Sabtu, 01 Desember 2012

Perang Dzatu Riqa’, Dumatul Jandal dan Muraisi’

Ditulis Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Berikut ini beberapa paparan peristiwa dalam perjalanan hidup Rasulullah dan para shahabatnya yang kita bisa mengambil banyak pelajaran darinya. Diantaranya kisah Juwairiyah bintu Al-Harits, wanita yang paling banyak membawa berkah bagi kaumnya dan kisah disyariatkannya tayamum.

Perang Dzatu Riqa’ atau Perang Najd terjadi di bulan Jumadil Ula tahun keempat Hijriyah. Rasulullah  berangkat sendiri memimpin pasukan berjumlah 400 orang. Namun setelah bertemu dengan pasukan dari Ghathafan, tidak terjadi pertempuran, hanya saja beliau shalat bersama para sahabatnya, shalat khauf. Demikian dinukil oleh Ibnul Qayyim dari Ibnu Ishaq dan sejumlah ahli sejarah.

Ibnul Qayyim mengulas bahwa pendapat ini keliru (menyatakan waktu itulah terjadinya shalat khauf-pen). Sehingga kemudian beliau dalam Zaadul Ma’ad (3/253) menyatakan: “Yang benar, mengalihkan kisah perang Dzatu Riqa’ dari tempat ini, sampai pada masa setelah (menguraikan) kisah perang Khandaq bahkan setelah peristiwa Khaibar.”

Adapun perang Dumatul Jandal yang juga dipimpin Rasulullah  terjadi tahun kelima Hijriyah. Sebabnya, beliau mendengar ada sejumlah pasukan yang ingin mendekati Madinah, sedangkan jarak antara mereka dengan Madinah sekitar perjalanan lima belas hari, demikian juga jarak mereka ke Damaskus. Rasulullah  berangkat dengan 1000 pasukan, disertai penunjuk jalan dari Bani ‘Udzrah yang bernama Madzkur. Ketika sudah mulai mendekat ternyata mereka menuju ke arah barat. Dan mereka menemukan jejak-jejak unta dan kambing, lalu mereka menyerang ternak tersebut serta penggembalanya, beberapa orang terbunuh dan yang lainnya melarikan diri.

Berita ini sampai kepada penduduk Dumatul Jandal, merekapun lari bercerai berai. Rasulullah  turun di pekarangan mereka dan tidak menemukan seorangpun. Beliau tinggal di sana beberapa hari mengirim sejumlah pasukan ekspedisi, membagi-bagi pasukan, namun tidak mendapatkan apapun. Kemudian Rasulullah kembali ke Madinah. Pada kejadian inilah beliau mengadakan kesepakatan dengan ‘Uyainah Bin Hishn.

Sementara perang Al-Muraisi’ atau perang Bani Mushthaliq terjadi pada bulan Sya’ban tahun kelima Hijriyah. Sebabnya, Al-Harits bin Abi Dhirar bin Al-Mushthaliq bertolak bersama kaumnya dan siapa saja yang mampu dari kalangan Arab untuk memerangi Rasulullah. Maka beliau mengutus Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslami mencari berita tentang mereka. Dia bertemu dengan Al-Harits sendiri, kemudian mengajaknya bicara. Akhirnya Buraidah kembali kepada Rasulullah dan menceritakan perihal mereka. Maka Rasulullah  menganjurkan kaum muslimin untuk segera berangkat.

Ternyata, sejumlah munafikin ikut serta dalam peristiwa ini, padahal dalam peperangan sebelumnya mereka tidak pernah ikut. Rasulullah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai pengganti di Madinah. Namun ada pula yang mengatakan Abu Dzar atau Numailah bin ‘Abdillah Al-Laitsi.

Rasulullah berangkat pada hari Senin. Berita ini sampai kepada Al-Harits bin Abi Dhirar, sementara mata-mata yang dikirimnya mengintai gerak-gerik kaum muslimin terbunuh. Akhirnya mereka sangat ketakutan, demikian pula orang-orang Arab yang menyertai mereka. Rasulullah  sampai di mata air Al-Muraisi’.

Dalam perang ini, dua orang isteri Rasulullah  ikut serta yaitu Ummu Salamah dan ‘Aisyah radliyallahu ‘anhuma. Setelah itu Rasulullah  menyergap mereka dan berhasil menawan anak-anak dan wanita mereka serta merampas harta mereka. Demikian diceritakan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَغَارَ عَلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ وَهُمْ غَارُّونَ وَأَنْعَامُهُمْ تُسْقَى عَلَى الْمَاءِ فَقَتَلَ مُقَاتِلَتَهُمْ وَسَبَى ذَرَارِيَّهُمْ وَأَصَابَ يَوْمَئِذٍ جُوَيْرِيَةَ
“Sesungguhnya Nabi n menyergap Bani Al-Mushthaliq ketika mereka lengah dan memberi minum ternak-ternak mereka. Beberapa orang terbunuh, dan beliau menawan anak-anak mereka dan pada waktu itulah tertawan pula Juwairiyah.”

Juwairiyah binti Al-Harits ketika itu tertawan dan menjadi bagian Tsabit bin Qais, namun wanita itu berusaha menebus dirinya dan meminta bantuan Rasulullah .

Imam Ahmad dan Abu Daud menceritakan hal ini dalam Sunan dan Musnad dari ‘Aisyah x:
وَقَعَتْ جُوَيْرِيَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ بْنِ الْمُصْطَلِقِ فِي سَهْمِ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ أَوْ ابْنِ عَمٍّ لَهُ فَكَاتَبَتْ عَلَى نَفْسِهَا وَكَانَتْ امْرَأَةً مَلَّاحَةً تَأْخُذُهَا الْعَيْنُ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَجَاءَتْ تَسْأَلُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي كِتَابَتِهَا فَلَمَّا قَامَتْ عَلَى الْبَابِ فَرَأَيْتُهَا كَرِهْتُ مَكَانَهَا وَعَرَفْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَرَى مِنْهَا مِثْلَ الَّذِي رَأَيْتُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا جُوَيْرِيَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ وَإِنَّمَا كَانَ مِنْ أَمْرِي مَا لَا يَخْفَى عَلَيْكَ وَإِنِّي وَقَعْتُ فِي سَهْمِ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ وَإِنِّي كَاتَبْتُ عَلَى نَفْسِي فَجِئْتُكَ أَسْأَلُكَ فِي كِتَابَتِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلْ لَكِ إِلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ قَالَتْ وَمَا هُوَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُؤَدِّي عَنْكِ كِتَابَتَكِ وَأَتَزَوَّجُكِ قَالَتْ قَدْ فَعَلْتُ قَالَتْ فَتَسَامَعَ تَعْنِي النَّاسَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ تَزَوَّجَ جُوَيْرِيَةَ فَأَرْسَلُوا مَا فِي أَيْدِيهِمْ مِنْ السَّبْيِ فَأَعْتَقُوهُمْ وَقَالُوا أَصْهَارُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا رَأَيْنَا امْرَأَةً كَانَتْ أَعْظَمَ بَرَكَةً عَلَى قَوْمِهَا مِنْهَا أُعْتِقَ فِي سَبَبِهَا مِائَةُ أَهْلِ بَيْتٍ مِنْ بَنِي الْمُصْطَلِقِ
“Juwairiyah binti Al-Harits bin Al-Mushthaliq jatuh sebagai bagian Tsabit bin Qais bin Syammas atau anak pamannya. Lalu dia berusaha menebus dirinya. Juwairiyah seorang wanita yang manis dan menarik. Dia datang meminta bantuan Rasulullah  untuk menebus dirinya. Tatkala dia tiba di depan pintu, saya melihatnya dan tidak senang. Saya tahu bahwa Rasulullah   tentu juga melihat apa yang kulihat.
Diapun berkata: “Ya Rasulullah, saya adalah Juwairiyah bintu Al-Harits. Persoalanku sudah anda ketahui dan saya jatuh sebagai jatah Tsabit bin Qais bin Syammas, tapi saya ingin menebus diriku. Maka saya pun datang meminta bantuan anda dalam urusan ini.”
Rasulullah  berkata:”Maukah kamu yang lebih baik daripada itu?”
Kata Juwairiyah:”Apa itu, ya Rasulullah?”
Kata beliau:”Saya tunaikan tebusanmu, dan saya menikahimu.”
Diapun berkata:”Saya lakukan.”
Kata ‘Aisyah: “Kaum musliminpun mendengar bahwa Rasulullah  telah menikahi Juwairiyah, maka merekapun segera melepaskan tawanan yang ada di tangan mereka. Dan mereka membebaskan tawanan itu, kata mereka:”Ipar-ipar Rasulullah .”
Dan kami tidak pernah melihat seorang wanita yang paling banyak membawa berkah bagi kaumnya dibandingkan Juwairiyah. Karena dia, akhirnya dibebaskan seratus keluarga Bani Al-Mushthaliq.”

Ibnul Qayyim menukil dari Ibnu Sa’d yang mengatakan bahwa dalam perang ini juga jatuhlah kalung ‘Aisyah dan mereka tertahan di tempat yang tidak ada airnya, lalu turunlah ayat tayammum (surat Al-Maidah ayat 6). Demikian yang dirajihkan oleh Syaikh kami Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafizhahullahu setelah menukil sejumlah pendapat ‘ulama di antaranya Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Adz-Dzahabi dan lain-lainya.[1]

Kisah tentang tayammum ini juga menunjukkan keutamaan keluarga Abu Bakr Ash Shiddiq z. Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari ‘Aisyah isteri Nabi n wa x:
قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي فَأَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْتِمَاسِهِ وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَقَالُوا أَلَا تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ أَقَامَتْ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسِ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ فَقَالَ حَبَسْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ فَقَالَتْ عَائِشَةُ فَعَاتَبَنِي أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقُولَ وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي فَلَا يَمْنَعُنِي مِنْ التَّحَرُّكِ إِلَّا مَكَانُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أَصْبَحَ عَلَى غَيْرِ مَاءٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ فَتَيَمَّمُوا فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ فَبَعَثْنَا الْبَعِيرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ فَأَصَبْنَا الْعِقْدَ تَحْتَهُ
“Dia berkata:”Kami berangkat bersama Rasulullah  dalam sebagian perjalanannya (safarnya). Ketika tiba di Baida` atau Dzatul Jaisy, putuslah kalungku. Maka Rasulullah  berhenti untuk mencarinya, dan rombongan pun ikut berhenti bersama beliau sedangkan mereka tidak singgah di tempat yang ada airnya. Kemudian sebagian orang datang menemui Abu Bakr dan mengatakan:”Tidakkah kau lihat apa yang dilakukan ‘Aisyah, dia menahan Rasulullah dan rombongan sementara mereka tidak mempunyai air.”

Lalu Abu Bakr datang, sementara Rasulullah sedang tidur meletakkan kepalanya di atas pahaku. Dia berkata: “Kamu tahan Rasulullah dan rombongan sementara mereka tidak mempunyai air.” Abu Bakr menusukkan tangannya ke pinggangku, namun tidak ada yang menghalangiku begerak selain posisi Rasulullah di atas pahaku. Keesokan harinya Rasulullah  bangun dalam keadaan tidak ada air. Maka Allah menurunkan ayat tayammum. Kemudian mereka semua bertayammum. Lalu berkatalah Usaid bin Hudlair: “Ini bukan berkah yang pertama dari kalian wahai keluarga Abu Bakr.”
Setelah itu kami bangunkan unta yang membawaku, ternyata kalung itu di bawahnya.”
Adapun ayat tayammum yang dimaksud adalah surat Al-Maidah ayat 6:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Asy-Syaikh Yahya menyatakan dalam Ahkamu At-Tayammum bahwa inilah yang dimaksud oleh Ummul Mu`minin ‘Aisyah x dan disahihkan penegasan ini oleh Imam Bukhari dalam sahihnya dari ‘Abdurrahman bin Al-Qasim dari ayahnya dari ‘Aisyah x dalam Kitab Tafsir Al Quran.

Dalam perisitiwa ini pula para sahabat bertanya tentang masalah ‘azl (mengeluarkan mani di luar farji ketika bersetubuh).

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri z:
عَنْ ابْنِ مُحَيْرِيزٍ قَالَ رَأَيْتُ أَبَا سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ بَنِي الْمُصْطَلِقِ فَأَصَبْنَا سَبْيًا مِنْ سَبْيِ الْعَرَبِ فَاشْتَهَيْنَا النِّسَاءَ فَاشْتَدَّتْ عَلَيْنَا الْعُزْبَةُ وَأَحْبَبْنَا الْعَزْلَ فَسَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا عَلَيْكُمْ أَنْ لَا تَفْعَلُوا مَا مِنْ نَسَمَةٍ كَائِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلَّا وَهِيَ كَائِنَةٌ
“Dari Abu Muhairiz, dia berkata:”Saya melihat Abu Sa’id z, lalu saya bertanya kepadanya, kata beliau:”Kami berangkat bersama Rasulullah  dalam perang Bani Al-Mushthaliq. Akhirnya kami memperoleh tawanan dari kalangan Arab. Kamipun tertarik kepada tawanan wanita yang ada, dan kami merasa berat membujang (jauh dari isteri), dan kami ingin melakukan ‘azl. Maka kamipun bertanya kepada Rasulullah , lalu beliau bersabda: “Tidak ada bahaya atas kamu, kalau tidak melakukan ‘azal. Tidak ada satu makhluk yang ditentukan hidup sampai hari kiamat melainkan tentu tercipta.”

Wallahu a’lam. Insya Allah edisi berikutnya Haditsul Ifk (Berita Bohong).

[1] Lihat Ahkamu At Tayammum (Tata Cara dan Tuntunan Lengkap Tayammum hal 79) –pen.

http://www.salafy.or.id/perang-dzatu-riqa-dumatul-jandal-dan-muraisi/

0 komentar:

Posting Komentar