Ditulis oleh: Abu Umar Urwah Al Bankawy
Bila kita membaca biografi para ulama, kita akan dapati bahwa permulaan mereka dalam menimba ilmu tidaklah mudah. Mereka justru mendapat tantangan dari orang-orang terdekat mereka.
Bila kita membaca biografi para ulama, kita akan dapati bahwa permulaan mereka dalam menimba ilmu tidaklah mudah. Mereka justru mendapat tantangan dari orang-orang terdekat mereka.
Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani, meski ayah beliau seorang ahli fiqh madzhab Hanafi, tapi sang
ayah tidaklah serta merta mendukung beliau mempelajari ilmu hadits. Ayah
beliau sering mengulang-ulang ucapannya, “Jangan belajar hadits,
barangsiapa yang belajar hadits maka dia akan bangkrut…” melarang
anaknya untuk belajar hadits.
Tapi Al Albani muda tetap teguh dengan
pendiriannya. Sedikit demi sedikit dia tekuni ilmu hadits sampai beliau
pun menjadi ulama besar dalam ilmu hadits. Dan lihatlah hasilnya
sekarang, hampir semua kitab-kitab ahlussunnah mengambil faidah dari
hasil penelitian beliau terhadap hadits. Sehingga kita dapati di
kitab-kitab pernyataan, “Hadits ini dishahihkan oleh Al Albani… Hadits
ini didha’ifkan oleh Al Albani.. Hadits ini dihasankan oleh Al Albani..”
Ini semua bermula dari keteguhan hati beliau untuk menempuh jalan yang mulia, jalan seorang penuntut ilmu.
Selain beliau ada Asy Syaikh Muqbil bin
Hadi Al Wadi’i. Siapa yang tidak kenal beliau? Beliau adalah ulama besar
Yaman. Murid beliau ribuan, berasal dari segenap penjuru dunia: Mulai
dari Tunisia, Aljazair, Libia, Sudan, Mesir, Syam, Negara-negara teluk,
Somalia, Djibouti, Ethiopia.
Kemudian dari negara-negara Barat:
Britania, Perancis, Belgia, Belanda, Jerman, Amerika, Kanada. Bahkan
juga banyak murid-murid beliau yang berasal dari Nusantara (semoga Allah
menjaga dan mempersatukan hati-hati mereka di atas al haq dan menjauhi
mereka dari perpecahan).
Di awal perjalanan beliau menuntut ilmu,
ibu beliau tidaklah menyetujui langkah beliau untuk belajar. Sang ibu
ingin beliau bekerja sebagaimana pemuda lain di kampungnya. Al Wadi’i
muda tetap teguh hatinya untuk belajar. Meski tidak setuju dengan jalan
yang ditempuh sang anak, ibu beliau hanya memarahinya sambil berkata,
“Allahu yahdik, Allahu yahdik.. Semoga Allah menunjukimu, semoga Allah
menunjukimu…”
Asy Syaikh kemudian pergi ke Saudi
Arabia. Di sana beliau bekerja sebagai seorang satpam di sebuah
apartemen. Malam harinya ketika tidak bekerja, beliau memanfaatkan waktu
untuk belajar. Sampai akhirnya ketika dibuka pendaftaran mahasiswa baru
Universitas Islam Madinah, beliau pun mendaftar dan lulus diterima
menjadi mahasiswa dengan beasiswa. Beliau pun belajar dengan
sungguh-sungguh.
Menurut apa yang saya dengar dari
murid-murid beliau, waktu diterima sebagai mahasiswa, usia syaikh
sekitar tigapuluh lima tahun. Usia yang tidak muda bagi seorang
mahasiswa baru.
Di Madinah beliau belajar dengan
sungguh-sungguh, bahkan beliau mengisi waktu kosong beliau dengan kuliah
instisab (semacam Universitas Terbuka) sehingga ketika lulus sarjana,
beliau pun lulus dengan dua gelar. Satu gelar di bidang aqidah, satunya
lagi di bidang fiqh.
Begitu lulus sarjana, beliau pun
mendaftar di program magister hadits sampai selesai. Disertasi beliau
waktu itu mendapatkan pujian dari para penguji. Bahkan salah seorang
dari mereka mengatakan “Ini bukanlah karya seorang mahasiswa magister,
ini karya seorang Doktor!”
Ketika beliau kembali ke Yaman, beliau
pun didatangi oleh para penuntut ilmu dari berbagai dunia untuk belajar,
menuntut ilmu dari beliau. Dan dari didikan beliau –yang merupakan
keutamaan dari Allah subhanallah ta’ala- keluarlah puluhan ulama, dan
ribuan dai yang kini berdakwah di berbagai penjuru dunia.
Ini semua bermula dari keteguhan hati beliau untuk menempuh jalan yang mulia, jalan seorang penuntut ilmu.
Jadi para pemuda, para penuntut ilmu,
jangan pernah patah semangat dalam menimba ilmu. Janganlah menjadi
pemuda yang cengeng, diberi sedikit tantangan langsung melempem,
meninggalkan thalibul ilmi. Milikilah semangat yang membaja, hati yang
kokoh untuk tetap berada di jalan ini.
Jalan penuntut ilmu dari zaman para
sahabat Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, kemudian di zaman Imam Asy
Sya’fi’i, Imam Syu’bah, Imam Al Bukhari, Imam Ahmad, dll. semuanya tidak
lepas dari tantangan. Hendaknya kita tetap memiliki kemauan yang keras,
cita-cita yang tinggi sebagaimana ucapan seorang penyair:
فكن رجلاً رجله في الثرى وهامة همته في الثريا
Maka jadilah seorang yang kakinya berada di atas tanah
Sedangkan cita-citanya setinggi bintang Tsurayya
Sedangkan cita-citanya setinggi bintang Tsurayya
(Ditulis di Hadramaut pada malam Kamis 2 Dzulhijjah 1433 H – 17/10/2012)
0 komentar:
Posting Komentar