Tabligh Bingung, Salafi Menjawab (3)
Oleh: Al-Ustadz Abul Fadhel Al-Bughisiy
إرشاد النبيه إلى بطلان تقولات جماعة التبليغ
على أهل السنة والجماعة
- Salafy bukanlah Kaum yang Frontal
Tuduhan demi tuduhan di arahkan oleh Bang Lubis kepada
salafiyyun, tanpa memperhatikan lagi sumber dan asal berita lahirnya
tuduhan-tuduhan dusta tersebut. Dengarkan ia dengan lancang berkata,
“Dalam majelis dan kajian, mereka selalu frontal kepada orang di luar mereka. Pernyataan mereka amat vulgar , bagai tidak berlandas akhlak Islam. Mereka mendoktrin, mencela, dan mengungkap semua keburukan dan dilarang melihat sekecil apa pun kebaikan yang dicela. Melihat kebaikan, menyebabkan orang lain akan mengikuti golongan sesat dan bid’ah. tidak heran, buku dan website salafy banyak memuat celaan sesat dan bid’ah kepada golongan lain” [Lihat QVS (hal. 30-31)]
Para pembaca yang arif lagi bijak, tuduhan ini kami jawab dalam beberapa sisi agar anda semakin yakin bahwa Bang Lubis sebenarnya orang bingung yang perlu dituntun dengan jawaban-jawaban lurus berikut:
- Kajian salaf bukanlah kajian-kajian kotor yang membuka aib orang dan cela orang yang tidak berkaitan dengan penyimpangan agama. Mereka menghiasi kajian-kajian mereka dengan ilmu dari Al-Kitab dan Sunnah. Mereka memberikan petunjuk kepada ummat tentang kebaikan, dan mengingatkan tentang bahaya penyimpangan para kaum kuffar dan ahli bid’ah. Ini bukanlah ghibah yang madzmum (tercela), bahkan ia merupakan bagian dari jihad fi sabilillah.[1]
- Ketika membantah ahli bid’ah, seorang tidak dianjurkan menyebutkan kebaikan para pelaku kebatilan dan ahli bid’ah yang terbantah, karena dikhawatirkan orang yang mendengarkan kebaikan-kebaikannya akan tertipu dan hatinya condong kepada ahli bid’ah tersebut. Namun bukan berarti kita tidak memandang adanya kebaikan mereka sebagaimana yang dituduhkan oleh Bang Lubis[2].
- Website salafiyyun –alhamdulillah- tidaklah dipenuhi celaan sebagaimana yang dituduhkan oleh Bang Lubis[3]. Kalau yang mengaku salafy, mungkin website mereka penuh dengan celaan dan tuduhan dusta, karena mereka memang jauh dari petunjuk wahyu. Adapun membid’ahkan, maka itu bukanlah celaan, dan telah berlalu permasalahan serta jawabannya.[4]
- Masalah membid’ahkan sebenarnya bukan hanya dilakoni oleh Ahlus Sunnah alias salafiyyun, Jama’ah Tabligh juga melakukan hal itu. Bahkan ia mengkafirkan ulama, semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah rahmatan wasi’ah-.[5]
- Lebih ekstrim dan sadis lagi, Penulis QVS menuduh secara dusta dan batil bahwa para salafiyyun adalah kaki tangan Zionis[6]. Kasarnya, semua salafiyyun adalah orang-orang munafiq karena telah memberikan wala’-nya kepada kaum kafir!! Subhanallah, alangkah besarnya dosa kedustaan ini. Ketahuilah bahwa semua tuduhan ini akan dipertanggungjawabkan oleh Penulis QVS di padang mahsyar.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
`
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, Kemudian
dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia
telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata”. (QS. An-Nisaa’ : 114)
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ
قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا
يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ
كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ
فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Hanya Allah dan
Rasul-Nya yang lebih tahu”. Beliau bersabda, “(Ghibah) adalah engkau
menyebutkan saudaramu dengan sesuatu (berita) yang ia benci”. Ada yang
bertanya, “Bagaimana pandangan Anda jika apa yang aku katakan terdapat
pada saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kau katakan benar ada
padanya, maka sungguh engkau telah mengghibahnya. Jika tidak benar ada
padanya, maka engkau telah menuduhnya dengan dusta”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Birr Wa Ash-Shilah wa Al-Adaab, bab: Tahrim Al-Ghibah (no. 6536)][7]
Hadits ini menunjukkan bahwa mengghibah seorang muslim atau
menuduhnya dengan sesuatu yang dusta adalah perkara yang haram. Namun
perlu diketahui bahwa ghibah secara khusus dibolehkan dalam beberapa
perkara dan tujuan berikut, seperti, untuk melaporkan kezholiman kepada
pihak berwajib, meminta pertolongan kepada yang lain dalam mengubah
suatu kemungkaran, meminta fatwa yang berkaitan dengan pribadi orang,
mengingatkan bahaya kejelekan dan pelakunya (termasuk ahli bid’ah),
menyebutkan kefasiqan orang yang menampakkan kefasiqannya, dan
menyebutkan orang dengan suatu gelar dalam rangka mengenalkan dan
membedakannya dari yang lain (misalnya, Si Fulan yang buta).[8]
- Tuduhan-tuduhan Dusta atas Salafiyyun
Dahulu Tabligh kami kira adalah suatu kaum yang jauh dari tuduh-menuduh, dan tidak mau berdusta, tapi ternyata semua itu hanyalah pandangan semu.
Lihatlah sebagai contoh –bukan pembatasan-, apa yang dinyatakan secara
dusta oleh Ustadz Abdurrahman Lubis (Bang Lubis) terhadap salafiyyun
saat ia memberikan kata pengantar terhadap buku Quo Vadis Salafy (hal. 31),
“Melarang berkasih sayang, berteman dengan selain mereka, tidak boleh shalat di belakang golongan lain. Menyesatkan ulama yang mereka anggap ahlu bid’ah , dilarang memuji, mengagungkan, membaca kitab dan mendengarkan kasetnya. Sehingga salafy sukar menjalin ukhuwah, sebaliknya penyulut perpecahan di masyarakat. Menghambat pendakwah karena mereka anggap sesat dan bid’ah. Harus dimusnahkan, karena golongan dakwah dan partai politik akan meracuni umat dan menimbulkan perpecahan. Maka banyak benturan di medan dakwah antara salafy dengan yang lain, yang merasa dihalang-halangi saat berdakwah”. [Lihat QVS (hal. 31)]
Tuduhan-tuduhan dusta yang dikeluarkan oleh Bang Lubis,
ibarat debu yang bertebaran dan datang secara bertubi-tubi. Tapi
debu-debu dusta itu amatlah mudah kita tampik, karena ia hanyalah
sesuatu yang maya saja, tanpa hakikat. Oleh karena itu, kita jawab
dengan santai kedustaan-kedustaan di atas dengan beberapa sanggahan
berikut:
- 1. Seorang membangun wala’ dan kasih sayangnya haruslah berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah, jangan berdasarkan perasaan dan hawa nafsu sebagaimana halnya kita membangun baro’ dan kebencian kita berdasarkan petunjuk Al-Kitab dan Sunnah, yakni semuanya dibangun karena Allah.
Ahlus Sunnah alias salafiyyun dalam perkara cinta dan benci berada di antara dua golongan yang ekstrim, yakni antara golongan yang mencintai semua orang tanpa pandang bulu, dan antara golongan yang membenci semua orang tanpa pandang bulu.
Salafiyyun tidaklah mencintai semua orang, dan tidak pula membenci
semua orang. Mereka mencintai semua orang dicintai oleh Allah -Azza wa
Jalla-, dan membenci semua orang yang dibenci oleh Allah dari kalangan
orang-orang kafir, munafiq, ahli bid’ah, dan ahli maksiat sesuai dengan
tingkat pelanggaran mereka.[9]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah terkadang membenci seorang muslim karena
pelanggarannya, sekaligus mencintainya karena statusnya sebagai muslim.
Semua perkara ini telah dibicarakan oleh para ulama kita dalam
pembahasan al-wala’ wal baro’ dan Al-Hubbu fillah wa Al-Bughdhu fillah.
Jadi, tidak benar jika dikatakan bahwa salafiyyun membenci dan memusuhi semua orang.
Ini jelas merupakan kedustaan. Bagaimana mungkin dakwah salafiyyah bisa
tersebar di seluruh dunia jika dakwah dibangun di atas permusuhan
kepada semua orang??!
Ahlus Sunnah alias Salafiyyun membenci Ahli bid’ah, karena memang
ahli bid’ah harus dibenci, akibat keluarnya mereka dari rel sunnah, dan
selanjutnya membuat bid’ah (ajaran baru) dalam agama. Semua ini
Salafiyyun lakukan berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah,
serta amaliah As-Salaf Ash-Sholih yang tidak memberikan loyalitasnya
kepada ahli bid’ah, menampakkan kebencian kepada mereka, , dan
memutuskan semua sebab yang menyebabkan munculnya kecintaan kepada
mereka, walaupun mereka adalah orang yang paling dekat kepadanya.
Demikianlah amaliah para salaf. Mereka lakukan semua ini berdasarkan
dalil:
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau Saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang
yang Telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka
dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke
dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka itulah golongan Allah.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang
beruntung”. (QS. Al-Mujadilah : 22)
Syaikh Ibrahim Ar-Ruhailiy dalam risalah disertasinya berkata, “Sungguh
ayat ini telah menunjukkan pengharaman mencintai orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya. Sedang ahli bid’ah adalah orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya dengan sebab berbuat bid’ahnya mereka.
Karena di antara makna “menentang” menurut bahasa adalah menyelisihi.
Sementara bid’ah adalah penyelisihan terhadap syari’at dan bertabrakan
dengannya”.[10]
Oleh karenanya, Al-Imam Malik berdalil dengan ayat ini dalam memusuhi orang-orang Qodariyyah. Al-Qurthubiy
-rahimahullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, “Al-Imam Malik
-rahimahullah- berdalil dengan ayat ini dalam memusuhi orang-orang
Qodariyyah, dan tidak mau menemani mereka duduk”. [11]
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran
bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan
diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk
bersama mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan
mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik
dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”. (QS. An-Nisaa’ : 140)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thobariy -rahimahullah- berkata, “Di
Dalam ayat ini terdapat petunjuk yang jelas tentang larangan duduk
bersama dengan pelaku kebatilan dari segala macam jenisnya, seperti ahli
bid’ah, dan orang-orang fasiq ketika mereka terjun dalam kebatilannya”.[12]
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada
mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, Kemudian kamu tidak
akan diberi pertolongan”. (QS. Huud : 113)
Al-Imam Mahmud Al-Alusiy -rahimahullah- berkata, “Kecenderungan
ini dimaknai dengan kecenderungan hati kepada mereka dengan cara
mencintai. Terkadang juga dimaknai dengan sesuatu yang lebih umum
daripada itu”. [Lihat Ruhul Ma'ani (8/392)]
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini umum mencakup semua jenis
orang-orang zholim, baik yang kafir, maupun yang muslim. Sedang
diantara orang zhalim dari kalangan kaum muslimin adalah ahli bid’ah.[13]
Berangkat dari ayat-ayat seperti ini, para salaf membenci para ahli
bid’ah dan baro’ (berlepas diri) dari mereka. Kali ini ada baiknya kami
nukilkan beberapa atsar kepada anda agar anda tahu kebatilan pernyataan
Bang Lubis di atas.
Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhuma- berkata saat mengingkari orang-orang Qodariyyah,
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي
بَرِيءٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا
فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللَّهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Jika engkau menjumpai mereka (Qodariyyah), maka kabarkan kepada
mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri
dariku. Demi Allah Yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, andaikan
seorang diantara mereka memiliki emas semisal Uhud, lalu ia infaqkan,
maka Allah tidak akan menerimanya sampai ia beriman dengan taqdir”. [Muslim dalam Kitab Al-Iman, bab: Bayan Al-Islam wa Al-Iman wa Al-Ihsan (no. 93)][14]
Abdullah bin Aun Al-Muzaniy -rahimahullah- berkata,
لَمْ يكن قوم أبغض إلى محمد بن سيرين من قوم أحدثوا في هذا القدر ما أحدثوا
“Tak suatu kaum yang lebih dibenci oleh Muhammad bin Sirin
dibandingkan kaum yang mengada-ada sesuatu yang mereka ada-ada dalam
perkara taqdir ini”.[15]
Syu’bah bin Al-Hajjaj -rahimahullah- berkata,
كان سفيان الثوري يُـبْغِضُ أهل الأهواء, وينهى عن مجالستهم أشد النهي
“Dahulu Sufyan Ats-Tsauriy membenci ahli ahwaa (ahli bid’ah), dan melarang duduk bersama mereka dengan sekeras-kerasnya”.[16]
Aus bin Abdillah Ar-Rib’iy yang dikenal dengan “Abul Jauzaa’” -rahimahullah- berkata,
لأن يجاورني قردة وخنازير أحب إلي من أن يجاورني أحد منهم, يعني أصحاب الأهواء
“Monyet-monyet dan babi-babi bertetangga denganku lebih aku sukai
dibandingkan seorang diantara mereka –yakni ahli bid’ah- bertetangga
denganku”.[17]
Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- berkata, “Aku sukai
jika ada di antaraku dan antara ahli sebuah benteng (yang terbuat) dari
besi. Aku makan di seorang Yahudi, dan Nasrani lebih aku sukai
dibandingkan bersama ahli bid’ah”.[18]
Kenapa demikian??! Sebab ahli bid’ah akan menyampaikan syubhatnya
yang mempengaruhi hati kita, berbeda dengan orang kafir; mereka jelas
adalah musuh kita, sehingga kita selalu waspada terhadap ucapan dan
perbuatannya.
Al-Imam Ash-Shobuniy -rahimahullah- berkata dalam menjelaskan manhaj Salaf dalam bermu’amalah dengan ahli bid’ah, “Mereka
(Ahlus Sunnah) membenci para ahli bid’ah yang telah mengada-adakan di
dalam agama sesuatu yang bukan darinya, mereka tidak mencintai ahli
bid’ah, tidak menemani mereka, tidak mendengarkan ucapan mereka, tidak
menemani duduk, tidak mendebat mereka dalam perkara agama. Mereka (Ahlus
Sunnah) memandang harusnya menjaga telinga dari mendengarkan
kebatilan-kebatilan mereka, yang jika lewat di telinga, maka kebatilan
itu akan bercokol dalam hati, dan akan menimbulkan waswas, serta
pikiran-pikiran rusak”.[19]
Syaikh Abdul Lathif bin Abdir Rahman Alusy Syaikh -rahimahullah- berkata saat beliau mengangatkan bahaya sebagian ahli bid’ah dari Oman yang telah menulis selebaran untuk memperdaya kaum awam, “Di
antara Sunnah yang terwariskan dari Salaful Ummah dan para imamnya, dan
dari Imam Sunnah, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal
–Qoddasallahu ruuhahu- adalah tegas dalam memboikot ahli bid’ah,
membiarkan mereka, tidak mendebat mereka, membuang ucapan mereka,
menjauh dari mereka sesuai kemampuan, dan mendekatkan diri kepada Allah
dengan cara membenci mereka, mencela, dan menjelaskan aibnya”.[20]
Inilah beberapa atsar yang menunjukkan kepada kita bahwa
Ahlus Sunnah alias Salafiyyun membenci para ahli bid’ah, sebab ini
adalah manhaj yang sudah disepakati para salafunash Sholih. Dengarkan Al-Baghowiy -rahimahullah- saat menukil ijma’ (kesepakatan) salaf dalam berlepas diri dari ahli bid’ah dan membencinya, “Sungguh
para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, ulama sunnah telah berjalan di
atas perkara ini; mereka bersepakat dalam memusuhi ahli bid’ah, dan
memboikot mereka”.[21]
Semua nukilan ini semoga menyadarkan Bang Lubis dan Jama’ahnya bahwa
sikap para salafiyyun pada hari ini bukanlah sikap yang keluar dari
tuntunan para salafush sholih, bahkan mereka berjalan di atas manhaj
Salaf dalam menyikapi para ahli bid’ah. Maka tidak heran jika
salafiyyun alias Ahlus Sunnah tidak mau bergabung dan bergaul dengan
Jama’ah Tabligh, dan ahli bid’ah lainnya.
- 2. Kedustaan berikutnya, salafiyyun dituduh tidak mau sholat di belakang golongan lain. Golongan siapa? Kalau yang dimaksud adalah golongan kafir, maka memang sholat tidak sah di belakang mereka.
Para ulama telah merinci permaslahan ini dengan rincian yang jelas.
Jika seorang imam sholat adalah seorang ahli bid’ah yang melakukan
bid’ah mukaffiroh (membuat ia kafir), maka sholat di belakangnya tidak
sah. Oleh karena itu, mereka tidak mau sholat di belakang Jahmiyyah,
Syi’ah (baca: Rofidhoh), dan Qodariyyah. Sebab mereka memandang bahwa
semua kelompok ini telah keluar dari agama.
Atsar-atsar dalam permasalahan ini amat banyak, diantaranya kami akan
nukilkan kepada Anda agar anda semakin paham dan tidak bingung lagi.
Seorang sahabat mulia, Watsilah bin Al-Asqo’ -radhiyallahu anhu-
pernah ditanya tentang hukum sholat di belakang seorang Qodariyyah
(Pengingkar taqdir). Beliau berkata,
لا يصلى خلفه, أما لو صليت خلفه لأعدت
“Tak boleh sholat di belakangnya. Ingatlah, jika engkau sholat di belakangnya, maka kau harus ulangi”.[22]
Sayyar Abu Hakam -rahimahullah- pernah berkata, “Tak boleh sholat
di belakang orang-orang Qodariyyah. Jika seseorang sholat di belakang
seorang diantara mereka, maka ia harus ulangi sholatnya”.[23]
Sallam Ibnu Abil Muthi’ -rahimahullah- pernah ditanya tentang orang-orang Jahmiyyah. Beliau berkata, “Mereka adalah orang-orang kafir, tidak boleh sholat di belakang mereka”.[24]
Al-Imam Malik -rahimahullah- pernah ditanya tentang hukumnya sholat di belakang Qodariyyah. Kemudian beliau berkata kepada si penanya, “Jika
engkau minta fatwa, maka jangan kau sholat di belakangnya”. Si penanya
berkata, “Walaupun sholat Jum’at?” Ima Malik menjawab, “Walaupun sholat
Jum’at. Aku memandang jika engkau takut kepadanya atas jiwamu, engkau
boleh sholat bersamanya, tapi engkau ulangi sholatmu dengan melaksanakan
sholat Zhuhur”.[25]
Murid Abu Hanifah, Abu Yusuf -rahimahullah- berkata, “Aku tidak mau sholat di belakang seorang Jahmiyyah, Rofidhoh, dan Qodariyyah”.[26]
Seorang Tabi’ut Tabi’in, Abdullah bin Idris Al-Audiy -rahimahullah-
pernah ditanya tentang orang-orang Jahmiyyah. Maka beliau berkata, “Apakah mereka muslim? Bukan, tidak ada kemuliaan bagi mereka, dan tidak boleh sholat di belakang mereka”.[27]
Inilah beberapa nukilan dari para ulama salaf tentang hukum sholat ahli bid’ah yang telah mencapai tingkat kekafiran.
Adapun sholat di belakang ahli bid’ah yang bid’ahnya tidak mengkafirkan dirinya, maka boleh shalat di belakangnya,
walaupun pada asalnya kita tetap disyari’atkan membenci bid’ahnya.
Atsar dalam permasalahan ini banyak, kami nukilkan sebagiannya:
Dari Ubaidullah bin Adi bin Khiyar berkata,
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ خِيَارٍ:
أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
وَهُوَ مَحْصُورٌ, فَقَالَ إِنَّكَ إِمَامُ عَامَّةٍ, وَنَزَلَ بِكَ مَا
نَرَى, وَيُصَلِّي لَنَا إِمَامُ فِتْنَةٍ وَنَتَحَرَّجُ, فَقَالَ:
الصَّلَاةُ أَحْسَنُ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ, فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ
فَأَحْسِنْ مَعَهُمْ, وَإِذَا أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إِسَاءَتَهُمْ
“Bahwa dia pernah masuk menemui Utsman bin Affan -radhiyallahu
anhu-, sedang beliau terkepung. Dia (Ubaidullah) berkata, “Engkau adalah
pemimpin rakyat, telah menimpa diri sesuatu yang kami sedang saksikan,
dan manusia dipimpin sholat oleh pemimpin kekacauan, tapi kami merasa
berdosa”. Beliau (Utsman) berkata, “Sholat adalah sebaik-sebaik amalan
yang dikerjakan oleh manusia. Jika manusia bersikap baik, maka bersikap
baiklah bersama mereka. Jika mereka bersikap buruk, maka jauhilah
tindakan buruknya”.[28]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Lahiriah
hadits ini bahwa Utsman memberikan keringanan kepadanya untuk sholat
bersama mereka. Seakan-akan beliau berkata, “Dia sebagai pengacau
tidaklah membahayakanmu. Bahkan jika ia bersikap baik, maka sepakatilah
atas sikap baiknya, dan tinggalkanlah fitnah (masalah)nya”. Inilah yang
cocok dengan konteks bab”.[29]
Para sahabat telah melaksanakan sholat di belakang ahli bid’ah
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Zamanain dari Sawwar bin
Syabib, ia berkata, “Najdah Al-Haruriy (seorang pentolan Khawarij)
melaksanakan haji bersama para pengikutnya, dan berdamai dengan Ibnu
Zubair. Lalu Najdah memimpin manusia sholat sehari-semalam. Sahabat Ibnu
Umar sholat di belakang keduanya. Kemudian ada seseorang yang
mengoreksi seraya berkata, “Wahai Abu Abdir Rahman (sapaan buat sahabat
Ibnu Umar), apakah kau mau sholat di belakang Najdah Al-Haruriy? Ibnu
Umar berkata, “Jika mereka berkumandang, “Marilah menuju amalan yang
terbaik (yakni, sholat)”, maka kami akan penuhi. Jika mereka
berkumandang, “Marilah menuju pembunuhan jiwa”, maka kami katakan,
“Tidak!!”, dan beliau (Ibnu Umar) mengangkat suaranya”.[30]
Sholat di belakang ahli bid’ah yang belum mencapai kekafiran adalah perkara yang masyhur dari para sahabat. Ibnu Hazm berkata,
“Kami tidak mengetahui ada seorang sahabat -radhiyallahu anhum- yang
enggan sholat di belakang Al-Mukhtar bin Ubaid, Ubaidullah bin Ziyad,
dan Al-Hajjaj. Sedang tidak ada orang yang lebih fasiq dibandingkan
mereka”.[31]
Qotadah -rahimahullah- pernah bertanya kepada Sa’id
bin Al-Musayyib -rahimahullah-, “Apakah kami boleh sholat di belakang
Al-Hajjaj?” Sa’id menjawab, “Kami akan sholat di belakang orang lebih
jelek darinya”.[32]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, “Diantara
perkara yang menunjukkan bahwa para sahabat tidak mengkafirkan kaum
Khawarij, mereka (para sahabat) dahulu melaksanakan sholat di belakang
Najdah Al-Haruriy”.[33]
Jadi, sholat di belakang ahli bid’ah seperti ini boleh dan sah,
kecuali bid’ahnya adalah bid’ah mukaffiroh. Inilah yang disepakati Ahlus
Sunnah. Oleh karenanya, Imam Ahlis Sunnah, Ahmad bin Hanbal
-rahimahullah- pernah ditanya, “Sholat Jum’at dan ied di belakang
imam-imam yang baik, maupun fajir adalah boleh selama mereka
menegakkannya?” Beliau menjawab, “Ya, betul”.[34]
Namun disini perlu kami ingatkan bahwa jika disana
ada imam yang lebih baik, atau ia mengikuti sunnah, maka sholat di
belakangnya labih baik dibandingkan sholat di belakang ahli bid’ah.
- 3. Menyesatkan seseorang yang memang pantas disesatkan adalah perkara yang masyhur di kalangan para salaf, walaupun yang dibid’ahkan atau disesatkan adalah ulama. Orang yang sesat akibat bid’ahnya, harus kita sesatkan. Orang yang berada di atas Sunnah, harus kita bela dan cintai. Ini adalah sikap adil yang Allah perintahkan dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl : 90)
Oleh karena itu, para salaf membid’ahkan segolongan manusia yang
memiliki ilmu alias ulama, seperti Amer bin Ubaid, Washil bin Atho’,
Sholih bin Hayyin dan lainnya.
Sebagai contoh, kami nukilkan pernyataan para ulama kita yang menyesatkan seorang Khawarij yang bernama Sholih bin Hayyin
Abu Nu’aim -rahimahullah- berkata, “Sufyan
Ats-Tsauriy pernah masuk pada hari jum’at, tiba-tiba ada Al-Hasan bin
Sholih bin Hayyin sedang sholat. Maka Sufyan berkata, “Kami berlindung
kepada Allah dari Khusyu’ kemunafiqan, dan beliaupun mengambil sandalnya
lalu berpindah”. [Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (7/363)]
Abu Nu’aim juga berkata, ” Al-Hasan bin Sholih
pernah disebutkan di sisi Ats-Tsauriy, maka beliau (Sufyan) berkata,
“Itu adalah laki-laki yang memandang (bolehnya) memerangi ummat Muhammad
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- (yakni, ia Khawarij.-pent)”. [HR. Ibnul Ja'd dalam Al-Musnad (no. 2142)]
Seorang salaf -khusus- duduk untuk men-tahdzir (mengingatkan
bahaya) ahli bid’ah, dan orang-orang yang menyimpang. Para salaf tidak
menganggap hal ini sebagai ghibah sebagaimana yang dituduhkan oleh
hizbiyyun dan sufi.
Bisyr bin Al-Harits Al-Hafiy -rahimahullah- berkata, “Dahulu
Za’idah duduk di masjid untuk men-tahdzir (mengingatkan bahaya) Ibnu
Hayyin, dan pengikutnya. Beliau berkata, “Mereka memandang (bolehnya)
memerangi (kaum muslimin)”. [Lihat Tahdzib Al-Kamal (6/182) dan Siyar A'lam An-Nubala' (7/363)]
Seorang ahli bid’ah lainnya yang bernama Husain bin Ali Al-Karobisiy
telah dijelaskan penyimpangannya oleh para ulama, dan mereka jauhi.
Abdullah bin Ahmad -rahimahullah- berkata, “Aku
Bertanya kepada Abu Tsaur Ibrahim bin Kholid Al-Kalbiy tentang Husain
Al-Karobisiy, maka beliau membicarakannya dengan ucapan yang jelek lagi
buruk”.[Lihat As-Sunnah (187)]
Imam Ahmad -rahimahullah- berkata, “Bisyr Al-Marisiy mati, dan digantikan oleh Husain Al-Karobisiy”. [Lihat Tarikh Baghdad (8/66)]
Ada seorang laki-laki yang berkata kepada Ibnu Sirin -rahimahullah- , “Sesungguhnya si fulan mau datang kepadamu, dan ia tidak berbicara sesuatu apapun. Ibnu Sirin berkata,
“Katakan kepada Fulan,”Tidak!”,tak usah ia datang, karena hati anak
Adam itu lemah, dan aku khawatir kalau aku mendengar suatu kalimat,
lantas hatiku tidak kembali sebagaimana adanya”.[HR. Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah 'an Syari'ah Al-Firqoh An-Najiyah (399)]
Jika ada seorang da’i salaf yang melarang manusia untuk datang ke
halaqoh kaum sufi (seperti, Tabligh) yang menyebar syubhat dalam
menyelisihi manhaj salaf, maka perbuatannya sudah benar.
Al-Firyabiy -rahimahullah- berkata, “Dulu Sufyan melarang aku duduk bersama fulan, yakni seorang dari kalangan ahli bid’ah”. [Lihat Al-Ibanah (454)]
Men-tahdzir kitab-kitab yang memiliki penyimpangan adalah
jalan para salaf. Hal itu tidak mereka anggap sebagai caci-makian,
bahkan itu adalah nasihat.
Al-Imam An-Naqid Abu Zur’ah Ar-Roziy -rahimahullah- pernah ditanya tentang Al-Harits Al-Muhasibiy, dan kitab-kitabnya[35], maka beliau menjawab, “Waspadalah
kau terhadap kitab ini. Ini adalah kitab-kitab bid’ah dan kesesatan.
Berpeganglah kau dengan atsar, karena kau akan mendapatkan sesuatu di
dalamnya yang akan mencukupimu dari kitab-kitab ini”. Beliau ditanya lagi, “Dalam kitab-kitab ini terdapat ibroh”. Beliau menjawab, “Barang Siapa yang tidak mendapatkan ibrah dalam Kitabullah, maka ia tidak akan mendapatkan ibroh dalam kitab-kitab ini”. Kemudian beliau berkata, “Alangkah cepatnya manusia menuju bid’ah”.[Lihat Su'alat Al-Bardza'iy (561)]
Jika seorang dikenal telah menyimpang karena melakukan bid’ah, maka
tidak perlu seorang salafiy bertanya langsung kepada si pelaku bid’ah
tentang bid’ah yang ia lakukan dan ia bela dengan alasan mau “tatsabbut” (mengecek)[36].
Sallam bi Abi Muthi’ -rahimahullah- berkata, “Seorang
dari kalangan ahli bid’ah berkata kepada Ayyub As-Sikhtiyaniy,”Wahai
Abu Bakr, Aku mau bertanya kepadamu tentang sebuah kalimat”. Ayyub
berpaling, sedang beliau berkata, “Tidak, walaupun separuh kalimat.
Tidak, walaupun separuh kalimat”. Beliau berisyarat dengan
jarinya-dengan kelingking kanannya-”. [Lihat As-Sunnah (101) karya Abdullah bin Ahmad]
Ketika ada seorang ahli bid’ah menampakkan kekhusyu’an dalam
beribadah, maka kita jangan tertipu dengan ibadahnya; jangan tertipu
dengan “air mata buaya” mereka, walaupun sampai pingsang. Tapi tetap
harus waspada dan jauh darinya.
Sa’id Al-Asyaj -rahimahullah- berkata, Aku
pernah mendengarkan Abdullah bin Idris, dan disebutkan kepada beliau
tentang pingsangnya Al-Hasan bin Sholih. Maka Abdullah bin Idris
berkata, “Senyumnya Sufyan (seorang ulama’ salaf, -pent) lebih aku
cintai dibandingkan pingsangnya Al-Hasan bin Sholih (seorang ahli
bid’ah, -pent)”.[Lihat Tahdzib Al-Kamal (6/182), dan At-Tahdzib (2/249)]
Apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Sufyan ini sesuai dengan hadits dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau bersabda,
يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ
مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ
عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ
يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
“Akan keluar diantara kalian suatu kaum yang kalian akan
menganggap remeh sholat kalian dibandingka sholat mereka, puasa kalian
dibandingkan puasa mereka, dan amalan kalian dibandingkan amal mereka.
Mereka membaca Al-Qur’an sedang bacaan mereka tidak melampaui pangkal
tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak
panah dar sasaran”.[HR. Al-Bukhoriy (4771) dan Muslim]
Para ulama’ dalam mengingatkan bahaya suatu kitab, itu tidak dianggap sebagai celaan. Bahkan sebagai nasihat bagi ummat agar jangan tertipu dengannya.
- 4. Memuji dan mengagungkan ahli bid’ah di depan masyarakat awam akan menimbulkan bahaya. Adapun membaca kitab mereka[37], maka memang sebaiknya dihindari oleh setiap muslim yang memiliki prinsip dan aqidah yang lemah. Adapun orang-orang yang beraqidah kuat dari kalangan ahli ilmu agama, maka boleh baginya membaca kitab-kitab para ahli bid’ah agar dipelajari dan selanjutnya diberi catatan atau jawaban sehingga bid’ahnya melemah dan berkurang atau hilang.
- 5. Ahli bid’ah tidaklah harus dimusnahkan sebagaimana yang dituduhkan oleh Bang Lubis atas salafiyyun, tapi diberi nasihat dan peringatan dengan berbagai macam cara.
Adapun memusnahkan mereka dalam artian diperangi, maka ini bukanlah
manhaj salaf, kecuali jika pemerintah muslim dan para ulamanya memandang
perlunya memerangi mereka karena bid’ah mereka mendatangkan bahaya
besar, maka urusannya kembali kepada pemerintah dan ulama.
Dari Haritsh bin Mudhorrib, ia berkata,
عَنْ حَارِثَةَ بْنِ مُضَرِّبٍ : أَنَّهُ أَتَى
عَبْدَ اللَّهِ فَقَالَ مَا بَيْنِي وَبَيْنَ أَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ حِنَةٌ
وَإِنِّي مَرَرْتُ بِمَسْجِدٍ لِبَنِي حَنِيفَةَ فَإِذَا هُمْ يُؤْمِنُونَ
بِمُسَيْلِمَةَ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِمْ عَبْدُ اللَّهِ فَجِيءَ بِهِمْ
فَاسْتَتَابَهُمْ غَيْرَ ابْنِ النَّوَّاحَةِ قَالَ لَهُ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْلَا أَنَّكَ
رَسُولٌ لَضَرَبْتُ عُنُقَكَ فَأَنْتَ الْيَوْمَ لَسْتَ بِرَسُولٍ فَأَمَرَ
قَرَظَةَ بْنَ كَعْبٍ فَضَرَبَ عُنُقَهُ فِي السُّوقِ ثُمَّ قَالَ مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى ابْنِ النَّوَّاحَةِ قَتِيلًا بِالسُّوقِ
“Bahwa ia pernah mendatangi Abdullah (yakni, Ibnu Mas’ud)[38]
seraya berkata, “Tak ada permusuhan antara aku dengan seorangpun dari
kalangan Arab. Sesungguhnya melewati Masjid Bani Hanifah. Ternyata
mereka beriman kepada Musailamah. Kemudian Abdullah bin Mas’ud mengirim
pasukan kepada mereka, lalu mereka pun didatangkan, dan meminta mereka
bertobat, selain Ibnu An-Nawwahah. Ibnu Mas’ud berkata kepada orang itu,
“Aku pernah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
bersabda, “Andaikan anda bukan utusan (delegasi), maka aku akan tebas
lehermu”. Sedang engkau pada hari bukan lagi utusan. Kemudian Abdullah
bin Mas’ud memerintahkan Qorozhoh bin Ka’ab menebas lehernya. AKhirnya
ia menebas leher orang itu di pasar. Kemudian dia (Ibnu Mas’ud) berkata,
“Barangsiapa yang mau melihat Ibnu An-Nawwahah dalam keadaan terbunuh,
maka lihatlah di pasar”. [HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Jihad, bab: fi Ar-Rusul (no. 2762). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud ()][39]
Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib -radhiyallahu anhu-, dan para salaf ketika menumpas Khawarij.
Boleh juga bagi pemerintah dan bawahannya –bukan rakyat- untuk
menumpas ahli bid’ah yang telah bertaraf kafir, jika pemerintah
memandang hal itu perlu karena alasan kemaslahatan kaum muslimin atau
bahaya besar yang akan menimpa mereka, jika ahli bid’ah kafir itu
dibiarkan hidup, seperti sikap para sahabat ketika menumpas segolongan
kaum yang mengaku muslim, tapi melantik Thulaihah si Pendusta sebagai nabi. Maka Khalifah Abu Bakr ketika itu mengirim Kholid bin Al-Walid -radhiyallahu anhu- bersama pasukannya untuk memerangi Thulaihah dan pengikutnya.[40]
Pendosa saja boleh diperangi oleh pemerintah muslim,
jika maslahat menuntut hal itu. Misalnya, ada suatu kampung yang
sepakat meninggalkan sholat sehingga suara adzan tidak terdengar disana,
maka pemerintah boleh memerangi mereka setelah diberi nasihat, tapi
mereka tidak mendengar. Ini seperti yang diperintahkan oleh Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- kepada para sahabatnya saat mendengar
suatu kaum yang meninggalkan sholat.
Suatu kaum jika enggan membayar zakat, maka pemerintah boleh
memerangi mereka jika kemaslahatan mengharuskan hal itu. Karenanya,
Khalifah Abu Bakr bersama Umar telah memerangi kaum yang mengaku muslim,
tapi enggan bayar zakat.
Dengarkan Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,
لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَفَرَ
مَنْ كَفَرَ مِنْ الْعَرَبِ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَيْفَ
تُقَاتِلُ النَّاسَ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ فَمَنْ قَالَهَا فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ
إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ فَقَالَ وَاللَّهِ
لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ
الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عَنَاقًا كَانُوا
يُؤَدُّونَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهَا, قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ :
فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ قَدْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah wafat,
dan Abu Bakr yang menjadi kholifah, serta kafirlah orang yang kafir dari
kalangan Arab. Umar -radhiyallahu anhu- berkata, “Bagaimana Anda
memerangi manusia, sedang Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
sungguh telah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia
sampai mereka mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAAH. Barangsiapa yang
mengucapkannya, maka sungguh ia telah melindungi harta dan jiwanya
dariku, kecuali haknya. Sedang hisabnya kembali kepada Allah”. Dia (Abu
Bakr) berkata, “Demi Allah, saya betul-betul akan memerangi orang yang
membedakan antara sholat dan zakat, karena zakat itu adalah hak harta.
Demi Allah, andai mereka enggan menyerahkan anak kambing kepadaku yang
dulu mereka serahkan kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-,
maka aku akan memerangi mereka lantaran keengganan mereka”. Umar
-radhiyallahu anhu- berkata, “Demi Allah, Tidaklah perkara itu, selain
Allah sungguh telah melapangkan dada Abu Bakr -radhiyallahu anhu-(untuk
melakukan perang), lalau aku pun mengetahui bahwa sikap itulah yang
benar”. [HR. Al-Bukhoriy (no. 1399, 1457, 2946, 6924, & 7284) dan Muslim dalam Kitab Al-Iman, bab: Al-Amr bi Qilal An-Naas (no. 124)][41]
Seorang yang membangun masjid dengan tujuan untuk memecah belah
persatuan kaum muslimin sehingga kaum muslimin terjerumus dalam
kebatilan. Maka pemerintah muslim boleh merobohkan bagunan masjid
tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- dan para sahabat saat merobohkan Masjid Dhiror.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Janganlah kamu sholat dalam mesjid itu selama-lamanya.
Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak
hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalam
mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (QS. At-Taubah : 108)
Syaikh Sholih Ibn Abdil Aziz At-Tamimiy -hafizhohullah- berkata saat menafsirkan ayat ini, “Ini
merupakan larangan dari melaksanakan sholat di dalam Masjid Dhiror yang
dibangun oleh orang-orang munafiq. Sungguh mereka membangunnya sebagai
tempat pengintaian (terhadap kaum mukminin), perlawanan terhadap Allah
dan Rasul-Nya, pemecahbelahan diantara kaum mukminin. Jadi, Masjid
Dhiror itu dibangun di atas pengkhianatan dan perlawanan terhadap Islam
dan pemeluknya. Oleh karenanya, tatkala ini merupakan tujuan orang yang
membangunnya, maka sesungguhnya sholat bersama mereka di dalamnya adalah
perkara yang tidak boleh, karena hal itu akan menjadi sikap persetujuan
kepada mereka, dan dapat memperbanyak kelompok mereka serta menjadi
pendorong bagi kaum manusia untuk sholat di dalamnya. Lantaran itu,
Allah melarang kaum mukminin sholat di dalamnya”. [Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 152), karya Syaikh Sholih Alusy Syaikh, cet. Dar At-Tauhid, 1423 H]
Setelah larangan ini turun, maka Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dan para sahabat merobohkan masjid itu demi menjaga persatuan kaum
muslimin dan memelihara kesucian agama dari rongrongan kaum munafiq.
Meratakan kuburan yang tinggi atau memiliki bangunan di atasnya
adalah perkara yang disyari’atkan. Pemerintah boleh meratakannya demi
menghapuskan jalan-jalan menuju penyelisihan terhadap sunnah Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-. Beliau pernah memerintahkan Ali bin Abi
Thalib -radhiyallahu anhu- di zamannya.
Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadiy, ia berkata
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ : قَالَ
لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي
عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لاَ
تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ
سَوَّيْتَهُ
“Ali bin Abi Tholib pernah berkata kepadaku, “Maukah engkau jika
aku mengutusmu sebagaimana (tujuan) Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- mengutusku dahulu, yaitu: agar kau meninggalkan suatu gambar,
kecuali kau menghapusnya, dan tidak pula meninggalkan kubur yang
ditinggikan, kecuali engkau meratakannya”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Jana'iz, bab: Al-Amr bi Taswiyah Al-Qobr (no. 2240)][42]
Ini merupakan dalil yang kuat menunjukkan bahwa kubur ditinggikan
tanahnya atau diberi bangunan di atasnya, sunnahnya adalah meratakan
kuburan itu dengan tanah sekitarnya, kecuali gundukan sekitar sejengkal
saja sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits. Jadi, kuburan-kuburan
kaum muslimin yang ditinggikan pada hari ini boleh diratakan oleh
pemerintah atau wali si mayat demi menjalankan sunnah Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-.
Perlu juga diketahui bahwa meratakan kuburan bukanlah penghinaan kepada si penghuni kubur sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang-orang jahil. Bahkan itu merupakan pemuliaan baginya dengan sunnah.
Demikian pula, tempat-tempat bersejarah boleh dirobohkan dan
dimusnahkan oleh pemerintah, jika di dalamnya terdapat maksiat dan
pelanggaran. Oleh karena itu, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah
merobohkan sembahan-sembahan kaum musyrikin yang merupakan benda
bersejarah bagi mereka. Semua itu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
lakukan demi menjaga kemurnian agama, dan mencegah terjadinya kerusakan.
Benda bersejaran inilah yang telah ditebas oleh Panglima Islam, Kholid bin Al-Walid atas perintah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
Dari Abu Ath-Thufail, ia berkata,
لمَاَّ فَتَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ إِلَى نَخْلَةَ
وَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى, فَأَتَاهَا خَالِدٌ وَكَانَتْ عَلَى ثَلاَثِ
سَمُرَاتٍ, فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِيْ كَانَ
عَلَيْهَا, ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَخْبَرَهُ, فَقَالَ: اِرْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا,
فَرَجَعَ خَالِدٌ, فَلَمَّا أَبْصَرَتْ بِهِ السَّدَنَةُ وَهُمْ
حَجَبَتُهَا أَمْعَنُوْا فِي الْجَبَلِ وَهُمْ يَقُوْلُوْنَ: يَا عُزَّى,
فَأَتَاهَا خَالِدٌ, فَإِذَا هِيَ امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ نَاشِرَةٌ
شَعْرَهَا تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا, فَعَمَّمَهَا
بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا, ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: تِلْكَ الْعُزَّى
“Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah merebut
kota Makkah, maka beliau mengutus Kholid bin Al-Walid ke daerah Nakhlah,
sedang di sana terdapat Uzza. Kholid pun mendatanginya, dan Uzza berupa
tiga pohon berduri. Kemudian Kholid menebas pohon-pohon tersebut, dan
merobohkan bangunan yang terdapat di atasnya. Lalu ia mendatangi Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu kepada beliau.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Kembalilah, karena
engkau belum berbuat apa-apa”. Kholid pun kembali. Tatkala ia dilihat
para security (para penjaga) Uzza, maka mereka mengintai di atas gunung
seraya mereka berkata, “Wahai Uzza”. Kemudian Kholid mendatangi Uzza,
tiba-tiba ada seorang wanita telanjang yang mengurai rambutnya sambil
menaburkan debu di atas kepalanya. Akhirnya Kholid menebas wanita itu
dengan pedang sehingga ia membunuhnya. Beliaupun kembali ke Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarkan hal itu. Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Itulah Uzza”. [HR. An-Nasa'iy dalam As-Sunan Al-Kubro (6/474/no. 11547), dan Abu Ya'laa Al-Maushiliy dalam Al-Musnad (no. 902). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Ali bin Sinan dalam Takhrij Fath Al-Majid (no. 103)]
Hadits ini merupakan dalil bahwa jika ada sebuah pohon bersejarah
yang dikeramatkan, disembah, dan diharapkan berkah atau kebaikannya,
maka diwajibkan bagi penguasa muslim untuk menebangnya demi menutup
pintu kesyirikan. Karena mengagungkan suatu pohon dan mengkeramatkannya
sehingga diharapkan berkahnya merupakan kebiasaan jahiliyyah yang telah
lama dilakukan orang-orang Yahudi, dan kaum paganisme alias penyembah
berhala.
Seorang ulama Andalusia, Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Al-Walid Al-Fihriy (wft 530 H) yang dikenal dengan “Ath-Thurthusiy” -rahimahullah- berkata saat mengomentari hadits di atas, “Perhatikanlah
–semoga Allah merahmati kalian-, dimanapun kalian temukan sebuah pohon
bidara atau pohon apa saja yang didatangi oleh manusia, dan mereka
mengagungkan keberadaan pohon itu, mengharapkan kesembuhan darinya,
mereka menggantungkan padanya paku-paku dan kain-kain, maka pohon itu
adalah Dzatu Anwath. Karena itu, tebanglah pohon itu”. [Lihat Kitab Al-Hawadits wa Al-Bida' (hal. 38-39) oleh Ath-Thurthusiy, dengan tahqiq Ali bin Hasan Al-Halabiy, cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1419 H]
Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa boleh menghilangkan dan
merobohkan tempat-tempat bersejarah yang dijadikan tempat bermaksiat
kepada Allah -Azza wa Jalla-. Sedang itu bukanlah perkara yang
terlarang, bukan pula sikap ekstrim. Sebab ini adalah sunnah Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-.
Tapi tentunya semua ini harus langsung di tangani pemerintah, bukan setiap orang boleh melakukannya.[43]Pemerintah
yang harus menanganinya demi mencegah terjadi huru-hara dan kekacauan
di masyarakat yang akan membawa kepada pembunuhan, tanpa haq.
- Salafiyyun tidak Pernah Bertentangan
Sebagian orang yang bingung dan tidak memahami permasalahan telah
menyangka bahwa Ahlus Sunnah alias salafiyyun adalah kaum yang
berpecah-belah. Sangkaan ini lahir karena minimnya ilmu yang dimiliki
oleh si penyangka. Padahal salafiyyun tidaklah pernah berselisih dalam perkara aqidah.
Adapun perkara fiqih dalam koridor masa’il ijtihadiyyah, maka memang
mereka terkadang berselisisih. Namun perkara seperti ini tidaklah
menyebabkan perpecahan. Seorang ahli ilmu di dalamnya tidak ada yang
tercela, jika ia berijtihad dengan hati ikhlash, lalu berselisih. Misalnya, masalah iftirosy dan tawarruk dalam sholat. Apakah seorang duduk iftirosy atau tawarruk dalam sholat shubuh? Ada yang berpendapat bahwa ia iftirosy, dan ada yang bilang bahwa ia tawarruk. Masing-masing berpegang dengan dalil yang sama. Hanya berselisih dalam memahami dalil.
Yang tercela adalah seseorang memiliki aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlis Sunnah. Contohnya, Jama’ah Tabligh memiliki aqidah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyelisihi aqidah para salaf alias Ahlus Sunnah alias Salafiyyun.
Pembaca yang budiman, diantara orang yang salah sangka tentang
kondisi salafiyyun adalah kaum Tabligh. Mereka mengira bahwa salafiyyun
adalah kaum yang berpecah-belah, padahal tidak demikian.
Dengarkan seorang Tabligh yang bernama Abdurrahman Lubis yang kami panggil dengan Bang Lubis berkata,
“Dengan memahami karakter salafy, umat hendaknya dapat mengantisipasi. Karena membingungkan, adanya penjelasan kitab salafy yang bertentangan dengan kitab salafy lainnya. Diantara ulama mereka terjadi gontok-gontokan dan perpecahan sengit. Jangankan terhadap orang yang berlainan madzhab –dulu Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengaku sebagai penghidup manhaj (ajaran dan metode) Imam Ahmad bin Hambal sesuai pemahaman Ibnu Taimiyyah- dengan sesama madzhab pun saling menyesatkan. Bagaimana ia tega mengkafirkan orang se-manhaj dengannya? Jika persaudaraan se-manhaj saja sirna , bagaimana mungkin ia memiliki jiwa persaudaraan dengan pengikut manhaj lain? Niscaya pengkafirannya akan menjadi-jadi dan lebih menggila. Kita banyak lihat contoh dari penyesatan pribadi-pribadi itu”. [Lihat QVS (hal. 31)]
Setelah Bang Lubis menjelaskan secara dusta bahwa salafiyyun memiliki
sikap frontal, padahal tidaklah demikian, maka kali ini ia bingung
sendiri. Seyogyanya seorang yang bingung jangan berbicara tentang
masalah yang ia tidak pahami dengan baik, hanya berdasarkan qiila wa qola.[44]
Ucapan Bang Lubis di atas di dalamnya terdapat beberapa permasalahan
yang perlu kita garis bawahi dengan jawaban dan sanggahan berikut:
1. Salafiyyun yang berdakwah di atas
manhaj Salafush Shalih tidak perlu diantisipasi, bahkan harus ditolong
dan didukung dengan segala kemampuan kita, sebab manhaj itulah yang
harus kita ikuti. Seyogianya yang harus diantisipasi adalah para ahli
bid’ah, sebab dengan bid’ahnya seseorang akan terseret kepada kesesatan
lain. Bahkan sebagian salaf menyatakan bahwa tidak ada seorang ahli
bid’ah pun, kecuali ia memandang harusnya memerangi orang yang
menyelisihi mereka.
Ini merupakan perkara yang aksiomatik, sebab otomatis para ahli
bid’ah jika ingin memperkuat ajarannya dan memperbanyak pengikutnya,
maka ia harus memerangi orang yang ada di luar kelompoknya. tidak ada
jalan yang paling baik menurut mereka, kecuali ia harus menguasai
pemerintahan. Oleh karena itu, semua ahli bid’ah dan aliran sesat
merupakan bahaya laten yang harus diantisipasi. Mungkin wajah mereka
manis di depan kita, tapi sebenarnya ada sesuatu yang mereka inginkan
pada kita.
Abu Qilabah -rahimahullah- berkata,
ما ابتدع رجل بدعة إلا استحل السيف
“Tak ada seorang pun yang mengadakan suatu bid’ah, kecuali akan menghalalkan pedang (perang)”.[45]
Jadi, setiap ahli bid’ah berusaha mempertahankan bid’ahnya, dan
menyebarkannya, walaupun dengan jalan pedang alias perang, karena perang
memang merupakan jalan singkat bagi mereka dalam memperjuangkan dan
melanggengkan bid’ahnya.
Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah alias salafiyyun, maka sejarah mereka
telah terbukti. Perhatikanlah sejarah Imam Ahlis Sunnah wal Jama’ah,
Ahmad bin Hambal telah diuji dengan pemerintah yang jelek, dan beliau
telah diminta untuk memberontak melawan mereka. Ternyata beliau tetap
kokoh di atas prinsip Ahlus Sunnah, dan tidak mau memberontak bersama
rakyat dalam melawan dan menumbangkan pemerintah.
Abul Harits Ash-Sho’igh -rahimahullah- berkata,
سألت أبا عبد الله في أمر كان حدث ببغداد ، وهم قوم
بالخروج ، فقلت : « يا أبا عبد الله ، ما تقول في الخروج مع هؤلاء القوم ،
فأنكر ذلك عليهم ، وجعل يقول : سبحان الله ، الدماء ، الدماء ، لا أرى ذلك ،
ولا آمر به ، الصبر على ما نحن فيه خير من الفتنة يسفك فيها الدماء ،
ويستباح فيها الأموال ، وينتهك فيها المحارم ، أما علمت ما كان الناس فيه ،
يعني أيام الفتنة ، قلت : والناس اليوم ، أليس هم في فتنة يا أبا عبد الله
؟ قال : وإن كان ، فإنما هي فتنة خاصة ، فإذا وقع السيف عمت الفتنة ،
وانقطعت السبل ، الصبر على هذا ، ويسلم لك دينك خير لك ، ورأيته ينكر
الخروج على الأئمة ، وقال : الدماء ، لا أرى ذلك، ولا آمر به
“Aku bertanya kepada Abu Abdillah (sapaan Imam Ahmad) tentang
suatu perkara yang telah terjadi di kota Baghdad, yaitu adanya suatu
kaum yang merencanakan pemberontakan. Aku katakan, “Wahai Abu Abdillah,
apa pendapatmu tentang pemberontakan bersama kaum itu”. Beliau
mengingkari hal itu atas mereka, dan mulailah beliau berkata,
“Subhanallah, jagalah darah, jagalah (yakni, kaum muslimin). Aku tidak
memandang bolehnya hal itu, dan aku tidak memerintahkannya. Bersabar di
atas yang kita alami lebih baik dibandingkan fitnah (musibah &
ujian). Di dalamnya ditumpahkan darah, dihalalkan harta, kehormatan
dilanggar. Tidakkah engkau tahu apa yang dialami manusia dahulu (yakni,
hari-hari fitnah)[46]“.
Aku katakan, “Manusia hari ini, bukankah mereka berada dalam fitnah
(musibah & ujian), wahai Abu Abdillah?”. Beliau berkata, “Walaupun
demikian, tapi fitnah itu hanya khusus (bagi sebagian orang saja). Jika
perang telah terjadi, maka fitnah (musibah) akan merata, dan jalan akan
terputus. Bersabar di atas kondisi seperti sekarang ini, dan agamamu
selamat adalah lebih baik”. Aku melihat beliau (Imam Ahmad) mengingkari
pemberontakan melawan pemerintah seraya berkata, “Jagalah darah, aku
tidak memandang bolehnya (pemberontakan) itu, dan aku tidak
memerintahkannya”.[47]
Jadi, tidak ada Ahlus Sunnah yang hari ini disebut “WAHHABI”[48]
mau memberontak dan melakukan sikap frontal. Mereka adalah kaum yang
dikenal selalu mengajak kepada kasih sayang, perdamaian, dan persatuan.
Di berbagai negara, mereka banyak memberikan bantuan dana dan moril
kepada kaum fakir miskin, membangun masjid-masjid, membuat sumur-sumur
bor bagi, menyekolahkan anak-anak muslim di Kota Madinah dan lainnya,
membangun pesantren beserta fasilitas, mencetak naskah Al-Qur’an dan
buku-buku agama lalu dibagikan gratis kepada jama’ah haji dan umrah,
membangun dan melayani Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, memberantas
terorisme dan masih banyak kebaikan negara Saudi Arabiyah yang mereka
(Tabligh) klaim dengan istilah “Wahhabi”, walaupun tepatnya mereka
dinamai Ahlus Sunnah wal Jama’ah!! Mereka yang lebih pantas disebut
dengan “Ahlus Sunnah wal Jama’ah” dibandingkan sekte Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah yang kepadanya JT menisbahkan diri!!!
Para pembaca yang budiman, kalau kita mau jujur, justru sikap frontal
itu seringnya muncul Jama’ah Tabligh di saat mereka berdakwah.[49]
2. Bang Lubis menggambarkan bahwa
diantara jeleknya salafiyyun adalah adanya pertentangan di antara
mereka, misalnya kitab salafy bertentangan dengan yang lainnya. Apa yang
dinyatakan oleh Bang Lubis, tiada lain karena ia bingung saja sampai
menyatakan demikian. Andaikan ia mau belajar sedikit, dan tidak sibuk khuruj,
maka ia akan tahu bahwa salafiyyun sebenarnya tidak berselisih dan
bertentangan. Kalaupun ada yang bertentangan, maka kita lihat dulu dalam
masalah apa??! Masalah aqidah? Tentunya tidak!! Masalah ijtihadiyyah?
Mungkin saja, dan ini tidak tercela.
3. Diantara para ulama kita tidak ada yang gontok-gontokan dalam permasalahan aqidah; mereka satu dan sepakat dalam hal ini. Dalam masalah fiqih (khilafiyyah maupun ijtihadiyyah)[50] memang mereka berselisih, tapi tidak sampai gontok-gontokan seperti anak kecil atau orang gila.[51] Apa yang dinyatakan oleh si Tabligh ini hanyalah cerita dusta dan kosong belaka. Alhamdulillah.
4. Para ulama kita dalam menegakkan al-haq terkadang harus berseberangan dengan saudara kandungnya, teman semadzhabnya, bahkan mungkin ayahnya. Jika apa yang dinyatakan oleh Bang Lubis benar bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah menyesatkan orang yang semadzhab dengan beliau, maka ini tidak ada salahnya jika memang orang itu sesat sebagaimana Tabligh juga menganggap salafiyyun sebagai orang sesat.[52] Bahkan seorang yang memang terjatuh dalam kekafiran, sedang syarat-syarat pengkafiran dan penghalangnya telah sirna, maka boleh seseorang mengkafirkan orang lain, walau ia mengaku muslim, seperti sikap para sahabat saat mengkafirkan Musailamah Al-Kadzdzab.
5. Dalam ucapan Bang Lubis terdapat kerancuan dalam penggunaan istilah, antara madzhab dan manhaj. Orang yang semadzhab belum tentu seaqidah dan semanhaj. Sebaliknya, orang yang semanhaj tidak mesti semadzhab. Orang semanhaj, tidak mungkin akan berselisih dengan saudaranya. Tapi orang yang yang semadzhab, mungkin saja berselisih, jika berlainan manhaj. Jadi, tidak perlu heran jika ada ulama yang semadzhab, tapi tidak semanhaj. Misalnya, Al-Imam Ibnu Katsir, beliau semadzhab dengan Al-Ghozaliy[53], tapi manhaj Ibnu Katsir adalah manhaj salafy; menyelisihi manhaj Imam Al-Ghozaliy yang menganut manhaj Asy’ariyyah.
Contoh sebaliknya, Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyyah berlainan madzhab[54], namun sama-sama di atas manhaj salafy.
6. Masalah persaudaraan dengan kaum
muslimin bagi salafiyyun adalah mudah dan luas. Lihat saja saat Allah
mempersaudarakan Ibnul Qoyyim dengan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Abdil Hadi,
Adz-Dzahabiy, Ibnu Katsir, Abul Hajjaj Al-Mizziy, dan Ibnu Muflih -rahimahumullah-. Walaupun ada diaantara mereka yang berlainan madzhab, tapi manhaj dan aqidah mereka sama dan satu.
Inilah yang diingatkan oleh Allah dalam firman-Nya,
“Dan berpeganglah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada
kalian, ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan. Maka
Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian orang-orang yang
bersaudara karena nikmat Allah; dan kalian telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk”.
(QS.Ali Imraan : 103)
Jadi, Allah memerintahkan kita bersatu di atas agama (aqidah) yang
haq, dan melarang kita berpecah, karena meninggalkan agama (aqidah) yang
haq.
7. Tuduhan pengkafiran terhadap
salafiyyun telah kami bantah dalam pembahasan yang lalu. Intinya,
salafiyyun tidak benar jika dikatakan bahwa mereka suka mengkafirkan.
Bahkan Tabligh-lah yang mudah mengkafirkan orang. Lihat saja saat mereka
mengkafirkan Ibnu Taimiyyah dan salafiyyun dianggap munafiq, karena
mereka adalah kaki tangan Zionis.[55] Ini jelas merupakan pengkafiran yang menjadi-jadi dan lebih gila. Semoga Allah menampakkan kedustaan kaum sufi ini.[56]
[1]
Para dai salafy kebanyakan membahas aqidah, fikih, dan akhlaq. Oleh
karena itu, kami pribadi biasa mengajarkan Aqidah Salaf Ashhabil Hadits
karya Ash-Shobuniy, Riyadhush Sholihin karya An-Nawawiy, dan masih
banyak lagi kitab yang telah kami ajarkan, alhamdulillah, tanpa mencela
orang dalam aib pribadinya.
[2] Penjelasan masalah ini dapat anda lihat dan baca secara rinci dalam kitab Manhaj Ahlis Sunnah fi Naqd Ar-Rijaal wal Kutub wath Thowa’if, karya Syaikh Robi’ bin Hadi Al-Madkholiy -hafizhohullah-.
[3] Kalau anda ingin cek permasalahannya, silakan anda berkunjung ke www.darussalaf.or.id , www.almakassari.com, dan lainnya.
[4]
Banyak orang yang salah dalam membedakan antara celaan dan nasihat,
sehingga terkadang jika seseorang diberi nasihat, maka ia marah karena
menyangka itu adalah celaan!! Inilah sebab Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab -rahimahullah- menulis kitab yang berjudul “Al-Farq baina An-Nashihah wa At-Ta’yiir” (Perbedaan antara Nasihat dengan Celaan)
[5]
Pengkafiran dan penyesatan Ibnu Taimiyyah telah dilakukan tanpa hujjah
oleh Penulis Qou Vadis Salafy (hal. 154-156) dengan alasan bahwa Ibnu
Taimiyyah adalah musyabbihah dan mujassimah. Pengkafiran itu berdasarkan
kisah dusta seorang shufi yang bernama Ibnu Batutah. Insya Allah, kisah
itu kami akan batalkan kebenarannya pada pembahasan berikutnya.
[8] Lihat Syarh Shohih Muslim (16/358-359) karya An-Nawawiy, tahqiq Kholil Ma’mun Syiha, cet. Dar Al-Ma’rifah, 1420 H.
[19] Lihat Aqidah As-Salaf Ashhabil Hadits (hal. 107-108) karya Abu Utsman Isma’il bin Abdir Rahman Ash-Shobuniy, dengan tahqiq Abul Yamin Al-Manshuriy, cet. Dar Al-Minhaj, 1423 H.
0 komentar:
Posting Komentar