Pertanyaan :
Bagaimana cara sholat di atas pesawat ? Berapa jarak safar yang dengannya dibolehkan meng-qashar sholat dan meninggalkan puasa ?
Jawab :
Al-Imam Al-Albani rahimahullah menjawab,
“Safar itu dimulai dari keluarnya seseorang dari negeri/daerahnya,
terhitung dari batas daerahnya. Tentang sholat di atas pesawat, orang
yang biasa naik pesawat di zaman sekarang ini akan menyaksikan bahwa
pesawat memiliki kelebihan dari sisi kenyamanan di mana penumpangnya
tidak merasa sedang terbang diantara langit dan bumi.
Beda halnya dengan kapal laut, dimana terkadang memberikan goncangan
kepada penumpangnya, lebih besar daripada goncangan pesawat. Karena itu
orang yang mengendarai pesawat, bila memang pesawatnya besar, luas dan
lapang, ia akan mendapati tempat kosong yang disitu ia bisa berdiri dan
duduk saat mengerjakan sholat.
Inilah yang wajib berdasarkan kaidah yang telah lewat penyebutannya : “Bertaqwalah kalian kepada Alloh semampu kalian.”
Termasuk kewajiban yang harus diperhatikan oleh orang yang ingin
sholat di atas pesawat adalah memerhatikan pada awal sholatnya dimana
arah kiblat, bila memang memungkinkan untuk mengetahuinya, kemudian ia
sholat menghadap kiblat tsb. Setelah itu tidak menjadi masalah
pesawatnya menghadap ke mana saja, mengarah ke kiri atau kanan. Ia tetap
melanjutkan sholatnya sesuai dengan arah awal ia menghadap (walaupun
ternyata tidak lagi menghadap kiblat karena arah pesawat telah berubah,
pent).
Yang penting, ada dua perkara yang harus diperhatikan oleh penumpang pesawat, penumpang kapal atau penunggang hewan.
Pertama : Bila mampu untuk berdiri dan duduk dalam sholat,
hendaklah ia melakukannya. Bila memungkinkan baginya untuk turun dari
kendaraannya seperti orang yang mengendarai mobil, hendaknya ia turun
dan sholat sebagaimana biasanya.
Kedua : Ia memulai sholatnya diatas kendaraan yang
ditumpanginya dengan menghadap kiblat, setelah itu tidak menjadi masalah
bila mobil, pesawat atau kapal yang ditumpanginya, ataupun hewan (yang
ditungganginya) itu bergerak sehingga arah kiblat berpindah. Kecuali
bila memungkinkan baginya untuk turun dari kendaraannya, maka ia sholat
seperti biasanya.
Tentang safar, tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Alloh menyebutkan safar dalam Al Qur’an berkaitan dengan qashar
sholat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan, Alloh
menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menerapkan batasannya. Bisa kita
lihat hal ini dalam firman-Nya :
“Apabila kalian melakukan perjalanan di muka bumi (safar) maka tidak ada dosa atas kalian untuk kalian meng-qashar sholat.” QS. An-Nisaa’ ; 101
Lafadz diatas merupakan ungkapan dari safar, dimana Alloh menyebutkannya secara mutlak (tanpa pembahasan ini dan itu…pent)
Demikian pula dalam firman-Nya :
“Siapa diantara kalian yang sakit atau dalam keadaan safar, maka
(ia boleh meninggalkan puasa) dengan menggantinya pada hari-hari yang
lain.” QS. Al-Baqarah ; 184
Dengan demikian yang benar dari pendapat yang ada dari kalangan ulama
tentang pembatasan jarak safar adalah tidak ada batasannya. Setiap itu
disebut safar, menurut kebiasaan (‘urf) dan menurut pengertian syar’i,
berarti itulah safar, baik jaraknya jauh ataupun dekat. Perjalanan tsb
safar menurut kebiasaan yang dikenali di tengah manusia. Dari sisi
syar’i memang orang yang menempuhnya bertujuan untuk safar.
Karena
terkadang kita dapati ada orang yang menempuh jarak jauh bukan untuk
safar, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
“Terkadang seseorang keluar dari negerinya untuk berburu. Lalu ia
tidak mendapatkan buruannya hingga ia terus berjalan mencari-cari sampai
akhirnya ia tiba di tempat yang sangat jauh. Ternyata di akhir
pencariannya ia telah menempuh jarak yang panjang, ratusan kilometer.
Kita menganggap orang ini bukanlah musafir, padahal bila orang yang
keluar berniat safar dengan jarak yang kurang daripada yang telah
ditempuhnya telah teranggap musafir. Tapi pemburu ini keluar dari
negerinya bukan bertujuan safar sehingga ia bukanlah musafir. Berarti
yang namanya safar harus menuruti ‘urf (adat masyarakat) dan sesuai pengertian syar’i.”
[Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal.227]
Senin, 03 Desember 2012
Posted by Maktabah Al-Karawanjy on 12/03/2012 02:14:00 PM with No comments
Posted in Fiqh, Shalat, Tanya Jawab
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar