Bagian 1
Sesungguhnya orang yang meneliti sunnah
Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam merenungkan dan memikirkannya.
Begitu juga dengan jalan para sahabat serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, niscaya akan melihat bahwa mereka betul-betul
mempunyai manhaj yang kokoh. Dalam sikap mutaba’ah ini terdapat garis
tegas yang memisahkan dakwah orang yang jahil dan ahli bid’ah serta
orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (dengan dakwah Rasulullah
Shalallahu’alaihiwassalam dan para pengikutnya -ed).
Perbedaan sangat menyolok terjadi antara
mereka yang kesalahannya itu karena kejahilan dan orang-orang yang
berjalan di atas manhaj ahli bid’ah, yang akibatnya adalah kesalahan dan
ketergelinciran.
Maka, kita lihat para pendahulu kita
biasanya mengajari orang yang jahil, dan menegakkan hujjah di hadapan
ahli bid’ah yang keras kepala dan sombong.
Mari kita perhatikan bagaimana nash-nash dari ayat dan hadits berikut ini untuk memahami hal ini:
Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya
dari hadits Anas , katanya:”tatkala kami duduk di masjid bersama
Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam, tiba-tiba datang seorang Arab
badui (dusun) kemudian bawl (buang air kecil) di dalam masjid. Para
sahabat Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam menegur:”Hus. Hus.” Anas
berkata lagi:”Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam bersabda:
“Jangan kalian putuskan dia (dari
bawlnya). Biarkan dia.” Merekapun membiarkannya sampai selesai. Kemudian
Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam memanggilnya dan berkata
kepadanya:” Sesungguhnya mesjid ini tidak layak baginya apapun seperti
bawl dan kotoran. Mesjid ini adalah untuk dzikir mengingat Allah ,shalat
dan membaca Al-Quran.” (HR. Muslim ).
Coba perhatikan manhaj nabawi yang lurus
ini. Bagaimana beliau memulai melalui pendidikan dan bimbingan karena
jahilnya mad’u dan tidak memiliki ilmu tentang hukum syari’at dalam
masalah tersebut.
Demikian juga yang disebutkan oleh Imam Muslim dari hadits Mu’awiyah bin Al-Hakam As Sulami . ia berkata:
“Ketika saya sedang shalat bersama
Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam, tiba-tiba ada seseorang yang
bersin, segera saya berkata : (semoga Allah merahmatimu). Ternyata
mereka melihat kepada saya, lalu saya berkata:”Aduh, malangnya ibuku.
Apa urusan kalian melihat kepada saya?”Mereka memukulkan tangan ke paha
mereka masing-masing. Setelah Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam
selesai shalat. Sungguh bapak dan ibukujadi tebusan beliau, saya tidak
pernah melihat seorang pendidik sebelum dan sesudah beliau yang lebih
baik didikannya dibandaingkan beliau. Demi Allah beliau tidak
membentakku, tidak memukulku dan tidak pula mencercaku. Beliau berkata:
“Sesungguhnya shalat ini tidak pantas di dalamnya sedikitpun ucapan
manusia. Shalat itu isinya tasbih, takbir dan membaca Al Quran.”
Perhatikanlah wahai para da’i. Bagaimana
kebiasaan Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam bersama kaum muslimin
yang (masih) jahil yang terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang oleh
Allah. Atau melakukan sesuatu yang menyelisihi syari’at Islam karena
kebodohan mereka. Maka sudah menjadi kebiasaan beliau
Shalallahu’alaihiwassalam untuk memberikan pendidikan kepada mereka,
menerangkan al haq beserta dalil-dalilnya dengan sikap lemah lembut.
Oleh sebab itu wajib bagi seorang da’i
untuk menjadi seorang yang penyayang, pengasih dan santun kepada para
mad’unya. Tetap mengharapkan hidayah buat mereka. Senantiasa bermuamalah
dengan sesama manusia sesuai menurut keadaan mereka masing-masing.
Sebagaimana Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam yang patut diteladani.
Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam
betul-betul seorang yang paling besar kasih sayangnya kepada sesama
manusia. Ketika seorang Arab badui tiba-tiba berada di hadapan
Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam yang sedang tidur, lalu
menghunuskan pedangnya sambil berkata: “ siapa yang akan menyelamatkanmu
dari saya?”
Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam berkata:”Allah.”
Pedang di tangan badui itu
terlepas,segera Rasulullah shalallahu’alaihiwassalam mengambilnya dan
berkata: “Siapa yang akan menyelamatkanmu dari saya?”
Ternyata Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam tidak menghukumnya bahkan memaafkannya. Akhirnya dia masuk islam.
Perhatikanlah bagaimana kasih sayang
Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam kepada mad’u, besar keinginan
beliau agar mereka memperoleh kebaikan, sehingga hal ini kemudian
menjadi salah satu sebab mendapat hidayahnya orang yang diajaknya
(kepada islam). Selanjutnya, kejadian ini menjadi satu metode yang
sangat berpengaruh dan bermanfaat untuk diterimanya sebuah dakwah. Maka,
tidak mungkin membuka hati manusia menerima dakwah kecuali dengan
cara-cara nubuwwah yang bersumber dari rasa cinta agar manusia itu
memperoleh kebaikan dan mendapat hidayah.
Jadi , kalau didikan dengan cara lemah
lembut kepada orang yang jahil,berdialog bersama mereka dengan cara
yang baik dalam setiap hal akan mendorong disambutnya dakwah, maka wajib
bagi seorang da’i untuk menempuh metode yang demikian. Sebab tidak akan
sempurna satu kewajiban dalam dakwah ini kecuali dengan perkara
tersebut, maka perkara tersebut menjadi wajib pula hukumnya.
( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)
Bagian 2
Telah dipahami oleh setiap da’i satu hal
yang sangat penting, bahwasanya Nabi Shalallahu’alaihiwassalam tidak
mungkin meninggalkan satu persoalan secara mutlak. Bahkan sebaliknya,
beliau meletakkannya pada kondisinya masing-masing. Misalnya, sikap
menyenangkan dan lemah lembut pada waktunya, keras dan tegas pada
waktunya; semua disesuaikan dengan situasi dan kondisinya.
Hal ini, karena agama ini dibangun di atas dua hal, yaitu:
- Pembentukan landasan dasar dan pendidikan
- Keterangan dan Peringatan
Maka dari itu, siapa saja (mad’u) yang
termasuk golongan yang pertama, dia harus dididik. Sedangkan ahlil hawa
yang menentang, menyelisihi manhaj salaful ummah ataupun da’i-da’i
sesat, maka harus dijelaskan keadaannya dan diperingatkan agar
pernyataan dan pemikirannya dijauhi oleh kaum muslimin. Sebagai upaya
perlindungan terhadap ummat ini dari kesesatan dan penyelewengan,
berdasarkanfirman Allah ‘Ajawajalla:
وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan demikianlah Kami terangkan
ayat-ayat AlQuran, (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh) dan
supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (Al An’am:55)
Allah Yang Maha Tahu lagi Maha Memiliki hikmah telah menjelaskan perkara besar ini dalam firman-Nya:
وَإِذَا
رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ
يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ
فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang
memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga
mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan
kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama
orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” ( Al
An’am:68)
Imam Asy Syaukani mengatakan:
“Dalam ayat ini terdapat pelajaran
berharga bagi mereka yang selalu duduk bermajelis dengan ahli bid’ah
yang selalu merubah-rubah perkataan Allah, mempermainkan kitab-Nya dan
sunnah Rasul-Nya. Bahkan mengembalikannya kepada hawa nafsu mereka yang
menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Maka sesungguhnya, jika mereka
tidak diingkari (ditentang)serta tidak dirubah apa yang mereka yakini,
paling tidak majelis-majelis mereka ditinggalkan. Tentunya hal yang
terakhir ini lebih mudah, bukan suatu hal yang sulit.
Prinsip pokok yang utama ini semakin
jelas kalau kita menoleh kepada sejarah hidup dan perjuangan Nabi.
Dimana Imam Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa’id Al Khudri:
“Ketika Nabi Shalallahu’alaihiwassalam
sedang membagi-bagi harta (rampasan), datanglah ‘Abdullah bin Al
Khuwaishirah seraya berkata: “Berlaku adillah, ya Rasulullah!”
Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam berkata: “Celaka kamu. Siapa lagi
yang akan berbuat adil kalau saya tidak berbuat adil? Sungguh sial dan
rugi kamu kalau saya tidak berbuat adil.”Lalu ‘Umar berkata:”Izinkan
saya menebas leher orang ini!” Namun kata Rasulullah: “Biarkan dia!
Sesungguhnya dia punya beberapa pengikut yang salah seorang kalian akan
merasa minder membandingkan shalatnya dengan shalat mereka, puasanya
dengan puasa mereka. Mereka lepas dari agama ini, seperti lepasnya panah
dari sasarannya.”
Hadits ini adalah penjelasan yang akurat
bagaimana sikap Nabi Shalallahu’alaihiwassalam yang tegas terhadap
golongan khawarij, beliau mentahdzir kaum muslimin agar menjauhi
pemikiran dan kesesatan khawarij, bahkan beliau terangkan pula ciri-ciri
mereka sehingga kaum muslimin betul-betul menjauhi mereka.
Inilah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah
para pengikut salaf secara khusus terhadap ahli bid’ah dan para
penyeleweng serta orang-orang yang menebarkan syubhat (kerancuan
pemikiran). Terutama para da’i sesat yang mengajak kaum muslimin kepada
penyelewengan dan syubhat serta membelanya, mengibarkan bendera
kesesatan itu bahkan menyebar luaskannya di tengah-tengah masyarakat
muslimin.
Dalam keadaan seperti ini, wajib adanya
tahdziir agar kaum muslimin menjauhi jalan ahli bid’ah dan syubhat
tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Ibnul Qayyim dalam keterangan beliau:
“Sangat hebat pengingkaran kaum salaf
dan para imam terhadap ahli bid’ah. Bahkan mereka (para imam)
menerangkan kesesatan ahli bid’ah itu ke segenap penjuru dunia. Mereka
peringatkan agar kaum muslimin berhati-hati dari fitnah mereka dengan
peringatan yang keras.”
Maka wajib bagi seorang da’i
memperhatikan perbedaan antara orang jahil dan orang yang salah serta
menyimpang dengan ahli bid’ah. Demikian juga perbedaan antara
masing-masing golongan ini dalam muamalah dan memberikan keterangan
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Perlu diketahui bahwa masalah tahdziir
terhadap ahli bid’ah akan dijelaskan pada bab tersendiri Insya Allah
dalam pasal-pasal berikutnya.
Dengan uraian ini, maka siapapun yang
memang berdiri di atas prinsip-prinsip As Sunnah dan manhaj salafus
shaleh, kemudian terlihat ada kesalahan dan penyimpangan padanya dalam
suatu permasalahan, maka sikap yang ditujukan kepadanya tidaklah sama
seperti terhadap ahli bid’ah. Bahkan orang berilmu yang salah dalam satu
perkara tertentu dan benar dalam hal yang lain, maka muamalah dengannya
sangat berbeda dengan muamalah bersama ahli bid’ah yang menyerukan
(bid’ahnya). Atau seseorang yang dikenal membawa pemikiran bid’ah bahkan
membuat prinsip dasar bagi bid’ah tersebut, atau mengajak manusia
kepada pemikiran ini, melakukan ijtihad di dalamnya, mengumpulkan
manusia dalam satu pemikiran tersebut, bahkan menempuh berbagai cara
untuk menyesatkan manusia dengan pemikiran itu. Begitu juga da’i sesat
yang mengajak kepada bid’ah, tidaklah sama seperti mereka yang sama
sekali tidak sibuk mendakwahkannya.
Juga perbedaan antara orang-orang yang
mengajak kepada bid’ah, dan yang diam (tidak mendakwahkannya),
masing-masing mendapat perlakuan dan sikap yang berbeda sesuai dengan
perbedaan ahli bid’ah tersebut. Hal ini akan dijelaskan Insya Allah
dalam pembahasan wasilah hikmah.
Maka kewajiban seorang da’i ialah:
Memahami hal-hal yang telah dijelaskan
di atas dalam gerak dakwahnya kepada As Sunnah, mencintai orang-orang
yang berpegang kepada As Sunnah itu, menjauhi bid’ah dan para pelakunya.
( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)
0 komentar:
Posting Komentar