Berpenampilan zuhud. Berjalan ke sana kemari. Bergerombol. Ada yang menenteng kompor. Ada yang berjalan telanjang kaki. Mengajak orang-orang ke masjid. Mereka jama’ah (firqah) Tabligh [1]. Ada apa lagi dengan mereka? Tidakkah cukup satu edisi membicarakan tentang mereka? Tidakkah merasa bosan? Apakah orang yang berdakwah, mengajak ke masjid dan rajin beribadah itu dikatakan sesat? Beranikah engkau menyatakan mereka sebagai orang yang sesat?! Itulah permasalahannya! Apakah kita tega untuk menyatakan sesat orang yang memang telah dikatakan sesat oleh para ulama kaum muslimin?! Apakah kita tetap lebih mendahulukan perasaan kita daripada ilmu yang menerangkan siapa mereka sebenarnya di balik baju kezuhudannya?! Apakah kita ragu mengatakan sesat orang yang memang sesat tetapi menutupi kesesatannya dengan berpura-pura zuhud??
Apakah kita ragu untuk membela agama Allah dari kerusakan yang mereka lakukan melalui baju tadi? Ataukah kita malah menyalahkan orang yang menerangkan tentang kesesatan mereka?Di edisi ini kita akan menambah ilmu tentang kesesatan mereka, bukan untuk mengikuti mereka. Tapi untuk berhati-hati. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair:
Aku mengetahui kejelekan bukan untuk mengikutinya.
Akan tetapi untuk berhati-hati!
Karena siapa yang tidak mengetahui kejahatan,
dia akan terperosok ke dalamnya.
Setelah Anda mempelajari ‘aqidah ahlus sunnah yang benar, akan tampak kesalahan besar yang mereka lakukan. Kalau anda belum mempelajarinya, maka anda akan menganggapnya enteng dan biasa-biasa saja.
Sebelum kita berbicara tentang kesalahan-kesalahan Firqah Tabligh, maka kita akan memaparkan dulu sekilas sejarah mereka.
SELAYANG PANDANG TENTANG FIRQAH TABLIGH
Firqah ini berdiri di India melalui usaha Muhammad Ilyas Al Kandahlawi [2], kemudian menyebar di India, Pakistan hingga menembus negeri-negeri Arab dan di sana berdiri markas-markas mereka dan muncul para da’inya. Dan juga menembus negeri-negeri non Islam. Pusat kepemimpinannya ada di kampung Nizamuddin di kota Delhi. Dan dari sana juga bersumber segala perintah dan maklumat kelompok ini.
TUJUAN-TUJUAN KELOMPOK INI
Tujuan mereka berkisar untuk merealisasikan enam dasar (ushulus sittah) yang selalu mereka dengang dengungkan siang malam, yaitu:
1. Merealisasikan syahadat Laa Ilaaha Illallah dan Muhammad Rasulullah. Yang mereka maksudkan dengannya adalah: mengeluarkan keyakinan yang rusak dari hati kepada benda-benda dan memasukkan keyakinan yang benar terhadap dzat Allah dengan meyakini bahwa Allah adalah dzat yang pencipta, pemberi rezki, pemberi manfaat, pemberi bahaya, memuliakan, menghinakan, menghidupkan, mematikan, pemberi, dan penahan. Mereka memahami kalimat tauhid sebatas makna tauhid Rububiyyah saja. Adapun makna secara uluhiyyah, maka itu disepelekan mereka secara ilmu dan amalan dan sikap menyepelekan tauhid uluhiyah yang berkembang di kalangan mereka, sangat tampak khususnya di kalangan pengikut mereka yang berasal dari non arab.” (Waqafat Ma’a Jama’atit Tabligh, Nazar Al Jarbu’ hal 5-6).
Tentang pemaknaan Laa Ilaaha Illallah dengan: Mengeluarkan keyakinan yang rusak dari hati kepada benda-benda dan memasukkan yang benar terhadap dzat Allah, pernah ditanyakan kepada syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hafizhahullah dan beliau menjawab dengan: “Ini adalah penafsiran yang batil. Salafush shalih tidak pernah mengenalnya. Dan bukan maksudnya engkau meyakini Allah dan mengeluarkan keyakinan dari selainNya, karena ini tidak mungkin. Karena keyakinan bisa terjadi pada selain Allah, sebagaimana dalam ayat (yang artinya): “Niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka jahannam, dan sesungguhnya kalian benar-benar akan melihatnya dengan pandangan yang menimbulkan keyakinan.” (At Takatsur: 6-7).
Meyakini sesuatu yang terjadi bisa dirasakan tidaklah menghapus tauhid, maka menurut keterangan ini, tafsiran seperti itu tertolak. (Ta’liqat ‘ala Kitab Kasyfusy Syubhat, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin hafizhahullah hal. 19).
2. Shalat dengan khusyu’. Mereka sangat memperhatikan penunaian shalat walau bagaimanapun sibuknya demikian juga kekhusyu’annya, selalu memperhatikan shaf pertama, dan berbuat amalan sunnat. Perkara ini memang dituntut kepada setiap muslim dan pelakunya akan diberi pahala oleh Allah, akan tetapi mereka meremehkan sisi mempelajari rukun-rukunnya, kewajiban-kewajibannya, sunnah-sunnahnya dan hukum-hukumnya.” (Waqafat… hal 6).
Syaikh Al Albani dalam kasetnya yang berjudul Nasehat untuk Jama’ah Tabligh mengatakan bahwa mereka mendapatkan ilmu tentang tauhid, shalat dan yang lainnya tidak dari jama’ah mereka, tapi dari berbagai tempat karena memang dalam kelompok mereka tidak memperhatikan bidang-bidang ilmu tersebut.
3. Ilmu. Dan yang mereka maksudkan adalah ilmu fadhail dan ilmu tentang keorganisasian jama’ah tabligh, permasalahan-permasalahannya, tarekat-tarekat Sufiyah para syaikhnya dan ilmu tentang permisalan-permisalan yang mereka buat. Adapun ilmu tentang hukum-hukum dan masalah-masalah fiqih serta ilmu tauhid, maka tidak mereka perhatikan dan hargai.[3]
4. Memperbaiki niat agar amal bersih dari riya’ dan ingin dikenal orang.
5. Menghormati kaum muslimin dan bersikap lembut kepada mereka. Mereka keterlaluan dalam hal ini hingga meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan alasan untuk menyatukan hati.
6. Khuruj di jalan Allah. Mereka membatasinya dengan khuruj bersama mereka untuk berdakwah.” (Waqafat… hal 6-7 dengan beberapa ringkasan).
ULAMA TABLIGH
Tidak diketahui adanya ulama di kalangan mereka yang mereka jadikan sebagai rujukan. Bahkan hampir-hampir penuntut ilmu yang terpandang keilmuannya tidak ada di kalangan mereka. Itu terjadi karena mereka jauh dari ilmu dan para ulama.” (Waqafat… hal 10).
Perkara-perkara yang Terlarang di Kalangan Jama’ah Tabligh
Termasuk dasar kelompok ini adalah melarang pengikutnya untuk membicarakan masalah keyakinan (masalah tauhid) atau masalah fiqh, karena hal itu membuka pintu-pintu kejelekan dan membuat kaum muslimin menjadi terpecah. Bahkan bisa membuat ganjalan dalam dakwah. Dan menuntut ilmu juga terlarang di barisan mereka. Kalau ada yang menuntut ilmu [4], maka tokohnya akan melarang sebagaimana yang terjadi pada beberapa orang teman yang mengingkari kemungkaran dan bid’ah yang dilakukan orang bahkan lebih luas dari itu. Tapi orang-orang Tabligh tidak memandang itu sebagai suatu dasar untuk mengingkari kemungkaran dan hanya mencukupkan dengan menyuruh orang berbuat yang baik saja.” (Waqafat… hal 13).
Ini adalah bahaya yang besar karena melarang orang untuk menerangkan mana yang benar dan mana yang salah dengan alasan takut timbul perpecahan. Karena termasuk manhaj salafus shalih adalah Al ‘Ardh (memaparkan kebenaran) dan Ar Radd (membantah kesalahan itu).
KESALAHAN-KESALAHAN KELOMPOK TABLIGH DAN PENYIMPANGANNYA DARI MANHAJ YANG SYAR’I
Pertama: menggunakan manhaj sufi dalam bidang aqidah, dakwah, ibadah, cara para pengikutnya, amirnya dan syaikhnya. Sehingga terjadi pada individu-individu kelompok ini, khususnya non arab, bid’ah-bid’ah, kesyirikan-kesyirikan, jimat-jimat dan lain-lain. Jimat itu pernah dibuka dan saya melihat di dalamnya tertulis dengan bentuk segi tiga, segi empat, ayat-ayat yang terpotong-potong dan tulisan-tulisan yang tidak difahami. Dan berisi panggilan kepada nama-nama yang asing seperti Ya Baduh, Ya Syaddad. Demikian juga, mereka beribadah kepada tempat-tempat yang dianggap keramat dan kubur-kubur. Mereka berdo’a dan memohon berkah kepadanya…
Kedua: berbai’at kepada sang amir dan sebagian para syaikhnya bagi arab dan non arab dengan berdasarkan empat tarekat: Jistiyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Sahrawardiyyah. Di jazirah arab mereka menampakkan diri banyak melakukan sunnah-sunnah. Dan ketika ketahuan kesesatan mereka, mereka berdalih bahwa keempat tarekat itu yang tersebar di India. Dan kalau mereka (para pengikut Tabligh) tidak dibai’at, mereka akan dicaplok dan berbai’at oleh kelompok-kelompok lain yang dianggap sesat oleh mereka. Dari mana mereka menghukumi dengan membolehkan manusia berbai’at kepada mereka menurut empat tarekat ini hingga manusia tidak bersandar kepada tarekat-tarekat yang lebih sesat darinya. Maka mereka harus membawakan dalil tentang hal itu dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…
Ketiga: Mereka mengakui dan berpegang dengan buku Tablighi Nishab karya Muhammad Zakaria Al Kandahlawi sebagai manhaj dan patokan dalam dakwah.
Buku itu sendiri di dalamnya mengandung bid’ah-bid’ah, kesyirikan-kesyirikan dan kesufian. Demikian juga dengan buku Hayatush Shahabah karya Muhammad Yusuf Al Kandahlawi yang penuh dengan kisah-kisah palsu dan hadits-hadits dha’if (lemah) dan palsu…
Keempat: mereka membatasi pengertian Islam hanya dengan sebagian amalan Islam seperti: ibadah praktis, dzikir-dzikir, memuliakan kaum muslimin, bersikap lembut kepada mereka, zuhud di dunia, dan mengajak manusia kepadanya. Mereka menganggap dengan itu telah menegakkan Islam menurut bentuk yang paling sempurna, padahal mereka berpaling dari firman Allah (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh.” (Al Baqarah: 208).
Yaitu masuk ke dalam Islam sampai ke batas akhir syari’at-syari’atnya tanpa melampaui batas, sebagaimana yang diterangkan dalam tafsir Al Baghawi 1/183.
Mereka juga berpaling dari mendidik kaum muslimin di atas tauhid dan jihad di jalan Allah. Mereka pura-pura tidak tahu tentang keadaan pahit yang sedang dirasakan kaum muslimin dan kebutuhan mereka yang sangat besar kepada perbaikan dengan manhaj (metode, sistem pemahaman, pengamalan dan dakwah) yang sempurna. Mereka melalaikannya. Kemudian mereka datang dengan manhaj yang menyimpang dan kabur.
Terdapat dalam Fatwa Lajnah Da’imah Lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1674 tanggal 7/10/1397H yang berisi jawaban tentang Jama’ah Tabligh, sebagai berikut:
“Sesungguhnya jama’ah tabligh memiliki semangat untuk mengamalkan apa yang diyakini dan mengajak kepada akhlak yang baik serta tidak menghina manusia. Padanya terdapat sikap menyuruh saling menghormati kepada yang lain, maka tidak ada pertengkaran sesama anggotanya dengan kelompok lain dan dengan pemerintah. Akan tetapi mereka keterlaluan dalam bersikap saling menghormati tadi, pasif dan bersikap global dalam berdakwah hingga mereka meninggalkan berbicara tentang kerincian aqidah tauhid, padahal ini adalah dasar Islam. Padahal tauhid ini yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was sallam. Mereka melawan ummat-ummat hingga terjadi permusuhan dan peperangan antara dua kelompok itu. Dan itu adalah jihad di jalan Allah dan menolong agama-Nya serta meninggikan kalimat-Nya. Sedangkan di kalangan mereka (tabligh) tidak dikenal kecuali khuruj [5] dan mendakwahkannya [6], yang mana ini adalah dasar yang dikenal di kalangan jama’ah tabligh. Dan tidak ada diketahui di kalangan para Nabi hanya semata-mata saling menghormati, tapi mereka memperjuangkan kebenaran sebagaimana mereka bersemangat untuk mengamalkannya. Mereka tidak takut kepada celaan orang yang mencela, kebencian dan pemerintah walau akhirnya terjadi peperangan, hijrah dan pembunuhan jiwa. Sedangkan Jama’ah Tabligh tidak pernah diketahui kalau mereka melakukan hal yang demikian, yaitu bersikap dengan sikap para rasul ‘alaihimus shalatu was salam dalam berdakwah, mengajak kepada kerincian syariat yang ushul dan furu’nya. Sedangkan mereka (tabligh) hanya sebatas khuruj dan global [7] dalam dakwah. Orang-orang yang ikut khuruj bersama mereka tidak mendapatkan pemahaman yang benar tentang Islam atau pengetahuan tentang hal-hal yang rinci dalam agamanya. Dakwah yang demikian ini tidaklah mengikuti Sunnah para rasul ‘alaihimush shalatu was salam.”
Kelima: Mereka meremehkan ilmu dan ulama serta melarang pengikut-pengikutnya untuk menuntut ilmu dan duduk belajar kepada para ulama kecuali yang mendukung mereka. Dan itu dinyatakan terang-terangan. Maka meratalah kebodohan dan menyebarlah keruntuhan ilmu di kalangan mereka. Jadilah perasaan, bisikan hati, mimpi-mimpi, keramat-keramat dan keajaiban-keajaiban sebagai ukuran baik buruk segala permasalahan di kalangan mereka. Akibatnya timbullah kesalahan yang inilah akibatnya.” (Waqafat hal. 29).
“Al Ustadz Saifurrahman berkata (dalam Nadhrah ‘Abirah I’tibariyyah Haulal Jama’atit Tabligh hal. 60 dengan ringkas): Sesungguhnya orang-orang Tabligh membangun agama mereka di atas kejahilan (kebodohan), beriman kepada khurafat-khurafat dan hikayat-hikayat, mencintai kebodohan dan orang-orang bodoh, lebih mempercayai orang-orang yang bodoh daripada para ulama kaum muslimin serta memerangi ilmu dan para ulama.” (Al Qaulul Baligh Fit Tahdzir min Jama’atit Tabligh, Hummud At Tuwaijiri hal. 201).
Keenam: Berdakwah mengajak manusia kepada agama Allah tanpa berdasarkan ilmu dan bashirah. Ini menjadi sebab yang paling besar menyeret kepada penyimpangan. Karena mereka mengajak manusia kepada sesuatu yang mereka sendiri tidak paham. Maka orang yang tidak memiliki sesuatu tentu tidak akan bisa memberi kepada yang lain. Inilah mereka, mereka mengajak manusia kepada Islam, mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi ternyata mereka malah tidak tahu dan tidak faham tentangnya. Bahkan sebenarnya mereka sendiri yang sangat perlu dididik dan didakwahi[8]. Di dalam Al Qur’an dinyatakan (yang artinya): “Katakanlah: Inilah jalanku. Aku mengajak manusia kepada Allah di atas ilmu dan juga orang yang mengikutiku.” (Yusuf: 108).
Yaitu, dakwah yang aku dakwahkan adalah jalanku dan sunnahku. Dan orang yang mengikutiku juga berdakwah seperti aku berdakwah di atas hujjah (dalil) yang jelas, keyakinan dan bukti.
Imam Asy Syaukani berkata dalam tafsirnya Fathul Qadir ketika membicarakan ayat ini: “Di dalam ayat terdapat dalil bahwa setiap orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib pula atasnya untuk mengikuti beliau dalam berdakwah kepada Allah, yaitu berdakwah untuk beriman kepadaNya, mentauhidkan-Nya dan beramal dengan apa-apa yang disyari’atkan untuk hamba-hamba-Nya (dengan ilmu syari’at Allah –pent).
Ayat-ayat tentang keutamaan ilmu dan para ulama banyak sekali. Allah berfirman (yang artinya): “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu? Hanya sanya orang yang mengambil peringatan adalah ulul albab.” (Az Zumar: 9).
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin, laki-laki dan wanita.” (Muhammad: 19).
Dan dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Siapa yang dikehendaki Allah kebaikan padanya, Dia jadikan hamba tersebut memahami agama.” (HR. Bukhari).
Ketujuh: Mereka banyak berdalil dengan hadits-hadits dha’if (lemah) dan palsu serta yang tidak ada asalnya. Mereka beralasan dalam hal itu dengan pendapat para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits-hadits yang dha’if, tapi menghempaskan syarat-syarat kebolehan menggunakan hadits-hadits tersebut ke tembok. Ini kalau kita berbaik sangka bahwa mereka mengetahui syarat-syarat itu. Tapi sangat kecil sekali kemungkinan mereka mengetahuinya. Kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. Itu karena mereka tidak belajar, maka akibatnya tidak bisa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak serta palsu. Mereka mengambil semua hadits yang dianggap shohih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkannya dan menyuruh orang lain mengamalkannya. Maka mereka menambah dalam agama Allah apa-apa yang bukan darinya. Dan menyandarkan kepada Rasulullah apa-apa yang tidak beliau katakan dengan mempromosikan hadits-hadits lemah dan palsu ini. Dan Nabi telah bersabda (yang artinya): “Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silahkan dia menyiapkan tempatnya di neraka.” (HR. Ahmad dan enam serta yang lainnya. Dan ini hadits yang mutawatir.)
Maka hendaklah seorang muslim khawatir dalam masalah ini kalau dia menimbulkan bencana, bid’ah-bid’ah dan penyimpangan-penyimpangan. Dan hendaknya juga berhati-hati kalau dia terjatuh dalam perbuatan berdusta atas nama Rasulullah karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut akibatnya merugikannya padahal dia mengharap pahala, dan menjadi sesat padahal dia mengharapkan hidayah.
Kedelapan: Berhizb-hizb (berkelompok-kelompok) dan mendirikan kelompok sendiri yang menyelisihi manhaj ahlus sunnah wal jama’ah serta mengambil bai’at dari para pengikutnya untuk sang amir. Jadilah individu mereka terpisah dari saudara-saudaranya kaum muslimin, maka dia hanya mengajak orang kepada jama’ahnya. Dia membenci dan mencintai, berwala’ dan bermusuhan karena jama’ahnya. Tidak ada yang benar kecuali yang disetujui oleh kelompoknya walau bagaimanapun kesalahannya.
Dia menganggap tidak ada jalan untuk berdakwah kecuali hanya melalui kelompok-kelompok hizbiyahnya sebagaimana yang dilakukan jama’ah tabligh dan yang lainnya.
Permasalahan ini termasuk hal yang paling berbahaya yang menimpa para da’i dan para pengikutnya. [9] Mereka memandang wala` dan bara` dilakukan terhadap orang lain menurut ukuran dekatnya atau jauhnya mereka dari manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah yang mana dia adalah kelanjutan sejarah syari’at di masa sahabat, tabi’in, dan para salaf ummat ini. Kita yang berada di kerajaan Saudi mengharap agar kita menjadi manusia yang paling dekat kepada manhaj ini khususnya kelanjutan dakwah ishlah yang memperbaharui yang dilaksanakan oleh syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan bantuan Imam yang sholih, Muhammad Su’ud. Marilah kita memegang teguh dasar-dasar dan manhaj dakwah salafiyyah ini hingga kita menjadi sebuah jama’ah saja yang berada di atas manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah. Dan hingga kita tidak memecah-belah menjadi beberapa jalan yang dialiri hawa nafsu yang berakibat kita menjadi orang-orang yang memecah agama mereka dan bergolong-golongan.
Ini adalah kesalahan-kesalahan yang paling tampak dan penting yang saya peringatkan di kesempatan ini.
Dan hendaklah pembaca tahu bahwa saya hanya memperingatkan tentang kesalahan bersifat manhaj yang terjadi di kalangan Jama’ah Tabligh dan yang menyelisihi manhaj Ahlus sunnah wal jama’ah tanpa membahas kesalahan yang dilakukan individu-individunya. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada yang selamat dari kesalahan manhaj ini dari individu-individu jama’ah ini kecuali sangat sedikit sekali.
Dan ada sebagian orang yang bergabung dengan mereka karena mencintai mereka (sebagai sandaran kaum muslimin, -pent) dan berbaik sangka kepada mereka, dan ketika itu terbukalah tirai yang selama ini menutup mereka hingga jelas kesesatan mereka. Maka hendaklah dia keluar meninggalkan mereka dan berhati-hati terhadap mereka.
Semoga Allah merahmati para salaf ummat ini dari kalangan Ahlus sunnah wal jama’ah yang selalui bersikap terang-terangan terhadap ahli bid’ah dalam menjauhi, memusuhi dan memperingatkan manusia dari kejahatan mereka. Dan membongkar keyakinan-keyakinan busuk ahli bid’ah, akan saya bawakan sebagian nash-nash (keterangan) tentang hal itu.
SEBAGIAN RIWAYAT TENTANG PERINGATAN PARA SALAF AGAR JANGAN DUDUK DAN BERGAUL DENGAN AHLI BID’AH
Sebelum saya membawakan sebagian riwayat dari para salaf tentang larangan duduk dan bergaul dengan ahli bid’ah akan saya bawakan riwayat dari ibu kita Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat: “Dia yang menurunkan kepadamu al kitab. Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat (jelas) dan itu adalah induk kitab dan yang lainnya adalah mutasyabihat (samar)” hingga ayat: “Dan tidak ada yang mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” (Ali Imran: 7). Maka beliau bersabda: Bila kalian melihat orang-orang yang mencari-cari ayat-ayat yang mutasyabihat, maka merekalah yang disebutkan Allah dalam ayat ini dan berhati-hatilah terhadap mereka. (HR. Bukhari dan yang lainnya).
Adapun dari atsar adalah ucapan Al Hasan dan Ibnu Sirin, keduanya berkata: “Janganlah kalian duduk bersama para pengikut hawa nafsu, mendebat mereka dan jangan mendengar ucapan mereka.” (Riwayat Ad Darimi dalam sunannya 1/110 dan Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus sunnah wal jama’ah 1/133).
Abu Qilabah berkata: “Jangan kalian duduk dan bergaul dengan ahlul bid’ah, karena aku merasa tidak aman kalau mereka akan membenamkan kalian dalam kesesatan dan mengaburkan kepada kalian banyak hal yang telah kalian ketahui.” (Riwayat Ad Darimi 1/108 dan Al Lalika’i 1/134).
Yahya bin Abi Katsir berkata: “Kalau engkau berpapasan dengan Ahli bid’ah di satu jalan, maka carilah jalan lain.” (Riwayat Al Lalika’i 1/1137).
Abdullah bin Al Mubarak berkata: “Hendaklah majlismu bersama orang-orang miskin dan janganlah engkau bermajlis dengan Ahlul bid’ah.” (Al Lalika’i 1/137).
Al Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Siapa yang didatangi oleh seseorang dan meminta pendapatnya tapi dia malah menyuruh orang yang datang itu untuk mendatangi Ahli bid’ah, berarti dia telah menipu Islam. Hati-hati, jangan mendatangi Ahli bid’ah, karena mereka menghalangi kalian dari kebenaran.” (Al Lalika’i 1/137).
Beliau berkata juga: “Jangan engkau duduk bersama Ahlul bid’ah, karena aku takut laknat Allah turun kepadamu.” (Al Lalika`i 1/137).
Beliau berkata lagi: “Aku menemui manusia yang baik-baik, mereka semua adalah Ahlus sunnah dan mereka melarang bergaul dengan ahlul bid’ah.” (Al Lalika`i 1/138).
Ibrahim bin Maisarah berkata: “Siapa yang menghormati Ahli bid’ah, berarti dia telah membantu untuk menghancurkan Islam.” (Al Lalika’i 1/139).
Al Hasan Al Bashri berkata: “Melaknat Ahlul bid’ah dan orang fasiq karena kefasikannya bukan termasuk ghibah.” (Al Lalika’i 1/140).
Ada seseorang bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang sesuatu tapi dia tidak menjawabnya. Ada yang menanyakan tentang sikapnya itu kepadanya, maka dia mengatakan: “Dia (si penanya) adalah Azayisyan (dalam bahasa Persia yang berarti dari mereka, yaitu dari ahlul bid’ah).” (Ad Darimi 1/109).
Mujaddid abad 20, syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam risalahnya kepada penduduk Qashim yang berisi tentang aqidahnya: “Dan saya berpendapat bahwa ahlul bid’ah harus diisolir dan dijauhi hingga mereka bertaubat.” (Rasa’ilusy Syakhshiyyah hal. 11 yang berisi kumpulan karangan-karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikumpulkan oleh Universitas Al Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyyah).
Dan riwayat-riwayat tentang hal itu banyak sekali, maka dimana kedudukan orang-orang yang menyuruh para pemuda muslim dan orang awam yang mereka tidak memiliki ilmu untuk bergaul dengan jama’ah Tabligh dan mengambil ilmu dari mereka (padahal kelompok ini adalah ahlul bid’ah, -pent). Di mana kedudukan mereka di hadapan nash-nash (keteranga-keterangan) ini.
Hendaklah mereka takut kepada Allah karena para pemuda ini agamanya akan menjadi kabur dan hendaklah takut kepada ayat Allah yang berbunyi (yang artinya):“Hendaklah mereka memikul dosa-dosa mereka secara sempurna dan dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak tahu sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah, amat buruk sekali apa yang mereka pikul itu.” (An Nahl: 25).
(Waqafat hal. 17-41 dengan beberapa ringkasan)
[1] Untuk selanjutnya disebut firqah
[2] Telah diterangkan di edisi yang lalu bahwa pendiri Firqah Tabligh ini adalah seorang penganut tarikat sufiyah Naqsyabandiyah yang salah satu pemahaman yang amat bahaya ialah apa yang dinamakan Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa Allah menyatu dengan hambaNya yang dicintaiNya bila hamba tersebut telah mencapai tingkatan kewalian tertentu.
[3] Mereka istilahkan ilmu-ilmu tersebut sebagai ilmu Masa`il yang mereka anggap bisa menjadi sumber perpecahan di kalangan ummat.
[4] Ilmu yang dimaksud di sini ialah memahami Al-Qur`an dan Hadits dengan pemahaman Salafus Shalih.
[5] (Meninggalkan rumah) negeri dalam rangka menyeru kaum muslimin untuk ikut bersama gerakan sufiyah mereka.
[6] Yakni mendakwah dengan apa-apa yang mereka anggap sebagai kewajiban khuruj atas kaum muslimin.
[7] Yaitu seruan-seruan yang bersifat umum yang kiranya bisa diterima oleh semua pihak seperti: shalat, Ukhuwah Islamiyyah dan lain-lain tanpa merincinya menurut tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[8] Ada salah seorang mereka yang memberi nasehat kepada kami di Masjid Sakrinah setelah shalat fajar. Dia menceritakan dengan terbata-bata bahwa dia mendapat hidayah melalui jama’ah ini sejak beberapa bulan yang lalu ketika berada di Amerika dan dia langsung menghentikan belajarnya dan khuruj untuk berdakwah di jalan Allah! Lihatlah, bagaimana dia berpindah dari kefasikan dan kerusakan kepada berdakwah langsung tanpa didasari ilmu dan bashirah serta kemampuan untuk menasehati. Hanya kepada Allah tempat mengadu dari kebodohan kuadrat ini.
Mengapa mereka tidak memasuki rumah dari pintu-pintunya dengan belajar ilmu kepada para ulama dan memahami agama Allah sebelum berdakwah di jalan Allah.
[9] Yang ana pahami dari susunan kalimat di paragraf ini seperti terdapat kalimat yang terputus / hilang, wallahu a’lam, -nas.
Sumber: Buletin Islamy Al Manhaj edisi VI/1419 H/1998 M
Penulis: Al Ustadz Muhammad ‘Ali ‘Ishmah Al Medani
Kamis, 17 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar