Rabu, 23 November 2011

Mengenal Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (1) (Tujuh Tokoh Ulama dari Madinah)

Madinah An-Nabawiyyah, telah menyimpan banyak kenangan bersejarah yang tidak akan terlupakan dalam sendi kehidupan kaum muslimin. Di sanalah tonggak jihad fi sabilillah mulai dipancangkan di bawah naungan nubuwwah dalam rangka meninggikan kalimat Allah ‘azza wajalla di muka bumi dan memadamkan api kesombongan dan keangkaramurkaan kaum musyrikin.

Semakin tumbuh dan berkembang kota tersebut sebagai ibukota sebuah negara Islam yang baru lahir, di bawah pimpinan insan terbaik yang terlahir di muka bumi. Kota Madinah menjadi pusat penggemblengan pahlawan-pahlawan Islam yang akan meneruskan tongkat estafet jihad fi sabilillah dan para ulama yang akan menyebarkan dakwah Islam di seluruh penjuru negeri.

Seiring dengan pergantian waktu, namanya pun semakin bertambah harum semerbak laksana mawar yang sedang tumbuh merekah dengan warnanya yang indah dan menawan. Halaqah-halaqah ilmu tumbuh semarak dan berkembang dengan sangat pesatnya mewarnai kehidupan kaum muslimin. Dengan di bawah bimbingan para ulama shahabat yang telah mendapatkan warisan ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lahirlah melalui tangan mereka, generasi terbaik kedua umat ini, yaitu generasi Tabi’in, yang berhasil mewarisi ilmu dari para shahabat sehingga mereka benar-benar menjadi tokoh terkemuka dalam ilmu dan amal.

Kota Madinah pun menjadi impian, dambaan, dan angan-angan para penuntut ilmu di seluruh penjuru negeri untuk bisa mereguk manisnya warisan nubuwwah. Satu di antara sekian buah usaha pendidikan dan bimbingan para sahabat, lahirlah di sana sejumlah ulama yang dikenal dengan sebutan Al-Fuqaha’ As-Sab’ah yang mumpuni dalam hal ilmu dan amal. Mereka itu adalah:

1. Sa’id bin Al-Musayyib

2. ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam

3. Sulaiman bin Yasar

4. Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr

5. Abu Bakr bin ‘Abdirrahman

6. Kharijah bin Zaid

7. ‘Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud

Mereka adalah tujuh orang ulama kota Madinah yang keluasan ilmunya tidak saja diakui oleh penduduk negeri tersebut namun diakui pula oleh para ulama di seluruh penjuru negeri. Dikatakan oleh seorang penyair:

إِذَا قِيْلَ مَنْ فِي الْعِلْمِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ رِوَايَتُهُمْ لَيْسَتْ عَنِ الْعِـلْمِ خَارِجَةْ

فَقُلْ هُمْ عُبَيْدُ اللهِ عُرْوَةٌ قَاسِـمٌ سَعِيْدٌ أَبُوْبَكْرٍ سُلَيْـمَانُ خَـارِجَةْ

Jika dikatakan siapa (yang keluasan) ilmunya (seperti) tujuh lautan

Riwayat mereka tidak keluar dari ilmu

Katakanlah mereka itu adalah ‘Ubaidullah, Urwah, Qasim

Sa’id, Abu Bakr, Sulaiman, dan Kharijah

Dengan memohon pertolongan kepada Allah ta’ala, berikut ini akan kami sebutkan biografi singkat mereka satu persatu, Insya Allah kami akan menampilkannya secara bersambung, dimulai dengan Sa’id bin Al-Musayyib, penghulu para Tabi’in, dengan harapan agar kita semua bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari ilmu dan amalan yang mereka miliki sehingga kita bisa meneladaninya dalam kehidupan kita di zaman sekarang.

Sa’id bin Al Musayyib

(Penghulu Para Tabi’in)

Kunyah dan Nama Lengkap Beliau

Beliau memiliki kunyah dan nama lengkap sebagai berikut:

Abu Muhammad Sa’id bin Al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb bin ‘Amr bin A’idz bin ‘Imran bin Makhzum bin Yaqzhah Al-Qurasyi Al-Makhzumi Al-Madani.

Dialah seorang yang ‘alim dari kalangan penduduk Madinah, seorang tokoh tabi’in pada zamannya, seorang yang ahli dalam bidang fiqh pada masanya, satu dari tujuh tokoh ulama ahli fiqh yang terkenal dalam sejarah Islam dan bahkan termasuk dari pemimpin para ulama. Beliau menempati thabaqah kedua yang dikenal di kalangan ahlul hadits adalah thabaqahnya tokoh-tokoh besar tabi’in. Adapun para shahabat, mereka berada pada thabaqah pertama.

Dilahirkan di kota Madinah, dua tahun sejak ‘Umar bin Al-Khaththab mulai memegang tampuk kekhilafahan, beliau adalah seorang yang memiliki kepribadian yang bersahaja. Kepala dan jenggot beliau berwarna putih dan beliau sangat menyenangi pakaian yang berwarna putih. Salah seorang shahabat beliau pernah mengatakan: “Aku belum pernah melihat Sa’id memakai pakaian selain pakaian putih.”

Keilmuan, Ibadah, dan Akhlak Beliau

Beliau berjumpa dengan banyak sahabat dan meriwayatkan hadits dari mereka, di antaranya adalah ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-’Asy’ari, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Aisyah binti Abi Bakr, Abu Hurairah, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Muhammad bin Maslamah, Ummu Salamah, ‘Abdullah bin ‘Umar, Sa’d bin Ubadah, Abu Dzarr Al-Ghifari, Ubay bin Ka’b, Bilal bin Abi Rabah, Abu Darda’, Ummu Syuraik, Hakim bin Hizam, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash, Abu Sa’id Al-Khudri, Hassan bin Tsabit, Shuhaib Ar-Rumi, Shafwan bin ‘Umayyah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan yang lainnya.

Beliau adalah orang yang paling mengetahui hadits-hadits yang disampaikan Abu Hurairah dan beliaulah yang menikahi putrinya.

Dan di antara ulama yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah Al-Imam Az-Zuhri, Qatadah, ‘Amr bin Dinar, Yahya bin Sa’id Al-Anshori, Syarik bin Abi Namir, ‘Abdurrahman bin Harmalah, ‘Atha Al-Khurasani, Maimun bin Mihran, dan yang lainnya.

Beliau adalah seorang yang memiliki kelebihan dan keutamaan dalam ilmu dan amal. Tentang kelebihan yang dimiliki oleh beliau dalam hal ilmu, sebagaimana digambarkan berikut:

Para ulama mengakui bahwasanya beliau memang seorang mufti (pemberi fatwa) di zamannya dalam keadaan para shahabat bahkan para pembesar shahabat masih hidup di tengah-tengah kaum muslimin pada zaman tersebut.[1]

Fatwa-fatwa beliau dalam berbagai permasalahan selalu menjadi bahan rujukan kaum muslimin dan selalu dikedepankan dalam menyelesaikan berbagai problem umat. Dan di kalangan para fuqaha’ (ahli dalam masalah fiqih), beliau adalah seorang yang sangat pandai dalam bidang fiqih dan hasil pemikiran-pemikiran beliau selalu mendapat tempat yang mulia di hati kaum muslimin di samping beliau pun menguasai sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dahulu, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz sewaktu masih menjabat sebagai gubernur di kota Madinah, tidaklah dia berani memutuskan suatu perkara kecuali setelah menanyakan terlebih dahulu perkara tersebut kepada Sa’id bin Al Musayyib.

Suatu ketika ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz mengalami suatu masalah yang sangat membutuhkan jawaban dan solusi yang cepat dan tepat. Maka beliau mengutus salah seorang utusan untuk menanyakan masalah tersebut kepada Sa’id bin Al-Musayyib. Alkisah sang utusan tersebut berhasil membawa beliau ke hadapan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz. Melihat kedatangan Sa’id bin Al Musayyib, terkejutlah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan rona wajahnya pun berubah menunjukkan rasa malu kepada beliau. Maka berkatalah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz: “Aku meminta maaf kepadamu wahai Sa’id atas kesalahpahaman utusanku. Sebenarnya aku mengutus dia adalah untuk menanyakan kepadamu tentang suatu masalah di majelismu dan bukan untuk menyuruh engkau untuk hadir di hadapanku.”

Dikisahkan pula bahwasanya beliau diberikan kelebihan oleh Allah ‘azza wajalla berupa ilmu tentang tabir mimpi (menafsirkan mimpi seseorang) sebagaimana kemampuan yang telah Allah ta’ala berikan kepada Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Beliau mempelajari ilmu ini dari shahabiyah Asma’ bintu Abi Bakr Ash- Shiddiq, dan Asma’ mengambil ilmu tersebut dari ayahnya yaitu Abu Bakr Ash-Shiddiq. Tentang masalah ini, dikisahkan sebagai berikut:

Telah datang seorang laki-laki kepada beliau menceritakan tentang mimpinya:

“Dalam mimpiku seakan-akan aku melihat ‘Abdul Malik bin Marwan[2] kencing di arah kiblat masjid Nabawi sebanyak 4 kali.” Maka Sa’id berkata: “Kalau mimpimu memang benar seperti itu maka tafsirannya adalah sebagai berikut: sesungguhnya akan lahir dari sulbi ‘Abdul Malik bin Marwan 4 orang khalifah.”[3]

Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwasanya beliau melihat dalam mimpinya seakan-akan di antara kedua matanya tertulis ayat:

قل هو الله أحد

maka dia dan keluarganya gembira dengan mimpi tersebut. Maka diceritakanlah mimpi tersebut kepada Sa’id bin Al-Musayyib. Beliau berkata menafsirkan mimpi tersebut: “Kalau memang benar mimpi yang engkau ceritakan, maka ajalmu tinggal sebentar lagi.” Dan Al Hasan bin Ali pun meninggal tidak lama setelah itu.

Seseorang menceritakan mimpinya kepada beliau: “Aku melihat dalam mimpiku seorang wanita cantik berada di atas puncak menara.” Kemudian beliau menafsirkannya bahwa Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi akan menikahi anak perempuan ‘Abdullah bin Ja’far.

Seseorang berkata kepada beliau: “Wahai Abu Muhammad, aku melihat dalam mimpiku seakan-akan aku berada di sebuah tempat yang teduh kemudian aku berdiri di bawah sinar matahari.” Beliau berkata: “Jika memang mimpimu tersebut benar, maka sungguh engkau akan keluar dari Islam.” Kemudian orang itu berkata lagi : “Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku tersebut aku dipaksa keluar dari tempat yang teduh ke tempat terik matahari, maka aku duduk di bawahnya.” Beliau berkata: “Engkau akan dipaksa untuk keluar dari Islam.” Maka orang tersebut ditawan oleh musuh dalam suatu pertempuran dan dipaksa untuk murtad namun kemudian kembali kepada Islam.

Seseorang menceritakan kepada beliau bahwa dalam mimpinya dia melihat seakan-akan dia masuk ke dalam api. Kata beliau : “Engkau tidak akan mati sampai engkau bisa mengarungi lautan, dan engkau mati dalam keadaan terbunuh.” Maka orang tersebut pergi mengarungi lautan dan telah dekat masa kematian baginya.

Dia terbunuh pada peristiwa Qudaid yaitu sebuah tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah. Di tempat itulah pada tahun 130 H pernah terjadi pertempuran hebat yang memakan banyak korban antara penduduk Madinah dengan pasukan Abu Hamzah Al-Khariji.

Beliau juga merupakan teladan di dalam semangatnya menuntut ilmu. Beliau pernah berkata: “Aku pernah melakukan perjalanan sehari semalam hanya untuk mendapatkan satu hadits saja.”

Dan tidak kalah pula, beliau adalah seorang yang sangat semangat dalam beribadah kepada Allah ‘azza wajalla. Beliau pernah mengatakan: “Aku tidak pernah tertinggal shalat jama’ah sejak 40 tahun yang lalu.” Beliau juga berkata: “Tidaklah seorang muadzdzin mengumandangkan adzan sejak 30 tahun yang lalu kecuali aku telah berada di masjid.” Beliau juga sangat rajin dan istiqamah dalam melaksanakan ibadah puasa. Dan selama hidupnya beliau telah melaksanakan ibadah haji sebanyak 40 kali.

Beliau adalah seorang ulama yang terkenal wara’. Tentang wara’nya beliau ini, pernah disebutkan dalam sebuah riwayat bahwasanya beliau mendapatkan tawaran gaji tunjangan dari Baitul Mal (kas negara) sebanyak 30 ribu lebih. Namun beliau menolak tawaran tersebut seraya berkata: “Aku tidak membutuhkan terhadap harta tersebut.”

Beliau pernah mengatakan: “Barangsiapa yang merasa cukup dengan Allah maka manusia akan butuh kepadanya.”

Beliau juga mendapati masa berkuasanya gubernur Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi di wilayah Irak. Dia adalah seorang penguasa yang kejam dan bengis pada masa itu. Ribuan kaum muslimin dan para ulama menjadi korban keberingasannya. Sangat sedikit sekali di antara kaum muslimin dan para ulama yang selamat dari tangannya. Dan di antara para ulama yang selamat dari keberingasannya adalah Sa’id bin Al-Musayyib. Sampai-sampai ada salah seorang yang bertanya kepada beliau: “Ada apa sebenarnya dengan Al-Hajjaj, kenapa dia tidak pernah memanggilmu untuk menghadap kepadanya, dan dia tidak pernah mengganggumu dan menyakitimu?” Beliau berkata: “Demi Allah aku tidak tahu, kecuali dulu aku pernah melihat dia (Al-Hajjaj) suatu hari masuk ke masjid bersama bapaknya, kemudian dia melaksanakan shalat tetapi dia tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya dengan baik. Maka aku mengambil batu kerikil dan aku lemparkan ke arahnya sebagai isyarat agar dia menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.” Maka sejak saat itu Al-Hajjaj pun memperbagus shalatnya. Jadi seakan-akan Al-Hajjaj berhutang budi kepada beliau atas nasehat dan tegurannya dalam memperbaiki cara shalatnya, oleh karena itulah beliau aman dari gangguannya.

Pujian Para ‘Ulama kepada Beliau

‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallau ‘anhu berkata: “Sa’id bin Al-Musayyib -demi Allah- adalah termasuk dari para mufti (ahli fatwa).”

Qatadah, Mak-hul, Az-Zuhri, dan yang lainnya berkata: “Tidaklah aku melihat seorang yang lebih alim daripada Sa’id bin Al-Musayyib.”

‘Ali bin Al-Madini berkata: “Aku tidaklah mengetahui salah seorang dari kalangan tabi’in yang lebih luas ilmunya daripada Sa’id bin Al-Musayyib. Dan dia menurutku adalah seorang tabi’in yang paling mulia.”

Maimun bin Mihran berkata: “Aku datang ke kota Madinah, maka aku bertanya kepada penduduk Madinah siapa orang yang paling pandai di antara mereka. Maka mereka pun mengarahkanku kepada Sa’id bin Al-Musayyib.”

Inilah perkataan Maimun bin Mihran -seorang tabi’in- dalam keadaan di kota tersebut masih ada ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum.[4]

‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz berkata: “Tidaklah ada seorang alim pun di kota Madinah kecuali ia mendatangiku dengan ilmunya, adapun aku, maka aku mendatangi Sa’id bin Al-Musayyib karena sesuatu yang ada pada sisinya berupa ilmu.”

Cobaan yang Menimpa Beliau

Telah menjadi sunnatullah bahwasanya setiap manusia yang hidup di muka bumi pasti akan mengalami cobaan atau musibah. Allah ta’ala berfirman:

الم أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا آمنا وهم لا يفتنون.

“Alif Laam Miim, Apakah manusia mengira bahwasanya mereka akan dibiarkan untuk mengatakan bahwa kami telah beriman sementara mereka belum diuji.” (Al-’Ankabut: 1-2).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن من أشد الناس بلاء الأنبياء ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم.

“Orang yang paling keras cobaannya adalah dari kalangan para nabi kemudian orang yang berikutnya (semisalnya), kemudian orang yang berikutnya (semisalnya), dan kemudian orang yang berikutnya (semisalnya).”

Diceritakan bahwa pada masa kekhilafahan dipegang oleh shahabat ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, beliau mewakilkan kota Madinah kepada Jabir bin Al-Aswad Az-Zuhri. Dia (Jabir) menyeru manusia untuk berbaiat kepada ‘Abdullah bin Az-Zubair. Maka berkatalah Sa’id: “Aku tidak mau berbaiat sampai manusia semuanya sepakat untuk membaiatnya.” Maka beliau pun dicambuk sebanyak 60 cambukan. Sampailah kabar tersebut kepada ‘Abdullah bin Az-Zubair dan beliau pun menulis surat celaan kepada Jabir dan memerintahkan untuk membiarkan Sa’id bin Al-Musayyib.

Kemudian pula di masa berkuasanya khalifah Al-Walid bin ‘Abdil Malik dan Sulaiman bin ‘Abdil Malik. Beliau diminta untuk berbaiat kepada keduanya namun beliau tidak segera menyambutnya dan menunggu situasi kondusif terlebih dahulu. Maka beliau dicambuk sebanyak 60 cambukan dan diarak di hadapan masyarakat dalam keadaan hanya memakai celana kemudian setelah itu dijebloskan ke dalam penjara.

Kemudian pula beliau pernah disiksa oleh ‘Abdul Malik bin Marwan berupa cambukan sebanyak 50 kali kemudian dijemur di panas matahari dalam keadaan hanya memakai celana.

Dan bentuk cobaan lain yang menimpa beliau adalah pemerintah yang berkuasa pada saat itu melarang kaum muslimin untuk duduk bermajelis dengan beliau.

Namun beliau menghadapi semua itu dengan penuh kesabaran dan selalu mengharap datangnya pertolongan dari Allah subhanahu wata’ala.

Wafat Beliau

Beliau wafat pada tahun 94 Hijriyah karena sakit keras yang menimpanya. Dan tahun tersebut dikenal sebagai tahun Fuqaha’, karena banyaknya para fuqaha’ yang meninggal pada tahun tersebut. Semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan ampunan dan rahmat-Nya kepada beliau.

Bersambung, Insya Allah edisi berikutnya biografi ‘Urwah bin Az-Zubair.

Daftar rujukan:

1. Siyar A’lamin Nubala’
2. Al-Bidayah Wan Nihayah
3. Tadzkiratul Huffazh
4. Tahdzibut Tahdzib
5. Taqribut Tahdzib

dirangkum oleh Muhammad Rifqi dan Abu Abdillah Kediri
[1] Namun hal ini bukan menunjukkan bahwa beliau lebih utama daripada para shahabat yang masih hidup ketika itu. Bahkan para shahabat radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang terbaik dan paling utama sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada seorang pun yang datang setelah mereka -sampai hari kiamat nanti- yang lebih utama dan lebih baik daripada para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in.

[2] Salah seorang khalifah dari Bani Umayyah yang berkuasa antara tahun 64 H sampai 86 H.

[3] Memang benar keempat anak Abdul Malik kemudian menjadi khalifah, yaitu Al-Walid, Sulaiman, Yazid, dan Hisyam.

[4] Sekali lagi ini bukan menunjukkan bahwa beliau lebih mulia dan lebih baik daripada ‘Abdullah bin ‘Abbas dan Abu Hurairah. Pernyataan ini disebutkan sebatas untuk menggambarkan bagaimana luasnya ilmu beliau tentang agama ini. Ahlussunnah tetap berada di atas aqidah bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang yang paling baik dan paling utama sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

http://www.assalafy.org/mahad/?p=404#more-404

0 komentar:

Posting Komentar