Marah adalah sikap yang segera ditunjukkan para ulama Salaf kepada orang-orang yang suka membantah Sunnah Nabi.
Para ulama Salaf adalah orang-orang yang sangat tinggi ghirah-nya (semangatnya) terhadap Sunnah Nabi. Mereka makmurkan jiwa mereka dengan As Sunnah sehingga tatkala muncul dari seseorang sikap menyangkal As Sunnah atau enggan untuk tunduk terhadap aturan As Sunnah, secara spontan mereka ingkari dengan pengingkaran yang tegas sebagai hukuman dan peringatan. Hal itu nampak jelas dalam kisah-kisah yang sampai kepada kita, di antaranya:
Ketika Abdullah bin Umar mengatakan saya mendengar Nabi bersabda:
“Jangan kalian larang istri-istri kalian ke masjid jika mereka minta ijin ke sana,” maka Bilal bin Abdillah mengatakan: ‘Demi Allah aku sungguh-sungguh akan melarang mereka.’ Maka Abdullah bin Umar menghadap kepadanya dan mencaci makinya. (Yang meriwayatkan kisah ini mengatakan: ‘Saya tidak pernah mendengar dia mencaci maki seperti itu sama sekali.’). Dan mengatakan, aku katakan kepadamu ‘Bersabda Rasulullah’ lalu kamu katakan ‘Demi Allah aku akan melarang mereka?!’ (Shahih, HR Muslim no. 988)
Kejadian lain dialami oleh sahabat Ubadah bin Ash Shamit ketika beliau menyebutkan bahwa Nabi melarang menukar satu dirham dengan dua dirham dan ada seseorang yang mengatakan: “Menurut saya, itu tidak mengapa jika kontan.” Maka Ubadah mengatakan: “Saya katakan bersabda Rasulullah dan kamu katakan: ‘Menurut saya tidak mengapa?!’. Demi Allah jangan sampai ada satu atap menaungi saya dan kamu.” (Shahih, HR Ad Darimi 1/118 dan Ibnu Majah 1/20 no.18, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani, Ta’dhimus Sunnah, 37)
Sahabat yang lain yaitu Abu Said Al Khudri mengatakan kepada seseorang: “Apakah kamu mendengar saya menyampaikan hadits dari Nabi:
“Jangan kalian tukar uang dinar dengan uang dinar jangan pula dirham dengan dirham kecuali sama ukurannya dan jangan kalian tukar dengan cara yang tidak kontan.” Lalu kamu berfatwa dengan apa yang kamu fatwakan (yakni berbeda dengan hadits)!! Demi Allah jangan sampai ada yang menaungi aku dan kamu selama hidupku kecuali masjid.” (Al Ibanah Ibnu Baththah hal. 95, Ta’dhimus Sunnah hal. 39)
Begitu tegas sikap para sahabat Nabi terhadap orang-orang yang menyangkal hadits. Hal itu tidak lain karena kedalaman ilmu mereka tentang kedudukan Sunnah Nabi dalam syariat dan ilmu tentang bahayanya sikap penentangan semacam ini dibarengi dengan kecemburuan yang tinggi terhadap Sunnah. Barangkali sepintas sebagian kita membaca kisah itu nampak begitu keras atau kaku sikap mereka dan tak kenal kompromi dan dipandang oleh sebagian orang tidak pantas dilakukan. Tapi cobalah kita menengok sejenak bahwa contoh tersebut adalah perbuatan para sahabat Nabi, orang–orang terbaik umat ini dengan rekomendasi dari Allah dan Rasul-Nya. Justru yang tidak pantas adalah ketika kita mengatakan bahwa perbuatan mereka itu tidak pantas. Penilaian seperti itu tentu karena kurangnya ilmu kita tentang kedudukan Sunnah Nabi, juga karena ghirah keagamaan yang lemah dari dalam hati sanubari dan karena tidak menangkap bahayanya perbuatan lancang semacam ini. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Oleh karenanya kita perlu introspeksi diri sekaligus berhati-hati karena kita hidup di zaman yang kondisinya sangat jauh dari norma-norma kenabian. Sunnah Nabi begitu asing untuk kita terapkan sehingga didapati hakekat-hakekat telah terbalik, sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud:
“Bagaimana dengan kalian jika fitnah yang membuat pikun orang dewasa dan membuat anak kecil menjadi besar itu menyelimuti kalian? Bahkan manusia justru menjadikan (sesuatu yang bukan Sunnah) sebagai Sunnah. Jika ditinggalkan sedikit saja darinya akan dikatakan: ‘Sunnah telah ditinggalkan.’” Orang-orang bertanya kepada Ibnu Mas’ud: “Kapan itu terjadi?” Diapun menjawab: “Jika ulama kalian telah pergi, pembaca Al Qur’an semakin banyak tapi ahli fikih semakin sedikit, pimpinan kalian semakin banyak, orang yang jujur semakin sedikit dan dunia dicari dengan menggunakan amalan akhirat serta selain ilmu agama (semakin banyak) dipelajari.” (Shahih, Riwayat Ad Darimi: 1/64 dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Qiyamu Ramadhan)
Penulis : Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Rabu, 09 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar