Jumat, 11 November 2011

Jangan kau Duakan Ibadahmu

Kesyirikan tidak hanya terjadi pada jaman jahiliyyah saat Rasulullah belum diutus. Kesyirikan juga merebak di masa kini meski dikemas dengan bungkus baru. Kehati-hatian agar tidak terjatuh pada perbuatan syirik sangatlah penting karena Allah menyebut perbuatan ini sebagai dosa besar yang paling besar dan tidak akan memberi ampunan pada pelakunya kecuali ia telah bertaubat.

Dalam beberapa edisi yang telah lalu, telah dibahas permasalahan seputar aqidah, terutama kaitannya dengan pembahasan bagaimana seseorang bisa memperbaiki hubungannya dengan Allah  atau yang diistilahkan dengan ibadah. Pada edisi mendatang insya Allah , akan dibahas suatu permasalahan yang sangat besar yang bisa menjadikan peribadatan seseorang menjadi amalan yang sia-sia bahkan bisa menjadi adzab baginya. Itulah lawan dari ibadah yaitu syirik.
Untuk mengawali pembahasan seputar syirik, pada edisi ini akan dipaparkan sejarah kemunculan syirik yang terjadi pada umat manusia. Sementara bagaimana hakikat kesyirikan itu sendiri, jenis-jenisnya, serta pengaruhnya dalam kehidupan sebagai individu, masyarakat, dan bernegara, akan dibahas pada edisi mendatang, insya Allah . Selain itu, kajian mendatang juga akan membongkar praktek syirik yang berkembang di masyarakat.

Awal Terjadinya Kesyirikan
Allah menciptakan jin dan manusia dengan suatu tujuan, yang dengannya Allah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam mewujudkan tujuan tersebut. Dalam Al Qur’an, Allah menyebut tujuan penciptaan jin dan manusia:

“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menginginkan dari mereka sedikitpun dari rizki. Dan Aku tidak menginginkan sedikitpun dari mereka untuk memberi-Ku makan. Sesungguhnya Dia, Allah Maha Pemberi rizki, Pemilik kekuatan lagi Sangat Kkokoh.” (Adz-Dzariyat: 56-58)

Sesungguhnya, tugas yang diemban jin dan manusia sangatlah ringan bila dibandingkan dengan segala jenis kenikmatan yang telah Allah limpahkan. Akan tetapi untuk mewujudkan perkara yang ringan ini, butuh pengorbanan dan perjuangan yang sangat besar, karena rintangan dan penghalang di jalan ini juga sangatlah besar.
Dengan tugas ini, bukan berarti Allah  butuh kepada hamba sehingga sehingga kita diperintah untuk sujud dan ruku’ di hadapan-Nya. Akan tetapi sebagai perwujudan semata-mata kebutuhan kita kepada Allah . Karena kita sadar bahwa setiap saat, tidak ada satu makhluk pun yang tidak butuh kepada-Nya. Oleh karena itu Allah menetapkan bahwa di sana ada tali penghubung antara diri hamba-Nya dengan Allah . Itulah ibadah.

Amanah ibadah ini diakui oleh semua orang, namun dalam prakteknya sangat terkait dengan fitrah yang diberikan Allah kepada tiap manusia. Artinya, apabila fitrahnya belum disentuh oleh penyimpangan dan segala bentuk noda yang mengotori tentu akan menyambut tugas tersebut sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah . Sebaliknya, bila fitrah itu rusak maka perwujudan ibadah akan bisa diarahkan kepada selain Pemiliknya. Allah  menjelaskan keberadaan fitrah ini dalam firman-Nya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Rum: 30)

Rasulullah bersabda:
“Setiap anak dilahirkan di atas kesucian, kedua orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1278 dan Muslim no. 2658 dari hadits Abu Hurairah z)

Ayat dan hadits di atas, secara gamblang menjelaskan bahwa asal kehidupan seseorang di muka bumi ini adalah kesucian fitrah yaitu Islam. Ini sebagai bantahan untuk kelompok Mu’tazilah yang mengatakan bahwa asal kehidupan manusia adalah kufur.
Di atas kemurnian fitrah inilah, Allah  menurunkan kemurnian agama-Nya yang meliputi ajaran dan aturan, perintah dan larangan, keterangan tentang tauhid dan syirik, sunnah dan bid’ah. Dan di atas kesucian fitrah ini pula, setiap orang akan menyambut seruan syariat tersebut.
Adapun orang yang telah ternodai fitrahnya, ia akan mengelak dengan berbagai cara untuk bisa keluar dari larangan, ancaman, dan perintah sehingga bebas merdeka tanpa ada aturan yang mengikat. Berjalan sesuai kehendak sendiri, melaksanakan apa yang diinginkan dengan tidak mengindahkan aturan-aturan yang ada.

Siapakah yang menjadi dalang kerusakan ini? Kapankah kerusakan itu mulai terjadi? Kerusakan apakah yang terbesar menimpa fitrah seseorang?
Dalang kerusakan fitrah manusia itu adalah iblis dan bala tentaranya dari kalangan jin dan manusia. Allah menerangkan dalam firman-Nya:
“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu manusia.” (Al-An’am: 112)

“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi itu musuh dari orang-orang yang berdosa.” (Al-Furqan: 31)

Kesyirikan di Masa Nabi Nuh 
Usaha iblis dan tentaranya untuk merusak fitrah manusia dimulai ketika dia dijauhkan dari rahmat Allah menjadi terkutuk dan terlaknat, serta divonis menjadi calon penghuni neraka. Keberhasilan yang “gemilang” adalah pada kurun kesepuluh masa Nabi Nuh . Dengan kata lain, terjadinya penyimpangan fitrah besar-besaran adalah pada generasi Nabi Nuh .
Ibnu ‘Abbas c berkata ketika menafsirkan firman Allah :
“Dan mereka berkata, jangan sekali-kali kalian meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kalian dan jangan sekali-kali kalian meninggalkan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.” (Nuh: 23)

“Berhala-berhala yang dulu disembah oleh kaum Nabi Nuh  telah menjadi (sesembahan) di negeri Arab setelahnya. Wadd adalah (sesembahan) Bani Kalb di Daumatul Jandal. Suwa’ adalah (sesembahan) Bani Hudzail, Yaghuts adalah sesembahan Bani Murad dan Bani Guthaif di Jauf (negeri Saba’). Ya’uq (sesembahan) Bani Hamdan, dan Nasr (sesembahan) Bani Himyar pada keluarga Dzil Kala’. Mereka adalah nama orang-orang shalih pada kaum Nabi Nuh . Ketika mereka meninggal, setan membisikkan kepada orang-orang agar membuat berhala/ gambar di majelis-majelis mereka dan setan memerintahkan: ‘Namakanlah dengan nama-nama mereka (orang-orang shalih tersebut).’
Mereka melakukannya dan (pada waktu itu berhala tersebut) belum disembah hingga mereka (para pembuat berhala) binasa dan ilmu terlupakan (dihapus), maka berhala itu menjadi sesembahan.” (Shahih, HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 4599)

Inilah kerusakan yang paling besar dan pertama kali menimpa fitrah manusia di masa Nabi Nuh . Yaitu kerusakan i’tiqad (keyakinan) yang berwujud kesyirikan kepada Allah. Kerusakan ini pula yang menimpa umat Rasulullah  sampai hari kiamat. Pada akhirnya, di atas kerusakan ini mereka mendapat kehinaan dan penghinaan, kerendahan dan perendahan, malapetaka demi malapetaka, kehancuran, kerusakan, kemunduran, dsb. Sunnatullah ini telah menimpa umat Rasulullah  sehingga harus terwarnai hidup mereka dengan kesyirikan di dunia. Bahkan apa yang mereka lakukan telah mencapai puncaknya di mana menjadikan kesyirikan sebagai wujud ketauhidan kepada Allah dan kecintaan kepada wali-wali Allah .
Tentang kebenaran sunnatullah ini, dijelaskan Rasulullah di dalam haditsnya:

“Kalian benar-benar akan mengikuti langkah umat-umat sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Kalaupun seandainya mereka masuk ke lubang binatang dhab (semacam biawak), niscaya kalian akan memasukinya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3456, Muslim no. 2669 dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri z)

Kesyirikan Sebelum Diutusnya Rasulullah 
Sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, umat ini akan terus mengikuti langkah umat sebelumnya. Tentunya juga tidak terlepas dari mengikuti mereka dalam peribadatan kepada selain Allah . Hal yang demikian ini akan terjadi sampai hari kiamat. Rasulullah bersabda:

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai kabilah-kabilah dari umatku mengikuti orang-orang musyrik.” (HR. Abu Dawud no. 4252, Ibnu Majah no.3952 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 3/801 no. 3577 dan dalam Shahih Ibnu Majah, 2/352 no. 3192 dari shahabat Tsauban)

Sebelum Rasulullah diutus, bangsa Arab terbagi menjadi dua. Satu kelompok mengikuti agama-agama terdahulu seperti agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi sedangkan satu kelompok lagi mengikuti agama Nabi Ibrahim yang lurus, terlebih di negeri Hijaz, Makkah Al-Mukarramah. Sampai pada akhirnya muncul seseorang yang bernama ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i, seorang raja di negeri Hijaz. Dia dikenal sebagai ahli ibadah, shalih, dsb.
Suatu waktu, ia pergi ke negeri Syam untuk berobat. ‘Amr bin Luhai melihat penduduk negeri Syam menyembah berhala dan dia menganggap baik perbuatan tersebut. Pulang dari Syam, ‘Amr bin Luhai membawa patung yang digali dari peninggalan kaum Nuh . Lalu dia membagikannya kepada kabilah Arab dan memerintahkan untuk menyembahnya. Orang-orang pun menyambut dan menerima seruan tersebut hingga menjadikan kesyirikan masuk ke negeri Hijaz dan negeri lainnya.

Rasululllah bersabda tentang ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i:

“Aku menyaksikan ‘Amr bin Luhai Al-Khuza’i menarik isi perutnya di dalam neraka.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3521 dan Muslim no. 2856 dari shahabat Abu Hurairah z , lihat Syarah Masail Al-Jahiliyyah karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan dan Mukhtashar Sirah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab, hal. 12)

Islam dan Syirik
Syirik merupakan satu praktek ibadah kepada selain Allah . Dengan kata lain, menjadikan tandingan bagi Allah  dalam segala wujud peribadatan. Atau memalingkan peribadatan yang semestinya diberikan kepada Allah kepada selain-Nya. Ini merupakan wujud kedzaliman dan kegelapan karena memberikan hak peribadatan kepada selain Allah .
Allah  berfirman:

“Sesungguhnya kesyirikan adalah kedzaliman yang besar.” (Luqman: 13)

Islam adalah agama rahmat, agama keselamatan dan agama yang terang benderang, malamnya seperti siangnya. Diturunkan Allah  sebagai agama nikmat yang telah diridhainya.

“Pada hari ini aku sempurnakan agama kalian dan aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al-Maidah: 3)

“Agama yang benar di sisi Allah adalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19)

“Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima oleh Allah dan dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 84)
Islam sangat menentang segala bentuk kesyirikan, memerangi segala bentuk kedzaliman, dan menyinari kegelapan hidup dengan lentera wahyu Al Qur’an dan As Sunnah. Kesyirikan bukan dari Islam sedikitpun sehingga (tidak pantas) dihidupkan. Kesyirikan bukan lambang tauhid yang harus diperjuangkan. Kesyirikan adalah agama iblis dan tentara-tentaranya. Kesyirikan adalah kesesatan, kehinaan, kerendahan, kegelapan, kedzaliman, kegagalan dan kehancuran dunia akhirat.
Wallahu a’lam.


Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi
sumber : www.asysyariah.com

0 komentar:

Posting Komentar