Setiap manusia tentu mempunyai indera
dan perasaan yang mesti diperhatikan tatkala berhubungan dengan mereka.
Kerena dengan memperhatikan hal ini sangat mungkin untuk berhasilnya
suatu dakwah, di mana mad’u sangat mudah untuk menerima dakwah. Rasul
Al-huda telah memberikan contoh teladan kepada kita dalam hal ini dengan
sangat jelas. Hal-hal yang membuktikan pernyataan ini, antara lain
ialah:
Apa yang disebutkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Malik bin Al Huwairits:
“Kami datang kepada Nabi dan kami masih
muda dan sebaya. Kami tinggal di sisi beliau selama dua puluh hari dua
puluh malam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
seorang yang penyayang lagi lemah lembut. Tatkala beliau mengira kami
mulai ingat kepada keluarga atau rindu, beliau bertanya kepada kami
tentang orang-orang yang kami tinggalkan. Maka kami ceritakan kepada
beliau keadaan mereka. Kemudian beliau berkata: “Pulanglah kalian ke
tengah-tengah keluarga kalian. Tinggallah bersama mereka dan ajarilah
mereka.”
Lihatlah bagaimana perhatian Nabi kepada
para pemuda dan tajamnya perasaan beliau terhadap kerinduan yang mulai
muncul di hati para sahabat tersebut kepada keluarga mereka, yang memang
merupakan hal yang biasa dalam setiap jiwa manusia. Lalu beliau
perintahkan para pemuda itu pulang ke tengah-tengah keluarga mereka dan
tinggal di sana.
Dalam riwayat ini kita dapatkan dalil
apa yang selayaknya dimiliki seorang da’i ketika dia berdakwah mengajak
manusia kembali ke jalan Allah Subhanahuwata’ala agar dia memanfaatkan
setiap peluang yang memungkinkan untuk lebih banyaknya sambutan mad’u
dan persiapan jiwanya terhadap dakwah tersebut. Rasulullah bersabda:
“Apabila dihidangkan ‘asya (makan
malam), sementara shalat sudah mulai diiqamatkan, maka dahulukanlah
‘asya.” (HR. Muslim dalam Kitab Al Adzan 2/396 no 685)
Di dalam hadits-hadits ini kiata
dapatkan beberapa keterangan cukup jelas tentang manhaj syari’at yang
penuh sikap toleran ini dalam bermuamalah bersama orang lain. Lihatlah,
perhatiannya terhadap keadaan manusia dan tugas-tugas atau kedudukan
mereka. Sehingga seorang da’i betul-betul hendaknya jauh dari berbagai
kondisi dan dorongan pribadi yang kadang-kadang justru menghambat mad’u
untuk menerima dakwah tersebut.
Maka sejauh mana seorang da’i
merealisasikan pemahamannya terhadap persoalan ini, sejalan dengan itu
pula dakwahnya akan bermanfaat, dengan izin Allah. Termasuk dalam
bahasan ini ialah hadits yang menyebutkan izin beliau kepada kaum
muslimin untuk shalat di rumah-rumah mereka katika terjadi dingin dan
hujan lebat. Dalam hadits ini terdapat dalil yang sangat jalas bagaimana
perhatian Nabi terhadap situasi dan kondisi manusia yang sangat berbeda
satu sama lain.
Juga riwayat yang menyebutkan keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersama ‘Utsman. Di mana ‘Utsman adalah seorang pemalu, dan rasa
malunya itu menahannya untuk menerangkan apa yang dibutuhkannya kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika Abu Bakr
menemui Rasulullah yang sedang berbaring di atas alas kain milik
‘Aisyah. Dia diizinkan masuk lalu mengutarakan kebutuhannya. Setelah itu
dia keluar.
Kemudian datang ‘Umar, lalu menceritakan kebutuhannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu keluar. Lalu terdengar ‘Utsman minta izin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera duduk. Setelah mengutarakan perihalnya kepada Nabi, ‘Aisyah radhiyallahu anha bertanya tentang duduknya Rasulullah begitu mendengar ‘Utsman minta izin masuk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Sesungguhnya ‘Utsman seorang pemalu.
Saya khawatir kalau saya izinkan dalam keadaan seperti tadi (berbaring),
dia tidak sanggup mengutarakan keperluannya kepada saya.” (HR. Muslim
Kitab Fadlail 5/241 no 2402)
Perhatikanlah bagaimana Nabi merubah
posisi duduknya karena khawatir akan menghalangi ‘Utsman menyampaikan
apa yang diinginkan secara sempurna kepada Nabi.
Maka kewajiban da’i dalam hal ini ialah:
Betul-betul memperhatikan indera dan
perasaan manusia, serta kemampuan mad’u dalam memahami atau menerima
keterangan. Allah telah meletakkan bagi masing-masing individu kemampuan
dan batas yang tidak mungkin dilanggar. Inilah yang ditegaskan Allah
Subhnahuwata’ala dalam firman-Nya:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al Baqarah 286)
Dan:
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” (Al Baqarah 286)
‘Ali pernah mengatakan:
“Berbicaralah kepada manusia dengan apa
yang diketahui mereka. Apakah kamu ingin Allah dan Rasul-Nya
didustakan?.” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al ‘Ilm)
Oleh karena setiap jiwa mempunyai batas
dan kemampuan masing-masing, mak tidak sepantasnya seorang da’i menuntut
adanya suatu tindakan atau perbuatan dari seorang yang sudah lanjut
usia seperti yang dituntutnya dari seorang pemuda yang gagah. Juga tidak
selayaknya seorang wanita dituntut melakukan sesuatu yang sama seperti
yang diharapkan dari seorang pria. Masing-masing mempunyai kekuatan dan
kemampuan serta kekhususan sendiri. Tidak pula orang yang sakit
dituntut melakukan sesuatu yang sama dengan orang yang sehat. Demikian
seterusnya perbedaan-perbedaanini, yang tentu saja mendorong adanya
perbedaan hukum bagi masing-masing pihak.
Tidak ada yang lebih jelas membuktikan
hal ini daripada perhatian Rasulullah terhadap kaum muslimin dalam hal
shalat jama’ah. Diriwayatkan bagaimana beliau sangat marah, belum pernah
beliau marah sehebat itu. Beliau bersabda:
“Hai manusia, sesungguhnya di antara
kalian ada orang-orang yang membuat lari (manusia dari agama).
Barangsiapa yang mengimami manusia, maka hendaklah dia meringankan.
Karena sesungguhnya di belakangnya ada orang yang lemah, sudah lanjut
usia dan mempunyai hajat (keperluan).” (HR. Bukhari dari Abu Mas’ud)
Perhatikanlah, itulah Rasul pembawa
petunjuk, memerintahkan para imam agar meringankan shalatnya karena
lebih memperhatikan kondisi orang-orang yang ikut shalat di belakangnya,
besar (lanjut usia), kecil dan orang-orang yang mempunyai suatu
keperluan. Di mana hal itu menjadi pendorong kuat diterimanya ajaran
Islam dan ibadah tersebut.
Berkaitan dengan masalah ini (perbedaan
usia) di antara mad’u, maka manhaj yang bersih ini menginginkan adanya
perhatian serius terhadapnya. Sebab hal itu memberikan pengaruh diterima
dan disambutnya suatu dakwah. Hal ini ditunjukkan oleh apa yang
diriwayatkan dari Al Mushthafa dalam hadits Ibnu ‘Umar ketika beliau
mengatakan:
“Saya pernah bersiwak. Lalu datang dua
orang lelaki, yang satu lebih besar dari yang lain. Kemudian saya
serahkan siwak itu kepada yang lebih kecil di antara mereka. Ternyata,
ada yang mengatakan kepada saya, “Kabbir (dahulukan yang besar)!” Maka
saya serahkan siwak itu kepada yang besar.” (HR. Bukhari Kitab Al Wudlu’
1/474 no 246)
Juga dalam hadits Malik bin Al Huwairits, kettika dua orang yang hendak bepergian (safar) menemui Nabi, beliau bersabda:
“Kalau kamu berdua hendak keluar
(bepergian), kumandangkanlah azan, lalu iqamah kemudian hendaklah yang
lebih besar di antara kalian menjadi imam.” (HR. Bukhari)
Adapun tentang status dan kedudukan,
kaitannya dalam perbedaan metode dakwah yang digunakan, maka Nabi pernah
ditemui Abu Sufyan ketika pembebasan kota Makkah dan berkata:
“Ya Rasulullah, hancur sudah bangsa
Quraisy, tidak ada Quraisy lagi setelah ini.” Kemudian Nabi bersabda:
“Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan maka dia aman.” (HR. Muslim dari
Abu Hurairah)
Imam An Nawawi ketika mengomentari hadits ini, mengatakan:
“Di sini terdapat upaya menjinakkan Abu Sufyan dan menampakkan kemuliaannya.”
Hadits lainnya yang berkaitan dengan
perbedaan individu ini ialah penilaian beliau tentang kedudukan ‘Utsman
di sisi para malaikat Allah Yang Maha Pengasih. Yaitu tatkala beliau
berkata tentang ‘Utsman:
“Apakah aku tidak bileh merasa malu kepada orang yang malaikat pun malu kepadanya.” (HR. Bukhari Kitab Fadlail 16/240 no 2401)
Kemudian riwayat tentang penilaian beliau terhadap para penghafal Al Quran. Yaitu dalam sabda beliau:
“Hendaklah yang mengimami kalian yang paling banyak bacaan (hafalan) Al Qurannya.” (HR. Al Bukhari 8/327 no 4302)
Di dalam beberapa hadits ini, ada
hal-hal yang membuktikan bahwa penilaian terhadap berbagai perbedaan
yang ada ini terhitung sebagai satu uslub nabawi yang bermanfaat dalam
dakwah ilallah. Demikian juga menempatkan manusia pada kedudukannya yang
telah Allah Subhanahuwata’ala tentukan adalah upaya menyatukan hati
mereka dan memenuhi hak-hak mereka serta menjinakkan mereka agar
menerima al haq yang ditawarkan kepadanya.
Maka masing-masing diperlakukan dengan
uslub yang layak dan sesuai dengan keadaannya. Agar lebih memudahkan
sambutan dan penerimaan terhadap dakwah ini.
( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)
http://www.salafy.or.id/perbedaan-yang-berkaitan-dengan-kondisi-kejiwaan-kekuatan-manusiawi-tempat-kedudukan-dan-usia/
0 komentar:
Posting Komentar