Di Tulis Oleh Al Ustadz Marwan
Saudariku kaum muslimah –rahimakumullah-
Tak ada kenikmatan yang lebih besar
dibandingkan dengan nikmat hidayah berupa taufiq, seseorang ditunjukkan
di dalam agama ini. Ditunjukkan untuk senantiasa mudah mempelajari ilmu
agama ini dengan kenikmatan yang lebih besar lagi yaitu diberikan
kemudahan memahami agama ini dengan pemahaman yang benar sesuai dengan
apa yang difahami oleh para sahabat nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Semua kenikmatan tersebut menuntut bagi setiap indifidu untuk
mensyukurinya sekalipun secara kenyataan seseorang tak akan pernah mampu
menghitung-hitung kenikmatan yang telah diberikan Allah kepada
hambanya, terlebih mampu untuk mensyukurinya.
Akan tetapi ajakan dan anjuran untuk
senantiasa mensyukuri kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah suatu hal
yang menjadi keharusan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah
Ta’aala dan demikian juga yang telah diperintahkan oleh Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam. Sehingga upaya untuk senantiasa bersyukur
adalah harus dilakukan, dengan senantiasa memohon pertolongan kepada
Allah Ta’aala agar Allah Ta’aala memberikan kenikmatan yang lain berupa
kemudahan untuk bisa bersyukur atas segala nikmat. Hingga kita
senantiasa dianjurkan di setiap akhir shalat untuk berdoa kepada Allah
Ta’aala dengan doa :
اللهُمَّ أعِنّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Ya Allah berilah pertolongan kepadaku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan baik dalam beribadah kepada-Mu.
Berkata as-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di –rahimahullah-
: Pokok dari segala kenikmatan adalah hidayah kepada agama-Nya dengan
mengutus Rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya. Setelah itu Allah Ta’aala
berikan kenikmatan-kenikmatan sebagai penyempurna terhadap nikmat
hidayah tersebut yang tidak terhitung banyaknya serta tidak terbatas.
Semenjak diutusnya Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam hingga waktu dekat datangnya ajal beliau
meninggalkan kehidupan dunia. Allah Ta’aala juga telah menganugerahkan
berbagai keadaan dan kenikmatan. Demikian juga Allah telah memberikan
kepada umatnya sesuatu yang menyempurnakan nikmat Allah Ta’aala atas
beliau shallallahu’alaihi wa sallam dan atas umatnya. Allah Ta’aala
menurunkan atas beliau shallallahu’alaihi wa sallam :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (al-Maidah : 3)
Hanya bagi Allah Ta’aala segala puji
atas berbagai keutamaan dari-Nya, yang kita tidak bisa menghitungnya
lebih-lebih untuk bisa mensyukurinya.
Kenikmatan berupa Hidayah Taufiq adalah
hanya datang dari sisi Allah Ta’aala, tak seorangpun dari kalangan
makhluk sedikitpun mampu untuk memberikan hidayah berupa taufiq. Hidayah
yang dimiliki makhluk terbatas pada hidayah berupa penjelasan berupa
ilmu. Sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam kisah-kisah nabi-nabi
terdahulu dan demikian juga yang telah ada pada kisah Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam.
Telah ditunjukkan di dalam kisah Nabi
Nuh –alaihis salam- dalam upayanya dan semangatnya untuk memberikan
petunjuk kepada anaknya, bahkan beliau –alaihissalam- senantiasa
mendesak agar anaknya ikut bersama nabi Nuh dan agar tidak bergabung
bersama orang-orang kafir. Kisah ini telah disebutkan di dalam firman
Allah Ta’aala :
وَهِيَ
تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَىٰ نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ
فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ الْكَافِرِينَ
Dan bahtera itu berlayar membawa
mereka dalam gelombang laksana gunung. dan Nuh memanggil anaknya, sedang
anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: “Hai anakku, naiklah (ke
kapal) bersama Kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang
kafir.” (Hud : 42)
Dan berikut adalah jawaban anaknya dalam bentuk penolakan:
قَالَ
سَآوِي إِلَىٰ جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ ۚ قَالَ لَا عَاصِمَ
الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَ ۚ وَحَالَ بَيْنَهُمَا
الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ
Anaknya menjawab: “Aku akan mencari
perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh
berkata: “tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain
Allah (saja) yang Maha Penyayang”. dan gelombang menjadi penghalang
antara keduanya; Maka jadilah anak itu Termasuk orang-orang yang
ditenggelamkan. (hud : 43).
Ini menunjukkan bahwa hidayah taufiq hanya di Tangan Allah ‘Azza Wa Jalla. Masih ingatkah saudariku –rahimakumullah-
kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang di sebutkan dalam banyak surat
di dalam al-Qur’anul Karim. Beliau –alaihis Salam- senantiasa memberikan
nasehat sebagai seorang anak kepada bapaknya agar bapaknya meninggalkan
kesyirikan kepada Allah Ta’aala, namun apa jawaban dari bapak beliau,
sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Ta’aala :
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ ۖ لَئِن لَّمْ تَنتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
Berkata bapaknya: “Bencikah kamu
kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim? jika kamu tidak berhenti, Maka
niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama”.
(Maryam : 46).
Saudariku kaum muslimah –rahimakumullah-.
Dan jangan pernah dilupakan, kisah yang
dialami oleh Rasul kita Muhammad –shallalllahu’alaihi wa sallam terkait
dengan ajakan beliau kepada paman beliau yang telah memelihara,
melindungi dan senantiasa membantu Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam. Bahkan Abu Thalib adalah bukan seorang yang memusuhi Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam. Namun catatan taqdir telah mendahuluinya.
Dan hidayah itu hanya di Tangan Allah Ta’aala, dan tidak sedikitpun ada
di tangan makhluknya.Abu Thalib tetap di atas pendiriannya, tetap di
atas millah kufur.
Mahalnya nilai hidayah, hanya di Tangan
Allah Ta’aala semata hidayah taufiq itu. Sehingga marilah kita
senantiasa memohon kepada Allah untuk memberikan hidayah-Nya. Kita
sebagai makhluk diperintahkan oleh Allah untuk berupaya menjalankan
sebab-sebab untuk diberikannya hidayah tersebut, apakah dengan
senantiasa berdoa memohon kepada Allah Ta’aala, senantiasa berupaya
untuk mencari ilmu yang akan menunjukkan ke jalan yang lurus.
Pada kisah di atas jelas menunjukkan tak
seorangpun mampu memberikan hidayah berupa tauifiq, Sekalipun terhadap
orang yang saling mencintai di antara keduanya. Terhadap diri sendiri
seorang tak mampu memberikan hidayah, terlebih kepada selainnya.
Sehingga sekali lagi, marilah kita senantiasa menjalankan sebab-sebab
untuk tetap istiqomah di atas shirothol mustaqim, dalam upaya
menjaga hidayah yang telah Allah Ta’aala berikan disertai dengan
senantiasa mensyukuri kenikmatan berupa hidayah tersebut hingga Allah
Ta’aala berikan tambahan kenikmatan hidayah-Nya. Wallahu Ta’aala A’lam.
sumber : http://www.salafy.or.id/hidayah-taufiq-adalah-pokok-segala-kenikmatan/
0 komentar:
Posting Komentar