya”.[Lihat Al-Kifayah (92)]
Ali bin Salamah Al-Labqiy -rahimahullah- berkata, “Aku mendengarkan Sufyan bin Uyainah berkata, “Ada tiga orang yang tak ada ghibah bagi mereka -diantaranya-: Orang fasiq yang menampakkan kefasiqannya, dan ahli bid’ah yang mengajak kepada bid’ahnya…” [HR. Al-Baihaqiy dalam Syu'ab Al-Iman (no. 6792)]

Al-Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Baaz -rahimahullah- berkata, “Jika seseorang menampakkan bid’ahnya atau maksiatnya, maka tak ada ghibah bagi orang yang menampakkannya, dan minum khomer, disebut “fajir”, atau ia merokok, cukur jenggot; tak ada ghibah baginya. Dia sendiri telah membuka aib dirinya. Demikian pula orang yang menampakkan bid’ahnya, seperti orang-orang yang melakukan bid’ah perayaan maulid atau malam ke- 27 Sya’ban, malam Isra’ Mi’raj sebagaimana mereka sangka; atau mereka melakukan bid’ah dengan membangun sesuatu di atas kubur, mengecatnya, dan membangun kubah-kubah di atasnya; mereka ini harus diingkari dan dinyatakan bahwa ini tidak boleh, ini bid’ah. Maksudnya di sini, barang siapa yang menampakkan bid’ah dan maksiatnya, maka tak ada ghibah baginya dalam perkara yang ia tampakkan. Engkau berkata ketika melihat si fulan menampakkan bid’ah begini, sedang ia mengajak kepadanya,” Waspadailah dia!”. [Lihat Lammu Ad-Durril Mantsur (hal.183-184)]

Inilah sekelumit permasalahan ghibah. Ghibah tidaklah diharamkan secara mutlak, bahkan ia dibolehkan dalam beberapa kondisi tersebut, karena adanya maslahat yang menuntut adanya. Jika tidak dilakukan ghibah padanya, maka sebaliknya kerusakan yang akan muncul. Oleh karenanya, tak boleh seseorang dengan serta-merta mengharamkan ghibah secara mutlak. Ia hendaknya mengetahui bahwa ghibah memang haram secara global. Adapun perinciannya, maka disana ada enam kondisi, ghibah boleh di dalamnya.

Tulisan ini sengaja kami munculkan demi menepis sangkaan sebagian pembaca bahwa kami telah berbuat ghibah yang haram saat menjelaskan penyimpangan Mbah Marijan. Memang itu ghibah, tapi ghibah yang boleh. Bahkan mungkin wajib, sebab ia merupakan nasihat, bukan celaan semata demi menyelamatkan manusia dari kesesatan Mbah Marijan yang ditokohkan.
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne, Kel. Borong Loe, Kec. BontoMarannu, Gowa-Sulsel. Pimpinan Redaksi / Penanggung Jawab : Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qadir Al-Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).
 http://pesantren-alihsan.org/nasihat-bukan-ghibah.html

0 komentar:

Posting Komentar