Sebuah Nasehat dari Samâhatusy Syaikh Al-‘Allâmah Ibnu Bâz rahimahullâh
Merebaknya kejahatan seksual kian memprihatinkan. Namun sedikit yang menyadari bahwa semua itu bersumber dari tersebarnya kerusakan sebagai akibat dari diumbarnya aurat wanita di tempat-tempat umum. Bocah yang masih ingusan atau kakek yang telah renta bisa menjadi pelaku kejahatan karena mereka secara terus-menerus ‘dipaksa’ mengkonsumsi pemandangan yang bukan haknya. Ironisnya, sebagian korban adalah bocah perempuan yang belum mengerti apa-apa. Artikel berikut barangkali bisa menjadi renungan untuk kita semua.
Agama Islam datang dengan memberikan kemuliaan kepada wanita, memeliharanya dan menjaganya dari terkaman serigala dari kalangan manusia. Sebagaimana Islam menjaga hak-hak wanita, mengangkat harkat dan martabatnya. Islam menjadikan wanita berserikat dengan lelaki dalam hak memperoleh warisan. Islam mengharamkan perbuatan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Islam mewajibkan adanya izin dari pihak wanita bila ia hendak dinikahkan oleh walinya. Wanita pun diberikan kebebasan dalam mengatur dan mengurusi hartanya bila memang memiliki kecakapan.
Islam mewajibkan kepada seorang suami untuk menunaikan kewajiban yang banyak berkaitan dengan istrinya, sebagaimana Islam mewajibkan kepada seorang ayah dan karib kerabat si wanita untuk memberikan nafkah kepadanya ketika ia membutuhkan. Islam mewajibkan wanita untuk menghijabi dirinya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya. Agar ia tidak menjadi barang dagangan murahan yang bisa dinikmati oleh setiap orang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzâb:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabî maka mintalah dari balik tabir. Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
Dalam surat yang sama, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al-Ahzâb: 59)
Dalam surat An-Nur, Dia Yang Maha Tinggi berfirman:
وَقُل لِلْمُؤْمِنَاتِ يَـغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَـحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِيـنَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua)…” (An-Nur: 30-31)
Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala: إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا (kecuali apa yang biasa tampak darinya) ditafsirkan oleh shahabat yang mulia ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa yang dimaksud adalah pakaian luar1, karena pakaian luar tidak mungkin ditutupi kecuali (yang bersangkutan harus) mengalami kesulitan besar. Sementara Ibnu ‘Abbaas radhiyallahu ‘anhuma dalam pendapatnya yang masyhur menafsirkannya dengan wajah dan dua telapak tangan. Namun yang lebih kuat dalam hal ini tafsiran Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, karena ayat hijab yang disebutkan sebelumnya menunjukkan wajibnya menutup wajah dan kedua telapak tangan. Dan juga karena wajah termasuk perhiasan wanita yang paling utama, maka penting sekali menutupnya.
Syaikhul Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Wajah dan dua telapak tangan (wanita) biasa terbuka di awal Islam. Kemudian turun ayat hijab yang mewajibkan wanita untuk menutup wajah dan dua telapak tangannya. Karena membuka wajah dan dua telapak tangan di hadapan selain mahram termasuk sebab fitnah terbesar. Di samping juga sebagai pendorong terbesar bagi seorang wanita untuk membuka bagian tubuhnya yang lain. Bila wajah dan dua telapak tangan itu dihiasi dengan celak dan pacar (inai) atau berbagai hiasan lainnya yang mempercantik penampilan, maka membuka wajah dan dua telapak tangan dalam keadaan seperti ini (di hadapan laki-laki yang bukan mahram, pent.) diharamkan dengan kesepakatan ulama. Sementara keumuman wanita di zaman ini, mereka menghiasi dan mempercantik wajah dan dua telapak tangannya. Maka pada keadaan yang demikian, bersepakatlah dua pendapat yang semula berbeda2 untuk menyatakan keharaman membuka wajah dan dua telapak tangan. Adapun yang dilakukan oleh kaum wanita pada hari ini dengan membuka tutup kepala, leher, dada, lengan atas, betis, dan sebagian pahanya (ketika keluar rumah atau di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, pent.), maka hal ini merupakan perbuatan mungkar dengan kesepakatan kaum muslimin, tanpa diragukan sedikitpun oleh orang yang memiliki pengetahuan/ilmu agama yang paling rendah sekalipun. Fitnah yang ditimbulkan karena perbuatan mungkar ini begitu besar dan dampaknya demikian mengerikan. Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi taufik kepada pimpinan kaum muslimin agar melarang perbuatan ini, memutuskannya dan mengembalikan wanita kepada hijaab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepadanya dan menjauhkan wanita dari sebab-sebab fitnah.
Di antara dalil yang datang dalam permasalahan ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُولَى
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan bertabarruj (berhias) sebagaimana tabarruj orang-orang jahiliyyah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
وَالْـقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاء اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْـهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan wanita-wanita tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin menikah lagi, tidak ada dosa bagi mereka untuk menanggalkan pakaian luar mereka tanpa bermaksud tabarruj dengan menampakkan perhiasan. Bila mereka menjaga kehormatan diri mereka (dengan meninggalkan perkara yang membuat fitnah) maka itu lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengarn lagi Maha Penyayang.” (An-Nur: 60)
Dalam ayat yang awal, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada wanita untuk tetap tinggal dalam rumahnya, karena keluarnya mereka dari rumah umumnya menimbulkan fitnah. Sementara itu dalil-dalil syar’i juga menunjukkan bolehnya wanita keluar dari rumahnya bila ada keperluan dengan mengenakan hijab dan menjauhi sebab fitnah. Akan tetapi tinggalnya mereka di rumah mereka merupakan hukum/ketentuan yang asal dan itu lebih baik bagi mereka dan lebih menjauhkan mereka dari fitnah. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah, yaitu dengan menampakkan kebagusan dan keelokan yang membuat laki-laki terfitnah.
Dalam ayat yang kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan wanita-wanita yang sudah tua yang tidak memiliki keinginan menikah untuk melepaskan pakaiannya, dalam arti tidak mengenakan hijab. Namun dengan syarat tidak tabarruj dengan memamerkan perhiasannya. Dengan demikian bila mereka mengenakan perhiasan, mereka harus berhijab. Bila wanita yang sudah tua diberikan ketentuan demikian sementara kita tahu mereka tidak lagi membuat fitnah bagi lelaki dan umumnya tidak pula membangkitkan syahwat lelaki, lalu bagaimana kiranya dengan wanita-wanita muda, remaja-remaja belia yang dapat membuat lelaki terfitnah?
Kemudian dalam ayat yang sama, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bila wanita yang sudah tua itu menjaga kemuliaan dirinya dengan tetap berhijab maka itu lebih baik bagi mereka, sekalipun mereka tidak bertabarruj dengan memamerkan perhiasan. Semua ini demikian jelas dan gamblangnya untuk menekankan wanita agar berhijab ketika keluar rumah, tidak membuka wajahnya di hadapan lelaki yang bukan mahramnya dan menjauhi sebab-sebab fitnah.
Wallahu a’lam.
(Dialihbahasakan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah. Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah, 4/308-309)
Footnote:
1 Sehingga yang boleh ditampakkan oleh wanita ketika keluar rumah hanyalah pakaian luar yang menutupi seluruh tubuhnya (pent.).
2 Antara pendapat yang mengatakan wajah dan dua telapak tangan harus ditutup dengan pendapat yang menyatakan tidak harus ditutup (pent.).
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol.II/No.18/1426H/2005, Kategori: Mutiara Kata, hal. 76-78)
Senin, 21 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar