Jumat, 17 Mei 2013

Kisah Cinta Membawa Akhir Hidup Yang Jelek

بسم الله الرحمن الرحيم

Dalam kitab Ad-Daa’ Wad Dawaa’, Ibnu Qoyyim rahimahullah menukilkan perkataan Al-Hafidz Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman Al-Isybiliy rahimahullah.

Beliau berkata, “Ketahuilah! Su’ul khotimah (akhir kehidupan yang jelek) – semoga Allah melindungi kita darinya – mempunyai beberapa sebab, jalan dan pintu (yang dapat mengantarkan kita kepadanya). Diantaranya adalah tenggelam dalam kenikmatan dunia, berpaling dari akhirat dan berani untuk berbuat maksiat kepada Allah. Satu macam dari bentuk kesalahan, kemaksiatan, berpaling dari akhirat dan kelancangan untuk berbuat maksiat kerapkali mengalahkan seseorang, yang dengannya hati menjadi terkekang, akal tertawan, cahaya hati menjadi padam hingga muncul tabir yang menghalangi (dari kebaikan). Tak akan bermanfaat baginya peringatan dan nasehat. Bisa saja kematian menjemput seseorang dalam keadaan seperti itu. Dia tidak dapat mendengarkan panggilan dari tempat yang jauh, tidak memahami apa yang dimaksud dan tidak mengetahui apa yang dia inginkan walaupun yang memanggil mengulangi panggilannya berulang kali”.

Berkata Abdul Haq Al-Isybiliy, “Ada seorang anak buah kholifah Nashir sedang dalam keadaan sakaratul maut (sekarat), maka anaknya berkata kepadanya, “Ucapkanlah laa ilaaha illallaahu” sang ayah menjawab, “Nashir adalah tuanku”. Sang anak mengulangi ucapannya dan sang ayahpun mengulangi jawabannya. Tiba-tiba sang ayah pingsan. Ketika siuman, sang ayah mengucapkan, “Nashir adalah tuanku”. Inilah kebiasaan dia, ketika diperintahkan untuk mengucapkan laa ilaaha illallaahu, dia malah berkata, “Nashir adalah tuanku”. Kemudian dia berkata pada anaknya, “Ya fulan! Nashir hanya mengenalimu dengan pedangmu saja dalam peperangan! Kemudian sang ayah meninggal”.

Berkata Abdul Haq Al-Isybiliy, “Dikatakan juga pada orang yang aku kenal, “Ucapkanlah laa ilaaha illallaahu“, dia malah mengucapkan, “Perbaikilah ini dan itu yang ada dirumah fulan, kerjakanlah dikebun milik fulan demikian dan demikian”.

Berkata Abdul Haq Al-Isybiliy, “Abu Thohir As-Silafy mengizinkan aku untuk menceritakan, ada seorang sedang dalam keadaan sekarat, kemudian dikatakan kepadanya, “Ucapkanlah laa ilaaha illallaahu“, dia malah mengucapkan dengan bahasa Paris, “dah yazadah” yang artinya sepuluh dengan sebelas”.

Dikatakan juga pada orang lain, “Ucapkanlah laa ilaaha illallaahu“, dia malah menjawab, “Dimana jalan menuju pemandian Minjab (nama pemandian)?”.

Berkata Abdul Haq Al-Isybiliy, “Jawaban ini memiliki sebuah cerita. Ketika itu ada orang berdiri didepan rumahnya, pintunya mirip pintu pemandian Minjab. Tiba-tiba wanita cantik lewat dihadapannya, seraya bertanya kepadanya, “Dimana jalan menuju pemandian Minjab?”, maka dia menjawab (sambil menunjuk rumahnya), “Ini pemandian Minjab”. Sang wanita masuk rumah tersebut dan sang laki-laki mengikuti dari belakangnya. Ketika sang wanita melihat dirinya berada dalam rumah dan mengetahui kalau dia telah ditipu, sang wanita pura-pura menampakkan wajah gembira dan senang dengan pertemuan bersama laki-laki tersebut. Sang wanita berkata kepadanya, “Alangkah bagusnya jika ada yang bisa membuat hidup kita indah sekaligus membuat hati kita senang”. Laki-laki tersebut berkata kepadanya, “Saat ini juga aku akan mendatangkan apa yang kamu inginkan dan kamu sukai”. Kemudian dia keluar dan meninggalkan wanita dalam rumah tanpa mengunci pintunya. Ketika dia kembali dengan membawa apa yang bisa dibawa, tiba-tiba wanita tersebut telah keluar dan pergi tanpa mengambil sesuatupun dari rumahnya. Sang laki-laki semakin tergila-gila dengan perempuan itu dan selalu mengingatnya. Dia berjalan digang-gang dan lorong-lorong seraya berkata, “Duhai wanita yang berkata disuatu hari dalam keadaan capek, “Kemana jalan menuju pemandian minjab?”.

Pada suatu hari, disaat dia mengalunkan puisi tersebut,  tiba-tiba seorang perempuan dari sebuah jendela menjawab puisi laki-laki tersebut seraya berkata, “Hai laki-laki yang tidak punya rasa cemburu!
Mengapa kamu tidak langsung menjaga rumahmu atau mengunci rumahmu, ketika kamu mendapatkannya?”

Bertambahlah luapan cinta dan seleranya terhadap perempuan tadi. Dia terus dalam keadaan seperti ini sampai kata terakhir yang dia ucapkan didunia adalah puisi tadi!.

Pada suatu malam, Sufyan Ats-Tsauriy menangis hingga pagi, dipagi harinya ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah tangisanmu ini menunjukkan takutnya kamu terhadap dosa-dosa?”. Beliau kemudian mengambil jerami dan berkata, “Dosa-dosa itu lebih ringan dari pada ini. Tadi malam aku menangis dikarenakan takut mendapatkan su’ul khotimah“.

Ini termasuk pemahaman yang agung, yaitu seseorang takut tehadap dosa yang akan mengalahkannya ketika ajal datang menjemputnya, hingga akhirnya menjadi penghalang dari husnul khotimah/akhir yang baik.

Imam Ahmad menyebutkan kisah sahabat Abu Darda’ disaat menjelang wafatnya, beliau tak sadarkan diri. Dan ketika sadar, beliau membaca firman Allah ta'ala :
 “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS. Al-An’am : 110).

Lantaran itulah, para ulama salaf takut jika dosa-dosanya menjadi penghalang dari husnul khotimah.
Berkata Abdul Haq Al-Isybiliy, “Ketahuilah! Su’ul khotimah, – semoga Allah melindungi kita darinya – Alhamdulillah belum pernah didengar dan diketahui terjadi pada orang-orang yang istiqomah dan sholeh. Su’ul khotimah hanya terjadi pada orang-orang yang memiliki kerusakan aqidah, berani dan terus-menerus melakukan dosa-dosa besar. Kerap kali dosa-dosa ini mengalahkan seseorang hingga kematian menjemputnya sebelum dia bertaubat dan memperbaiki niatnya. Disaat itu setan merasa menang dan berhasil merenggutnya. Kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian”.

Berkata Abdul Haq Al-Isybiliy, “Dulu, di Mesir ada seorang yang tinggal dimasjid untuk mengumandangkan adzan, qomat dan menunaikan sholat. Hingga terlihat darinya cahaya keta’atan dan ibadah. Suatu hari – seperti biasanya – dia naik menara untuk mengumandangkan adzan. Dibawah menara terdapat rumah orang kristen. Ketika naik menara, dia melihat wanita pemilik rumah tersebut, akhirnya dia tergila-gila dengannya. Seketika itu juga dia meninggalkan adzan, turun dan masuk kerumah si wanita itu. Si wanita bertanya kepadanya, “Ada keperluan apa? dan apa yang kamu mau?” dia menjawab, “Aku menginginkanmu”. Si wanita bertanya kembali, “Kenapa?”. Dia menjawab, “Karena engkau telah menawan hatiku dan mengambil semua isi hatiku”. Si perempuan berkata, “Aku tidak akan terima keinginanmu selama-lamanya”. Dia berkata, “Aku akan menikahimu”. Si perempuan menjawab, “Kamu muslim sedangkan aku Kristen dan ayahku tidak akan menikahkan aku denganmu”. Dia berkata, “Kalau begitu, aku akan masuk Kristen”. Si perempuan berkata, “Kalau kamu lakukan, aku akan nikah denganmu”. Akhirnya, si laki-laki itu masuk Kristen untuk menikahinya. Dia tinggal bersama dengan keluarga si perempuan. Di hari itu, dia naik atap rumah dan terjatuh darinya, akhirnya mati seketika itu juga. Malang nasibnya, dia tidak mendapatkan perempuan sekaligus kehilangan agamanya”.

Berkata Abdul Haq Al-Isybiliy, “Ada orang yang sangat suka dengan temannya, sampai-sampai kesukaannya merasuk dihatinya. Hingga gara-gara itu dia sakit dan harus berbaring diatas tempat tidur. Dan temannya selalu menghindar darinya. Orang perantara senantiasa berusaha untuk membuat janji agar temannya mau menjenguknya. Dia sangat gembira dan senang saat dikabari temannya akan menjenguknya. Disaat menunggu kedatangan temannya, tiba-tiba perantara itu datang dan berkata, “Tadi dia berangkat bersamaku, tapi ketika ditengah perjalanan dia kembali lagi. Aku berusaha membujuk dan merayunya, tapi dia malah berkata, “Dia mengingatku dan senang dengan kedatangannku, tapi aku tak akan masuk ke pintu-pintu kecurigaan dan aku tak akan masukkan diriku pada tempat-tempat yang penuh dengan kecurigaan”. Akupun kembali berusaha untuk membujuknya, namun dia enggan dan pergi begitu saja. Ketika dia mendengar kabar ini, dia menyesal dan tambah parah sakit yang dia derita. Ketika terlihat tanda-tanda kematian, dia malah melantunkan sebuah puisi,
“Wahai Salmu, wahai penyenang orang yang sakit, wahai penyembuh orang yang sakit keras nan kurus, keridhaanmu lebih aku sukai dalam hatiku dari pada kasih sayang Sang Pencipta lagi Mulia”.
Aku berkata kepadanya, “Wahai fulan! Takutlah kepada Allah!”. Dia berkata, “Itu sudah terjadi”. Akupun berdiri meninggalkannya. Sebelum melewati pintu rumahnya, aku mendengar pekik kematian.

Kita berlindung kepada Allah dari su’ul khotimah.

( diterjemahkan dari kitab Ad-Daa’ Wad Dawaa’ hal. 237 – 241 cet. Dar Ibnul Jauzi )

sumber : http://durusyaman.wordpress.com/2013/01/15/kisah-cinta-membawa-akhir-hidup-yang-jelek/


0 komentar:

Posting Komentar