وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orangorang yang rukuk.” (al Baqarah: 43)
Tafsir Ayat
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
“Dan dirikanlah shalat.”
Berasal dari kata ) قَامَ ( yang bermakna tetap dan kokoh. Jadi, yang dimaksud ) أَقَامَ
( adalah menetapkan dan mengokohkan. Dengan demikian, menegakkan shalat
maknanya adalah menunaikannya dengan melakukan rukunrukunnya,
sunnah-sunnahnya, dan tata caranya yang dilakukan pada waktunya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau
radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Menegakkan shalat adalah menyempurnakan
rukuk dan sujud, bacaan, kekhusyukan, dan konsentrasi.”
Qatadah rahimahullah berkata, “Makna menegakkan shalat adalah menjaga waktu-waktunya, wudhu, rukuk, dan sujudnya.”
Makna ini pula yang dipakai oleh Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala menulis surat kepada para pegawainya,
إِنَّ
أَهَمَّ أَمْرِكُمْ عِنْدِي الصَّلاَةُ، فَمَنْ حَفِظَهَا وَحَافَظَ
عَلَيْهَا حَفِظَ دِينَهُ وَمَنْ ضَيَّعَهَا فَهُوَ لِمَا سِوَاهَا
أَضْيَعُ
“Sesungguhnya
urusan kalian yang terpenting bagiku adalah shalat. Barang siapa
menjaga dan memeliharanya, berarti dia memelihara agamanya, dan siapa
yang menelantarkannya, berarti dia lebih menelantarkan yang lainnya.”
(Riwayat al-Imam Malik dalam al-Muwaththa’, no. 6, al-Baihaqi, 1/445) (Lihat Tafsir al-Qurthubi, 1/253, Fathul Qadir, 1/114, Tafsir ath-Thabari, 1/248)
Adapun shalat secara bahasa bermakna doa. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan menyucikan mereka, serta mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa
kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (at-Taubah: 103)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Jika
salah seorang kalian diundang, hendaklah ia menjawabnya (memenuhi
undangannya). Jika dia berpuasa, hendaklah ia mendoakannya, dan jika ia
tidak berpuasa, hendaknya ia makan.” (HR. Muslim no. 1431)
Adapun
secara istilah syariat, shalat adalah ibadah yang terdiri dari
perkataan dan perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam. Para ulama berbeda pendapat tentang shalat yang
dimaksud dalam ayat ini, apakah shalat wajib atau mencakup seluruh
shalat, yang wajib dan yang sunnah. Pendapat kedua dikuatkan oleh
al-Qurthubi rahimahullah. Beliau berkata setelah menyebutkan pendapat
kedua, “Inilah pendapat yang benar karena lafadznya umum, dan orang yang
bertakwa mengamalkan kedua jenis shalat tersebut.” (Tafsir al-Qurthubi, 1/261)
وَآتُوا
“Aatuu” berasal dari kata “aliitaa” ) الْإِيْتَاءُ (, maknanya memberikan dan menunaikan. Adapun “zakaah” berasal dari kata “zaka–yazku” ) زَكَا – يَزْكُو
( yang bermakna bertambah dan berkembang. Dinamakan zakat karena
mengeluarkan zakat akan menyebabkan harta semakin berkah atau orang yang
menunaikannya akan semakin bertambah pahala dan keutamaannya. Ada pula
yang berkata bahwa zakat berasal dari “zaka” yang bermakna suci dan
bersih. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (at-Taubah: 103)
Terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang zakat yang dimaksud dalam ayat ini:
1. Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah zakat mal yang wajib. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud adalah zakat fithr. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Imam Malik rahimahullah.
Yang kuat dari dua pendapat di atas adalah pendapat pertama, dengan beberapa alasan:
• Perintah menunaikan zakat di sini digandengkan dengan perintah menegakkan shalat, yaitu shalat lima waktu.
•
Zakat fithr biasanya dihubungkan dengan Ramadhan, sebagaimana yang
diriwayatkan dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam, sedangkan ayat ini menyebutkan zakat secara mutlak. (lihat
Tafsir al-Qurtubi, 2/24, Fathul Qadir, 1/178)
وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.”
Rukuk
secara bahasa bermakna membungkuk. Setiap orang yang membungkuk kepada
yang lain maka ia disebut melakukan rukuk kepada orang tersebut. Rukuk
adalah salah satu perbuatan yang tidak boleh dilakukan kepada selain
Allah Subhanahu wata’ala, sebab hal itu termasuk jenis ibadah, seperti
halnya sujud. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, rukuklah kalian, sujudlah kalian, sembahlah
Rabb kalian, dan perbuatlah kebajikan supaya kalian mendapat
kemenangan.” (al-Hajj: 77)
Ada beberapa faedah dikhususkannya penyebutan rukuk di dalam ayat ini:
1. Untuk membedakan antara shalat kaum muslimin dan shalat kaum Yahudi (yang menyimpang) yang tidak ada rukuk di dalamnya.
2. Untuk menjelaskan bahwa rukuk adalah salah satu rukun shalat yang tidak sah ibadah seseorang
kecuali
dengan melakukan rukuk dan menyempurnakannya. Mengungkapkan sebuah
ibadah dengan menyebut salah satu amalannya, menunjukkan wajibnya amalan
yang disebutkan tersebut. Seperti halnya hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam,
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Haji
itu adalah wukuf di Arafah.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i,
ad-Daraquthni, al-Hakim, dan yang lainnya dari Abdurrahman bin Ya’mar
radhiyallahu ‘anhu) (Lihat Fathul Qadir, asy-Syaukani; Taisir al-Karim
ar-Rahman, al-Allamah as-Sa’di)
Adapun
cara melakukan rukuk yang syar’i adalah membungkukkan tulang punggung,
membentangkan punggung dan lehernya, serta membuka jari-jemari kedua
tangannya sambil menggenggam kedua lututnya. Kemudian melakukannya
dengan thuma’ninah dan membaca zikir zikir yang berasal dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Silakan lihat hadits-hadits tentang sifat
rukuk Nabi n dalam Shifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
karya al-Allamah al-Albani rahimahullah) Ayat di atas dijadikan dalil
oleh para ulama tentang disyariatkannya shalat berjamaah. Al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullah menerangkan, “Banyak dari kalangan ulama yang
menjadikan ayat ini sebagai dalil tentang wajibnya shalat berjamaah.”
Terdapat perselisihan tentang hukum shalat berjamaah.
1. Pendapat pertama, tidak boleh ditegakkan shalat berjamaah kecuali jika imamnya seorang nabi atau shiddiq. Ibnu Abdil Bar rahimahullah
menyebutkan pendapat ini dalam kitabnya, at-Tamhid, dan beliau berkata
bahwa ini pendapat bid’ah yang berasal dari kaum Khawarij yang
menyelisihi jamaah kaum muslimin. (at-Tamhid, 14/140)
2.
Shalat berjamaah adalah syarat sahnya shalat wajib, hukumnya fardhu
‘ain, dan tidak sah shalat seseorang jika ia mengerjakannya sendirian
tanpa uzur. Pendapat ini dikuatkan oleh Dawud azh-Zhahiri dan Ibnu Hazm
rahimahumallah.
3.
Shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain, wajib bagi yang tidak mempunyai
uzur, namun bukan syarat sahnya shalat. Jika seseorang mengerjakannya
sendirian tanpa uzur, shalatnya sah, namun dia berdosa karena
meninggalkan kewajibannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud
dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhuma. Ini juga merupakan
pendapat Atha’, al-Auza’i, Abu Tsaur, Ahmad, dan sekelompok ulama dari
mazhab Syafi’i, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, dan Ibnu Hibban
rahimahumullah.
4. Shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Ini adalah pendapat al-Imam asy- Syafi’i rahimahullah
dan mayoritas pengikut mazhabnya, serta pendapat ulama mazhab Maliki
dan Hanafi. An-Nawawi rahimahullah menguatkan pendapat ini dalam al
Majmu’.
5.
Shalat berjamaah hukumnya sunnah mu’akkadah, tidak sepantasnya
ditinggalkan tanpa uzur syar’i. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha
Hijaz, Irak, dan Syam, serta dikuatkan oleh asy-Syaukani dan Ibnu Abdil
Bar. (Lihat perbedaan pendapat ulama tentang masalah ini dalam
at-Tamhid, 14/140; al-Majmu’ karya an-Nawawi, 4/160; al-Mughni, 2/3,
Nailul Authar, asy- Syaukani, 3/151, dan yang lainnya)
Selain
pendapat pertama, setiap pendapat yang disebutkan di atas memiliki
hujah dan argumen yang kuat, namun yang tampak lebih kuat—wallahu a’lam—
adalah pendapat yang ketiga, berdasarkan dalil-dalil berikut.
1. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذَا
كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ
مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا
فَلْيَكُونُوا مِن وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ
يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ
وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن كَانَ بِكُمْ أَذًى مِّن مَّطَرٍ أَوْ كُنتُم مَّرْضَىٰ أَن تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا
“Dan
apabila kamu berada di tengah tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari
mereka berdiri (shalat) bersamamu dan menyandang senjata. Kemudian
apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu
rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi
musuh). Hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu
shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap
senjata dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.
Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu
mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit;
dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang
menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (an-Nisa: 102)
Al-Allamah as-Sa’di rahimahullah
berkata ketika menjelaskan ayat ini, “Ayat ini menunjukkan bahwa shalat
berjamaah hukumnya fardhu ‘ain, dari dua sisi:
a.
Allah Subhanahu wata’ala memerintahkannya dalam kondisi sulit seperti
ini, di waktu yang sangat dikhawatirkan akan kedatangan musuh dan
serangan mereka. Jika Allah Subhanahu wata’ala mewajibkannya dalam
kondisi sulit ini, tentu diwajibkannya shalat dalam kondisi tenang dan
aman, lebih utama.
b.
Orang yang mengerjakan shalat khauf meninggalkan banyak syarat dan
kewajiban shalat, dan dimaafkan padanya kebanyakan perbuatan (gerakan)
yang hakikatnya membatalkan shalat jika dikerjakan tidak dalam kondisi
khauf (takut). Tentu tidaklah hal ini diperbolehkan kecuali untuk lebih
menguatkan kewajiban berjamaah. Sebab, tidak bertentangan antara yang
wajib dan yang mustahab, kalaulah tidak ada kewajiban berjamaah, tidak
boleh ditinggalkan hal-hal yang wajib ini karenanya.” (Taisir al-Karim
ar-Rahman)
2. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ
آمُرَ بِالصَّ ةَالِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُ فَيَؤُمَّ
النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ
“
Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku berkeinginan
untuk memerintahkan dikumpulkannya kayu bakar, kemudian aku perintahkan
untuk ditegakkan shalat, lalu dikumandangkan azan untuknya. Lantas aku
perintahkan seseorang untuk mengimami manusia, kemudian aku akan
mendatangi beberapa orang dan membakar rumah-rumah mereka.” Dalam
riwayat lain, “Yaitu mereka tidak menghadiri shalat, maka aku akan
membakar mereka.” (Muttafaq ‘alaihi)
3.
Dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa ada seorang buta
datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki penuntun yang menuntun aku
datang ke masjid.” Ia pun meminta keringanan kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam untuk shalat di rumahnya. Awalnya Rasul Shallallahu
‘alaihi wasallam mengizinkannya. Tatkala dia hendak pulang, Rasul
Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya kepadanya,
“Apakah engkau mendengar panggilan untuk shalat (azan)?” Ia menjawab,
“Ya.” Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Penuhilah (panggilan
tersebut)!” (HR. Muslim no. 653)
4. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
مَنْ
سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى
هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ
لِنَبِيِّكُمْ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى ،
وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا
الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ
تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ
يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ
هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا
حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً،
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ
مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى
بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
“Barang
siapa yang senang bertemu Allah Subhanahu wata’ala kelak dalam keadaan
muslim, hendaklah ia memelihara shalat-shalat ini dengan menunaikannya
di tempat dipanggilnya, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala
telah mensyariatkan kepada Nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk. Dan
sesungguhnya shalat-shalat ini termasuk sunnah-sunnah petunjuk.
Seandainya kalian shalat di rumah rumah kalian sebagaimana orang yang
tidak ke masjid ini shalat di rumahnya, berarti kalian telah
meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi
kalian, berarti kalian telah tersesat. Tidaklah seorang lelaki bersuci
dan menyempurnakan bersucinya, lalu dia berangkat ke sebuah masjid
kecuali Allah Subhanahu wata’ala mencatat baginya setiap langkah yang ia
langkahkan dengan satu kebaikan, mengangkat satu derajat baginya, dan
menghapuskan darinya satu kesalahan. Sungguh kami melihat bahwa tidak
ada yang meninggalkannya selain seorang munafik yang jelas
kemunafikannya. Dahulu seseorang didatangkan untuk menghadiri jamaah,
hingga dipapah oleh dua orang untuk didirikan di dalam shaf.” (HR. Muslim no. 654)
Dalil-dalil ini zahirnya menunjukkan wajibnya menegakkan shalat jamaah di masjid. Wallahul muwaffiq.
0 komentar:
Posting Komentar