Tanya:
Apa hukum gambar mahluk bernyawa di
layar TV? Benarkah ulama salafy beda pendapat tentang hal tersebut?
Karena ustadz Firanda yang murid para ulama salafy itu muncul
berkali-kali di TV Rodja.
Mohon penjelasannya.
Mohon penjelasannya.
Jawab:
Oleh Al Ustadz Askari bin Jamal hafizhahulloh
Bukan lagi muncul berkali-kali, memang
punyanya dia. Dia dan teman-temannya. Tentang masalah televisi,
barakallahufiikum ini termasuk diantara wasa’il al i’lam al haditsah
(وسائل الإعلام الحديث), termasuk diantara wasilatul i’lam, yakni sarana
informasi yang baru yang tidak ada di zaman sebelumnya. Yang tidak ada
di zaman para ulama as salaf rahimahumullahu ta’ala. Dan perlu diketahui
bahwa di zaman para ulama as salaf, mereka menyebarkan ilmu dengan
majelis-majelis. Dan melakukan rihlah dari satu tempat ke tempat yang
lainnya. Demikian pula dengan penyebaran kitab-kitab. Sehingga ilmu itu
sampai ke generasi berikutnya dan generasi yang berikutnya. Dan sampai
ke generasi kita sekarang ini, walhamdulillah. Meskipun mereka tidak
mengenal adanya sarana televisi dan yang lainnya, ilmu itu menyebar,
ilmu tersebut menyebar walhamdulillah.
Kemudian pada akhir-akhir belakangan ini, seperti pada masa kita,
muncul wasa’il al i’lam yang disebut televisi. Dan televisi ini tentu
berbeda halnya dengan radio. Adapun radio, sekedar menyampaikan suara.
Maka, radio tidak ada isykal dalam hal ini. Dalam hal hukum asalnya,
hukum asal radio. Tidak ada pembicaraan. Berbeda halnya dengan televisi
yang memang diperbincangkan oleh para ulama, dan diperselisihkan oleh
para ulama tentang hukumnya. Disebabkan karena penayangannya yang
menampakkan gambar manusia. Gambar makhluk hidup. Sebagaimana yang telah
kita ketahui bahwa telah datang riwayat-riwayat yang datang dari nabi
shallallahu ‘alaihi wa’alaalihi wasallam yang menjelaskan tentang hukum
صورة, hukum gambar. Gambar makhluk hidup, manusia, hewan. Kata nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para penggambar.” (HR. Al-Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan:
اَلصُّوْرَةٌ الرَّأْسُ ، فَإِذَا قُطِعَ فَلاَ صُوْرَةٌ
“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak ada lagi gambar.” (HR. Al-Baihaqi: 7/270 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani)
Tidak lagi dimanakan صورة yang diharamkan. Jadi ma’asyaral ikhwah
rahimakumullah, inilah yang menjadi permasalahan. Munculnya alat potret,
alat untuk memotret. Yang memotret gambar-gambar makhluk hidup, ini
juga disebut صورة maka demikian pula halnya dengan yang sifatnya
bergerak, juga disebut صورة. Sehingga sebagian dari kalangan para ulama
melihat bahwa dari sisi penamaan saja disebut صورة sehingga dia termasuk
dalam keumuman yang disebutkan oleh rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bahwa itu صورة, oleh karena itu para ulama mengharamkan. Para ulama
mengharamkan foto, rekaman-rekaman yang menyisakan gambar makhluk hidup,
terkecuali dalam kondisi حاجة ماسة. Dalam kondisi sesuatu yang sangat
dibutuhkan oleh ummat. Yang sulit bagi mereka untuk menghindarinya.
Seperti misalnya KTP, SIM, pasport, termasuk pula yang disebutkan oleh
para ulama ketika mereka hendak membuat sketsa untuk mengetahui
penjahat. Bagaimana rupa dan ciri-ciri penjahat tersebut, maka ini para
ulama membolehkan disebabkan karena المصلحةِ (maslahat) yang lebih besar
yang didapatkan dari hal tersebut.
Demikian pula seorang ketika memiliki uang. Kebanyakan uang-uang
sekarang ada gambar makhluk hidupnya. Apakah setiap antum menerima uang,
harus dicoret, dicoret setelah itu dibelanjakan, orang heran. Kenapa
ini kepalanya dihilangkan. Maka ini adalah merupakan hal-hal yang
sifatnya hajah (حاجة ماسة) atau darurat. Jadi ma’asyaral ikhwah
rahimakumullah, termasuk pula yang disebutkan oleh sebagian para ulama,
dan ini juga merupakan hal yang masih diperselisihkan tentang hukum
gambar yang bergerak (video). Sebagian para ulama memandang bahwa
termasuk diantara maslahat pula, termasuk diantara kemaslahatan pula
seorang merekam sesuatu demi kemaslahatan, demi kemaslahatan. Mungkin
pengajaran tentang sesuatu, bagaimana cara mengajarkan shalat. Dengan
praktek secara langsung, dengan memperlihatkan videonya. Atau misalnya
tata cara pelaksanaan ibadah haji, diperlihatkan langsung caranya dengan
perbuatannya.
Maka ini para ulama menganggap sebagiannya termasuk diantara hajjah
yang dibutuhkan oleh ummat. Sehingga para ulama membolehkan, para ulama
membolehkan hal tersebut. Sebagian para ulama, mereka menghindari
hal-hal yang sifatnya segala sesuatu yang sifatnya صورة yang berbentuk
صورة, apabila telah cukup, tanpa gambarpun telah mencukupi. Dengan
ceramah, dengan suara, apabila itu telah mencukupi maka tidak dibutuhkan
yang namanya صورة. Dan alhamdulillah sebagaimana yang kita sebutkan
bahwa para ulama salaf dahulu, mereka menyebarkan ilmu di tengah-tengah
kaum muslimin. Dan ilmu itu menyebar tanpa menggunakan televisi. Tanpa
menggunakan televisi. Namun kita tidak bisa mengingkari bahwa televisi
merupakan hal yang sifatnya diperselisihkan di kalangan para ulama.
Dan disini ma’asyaral ikhwah rahimakumullah, saya tidak berbicara
tentang barangnya. Barang yang disebut televisi itu. karena barang yang
disebut televisi itu tidak bisa dihukumi, tidak bisa dihukumi, itu
barang. Namun yang dihukumi adalah penayangannya. Sebagian stasiun
televisi mereka ada yang menayangkan siaran langsung. Seperti misalnya
siaran tentang Makkah, siaran tentang Madinah. Apalagi kalau di Makkah
itu, siarannya dengan ayat-ayat Al Qur’an Al Karim, berganti dari satu
ayat ke ayat yang lain, tidak ada musik di dalamnya. Maka ini tidak ada
problem sama sekali, tidak ada problem. Siaran langsung, seperti halnya
seorang bercermin, seperti halnya cermin, berada di hadapan cermin,
begitu kita meninggalkan cermin maka hilang. Maka siaran langsung tidak
ada masalah dalam hal ini. Demikian pula siaran tentang Al Madinah An
Nabawiyah yang diisi dengan hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Maka ini tidak ada isykal, tidak ada problem dalam hal ini.
Sebagian siaran ada yang menyiarkan Al Qur’an Al Karim full 24 jam,
tanpa gambar, tanpa gambar. Saya agak lupa namanya, apa namanya itu
Qur’an Majid, atau Qur’an Majd, Al Majd, atau Al Majid, wallahu a’lam,
TV. Jadi yang tampil di layar televisi tersebut hanya ayat, kalau tidak
salah apakah ada artinya dalam bahasa inggris wallahu a’lam. Jadi ayat
kemudian di belakangnya itu latar belakangnya pemandangan, ini juga
tidak ada masalah, tidak ada permasalahan dalam hal ini. Namun yang
menjadi perselisihan di kalangan para ulama ketika ada gambarnya, ketika
ada gambar. Sebagian para ulama membolehkan karena melihat bahwa disini
ada kemaslahatan. Dan sebagian para ulama menghindar dan mengatakan
bahwa menghindari lebih baik selama masih ada الوسائل sarana-sarana
dakwah yang lainnya, maka menggunakan yang lainnya itu lebih
berhati-hati, lebih baik. Sebab bagaimanapun tetap saja disebut صورة,
tetap saja disebut صورة. Sehingga menghindarinya wallahu ta’ala a’lam
itu lebih baik.
Namun kita tidak mengingkari bahwa permasalahan ini termasuk masail
ijtihadiyah, permaslahan ijtihad, yang kita tidak boleh saling
mengingkari, atau saling menyesatkan antara satu dengan yang lainnya
antara yang membolehkan dengan yang tidak membolehkan. Masail khilafiyah
ijtihadiyah. Seperti berselisihnya para ulama dalam permasalahan yang
lain. Bangkit dari ruku’ ada yang bersedekap ada yang tidak bersedekap.
Dalam bertasyahhud, ada yang menggerakkan jari, ada yang tidak
menggerakkan jari. Ini masalah yang biasa terjadi di kalangan para
ulama, perbedaan wijhatun nazhor, perbedaan dalam memandang sesuatu, itu
hal yang biasa terjadi di kalangan para ulama fuqaha. Sehingga
ma’asyaral ikhwah rahimakumullah, ini berkenaan tentang hukum asal
televisi tersebut.
Namun yang kadang menjadi permasalahan, adanya siaran-siaran yang
tidak sejalan dengan apa yang kita ketahui di dalam prinsip-prinsip
islam. Ini yang menjadi permaslahan. Stasiun televisi menyiarkan musik
misalnya, stasiun televisi menyiarkan film-film, pertunjukan ini,
pertunjukan itu, attamfiliyat, sinetron ini, sinetron itu, yang merusak.
Jelas ini adalah suatu hal yang sangat memudharatkan bagi ummat. Lalu
bagaimana dengan televisi yang dakwah, yang sifatnya dakwah. Selama
tidak mengandung unsur-unsur yang menyesatkan, dan menyelisihi manhaj
ahlussunnah wal jama’ah, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa
itu sesat. Karena kita kembali kepada perselisihan yang terjadi di
kalangan para ulama tentang hukum ini. Jadi jangan sampai ada yang
menisbatkan kepada ahlussunnah, atau kepada ikhwan salafiyyun, bahwa
mereka menganggap orang yang menggunakan televisi secara mutlak,
misalnya.
Tidak sama sekali, jangan salah memahami sesuatu. Namun yang
diingkari oleh para ulama adalah acaranya, apa yang ditayangkan.
Terkhusus apabila membawa nama ahlussunnah wal jama’ah. Seperti yang
disebut rodja, yang itu merupakan singkatan dari radio dakwah
ahlussunnah wal jama’ah, mengatasnamakan ahlussunnah. Apabila benar-benar mengisi atau menayangkan acara-acara yang sifatnya menebarkan sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari para ulama sunnah, dari pada da’i yang dikenal mereka menyebarkan sunnah rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Jauh dari syubhat, jauh dari hal-hal yang diperingatkan oleh para ulama, maka ahlan wa sahlan.
Itu merupakan sesuatu yang semoga memberi manfaat kepada ummat.
Meskipun sebagaimana yang kita sebutkan, saya sendiri atau mungkin juga
yang lainnya, lebih berhati-hati untuk mengikuti pendapat tidak
menayangkan diri. Tidak menampilkan wajah, tidak menampilkan wajah
dengan merekam, atau video dan yang semisalnya.
Namun yang disayangkan adalah penayangan-penayangan dari
sebagian yang dianggap oleh mereka termasuk diantara syaikh atau tokoh
ahlussunnah wal jama’ah. Namun para ulama memberi peringatan dari
mereka. Ini yang menjadi permasalahan. Adanya orang-orang yang
dimasukkan yang mereka terjatuh ke dalam penyimpangan. Ke dalam
penyakit-penyakit hizbiyyah, ke dalam bid’ah. Dan ini tentu
membutuhkan pembahasan yang lebih lengkap, di waktu-waktu yang lainnya,
insya Allahu Ta’ala. Namun salah satu contoh saja, seperti yang
ditayangkan di TV Rodja, seorang da’i dari Arab Saudi yang bernama
Muhammad bin Abdurrahman Al ‘Arifi. Muhammad bin Abdurrahman Al ‘Arifi
ini ditampilkan di TV Rodja sebagaimana yang diberitakan oleh sebagian
ikhwan. Dan juga disebutkan dalam situsnya. Dan diterjemahkan
ceramahnya. Sementara para ulama, mereka mempermasalahkan siapa itu
Muhammad bin Abdurrahman Al ‘Arifi?
Muhammad bin Abdurrahman Al ‘Arifi ini seorang yang ketika
menjelaskan sesuatu, dia sering sekali keluar dari jalur. Jalur yang
ditempuh oleh para ulama. Salah satunya, tatkala dia ada yang
menyebutkan bahwa dia sedang mendakwahi orang-orang dari kalangan non
muslim. Dia membaca surat Maryam. Setelah dia membaca surat Maryam, dia
membuat ucapan dari dirinya sendiri, dari dirinya sendiri. Lalu dia
melantunkannya seperti dia melantunkan Al Qur’an Al Karim, lalu dia
memberi nama ucapannya yang dia buat itu dengan nama surat. Dia katakan,
ini surat tuffah (surat apel) setelah dia membaca surat Maryam. Dengan
lantunannya dia mengatakan (yang artinya)
Ahmad pergi ke pasar
Membeli apel
Setelah itu, dia pulang naik otobis (bis kota maksudnya)
Setelah itu, dia kembali ke apartemennya
Ternyata dia menghilangkan kuncinya
Akhirnya dia lewat rumah tetangganya
Setelah itu, dia masuk ke dalam rumahnya
Istirahatlah dia
Membeli apel
Setelah itu, dia pulang naik otobis (bis kota maksudnya)
Setelah itu, dia kembali ke apartemennya
Ternyata dia menghilangkan kuncinya
Akhirnya dia lewat rumah tetangganya
Setelah itu, dia masuk ke dalam rumahnya
Istirahatlah dia
Setelah dia mengatakan ini, dia mengucapkan “ini surat apel” kata
dia. Tertawa orang-orang mendengarkan tertawa, dan dia juga tertawa.
Lalu dia mengatakan ini surat apel, dengan lantunan seperti dia
melantunkan Al Qur’an Al Karim. Ini ditanyakan kepada Al Allamah Shalih
Al Fauzan, hafizhahullahu ta’ala. Bagaimana pendapatmu tentang seorang
yang membaca ini, membuat ucapan dari dirinya sendiri, lalu dia membaca
seperti bacaan Al Qur’an, lalu dia menamakan surat tuffah. Kata beliau,
ini dikhawatirkan orang ini mengolok-olok Al Qur’an Al Karim, meskipun
dia sedang berkelakar, meskipun dia sedang bermain-main. Ini
dikhwatirkan mengolok-olok Al Qur’an, Allah subhanahu wata’ala
berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
“Dan jika kamu tanyakan
kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka
akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan
bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena
kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu
(lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang
lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. “(At-Taubah 65-66)
Ayat-ayat Allah subhanahu wata’ala dipermainkan. Ini da’i, ini
ditayangkan, ceramah-ceramahnya, nasehat-nasehatnya, TV Rodja ini. Suatu
ketika tatkala membahas tentang ketaatan kepada wulatul ‘umur, hadits
nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
“Akan datang setelahku para pemimpin
yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan
berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan
yang berada dalam jasad manusia.” (Hudzaifah berkata), “Wahai
Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau
menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk
dan hartamu diambil.” (Sahih, HR. Muslim)
Bagaimana menyikapi hadits ini? Bahwa hadits ini menunjukkan
kewajiban taat kepada penguasa meskipun dia dzolim, meskipun dia dzolim.
Apa kata dia? Bahwa hadits ini itu hanya terkhusus. Jadi dia
menafsirkan hadits ini, adalah hadits yang dibawa kepada makna apabila
hakim itu adil, asalnya dia adil, hanya saja ada orang per orang yang
dia dzolimi, yang dia ambil hartanya secara paksa. Meskipun asal hukum
penguasa itu adil. Itu maksudnya hadits ini, seakan-akan dia justru
membolehkan apabila hakim tersebut dzolim, maka boleh khuruj. Boleh
memberontak kepada penguasa tersebut. Maka ditanyakan kepada Asy Syaikh
Shalih Al Fauzan, kata beliau orang ini shahibu hawa’, pengikut hawa
nafsu. Orang ini pengikut hawa nafsu. Orang-orang yang seperti ini,
masih banyak ucapan-ucapan yang lainnya. Dia mendengarkan cerita orang
lalu dia dengan tegas mengatakan bahwa di Suriah, peperangan di Suriah,
itu malaikat sampai turun ke sana. Darimana kamu tahu? Darimana kamu
tahu bahwa malaikat turun di sana?
Dan kalimat-kalimat yang seperti ini. Sehingga para ulama memberikan
peringatan dari orang ini. Fatwa Shalih Al Fauzan, fatwa syaikh Abdul
Aziz Alu Syaikh mufti kerajaan Arab Saudi, memberikan peringatan. Maka
yang seperti ini ma’asyaral ikhwah rahimakumullah, tidak bisa ditolerir.
Meskipun penampakannya, penampakan seperti seorang sunni salafy. Namun
ini sangat mengkhawatirkan. Akan menyeret ummat ini kepada bid’ah,
kepada penyimpangan. Maka yang wajib, bagi yang mengetahui menerangkan
kepada ummat, menerangkan kepada ummat. Dan mengambil ilmu dari orang
yang jelas bahwa mereka itu dari ahlussunnah, dari para ulama, itu lebih
baik. Daripada menayangkan acara-acara yang seperti ini yang
dikhawatirkan menyeret ummat kepada kesesatan dan penyimpangan. Maka ini
ma’asyaral ikhwah rahimakumullah, salah satu contoh saja diantara
sekian banyak hal-hal yang lainnya yang suatu saat insya Allahu ta’ala
akan kita terangkan, wallahu ta’ala a’lam.
Download Audio disini
0 komentar:
Posting Komentar