Di Tulis Oleh Al Ustadz Marwan
Saudariku –rahimakumullah-
Ibnu Umar –radhiallahu’anhuma-
dalam satu petuahnya : “Jika kalian berada di waktu sore hari maka
janganlah engkau tunda hingga masuk pagi hari, dan jika engkau berada di
waktu pagi hari, maka janganlah engkau tunda hingga masuk waktu sore
hari, pergunakanlah masa sehatmu untuk menghadapi masa sakitmu, dan
manfaatkan masa hidupmu untuk menghadapi kematianmu.
Sebuah motivasi dengan landasan yang
pasti, ditilik dari keadaan kehidupan manusia di dunia ini yang tak
luput dari tiga keadaan yang mesti dilalui. Karena dalam kehidupan di
dunia ini manusia berputar pada tiga keadaan yang akan dilaluinya :
- Keadaan mendapatkan nikmat yang menuntut untuk seseorang bersyukur.
- Keadaan tertimpa perkara musibah dan sesuatu yang tidak ia senangi menimpa dirinya, yang menuntut untuk bersabar.
- Terjatuh dalam dosa karena mengikuti hawa nafsu dan terperangkap dalam tipu daya syaithon, yang menuntut seseorang untuk segera bertaubat dari perkara yang menimpanya dari dosa-dosa tersebut.
Keberadaan seseorang pada suatu waktu
dalam kehidupan dunia ini adalah kesempatan, terlebih ketika seseorang
dipenuhi dengan berbagai macam kenikmatan terkait dengan keluasan rizqi
dari sisi Allah Ta’aala, apakah berupa ilmu,berbagai fasilitas kehidupan
serta kesempatan dan kesehatan. Untuk kepentingan apa menunda amalan
yang seharusnya dilakukan di satu dari waktu pagi hingga menunda sampai
sore hari? Untuk apa menunda ketika di saat sehat hingga ia jatuh sakit?
Untuk apa menunda saat sempat hingga datang perkara-perkara yang
menyibukkan? Dituntut dari hati-hati manusia yang bersih dan akal-akal
yang sehat untuk bisa mengambil pelajaran dari keadaannya. Hingga Rasul
kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam pernah mengatakan :
“Dua nikmat yang kebanyakan manusia lalai dari padanya, yaitu nikmat kesehatan dan kesempatan”.
Mensyukuri nikmat itulah suatu
keniscayaan. Niscaya harus bagaimana? Mengakui dengan sepenuh hati
bahwa seluruh kenikmatan itu datangnya adalah dari sisi Allah semata.
Dan mengucap dengan lisan ucapan syukur dan pujian hanya untuk Allah
semata. Serta menggunakan berbagai bentuk kenikmatan tersebut di dalam
amalan ketaatan hanya kepada Allah Ta’aala. Demikianlah kesempurnaan
mensyukuri nikmat.
Tidak menunda-nunda amalan ketaatan yang
seharusnya seorang hamba melakukannya di saat tersebut. Bukan maknanya
tergesa-gesa. Ketergesa-gesaan adalah tercela, akan tetapi bersegera dan
bergegas untuk beramal shalih, bersegera dan bergegas memenuhi yang
menjadi kewajibannya dan jangan ditunda-tunda saat kesempatan di depan
mata untuk beramal shalih.
Masa sehat, adalah nikmat. Terlebih saat
perputaran kehidupan dengan taqdir Allah Ta’aala tertimpa ujian berupa
sakit, lebih besar lagi nikmat sehat akan dirasa. Allah Ta’aala
menimpakan sakit bagi seorang hamba yang beriman bukan untuk
membinasakan seorang hamba mukmin tersebut, akan tetapi adalah untuk
menguji kesabarannya dan peribadatannya kepada Allah Ta’aala. Jika
seorang hamba mukmin tersebut mampu bersabar, menjadilah ujian yang
menimpa tersebut sebagai karunia dari sisi Allah Ta’aala. Menjadilah
hamba tersebut seorang yang ridho dengan keadaannya. Dan tergolong
sebagai hamba-hamba yang dipenuhi keikhlasan hingga tak satupun dari
kalangan musuhnya mampu untuk menundukkannya terlebih menguasainya,
firman Allah Ta’aala :
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ ۚ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ وَكِيلًا
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. dan cukuplah Rabb-mu sebagai Penjaga”.(al-Israa’ : 65)
“Tinggalah penyesalan”, ini bukanlah
suatu ungkapan yang tanpa makna, tetapi suatu ungkapan penuh arti yang
harus kita cermati. Kalaulah penyesalan itu ketika masih di dunia, maka
harapan besar masih menanti, masih terbuka lebar pintu taubat hingga
ajal mendatangi. Namun kalau penyesalan itu adalah ketika nafas telah di
kerongkongan, atau setelah kematian, apalah arti sebuah penyesalan.
Firman Allah Ta’aala :
:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا
أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ
هُمُ الْخَاسِرُونَ ( ) وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن
يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي
إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ ( ) وَلَن
يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ
بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang beriman, janganlah
hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang
merugi.
Dan belanjakanlah sebagian dari apa
yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau
tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang
menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang
saleh?”
Dan Allah sekali-kali tidak akan
menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu
kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.
(al-Munafiqun : 9-11)
Saudariku, maknai arti sebuah penyesalan
saat masih ada kesempatan hidup di dunia ini. Karena di antara syarat
bertaubat adalah adanya penyesalan. Penyesalan penuh atas dosa-dosa yang
telah dijalani, untuk kemudian bertekat kuat takkan mengulangi kembali
atas berbagai kenistaan-kenistaan yang telah dikerjakan di masa yang
telah berlalu. Taubat yang disertai keikhlasan hanya mencari keridhaan
Rabb-nya.
Jika seorang hamba bertaubat dengan
kesungguhan, bertaubat dengan taubat yang benar, maka Allah akan
menerima taubatnya. Dan jika Allah Ta’aala menghendaki kebaikan seorang
hamba, maka Allah Ta’aala akan bukakan pintu taubat bagi hamba tersebut,
ia akan mengalami penyesalan, merasa pecah hatinya dan kemudian ia
kembali kepada Allah Ta’aala, sehingga ia hanya bertaqarrub (mendekatkan
diri) dengan berbagai perbuatan hasanah hanya kepada Allah Ta’aala
semata, berdoa dan memohon pertolongan hanya kepada Allah Ta’aala
semata.
Senantiasa ia melihat aib dirinya satu
sisi, kemudian sisi lain ia senantiasa melihat begitu luasnya keutamaan
dan rahmat Allah Ta’aala, senantiasa ia melihat kebaikan yang diberikan
Allah Ta’aala kepadanya Seorang yang senantiasa melihat keaiban dirinya
menumbuhkan rasa malu kepada Allah Ta’aala, dan rendah di hadapan-Nya
serta kemudia takut kepada Allah Ta’aala.
Sedangkan senantiasa memandang
keutamaan Allah Ta’aala menjadikan seorang hamba mencintai Allah Ta’aala
dan senantiasa menginginkan apa yang ada di sisi Allah Ta’aala,
sehingga terkumpullah pada diri seorang hamba mukmin yang bertaubat,
antara cinta, berharap dan rasa takut kepada Allah Ta’aala.
Wallahu Ta’aala a’lam.
sumber : http://www.salafy.or.id/mari-senantiasa-bersyukurbersabar-dan-bertaubat/
0 komentar:
Posting Komentar