Kamis, 05 September 2013

Melotot Kemana-mana

Melotot Kemana-mana
Oleh: Al-Ustadz Abdul Qadir -Hafizhahullah-

Sebuah pemandangan yang aneh saat kita melihat sekawanan bocah cilik melaksanakan sholat. Anehnya karena mereka di dalam sholatnya tidak memperhatikan adab-adab dan tata cara yang benar. Mereka suka melotot kemana-mana, baik ke kiri, atau pun ke kanan; ke atas dan ke bawah. Sebagian orang bilang bahwa itu masih dalam batas kewajaran, karena mereka belum paham dan masih kurang akalnya.

Disana ada pemandangan yang lebih aneh lagi, ada sebagian orang yang sudah dewasa dan paham, bahkan sudah lanjut usia, masih saja seperti bocah cilik yang melotot kemana-mana. Orang yang seperti ini tak memahami arti sebuah sholat yang ia tunaikan. Dia tak paham bahwa sholat tak akan sempurna tanpa khusyu’, sedang khusyu’ tak mungkin akan tercapai bila seseorang tak memusatkan pikiran dan pandangannya.

Diantara bentuk kesalahan yang biasa dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang menunaikan sholat, mengangkat pandangan ke langit, atau melihat ke imam, atau menoleh ke kiri dan ke kanan. Perkara-perkara seperti ini merupakan sebab seseorang yang sholat akan mengalami kelupaan atau diserang oleh bisikan hati yang akan melalaikannya. [Lihat Al-Qoul Al-Mubin fi Akhtho' Al-Mushollin (ha. 110) karya Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman, cet. Dar Ibn Affan, dan Dar Ibnul Qoyyim, 1416 H]

Jika kita meneliti sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, maka kita akan menemukan sebuah petunjuk bahwa seseorang saat sholat diperintahkan untuk menundukkan pandangan, dan melihat ke arah tempat ia akan sujud, kecuali dalam kondisi duduk tasyahhud. Bila duduk tasyahhud, maka seseorang melihat ke arah jari telunjuknya, tanpa melewatinya.

Abdullah bin Zubair -radhiyallahu anhuma- berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَعَدَ فِي التَّشَهُّدِ وَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ لَا يُجَاوِزُ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bila duduk tasyahhud, maka beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas paha kirinya, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya. Pandangan beliau tidak melampaui isyaratnya”. [HR. Abu dawud dalam Sunan-nya (no. 990), dan An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (no. 1274). Hadits ini di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Misykah Al-Mashobih (912)]

Sebagian orang ada yang salah paham bahwa jika seseorang dalam posisi ruku’, maka ia dianjurkan untuk melihat ke arah kakinya. Bila dalam posisi sujud, maka ia melihat ke hidungnya. Bila ia duduk, maka ia melihat ke arah pangkuannya.

Semua ini adalah sangkaan batil yang tak memiliki landasan berupa ayat ataupun hadits dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Oleh karenanya, Al-Imam Al-Izz Ibnu Abdis Salam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata saat ditanya tentang sangkaan-sangkaan batil itu, “Ini bukan pendapat yang benar!! Tak ada hujjah bagi orang yang berpendapat demikian dari  Al-Qur’an, dan tidak pula sunnah. Wallahu A’lam”. [Lihat Fataawa Al-Izz (hal. 68)]

Pandangan yang berpaling dari tempat sujud ke arah kiri dan kanan, atau ke arah langit merupakan copetan yang dilakukan oleh setan dari sholat seorang hamba agar ia lalai dan tak khusyu’ dalam mengerjakan sholatnya!!
A’isyah -radhiyallahu anha- pernah bertanya kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tentang menoleh dalam sholat, maka beliau bersabda,
هُوَ اخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ الْعَبْدِ
“Itu adalah copetan yang dilakukan oleh setan dari sholat seorang hamba”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 751 & 3291)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata, “Seakan-akan Penulis (Al-Imam Al-Bukhoriy) mengisyaratkan bahwa sebab dibencinya menoleh karena tolehan akan mempengaruhi ke-khusyu’-an sebagaimana yang terjadi dalam kisah Al-Khomishoh”. [Lihat Fathul Bari (2/304), cet. Dar As-Salam]

Melotot kemana-mana dalam sholat adalah perkara yang akan menghilangkan ke-khusyu’-an sholat seorang hamba sampai seakan-akan ia hanyalah orang yang bermain-main dalam beribadah kepada Allah -Azza wa Jalla-.

Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah menegur perkara seperti ini sebagaimana dalam sebuah riwayat dari Anas -radhiyallahu anhu-, ia berkata, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
Apa urusan suatu kaum mengangkat pandangan mereka ke langit dalam sholatnya”.
Sabda beliau dalam perkara itu semakin keras sampai beliau bersabda,
“Mereka akan berhenti dari hal itu atau pandangan mereka akan tersambar (buta)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 750)]

Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ رَفْعِهِمْ أَبْصَارَهُمْ عِنْدَ الدُّعَاءِ فِي الصَّلَاةِ إِلَى السَّمَاءِ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ
“Sungguh kaum itu mau berhenti dari mengangkat pandangannya ke langit saat berdoa dalam sholat ataukah pandangan mereka akan disambar (dihilangkan dengan cepat)”. [HR. Muslim dalam Kitab Ash-Sholah (no. 966), dan An-Nasa'iy dalam Kitab As-Sahwi (no. 1275)]


Jabir bin Samuroh -radhiyallahu anhu- berkata, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلَاةِ أَوْ لَا تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ
“Kaum itu betul-betul akan berhenti mengangkat pandangannya ke langit dalam sholat ataukah pandangan mereka tak akan kembali”. [HR. Muslim dalam Kitab Ash-Sholah (no. 965), dan Ibnu Majah dalam Kitab Iqomah Ash-Sholah wa As-Sunnah fiiha (no. 1045)]

Di dalam hadits-hadits ini terdapat larangan kuat, dan ancaman keras dari mengangkat pandangan ke langit saat sholat. Sungguh telah dinukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama’) tentang larangan dari hal tersebut. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim Ibn Al-Hajjaj (4/372) karya Al-Imam An-Nawawiy Asy-Syafi'iy]

Al-Imam Al-Allamah Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata, “Sebab larangan itu bahwa bila seseorang mengangkat pandangannya ke langit, maka ia keluar dari arah kiblat, berpaling darinya, dan dari kondisi sholat. Lahiriah hadits itu bahwa mengangkat pandangan saat sholat adalah haram, karena hukuman buta tak akan terjadi, kecuali dengan sebab perbuatan yang diharamkan”. [Lihat Nail Author min Asror Muntaqo Al-Akhbar (2/4), cet. Dar Al-Kitab Al-Arabiy, 1420 H]

Seseorang dibenci menoleh dalam sholat tanpa ada hajat yang mendesak berdasarkan hadits yang pertama, sebab menoleh disandarkan kepada setan. Karena di dalam menoleh terdapat keterputusan dari memusatkan pikiran dan penghadapan kepada Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Perbuatan itu (yakni, menoleh dalam sholat) disebut dengan “copetan”, yaitu sesuatu yang diambil secara paksa, atau sesuatu yang disambar tanpa adanya perlawanan, dan dilarikan, walaupun hal itu disaksikan oleh pemiliknya. Pencopet mengambil dengan kuat, sedang pencuri mengambil sesuatu dengan sembunyi-sembunyi.

Tatkala setan terkadang menyibukkan orang yang sholat dari sholatnya dengan tolehan kepada sesuatu tertentu tanpa hujjah yang ia tegakkan, maka ia menyerupai orang yang dicopet. Tolehan itu disebut dengan “copetan” sebagai gambaran buruknya perbuatan tersebut pada diri orang yang dicopet.

Orang yang sholat yang mengerjakan sholat sedang menghadap kepada Rabb-nya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala-, sedang setan terus mengawasinya. Setan menunggu luputnya hal itu bagi orang yang sholat tersebut. Jika ia menoleh, maka setan memanfaatkan kesempatan, lalu setan menghilangkannya dari kondisi khusyu’ dan penghadapannya kepada Allah. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (2/304)]

Seorang menoleh dalam sholatnya telah melakukan perkara yang menghilangkan ke-khusyu’annya. Para ulama menjelaskan bahwa menoleh dapat membatalkan sholat bila seseorang menoleh sehingga seluruh badannya membelakangi kiblat. Adapun jika tolehannya hanya ringan berupa ke kanan dan ke kiri, atau ke atas, maka hal ini tidaklah membatalkan sholat.

Al-Imam Al-Hafizh Abu Umar Ibnu Abdil Barr Al-Andalusiy -rahimahullah- berkata, “Mayoritas ahli fiqih memandang bahwa menoleh tidaklah membatalkan sholat, jika tolehannya ringan”. [Lihat Akhtho' Al-Mushollin (hal. 112)]

Namun jangan ada diantara kita salah memahami bahwa jika sholat tak batal dengan tolehan, maka berarti menoleh dalam sholat boleh!! Tidak, ini tak benar, sebab menoleh adalah perkara yang akan melalaikan orang dari sholatnya sehingga ia tak khusyu’. Apalagi jika ia menoleh ke arah langit, maka ada ancaman keras dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa matanya akan dibutakan oleh Allah -Azza wa Jalla-. Cukuplah ini merupakan pelajaran dan ancaman keras bagi orang-orang yang suka melotot kemana-mana dalam sholatnya.

Orang-orang yang melotot dan menoleh kemana-mana dalam sholat akan luput dari fadhilah dan keutamaan khusyu’ serta luput dari pujian Allah yang terdapat di dalam firman-Nya,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ (2) [المؤمنون/1، 2]
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya”. (QS. Al-Mu’minun : 1-2)
Ahli Tafsir Negeri Syam, Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Khusyu’ dalam sholat hanyalah tercapai bagi orang yang mengosongkan (memusatkan) hatinya untuk sholat, dan menyibukkan dirinya dengan sholat dari yang lainnya. Dia mengutamakan sholat atas yang lainnya. Ketika itulah sholat akan menjadi kelapangan dan penyejuk mata baginya”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (5/461)]

Inilah rahasianya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dijadikan kecintaanku dari (perkara-perkara) dunia pada parfum dan istri-istri, serta dijadikan penyejuk mataku dalam sholat“. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/128), dan An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (no. 6118). Di-hasan-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (no.5261)]
Demikianlah seseorang jika khusyu’ dalam sholatnya, maka ia merasakan sholat itu sebagai sesuatu yang manis, menyenangkan dan melapangkan hati serta pikiran.

Abdullah bin Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata,
انْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبِي إِلَى صِهْرٍ لَنَا مِنْ الْأَنْصَارِ نَعُودُهُ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَقَالَ لِبَعْضِ أَهْلِهِ يَا جَارِيَةُ ائْتُونِي بِوَضُوءٍ لَعَلِّي أُصَلِّي فَأَسْتَرِيحَ قَالَ فَأَنْكَرْنَا ذَلِكَ عَلَيْهِ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قُمْ يَا بِلَالُ, فَأَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ
“Aku dan bapakku pernah pergi ke keluarga mertua kami dari kalangan Anshor demi menjenguknya. Lalu tibalah waktu sholat, dan bapakku berkata kepada sebagian keluarganya, “Wahai gadis cilik, berikan aku air wudhu’, semoga aku bisa sholat sehingga aku beristirahat (merasakan kelapangan). Kemudian kami pun mengingkari hal itu pada beliau. Beliau (Ali bin Abi Tholib) berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Bangkitlah wahai Bilal, lalu istirahatkanlah (lapangkanlah) kami dengan sholat”. [HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Adab (no. 4986). Hadits di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (3/225)]

sumber : http://pesantren-alihsan.com/


0 komentar:

Posting Komentar