“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang
anak yang halim (cerdik dan bijaksana). Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, lakukanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri
dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran
keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu,’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini
benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian
yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu)
‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.” (Ash-Shaffat: 100-109)
Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat
Seorang anak yang cerdik dan bijaksana. Yang dimaksud adalah di saat dia dewasa, dia memiliki sifat ini.
Para
ulama berbeda pendapat tentang siapa dari anak Ibrahim 'alaihissalam,
yang dimaksud dalam ayat tersebut. Sebagian mengatakan yang dimaksud
adalah Ishaq. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian salaf seperti
Ikrimah dan Qatadah. Ada juga yang menukil dari beberapa sahabat, di
antaranya ‘Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, Umar
bin Al-Khaththab, Jabir, dan yang lainnya radiallohu anhum ajma’in.
Sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah Isma’il ‘alaihissalam,
dan ini pendapat yang dinukilkan dari Abu Hurairah dan Abu Thufail Amir
bin Watsilah. Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radiallohu
anhumaa. Dan ini pendapat Sa’id bin Musayyab, Asy-Sya’bi, Yusuf bin
Mihran, dan yang lainnya. Dan pendapat ini dikuatkan oleh para ahli
tahqiq seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Abdurrahman
As-Sa’di, Asy-Syinqithi, dan yang lainnya rahimahumullah.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Taisir Al-Karim Arrahman, Adhwa`ul Bayan, dan Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 4/331-336)
Pendapat yang terkuat adalah yang kedua. Kuatnya pendapat ini ditinjau dari beberapa sisi :
Pertama:
Bahwa Allah Subhaanahu wata’aala, mengabarkan berita gembira kepada
Ibrahim ‘alaihissalam, tentang anak yang akan disembelih. Kemudian
setelah menyebut kisahnya secara sempurna, Allah Subhaanahu wata’aala,
menjelaskan setelahnya berita gembira tentang lahirnya Ishaq
alaihissalam, :
“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran)
Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih. Kami
limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq.” (Ash-Shaffat: 112-113)
Maka ini menunjukkan bahwa ada dua berita gembira, berita tentang anak yang akan disembelih serta anak yang bernama Ishaq.
Kedua:
bahwa Allah k tidak menyebut tentang kisah penyembelihan kecuali pada
surat Ash-Shaffat saja, sedangkan pada ayat-ayat yang lain hanya
disebutkan berita gembira tentang lahirnya Ishaq secara khusus.
Ketiga: Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman:
“Dan
istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami
sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari
Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.” (Hud: 71)
Kalau
sekiranya yang disembelih itu Ishaq, tentu Ibrahim q akan menganggap
terjadinya penyalahan janji tentang munculnya Ya’qub dari keturunan
Ishaq alaihissalam.
Keempat: Bahwa yang disifati dengan sifat sabar adalah Isma’il alaihissalam, seperti dalam firman-Nya:
“Dan (ingatlah kisah) Isma’il, Idris, dan Dzulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Anbiya`: 85)
Dan masih ada lagi sisi penguat yang menunjukkan bahwa yang akan disembelih adalah Isma’il alaihissalam, bukan Ishaq.
Syaikhul Islam rahimahullah, menjelaskan:
“Yang
wajib diyakini bahwa yang dimaksud (ayat ini) adalah Isma’il. Dan inilah
yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-sunnah, serta penguat-penguat
yang masyhur. Ini pula yang disebutkan dalam Kitab Taurat yang ada di
tangan ahli kitab, di mana disebutkan padanya bahwa (Allah Subhaanahu
wata’aala,) berfirman kepada Ibrahim:
“Sembelihlah anakmu yang satu-satunya.”
Dalam naskah yang lain: بَكْرَكَ (anak semata wayang dari ibu yang satu).
Dan
Isma’il adalah anak satu-satunya yang dari satu ibu (pada masa itu)
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin dan ahli kitab. Namun ahli kitab
mengubah lalu menambah kata ‘Ishaq’, lantas dkutip oleh sebagian orang
dan menyebar di sebagian kaum muslimin bahwa yang dimaksud adalah Ishaq,
padahal asalnya adalah dari perubahan ahli kitab.” (Majmu’ Fatawa,
4/331-332)
Penjelasan Ayat
As-Sa’di rahimahullah, ketika menjelaskan ayat-ayat ini mengatakan:
“(Ibrahim berkata): ‘Wahai Rabb-ku, berikanlah aku seorang anak yang
termasuk dari kalangan orang-orang yang shalih’. Beliau mengucapkan itu
tatkala ia telah putus asa dari kaumnya di mana beliau tidak melihat
kebaikan pada mereka. Beliau pun berdoa kepada Allah Subhaanahu
wata’aala, agar memberikan karunia kepadanya seorang anak yang shalih,
yang Allah Subhaanahu wata’aala, memberi manfaat baginya dalam kehidupan
dan setelah kematiannya. Maka Allah Subhaanahu wata’aala, pun
mengabulkannya dan berfirman: ‘Maka Kami memberi kabar gembira kepadanya
dengan lahirnya seorang anak yang cerdik dan bijaksana’, dan tidak ada
keraguan bahwa dialah Isma’il ‘alaihissalam. Karena Allah Subhaanahu
wata’aala, menyebutkan berita gembira setelahnya dengan lahirnya Ishaq
‘alaihissalam, dan karena Allah Subhaanahu wata’aala, menyebutkan
tentang berita gembira lahirnya Ishaq ‘alaihissalam, dengan firman-Nya:
“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami
sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari
Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.” (Hud: 71)
Sehingga ini menunjukkan bahwa Ishaq bukanlah yang akan disembelih.
Dan Allah Subhaanahu wata’aala, memberi sifat Isma’il dengan
kebijaksanaan, yang mengandung kesabaran, akhlak yang baik, lapang dada,
serta memaafkan orang yang bersalah. Tatkala anak tersebut telah
mencapai waktu untuk bisa bekerja bersama ayahnya dan biasanya hal itu
di saat mencapai usia baligh, dia pun senang untuk melakukan yang
terbaik untuk kedua orangtuanya, telah hilang kesulitannya dan telah
terasa manfaatnya. Maka Ibrahim q berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya aku
melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu,’ yaitu Allah Subhaanahu
wata’aala, memerintahkanku untuk menyembelihmu. Karena mimpi para nabi
adalah wahyu, maka perhatikanlah apa pendapatmu, sesungguhnya perintah
Allah Subhaanahu wata’aala, harus dijalankan.
Maka Isma’il
‘alaihissalam, yang senantiasa bersabar dan mengharap keridhaan Rabb-nya
serta berbakti kepada ayahnya berkata: ‘Wahai ayahandaku, lakukanlah
apa yang diperintahkan kepadamu, engkau akan mendapatiku –insya Allah-
termasuk di antara orang-orang yang bersabar.’
Dia mengabarkan kepada ayahnya bahwa dia telah menetapkan dirinya di
atas kesabaran dan menggandengkan hal tersebut dengan kehendak Allah
Subhaanahu wata’aala. Sebab tidaklah terjadi sesuatu tanpa kehendak-Nya.
Tatkala keduanya telah berserah diri, yaitu Ibrahim dan Isma’il
anaknya, dalam keadaan dia telah menetapkan untuk membunuh anak
sekaligus buah hatinya, sebagai wujud menaati perintah Rabbnya dan takut
dari siksaan-Nya, sedangkan sang anak telah menetapkan dirinya di atas
kesabaran, dan Ibrahim telah meletakkan Isma’il dengan membelakangi
wajahnya dan tengkuknya berada di atas, ia menidurkannya dan akan
menyembelihnya, wajahnya dibalik agar dia tidak melihat ke wajahnya di
saat penyembelihan. Kamipun memanggilnya dalam kondisi yang menegangkan
dan keadaan yang sangat mencekam itu: ‘Wahai Ibrahim,’ engkau telah
membenarkan dan melakukan apa yang diperintahkan kepadamu. Sesungguhnya
engkau telah menetapkan dirimu di atas hal tersebut, dan engkau telah
melakukan semua sebab, serta tidak ada yang tersisa kecuali melewatkan
pisau di atas tenggorokannya. Sesungguhnya Kami dengan itu membalas
orang-orang yang berbuat kebaikan dalam beribadah kepada Kami, yang
lebih mengutamakan keridhaan Kami daripada hawa nafsunya.
Sesungguhnya
ujian yang kami berikan kepada Ibrahim ini benar-benar merupakan ujian
yang nyata, yang menjelaskan ketulusan Ibrahim, dan kesempurnaan
cintanya kepada Rabb-nya serta menjadi khalil-Nya. Karena tatkala Allah
Subhaanahu wata’aala, memberikan karunia Isma’il ‘alaihissalam, kepada
Ibrahim ‘alaihissalam, dia pun sangat mencintainya. Padahal beliau
adalah Khalilullah di mana khalil merupakan tingkatan kecintaan yang
tertinggi, dan itu harus murni dan tidak menerima adanya penyetaraan,
serta menghendaki agar seluruh unsur kecintaan tersebut benar-benar
terpaut kepada yang dicintai.
Tatkala ada satu unsur dari hati
Ibrahim yang melekat pada diri Isma’il, Allah Subhaanahu wata’aala,
hendak memurnikan kecintaan Ibrahim kepada-Nya dan menguji khalil-Nya.
Maka Dia memerintahkan untuk menyembelih orang yang kecintaannya telah
mengusik kecintaan kepada Rabb-nya. Tatkala Ibrahim lebih mengutamakan
kecintaan Allah Subhaanahu wata’aala, dan lebih mendahulukannya di atas
hawa nafsunya, serta bertekad untuk menyembelihnya, hilanglah sesuatu
yang mengusik dalam hatinya tersebut, sehingga penyembelihan pun tidak
berfaedah lagi.
Oleh karenanya Allah Subhaanahu wata’aala, berfirman:
‘Sesungguhnya
benar-benar ini merupakan ujian yang nyata, dan Kami menebusnya dengan
sembelihan yang agung,’ yaitu diganti dengan sembelihan berupa kambing
yang agung yang disembelih Ibrahim. Keagungan kambing tersebut dari sisi
bahwa itu adalah tebusan dari Isma’il q di mana itu termasuk di antara
ibadah yang agung. Dan dari sisi bahwa hal itu menjadi ibadah qurban dan
sunnah hingga hari kiamat. Dan kami meninggalkan untuknya pujian yang
benar pada orang-orang belakangan sebagaimana orang-orang terdahulu.
Sehingga setiap yang datang setelah Ibrahim ‘alaihissalam, senantiasa
mencintai, mengagungkan, dan memuji, ‘keselamatan atas Ibrahim’ yaitu
penghormatan atasnya.
Seperti firman-Nya:
“Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah dan
kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang
lebih baik ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?’.” (An-Naml:
59) [lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman]
Telah diriwayatkan oleh Abu Thufail dari Ibnu Abbas c, dia berkata:
“Tatkala Ibrahim ‘alaihissalam, diperintah untuk menyembelih anaknya,
setan pun berusaha menggodanya ketika berada di tempat sa’i, lalu
berusaha mendahului Ibrahim. Namun Ibrahim berhasil mendahuluinya.
Jibril lantas membawa Ibrahim menuju jamratul ‘aqabah. Setan pun kembali
menggodanya. Beliau pun melemparnya dengan tujuh kerikil, hingga setan
itu pergi lalu menggodanya kembali di jamratul wustha. Ibrahim pun
melemparnya dengan tujuh kerikil. Dan di sanalah Isma’il dibaringkan,
dalam keadaan Isma’il memakai gamis berwarna putih. Lalu ia (Ismail)
berkata: ‘Wahai ayahku, aku tidak memiliki baju yang mengafaniku selain
ini, maka lepaslah agar ia menjadi kain kafanku.’ Ketika beliau hendak
melepasnya, terdengarlah panggilan dari belakangnya: ‘Wahai Ibrahim,
sungguh engkau telah menjalankan mimpimu.’ Ibrahim pun berbalik,
ternyata ada seekor domba putih, bertanduk, dan bermata lebar. Ibnu
Abbas radiallohu anhu berkata: ‘Sungguh kami pernah menjual jenis domba
seperti ini’.”
(HR. Ahmad, 1/297, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/638,
Al-Baihaqi, 5/153, At-Thabari dalam Tafsir-nya, 23/80. Al-Hakim
menyatakan: “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim;
dan keduanya tidak mengeluarkannya.” Dan dishahihkan Al-Albani dalam
Shahih At-Targhib Wat-Tarhib: 2, no. 1156)
Berqurban, Sebagai Bukti Pengorbanan
Ayat yang mulia ini menjelaskan betapa beratnya cobaan yang Allah
Subhaanahu wata’aala, berikan kepada Ibrahim ‘alaihissalam, serta betapa
besarnya pengorbanannya sebagai bentuk pembuktian dirinya sebagai hamba
Allah Subhaanahu wata’aala, yang berserah diri sepenuhnya, dan sebagai
khalilullah yang memurnikan kecintaannya hanya untuk-Nya. Dan ini
menunjukkan bahwa Allah Subhaanahu wata’aala, senantiasa memberikan
cobaan kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai jenis cobaan, untuk
membuktikan keimanan hamba tersebut. Allah Subhaanahu wata’aala,
berfirman:
“Tidaklah datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur`an pun
yang baru (diturunkan) dari Rabb mereka, melainkan mereka mendengarnya,
sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan
mereka yang dzalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: ‘Orang ini tidak
lain hanyalah seorang manusia (juga) seperti kamu, maka apakah kamu
menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?’.” (Al-Anbiya`: 2-3)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).
Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)
Ibrahim
‘alaihissalam, akhirnya memang tidak melaksanakan penyembelihan
terhadap anaknya, sebab Allah Subhaanahu wata’aala, memberikan ujian
tersebut bukan dalam rangka mewujudkan penyembelihan terhadap anaknya
tersebut, namun semata-mata untuk membuktikan kecintaan Ibrahim
‘alaihissalam, yang murni hanya untuk Allah k. Hal ini mirip dengan
kisah yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam,
tentang tiga orang dari kalangan Bani Israil: orang yang berpenyakit
sopak, si botak, dan si buta.
Allah Subhaanahu wata’aala, hendak menguji mereka dengan mengutus
seorang malaikat, lalu mendatangi orang yang berpenyakit sopak, lalu
bertanya: “Apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Warna kulit yang
indah, kulit yang bagus, dan hilang penyakit yang karenanya manusia
merasa jijik dariku.” Maka malaikat itu pun mengusapnya, hingga
hilanglah penyakit tersebut dan ia diberi warna kulit yang indah. Lalu
dikatakan kepadanya: “Harta apa yang paling engkau sukai?” ia menjawab:
“Unta.” Maka ia pun diberi unta betina yang sedang bunting, dan
dikatakan kepadanya: “Semoga Allah Subhaanahu wata’aala, memberi berkah
untukmu.”
Lalu malaikat itu mendatangi si botak dan bertanya: “Apa yang paling
engkau sukai?” Ia menjawab: “Rambut yang indah dan hilangnya apa yang
membuat manusia merasa jijik dariku.” Malaikat itu pun mengusapnya
sehingga hilanglah botaknya dan dia diberi rambut yang indah. Lalu dia
ditanya: “Harta apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Sapi.” Maka
ia pun diberi sapi betina yang hamil. Lalu dikatakan kepadanya: “Semoga
Allah Subhaanahu wata’aala, memberi berkah untukmu.”
Lalu malaikat
itu mendatangi si buta, dan berkata seperti yang diucapkan kepada yang
sebelumnya, maka Allah Subhaanahu wata’aala, mengembalikan
penglihatannya dan diberi seekor kambing yang hamil.
Tidak lama kemudian harta mereka berkembang biak. Sehingga yang
pertama memiliki satu lembah unta, yang kedua memiliki satu lembah sapi,
dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.
Lalu datanglah malaikat tersebut kepada orang yang pernah berpenyakit
sopak, dalam bentuk dan keadaannya yang dulu lalu berkata: “Aku orang
miskin. Aku sudah tidak punya bekal dalam perjalananku. Tidak ada yang
dapat melanjutkan perjalananku kecuali karena Allah Subhaanahu
wata’aala, kemudian karena engkau. Aku meminta kepadamu dengan nama Dzat
yang telah memberikan kepadamu warna kulit yang indah, kulit yang
bagus, dan harta, agar engkau berikan aku seekor unta sehingga aku dapat
melanjutkan perjalananku.” Ia menjawab: “Banyak hak-hak manusia yang
harus ditunaikan.” Si miskin berkata: “Sepertinya aku mengenalmu,
bukankah dahulu engkau berpenyakit sopak dan manusia merasa jijik
darimu, miskin, lalu Allah Subhaanahu wata’aala, memberikan ini semua
kepadamu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku mewarisi harta ini dari nenek
moyangku yang mulia secara turun-temurun.” Maka si miskin berkata: “Jika
engkau berdusta, semoga Allah Subhaanahu wata’aala, mengembalikanmu
seperti dulu. ”
Lalu ia (malaikat) mendatangi si botak dan berkata kepadanya seperti
yang dikatakan kepada sebelumnya, dan si botak pun menjawab seperti
jawaban orang sebelumnya (yang berpenyakit sopak).Maka ia (malaikat)
berkata: “Jika engkau berdusta, semoga Allah Subhaanahu wata’aala,
mengembalikan engkau seperti dulu.”
Lalu ia (malaikat) mendatangi si buta dalam bentuk dan keadaannya
(yang dahulu), kemudian berkata: “Aku orang miskin, yang kehabisan bekal
dalam perjalananku. Tidak ada yang menyampaikanku hari ini kecuali
dengan bantuan Allah Subhaanahu wata’aala, kemudian bantuanmu. Aku
meminta kepadamu dengan nama Dzat yang telah mengembalikan penglihatanmu
agar engkau berikan aku seekor kambing yang dapat menyampaikanku dalam
perjalananku.” Maka ia menjawab: “Dahulu aku buta, lalu Allah Subhaanahu
wata’aala, mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah harta mana yang
engkau inginkan dan tinggalkan yang mana yang engkau mau. Demi Allah,
aku tidak merasa berat padamu pada hari ini dengan sesuatu yang engkau
mengambilnya karena Allah k.” Maka malaikat itu menjawab: “Jagalah
hartamu, sesungguhnya kalian hanyalah diuji. Sungguh Allah Subhaanahu
wata’aala, telah meridhaimu, dan murka terhadap dua temanmu.” (Muttafaq ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah radiallohu anhu)
Hadits ini menunjukkan bahwa malaikat tersebut tidak berkeinginan
untuk mengambil harta si buta, namun hanya sekedar memberi ujian
terhadap kebenaran imannya. Dan hal tersebut telah terbukti. Semoga kita
dapat mengambil pelajaran dari kisah pengorbanan Ibrahim ‘alaihissalam
ini.
Wabillahit taufiq.
Sumber : http://asysyariah.com/berkurban-sebagai-cara-untuk-berkurban.html
Kamis, 25 Oktober 2012
Posted by Maktabah Al-Karawanjy on 10/25/2012 01:28:00 PM with No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar