Sabtu, 17 Agustus 2013

Tafakkur tentang Kesudahan Dunia

oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]

Kehidupan dunia ini hanyalah sebentar saja. Jika seorang hamba tahu bahwa kehidupan dunia hanya sebentar saja, dan selanjutnya akan sirna, maka ia selayaknya ia takut dengan hari tersebut. Ia harus takut jangan sampai berpulang kesana tanpa bekal berupa amal sholih yang akan diberi ganjaran. Perjalanan menuju akhirat memang panjang, namun hakikatnya tidaklah demikian. Sepantasnya orang yang melakukan perjalanan panjang mempersiapkan bekal yang dapat melegakan dan melonggarkan perjalanannya.
Al-Imam Ibnul Jawziy Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata,
من تفكر في عواقب الدنيا، أخذ الحذر، ومن أيقن بطول الطريق، تأهب للسفر
“Barangsiapa yang merenung tentang kesudahan dari dunia ini, maka ia akan berhati-hati. Barangsiapa yang meyakini panjangnya perjalanan (menuju Allah), maka ia akan melakukan persiapan untuk safar (perjalanan panjang)”. [Lihat Shoidul Khothir (1/26), cet. Dar Al-Qolam, 1425 H]
Demikianlah seorang yang cerdik, ia selalu memikirkan kesudahan dirinya di hari sana, sebelum ia menghadiri pengadilan dan hisab yang lama dan mengerikan. Inilah tafakkur yang berguna bagi dirinya saat-saat ia hidup di dunia. Adapun disana, maka tafakkur tiada lagi bermanfaat. Tak ada lagi yang ia dapat lakukan, selain penyesalan yang menjadi-jadi pada dirinya, di saat ia melihat kesudahan dirinya yang menghinakan dan membuatnya tersungkur malu di hadapan seluruh makhluk, bahkan di depan Al-Khaliq Allah -Azza wa Jalla-. Na’udzu billah min dzalik.

Para pembaca yang budiman, kehidupan dunia –jika kita renungi- ibarat permainan. Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُون [الأنعام : 32]
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka Tidakkah kalian memahaminya?” (QS. Al-An’aam : 32)
Dalam menafsirkan ayat ini, para ulama kita menjelaskan bahwa kehidupan dunia dalam hal keterputusan dan pendeknya umur, dunia amat cepat. Dunia ibarat sesuatu yang dipermainkan. Sebagian ahli tafsir ada yang menerangkan bahwa tidaklah urusan dunia dan usaha untuknya, melainkan permainan dan senda gurau saja. Adapun amalan  kebaikan, maka ia termasuk amalan akhirat, bukan amalan dunia. Sebagian ulama ada juga yang menyatakan bahwa tidaklah pencinta dunia, kecuali ia pencinta permainan dan senda gurau, karena tersibukkan dari sesuatu yang diperintahkan kepadanya. Sedang bermain-main tidaklah mendatangkan manfaat. [Lihat Zaadul Masir (2/321)]

Seorang hamba dalam kehidupan ini harus selalu berpikir tentang perbuatan yang ia kerjakan di dunia; apakah perbuatan dan amalan itu membuahkan pahala baginya di akhirat. Jika suatu perbuatan tidaklah demikian, maka hendaknya ia tinggalkan!! Jika ia tidak meninggalkannya, maka suatu saat hal itu akan menjadi penyesalan baginya di akhirat. Sebagai contoh, makan adalah perbuatan yang mungkin mendatangkan pahala atau tidak, ataukah malah mendatangkan dosa. Jika seseorang makan demi menegakkan dan menyehatkan badannya agar ia kuat dalam beribadah, maka makan yang seperti ini akan diganjari pahala kebaikan. Bila seseorang makan hanya demi menghilangkan rasa lapar, bukan demi menguatkan jasad dalam beribadah, maka makan yang seperti ini tak akan diberi pahala bagi pelakunya. Ia hanya makan layaknya binatang makan yang tidak diberi ganjaran pahala baginya. Disana ada yang lebih parah, segolongan manusia ada yang makan demi menguatkan jasadnya dalam berbuat maksiat dan dosa. Orang yang seperti ini tak akan mendapatkan kebaikan, bahkan ia mendapatkan dosa.

Disinilah pentingnya seorang mukmin memperhatikan segala gerak-geriknya. Segala kesenangan dan kenikmatan dunia ia peruntukkan bagi akhiratnya. Semuanya ia gunakan sebagai sarana dalam mendatangkan kebaikan baginya di alam sana. Kenikmatan dan kesenangan dunia tidaklah melalaikan dirinya, karena ia sadar bahwa kehidupan dunia ini tak akan bermanfaat baginya jika tidak ia gunakan untuk akhiratnya. Ia sadar bahwa kehidupan dunia baginya akan sia-sia bila tidak ia lakukan dan gunakan untuk akhirat. Ia yakin bahwa kehidupan dunia hanyalah sebentar, berkisar antara hari kelahirannya sampai ajal menjemputnya. Ada yang diberi waktu 20 tahun, 30 tahun, 50 tahun, bahkan lebih atau kurang darinya.
Allah –Azza wa Jalla- berfirman,
إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (24) وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (25) [يونس : 24 ، 25]
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya. Karena air itu, tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak, hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab (siksa) Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir. Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)”. (QS. Yunus : 24-25)
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata,
“Allah -Tabaroka wa Ta’ala- membuat perumpamaan bagi bunga kehidupan dunia ini, keindahannya, lekasnya ia hancur dan punah dengan tetumbuhan yang Allah keluarkan dari bumi dengan sebab air hujan yang Allah turunkan berupa sesuatu yang dimakan oleh manusia, baik itu tanaman, maupun buah-buahan dengan berbagai macam dan ragamnya”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (4/260)]

Ini merupakan perumpamaan yang amat tepat bagi dunia. Ia memang indah dalam sesaat. Namun bila tiba saatnya, maka ia akan punah, sirna, buruk dan mengerikan. Bagaikan seorang wanita yang amat cantik dan jelita di masa gadisnya. Namun jika sudah beranjak lebih dewasa lagi, maka mulailah ia akan menampakkan keriput, lemahnya tenaga, rambut beruban. Badannya yang dahulu lurus, kini menjadi bungkuk. Mata yang dulu jelita, kini berubah buruk dan mengerikan.

Itulah kecantikan sesaat baginya sebagaimana halnya dunia yang memukau akan mencapai saat ia akan mengerikan, menakutkan dan membuat pencintanya berubah benci.

Ahli Tafsir Jazirah Arab, Syaikh Ibnu Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata,
“Perumpamaan ini termasuk perumpamaan yang paling bagus. Perumpamaan ini amat tepat bagi kondisi dunia, karena kelezatan dunia, kesenangan, kedudukannya dan sejenis itu. Semua itu akan berkilau bagi pemiliknya, walaupun ia hanya berkilau dalam waktu yang singkat. Jika ia telah sempurna dan lengkap, maka ia akan hancur, dan akan sirna dari pemiliknya, ataukah pemiliknya yang akan binasa. Akhirnya, ia tangannya hampa dari semua itu dan hatinya akan dipenuhi gundah gulana, sedih dan penyesalan”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 361)]

Perumpamaan yang Allah sebutkan dalam ayat itu, juga disebutkan dalam ayat yang lain, seraya mengingatkan bahwa yang abadi dan kekal di sisi Allah kebaikan yang akan dirasakan oleh pelakunya di sisi Allah -Azza wa Jalla-, sehingga selayaknya seorang mukmin mengejar dan mengusahakan segala amal sholih demi meraih kebaikan dan pahala di akhirat. Seorang hamba jangan justru lebih semangat meraih kebaikan dunia berupa barang-barang dunia dan perhiasannya dibandingkan kebaikan dan pahala yang dengannya ia masuk surga yang penuh kenikmatan abadi!!!

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا (45) الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا (46) [الكهف :45- 46]
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi. Kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.  Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (QS. Al-Kahfi : 45-46) 

Dunia hanyalah surga bagi kafir yang tidak meyakini adanya hari pembalasan. Ia amat gemar, rakus dan mengutamakan kehidupan dunia yang semu dan penuh kesenangan serta hura-hura dibandingkan kehidupan akhirat. Ia pun larut dalam perbuatan-perbuatan yang membuat Allah murka. Kehidupannya berlumuran dosa-dosa dan hal sia-sia yang tidak menghasilkan pahala.

Allah -Tabaroka wa Ta’ala- berfirman saat menyifati kaum kafir,
الَّذِينَ يَسْتَحِبُّونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَبْغُونَهَا عِوَجًا أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ بَعِيدٍ  [إبراهيم : 3]
“(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh”.

Penghulu ahli tafsir, Abdullah bin Abbas -radhiyallahu anhu- berkata,
يأخذون ما تعجل لهم منها تهاونا بأمر الآخرة
“Mereka (kaum kafir) mengambil sesuatu disegerakan bagi mereka dari kehidupan dunia, karena sikap peremehan mereka terhadap urusan akhirat”. [Lihat Zadul Masir (4/345), oleh Ibnul Jawziy, cet. Al-Maktab Al-Islamiy, 1404 H]

Kaum kafir di dunia ini tak ingin melakukan sesuatu berupa amal sholih, kecuali ia harus mendapatkan keuntungan duniawi. Kita lihat –sebagai contoh-, mereka membudayakan senyum, bukan untuk meraih pahala di akhirat, tapi untuk meraih keuntungan dalam perdagangan dan usaha dunia mereka.

Adapun orang-orang yang beriman dan cerdik, maka ia penuhi kehidupan dan segala perbuatannya dengan kebaikan. Tak ada sesuatu yang ia lakukan, melainkan di dalamnya ada pahala dan kebaikan untuknya di akhirat.

Di balik senyum saja, orang beriman mendapatkan pahala. Sebab senyum yang dilakukan demi membuat hati seorang mukmin senang dan gembira, akan mendapatkan ganjaran pahala. Itulah senyum karena Allah.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyumanmu di depan saudaramu adalah sedekah bagimu”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (no. 1956). Syaikh Al-Albaniy menilai hadits ini shohih dalam Ash-Shohihah (no. 572)]

 sumber : http://pesantren-alihsan.com/

0 komentar:

Posting Komentar