Rabu, 23 November 2011

Hukum Melafazhkan Niat

Penulis: Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini

Apakah benar tidak ada bacaan khusus sebelum takbir (bacaan ushalli)?
Koko Wiharto – kok…@yahoo.com

Jawab:

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ

Memang benar demikian, bahkan hal itu merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama yang sempurna ini. Sebagaimana diterangkan para ulama berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar yang diwarisi dari para shahabat (as-salaf ash-shalih) ridhwanullahi alaihim ajma’in.

1. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (2/285): “Ketahuilah bahwa niat itu tempatnya di qalbu (hati), oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu)

Maka niat itu bukan amalan anggota tubuh1, oleh karena itu kami mengatakan bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah. Tidak disunnahkan bagi seseorang jika hendak melaksanakan suatu ibadah2 untuk mengucapkan:

اللَّهُمَّ نَوَيْتُ كَذَا أَوْ أَرَدْتُ كَذَا

“Ya Allah tuhanku, aku berniat untuk…” atau “aku bermaksud untuk…”, baik secara jahr (keras) maupun sirr (pelan), karena hal ini tidak pernah dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam qalbu setiap orang. Maka engkau tidak perlu mengucapkan niatmu karena niat itu bukan dzikir sehingga (harus) diucapkan dengan lisan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya. Bahkan dalam ibadah haji pun seseorang tidak disunnahkan untuk mengatakan:

اللَّهُمَّ إِنِّيْ نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ أَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ

“Ya Allah, aku berniat untuk umrah atau aku berniat untuk haji.”

Namun dia mengucapkan talbiyah sesuai dengan yang dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati. Oleh karena itu seseorang mengucapkan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً أَوْ لَبَّيْكَ حَجًّا

“(Ya Allah), aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan umrah” atau “(Ya Allah) aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan haji.”

2. Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dalam Ijabatus Sail (hal. 27): “Melafadzkan niat merupakan bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ أَتُعَلِّمُوْنَ اللهَ بِدِيْنِكُمْ

“Katakanlah (wahai Nabi), apakah kalian hendak mengajari Allah tentang agama (amalan) kalian?” (Al-Hujurat: 16)

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari a’rabi (seorang Arab dusun) yang tidak benar cara shalatnya dengan sabdanya:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ

“Jika kamu bangkit (berdiri) untuk shalat maka bertakbirlah (yakni takbiratul ihram, pen).” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Jadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan kepadanya: “Ucapkanlah: Aku berniat untuk…”3

Dan niat itu tempatnya di hati, berdasarkan hadits:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat.” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu)

Maka merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa dalam kitab Al-Umm4 ada penyebutan melafadzkan niat. Tidak ada dalam kitab Al-Umm penyebutan tersebut.

Dan melafadzkan niat tidak ada sama sekali dalam ibadah apapun dalam agama ini. Adapun talbiyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: (لَبَّيْكَ حَجًّا), maka ada 2 kemungkinan:

1. Kata (حَجًّا) manshub5 sebagai mashdar (maf’ul muthlaq) yaitu (لَبَّيْكَ أَحُجُّ حَجًّا) “(Ya Allah), aku menjawab panggilan-Mu untuk menunaikan haji.”

2. Kata (حَجًّا) manshub sebagai maf’ul dari fi’il (نَوَيْتُ) yaitu (لَبَّيْكَ نَوَيْتُ حَجًّا) “(Ya Allah), aku menjawab panggilanmu, aku berniat untuk haji.”

Namun ibadah ini (yaitu talbiyah) disamakan dengan ibadah-ibadah lainnya, maka kemungkinan yang pertama yang benar.6

3. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata (Zadul Ma’ad, 1/201): “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat beliau mengatakan (اللهُ أَكْبَرُ), dan beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Dan tidaklah beliau melafadzkan niat sama sekali dan tidak pula mengatakan:

أُصَلِّي لِلَّهِ صَلاَةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إِمَاماً أَوْ مَأْمُوْمًا

“Aku berniat shalat ini (dzuhur misalnya, pen) menghadap kiblat, empat rakaat, sebagai imam,” atau “sebagai makmum.”

Dan beliau tidak mengatakan:( أَدَاءً)7 atau (قَضَاءً)8, tidak pula (فَرْضَ الْوَقْتِ)9. Ini adalah 10 bid’ah10, tidak seorangpun yang menukilkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dengan sanad yang shahih, atau dha’if (lemah), atau musnad (sanad yang bersambung) atau mursal (terputus sanadnya), satu lafadz pun dari lafadz-lafadz itu. Bahkan tidak juga dari seorang shahabat sekalipun. Dan tidak seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik, dan tidak pula dari kalangan imam yang empat (Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad, pen).

Hanya saja sebagian orang dari kalangan mutaakhirin (orang-orang yang belakangan, pen) salah memahami perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shalat bahwa: ‘Shalat itu tidak sama dengan puasa, maka tidaklah seseorang mengawali shalatnya kecuali dengan dzikir,’ maka orang ini menyangka bahwa yang dimaksud adalah melafadzkan niat untuk shalat. Padahal yang dimaksud oleh Al-Imam Asy-Syafi’i adalah takbiratul ihram, bukan yang lainnya.”

Wallahu a’lam.

Footnote:

1 Karena Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh dengan niat, bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal.
2 Baik itu wudhu, shalat, puasa dan ibadah lainnya.
3 Atau “ushalli…”, sebagaimana yang sering kita dengar dari saudara-saudara kita yang sangat jahil dengan agama ini.
4 Kitab karangan Al-Imam Asy-Syafi’i.
5 Istilah dalam ilmu nahwu.
6 Artinya bahwa talbiyah merupakan dzikir, dan bukan melafadzkan niat.
7 Artinya ibadah yang ditunaikan pada waktunya.
8 Artinya ibadah yang ditunaikan setelah waktunya berlalu.
9 Artinya shalat yang diwajibkan pada waktu itu, baik dzuhur, atau ashar dan lainnya.
10 Yaitu 10 lafadz kata yang disebutkan.



Hukum Melafazhkan Niat
Penulis: Al-Ustâdz Muslim Abû Ishâq Al-Atsarî

Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i rahimahullah ditanya: “Apakah melafazkan niat termasuk perkara yang diada-adakan dalam agama (bid`ah), sementara di dalam kitab al-Umm disebutkan keterangan hal ini secara samar (yakni niat harus dilafazkan)? Jelaskan pada kami tentang permasalahan ini,

Jawab: Melafazkan niat teranggap sebagai perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid`ah), sementara Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:

Katakanlah: Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah tentang agama kalian?

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada orang yang jelek shalatnya:

Apabila engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah.

Di sini beliau tidak mengatakan kepada orang tersebut: “Katakanlah aku berniat” (sebelum mengucapkan takbir).

Ketahuilah ibadah shalat, wudhu’, dan juga ibadah-ibadah yang lainnya memang tidak sah kecuali dengan niat. Oleh karena itu dalam pelaksanaan ibadah seluruhnya haruslah ada niat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

Sesungguhnya setiap amalan itu harus disertai dengan niat.

Namun perlu diketahui niat itu tempatnya di hati dan keliru bila dikatakan bahwa di dalam kitab Al-Umm disebutkan tentang melafazkan niat. Ini salah, bahkan hal ini tidak ada di dalam kitab Al-Umm tersebut.
(Ijabatus Sa-il hal. 27)Berkata Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah:

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bila berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan Allahu Akbar dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafazkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan:

Aku tunaikan untuk Allah shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum.

Melafazkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam baik dengan sanad yang sahih, dha’if, musnad (bersambung sanadnya) atau pun mursal (terputus sanadnya). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat. Begitu pula tidak ada salah seorang pun dari kalangan tabi’in maupun imam yang empat yang menganggap baik hal ini.

Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang sekarang) keliru dalam memahami ucapan Imam Syafi’i – semoga Allah meridhainya – tentang shalat. Beliau mengatakan: “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan zikir”. Mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seorang yang shalat. Padahal yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i – semoga Allah merahmatinya – dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menyukai perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu shalat pun, begitu pula oleh para khalifah beliau dan para sahabat yang lain. Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan ketundukan dan penerimaan. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka, dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari pemilik syari’at Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Zaadul Ma`ad : 1/201)

Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=179

http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=21

0 komentar:

Posting Komentar