Penulis :Ustadz Abdurrahman Lombok
“Tidak semua orang memiliki keberanian sejati. Tahukah anda apakah
keberanian sejati itu? Keberanian sejati adalah sikap bersedia dikoreksi
bila salah dan siap menerima kebenaran meskipun dari orang yang
memiliki kedudukan lebih rendah.”
Berkata memang mudah. Namun untuk mempraktekkan apa yang diucapkan butuh
pengorbanan yang besar. Bahkan terkadang harus dengan taruhan nyawa.
Orang yang berbicara dengan kata yang diolah demikian rupa dan disusun
rapi dan indah sehingga mampu membuat orang terkesima, biasanya mudah
diacungi jempol dan dianggap sebagai orang “hebat”. Walaupun dalam
kesempatan lain dia melanggar dan menelan perkataannya sendiri.
Bila penilaian untuk menjadikan seseorang sebagai murabbi (pembimbing)
cukup dengan perkataan yang membuat umat terkesima, maka sadarilah bahwa
Allah telah mengingatkan kepada Rasul-Nya agar berhati-hati dari orang
demikian (artinya):
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah I. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta.” (Al An’am: 116)
“Maka berpalinglah (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari
peringatan kami, dan tidak menginginkan melainkan kehidupan duniawi.
Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.” (An Najm: 29-30)
Engkau jangan merasa aman dan terlalu percaya diri, terlebih angkuh dan
sombong. Telah berlalu suri tauladan yang buruk yang bisa kita jadikan
pelajaran. Sebuah kejadian yang menimpa orang-orang yang memiliki ilmu
bagaikan gunung menjulang setinggi langit, ibadah yang kuat, zuhud,
qana’ah, dan sifat-sifat mulia yag lain yang menghiasi bajunya. Namun
dia harus menanggalkan kemuliaannya itu di hadapan seorang wanita yang
kurang dan lemah akalnya. Dialah ‘Imran bin Haththan (salah seorang
tokoh Sunni, namun setelah menikah dengan puteri pamannya, seorang
wanita Khawarij, justru dia menjadi tokoh Khawarij. Bahkan dia memuji
Ibnu Muljim pembunuh Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib t).
Oleh karena itu dengarlah bimbingan Allah I kepada Rasul-Nya (artinya):
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabb-nya di
pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya. Dan janganlah kedua
matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan
dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami
lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas.” (Al Kahfi: 28)
Semoga dengan peringatan ayat-ayat ini engkau terbangun dari tidur lalu
bergegas menuju orang-orang yang menginginkan keselamatan dan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Duduk bersama mereka adalah
bimbingan dan keselamatan. Dan keselamatan diri dan agama tidak bisa
ditukar oleh apapun juga.
Setan Bersama Orang Yang Menyendiri
Serigala akan berani menerkam apabila seekor kambing melepaskan diri
dari kelompoknya dan berjalan penuh percaya diri tanpa peduli. Ingatlah,
di hadapanmu ada yang lebih tinggi dari dirimu.
Ingatkah engkau ketika iblis dengan penuh kesabaran merayu bapak dan ibu
kita Adam dan Hawa yang pada akhirnya keduanya harus menelan kepahitan
hidup di atas ujian yang tadinya di atas kehidupan yang diliputi rahmat
dan nikmat Allah I. Engkau tidak akan bisa menyamai Nabi Adam u. Oleh
karena itu, kembalilah kepada Allah I dan berjalan bersama orang-orang
yang mengejar ridha Allah I dan mencari keselamatan dari-Nya.
Rasulullah r mengingatkan bahayanya menyendiri dalam bermalam dan berjalan ketika safar.
????? ???? C??????I?E? ???? ??E???E? C???????? ????I??? ???? ????C???? ????I???
“Rasulullah r melarang untuk menyendiri ketika bermalam dan menyendiri
ketika safar.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah, dishahihkan Asy Syaikh
Al Albani di dalam Ash Shahihah)
C????C??E? O?????C?? ?? C????C??E?C?? O?????C??C?? ?? C?E???C?E?E? ????E?
“Pengendara seorang diri (adalah) pelaku maksiat, dua pengendara
(adalah) dua pelaku maksiat, dan tiga pengendara itulah pengendara yang
benar.” (HR. Malik, Abu Dawud, At Tirmidzi, dan lain-lain dari sahabat
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).
Al Imam Ath Thabari mengatakan: “Peringatan ini merupakan adab dan
bimbingan dikarenakan kengerian yang akan dialami ketika sendirian dan
bukan haram hukumnya. Seseorang yang berjalan di padang sahara seorang
diri atau orang yang bermalam seorang diri tidak akan aman dari
kengerian, terlebih kalau dia memiliki pemikiran yang jelek atau
memiliki hati yang lemah. Yang benar adalah, manusia dalam permasalahan
ini berbeda-beda keadaannya. Adanya larangan dan peringatan tersebut
untuk menutup kemungkinan-kemungkinan di atas. Oleh karena itu, dibenci
(makruh) melakukan safar seorang diri dengan tujuan menutup pintu-pintu
(kejahatan tersebut). Dan dibencinya dua orang lebih ringan dibanding
dengan menyendiri. (Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, 1/132)
Demikian hakikat perjalanan di dunia bila menyendiri, akan dihantui
marabahaya yang tidak kecil bahkan akan mengancam keselamatan. Bagaimana
lagi kalau melakukan perjalanan menuju Allah I, sebagai persinggahan
akhir dan terakhir. Haruskah kita melepaskan diri dari jalan orang yang
beriman (para sahabat Rasulullah r)? Berjalan seorang diri dengan penuh
keberanian menantang dan melanggar pagar yang telah dibuat Allah I?
Bukankah marabahaya yang mengancam (di akhirat) akan lebih besar dan
dahsyat dibandingkan dengan bahaya yang mengancam di dunia? Bukankah
kobaran api yang menyala dengan bahan bakar manusia dan batu itu lebih
mengerikan?
Keberanian Menerima Kebenaran Adalah Keberanian Yang Sejati
Guru teladan adalah guru yang siap menerima nasihat apabila salah dan
siap kembali kepada kebenaran apabila tersesat tanpa menggugat kebenaran
itu dan tanpa meremehkan siapa yang membawanya. Kebenaran adalah modal
keselamatan, dan kebenaran itu lebih berharga daripada kita.
Kebenaranlah yang menjadi akhir dari setiap usahanya. Dari itu ia
menjunjung tinggi amanat Allah I ketika Dia mengatakan (artinya):
“Demi masa, seusungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal shalih, saling menasehati dalam
kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)
Mengangkat nasehat dalam kebenaran menjadi tujuan yang meliputi lubuk
hatinya. Kapan saja dia mendengar kebenaran dan dimana menemukannya, dia
segera mengambil dan berpegang dengannya.
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ ؟ قَالَ : ? وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِم
“Agama ini adalah nasihat.” Kami mengatakan: “bagi siapa?” Rasulullah r
menjawab: “Bagi Allah I, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin
dan orang awam mereka.” (HR. Muslim)
Dalam buku Qawa’id wa Fawaid (hal. 95) disebutkan: “Cukup bagi seseorang
berada dalam kemuliaan ketika dia melaksanakan apa yang telah dipukul
oleh makhluk Allah I yang mulia dari kalangan para nabi dan rasul.
Nasehat merupakan sebab yang membuat tinggi derajat para nabi. Maka
barangsiapa yang menginginkan ketinggian dalam penilaian Rabb langit dan
bumi, hendaklah dia melaksanakan tugas yang mulia ini.”
Pembimbing teladan adalah orang yang berusaha menjauhkan diri dari sifat:
“Menolak kebenaran dan mengentengkan orang lain.” (HR. Muslim)
Keberanian dan sikap tegas dalam menerima kebenaran adalah keberanian
yang terpuji dan sejati. Allah I menyifati kaum yang beriman dengan
firman-Nya (artinya):
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dengan keputusan yang kamu berikan dan
mereka menerima sepenuhnya.” (An Nisa: 65)
“Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman bila mereka dipanggil
kepada Allah I dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) diantara
mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah
orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)
“Dan tetaplah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz Dzariyat: 55)
Ibnu Katsir mengatakan: “Sesungguhnya peringatan (nasihat) itu akan
bermanfaat bagi hati yang beriman.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/238)
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan: “Allah I memberitakan bahwa
peringatan tersebut akan bermanfaat bagi orang yang beriman karena pada
diri mereka ada keimanan, rasa takut, taubat dan mengikuti ridha Allah
I, yang semua itu mengharuskan peringatan tersebut bermanfaat baginya,
sebagaimana firman Allah I (artinya):
“Oleh sebab itu berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat.
Orang-orang yang takut kepada Allah I akan mendapat pelajaran,
orang-orang yang kafir dan celaka akan menjauhinya.” (Al A’la: 9-11)
Adapun yang tidak memiliki iman dan tidak ada kesiapan untuk menerima
peringatan, maka peringatan kepadanya tidak akan bermanfaat bagaikan
tanah tandus yang hujan pun tidak akan bermanfaat baginya sedikitpun.
Golongan ini apabila datang kepada mereka ayat Allah I mereka tidak
beriman dengannya sampai mereka melihat adzab yang pedih.” (Taisirul
Karimirrahman, hal. 755)
Wallahu a’lam bishshowab
http://www.buletin-alilmu.com/2006/09/17/keberanian-sejati/
Selasa, 30 Oktober 2012
Posted by Maktabah Al-Karawanjy on 10/30/2012 09:08:00 AM with No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar