بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sebuah realita yang amat menyedihkan kita semua, banyaknya masjid
yang dibangun oleh kaum muslimin, lalu dijadikan tempat untuk
menguburkan mayat. Bila anda berjalan-jalan di sulawesi dan lainnya,
maka mata anda akan banyak menyaksikan kubur di dalam lokasi masjid atau
masjid di dalam kuburan. Dengan kata lain, entah masjid lebih dahulu,
lalu kubur berikutnya, atau kubur lebih dulu, lalu dibuat masjid
setelahnya. Padahal perkara seperti ini adalah perkara yang terlarang,
karena di dalam Islam, tak boleh menyatukan kubur dan masjid dalam
sebuah lokasi.
Terjadinya penyatuan masjid dan kubur nanti terjadi setelah zaman
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat. Perkara seperti
ini bukanlah kebiasaan kaum muslimin, bahkan kebiasaan ahlul Kitab dan
kaum penyembah makhluk. Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
bersabda,
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kubur-kubur nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)“.[HR. Al-Bukhari (435) dan Muslim (531)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Tujuan
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah mencela kaum Yahudi dan
Nashoro, karena mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai
tempat-tempat ibadah”. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (6/607) karya Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, dengan tahqiq Asy-Syibl, cet. Dar As-Salam, 1421 H]
Hadits ini berisi ancaman keras bagi orang yang menjadikan kubur
sebagai tempat ibadah, apakah kubur itu dalam masjid, ataukah masjid
dalam kuburan. Karenanya, kami mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin
(khususnya kepada seluruh pengurus atau panitia masjid) agar mereka
takut kepada Allah dan jangan sampai membangun masjid di kuburan atau
memasukkan kubur dalam lokasi masjid sampai kalian pun terkena laknat
Allah sebagaimana yang menimpa ahli Kitab. Adapun jika ada yang
berwasiat (baik itu imam masjid, pemilik masjid atau yang lainnya) agar
ia dikuburkan di lokasi masjid, maka wajib hukumnya menolak wasiat itu
dan haram mentaati atau melaksanakan isi wasiat itu. Sebab tak ada
ketaatan kepada makhluk dalam mendurhakai Allah. Jadi, tidak semua
wasiat wajib ditunaikan, bahkan sebagiannya haram ditunaikan bila ia
adalah perkara yang menyelisihi syariat. [Baca: Buletin At-Tauhid dengan judul “Sholat di sisi Kuburan”, (edisi 93)]
Para pembaca yang budiman, apa yang kami nyatakan berupa haramnya dan
dibencinya membangun masjid di kubur, atau mengubur dalam lokasi
masjid, semua ini bukanlah pendapat kami semata, bahkan ia adalah
pernyataan dan fatwa para ulama dari zaman ke zaman sebagaimana
paparannya berikut ini:
ÿ Fatwa Mufti Al-Azhar Mesir, Syaikh Athiyyah Shoqr (1997 M)
Penanya berkata, “Apa pandangan agama tentang masjid-masjid yang di dalam ada kubur?”
Syaikh Athiyyah Shoqr -rahimahullah- menjawab
setelah membawakan hadits-hadits yang menyebutkan laknat Allah kepada
ahli Kitab seperti hadits di atas, “Diambil kesimpulan dari perkara
ini bahwa Islam tidaklah menyepakati sesuatu yang dilakukan oleh Yahudi
dan Nasrani berupa pembangunan masjid di atas kubur dan menjadikannya
sebagai tempat ibadah”. [Lihat Fataawa Al-Azhar (9/31)- Syamilah]
ÿ Fatwa Guru Besar Al-Azhar dan Anggota Ulama Besar Mesir, Syaikh Ali Mahfuzh
Syaikh Ali Mahfuzh -rahimahullah- salah
satu diantara ulama besar Mesir yang mengharamkan pembangunan masjid di
atas kubur atau memasukkan kubur dalam lokasi masjid. Kali ini kami akan
membawakan fatwa beliau secara ringkas dalam sebuah kitabnya yang
mengulas tentang bid’ah, beliau berkata, “Diantara bid’ah,
menjadikan kubur sebagai tempat ibadah dengan cara melaksanakan sholat
kepadanya. Rahasia tentang perkara itu, bahwa mengkhususkan kubur dengan
sholat di sisi kubur adalah menyerupai pengagungan terhadap
berhala-berhala dengan melakukan sujud menghadap kepadanya dan
mendekatkan diri kepadanya. Diantara bid’ah, membangun masjid di atas
kubur”. [Lihat Al-Ibdaa’ fi Madhoorril Ibtidaa’ (hal. 183-184), karya Ali Mahfuzh, dengan tahqiq Sa’id bin Nashr bin Muhammad, cet. Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, 1421 H]
ÿ Fatwa Syaikh Muhammad Ath-Thohir Ibnu Asyur Al-Malikiy, Pimpinan para Mufti di Negeri Tunisia (wafat 1393 H)
Ulama dari negeri Tunisia, Al-Imam Muhammad Ath-Thohir Ibnu Asyur Al-Malikiy -rahimahullah- telah mengeluarkan pernyataan dalam sebuah kitabnya yang berjudul “At-Tahrir wa At-Tanwir” (8/353), “Membuat
masjid di atas kubur dan sholat di atasnya adalah perkara yang
terlarang, karena hal itu merupakan jalan yang akan mengantarkan kepada
peribadatan kepada penghuni kubur atau ia menyerupai perbuatan kaum yang
menyembah orang-orang sholih yang ada dalam agama mereka. Jalan
pengantar (menuju peribadatan tersebut) khusus pada orang-orang mati,
karena sesuatu yang melanda umatnya berupa kesedihan atas kepergiannya
adalah perkara yang akan mendorong mereka untuk berlebihan dalam
perbuatan mereka yang mereka anggap sebagai pemuliaan bagi penghuni
kubur sepeninggalnya. Kemudian perkara seperti ini pun mulai dilupakan
dan manusia pun akhirnya menyangka bahwa perbuatan (dilakukan berupa
pemuliaan dan pengkultusan) karena keistimewaan yang ada pada diri si
mayat. Pembangunan masjid di atas kubur adalah jalan hidupnya kaum
nasrani (kristen). Kalau itu adalah syariat mereka, maka sungguh Islam
telah menghapusnya. Bila kebiasaan itu adalah bid’ah, maka itu memang
pantas bagi mereka”.
ÿ Pernyataan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, Seorang Ulama Syafi’iyyah (wafat 852 H) dan Komentar Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
A’isyah -radhiyallahu ‘anha- berkata, “Pada suatu hari Ummu
Salamah menceritakan pengalamannya kepada Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- tentang sebuah gereja bernama Gereja Mariyah yang
pernah ia saksikan di Habasyah (Ethiopia) yang penuh dengan gambar
makhluk (manusia). Lalu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda,
أُوْلَئِكَ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ
بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ثُمَّ صَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ
الصُّوْرَةَ أُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ
“Mereka adalah kaum yang apabila ada seorang yang shalih atau
yang baik diantara mereka meninggal dunia, mereka membangungkan masjid
di atas kuburannya dan membuat patung-patung di dalamnya. patung-patung
itu. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (434 & 1341), Muslim dalam Shohih-nya (568)]
Ketika mengomentar hadits ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Sungguh
orang yang memandang harusnya menutup jalan (menuju kesyirikan) akan
menyatakan larangan (dari melaksanakan sholat di kubur). Pendapat ini
disini tepat lagi kuat”. [Lihat Fathul Bari (3/266)]
Syaikh bin Baaz -rahimahullah- berkata saat memberikan ta’liq (komentar) bagi ucapan Al-Hafizh di atas, “Inilah
pendapat yang benar berdasarkan keumuman hadits-hadits yang datang
dalam melarang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah dan adanya laknat
bagi orang yang melakukannya, dan karena pembangunan masjid di atas
kubur termasuk sarana terbesar bagi kesyirikan (menyekutukan Allah)
dengan orang (mayat) yang dikubur disitu”. [Lihat Fathul Bari Syarah Shohih Al-Bukhoriy (3/266), cet. Darus Salam, 1421 H]
Terlarangnya pembangunan masjid di atas kubur atau melakukan
penguburan dalam lokasi masjid adalah perkara yang jelas keharamannya,
karena ia adalah dzari’ah (jalan) dan wasilah (sarana)
yang mengantarkan kepada kemusyrikan dan penyembahan mayat. Walaupun
yang dikubur disitu bukan orang sholih, maka itu juga tetap dilarang,
demi menutup pintu kesyirikan dan penyembahan kepada makhluk. Sebab
manusia bila melihat mayat dikuburkan dalam masjid, maka suatu saat
(cepat atau lambat) akan ada orang yang menyatakan bahwa mayat itu
dikubur di masjid karena punya keistimewaan, berupa kesholihan,
ketaqwaan, kebaikan, atau ia dianggap wali. Sehingga lambat laun manusia
pun melakukan ziarah dan ritual ibadah di sisinya sebagaimana yang
terjadi pada kaum Nabi Nuh yang menyembah kubur orang-orang sholih
mereka.
Semua jalan yang mengantarkan kepada kerusakan, baik itu syirik,
kekafiran, dosa dan maksiat, maka pasti syariat akan menutup dan
melarangnya. Karenanya, sholat di masjid yang ada kuburnya sama dengan
sholat di kuburan, sebab keduanya merupakan perkara yang akan
mengantarkan kepada pengkultusan kepada penghuni kubur, cepat atau
lamban!!
Imam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, “Aku
tidak senang ada makhluk yang dikultuskan sehingga kuburnya dijadikan
sebagai masjid (tempat ibadah). Hal ini sangat dikhawatirkan bisa
menimbulkan fitnah (musibah) sepeniggal Rasulullah -Shallallahu alaihi
wa sallam-”. [Lihat Al-Umm (1/246)]
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi -rahimahullah- berkata, “Sungguh
kami telah meriwayatkan (hadits) bahwa permulaan penyembahan arca
adalah pengagungan terhadap orang mati dengan cara membuat gambar mereka
dan sholat di sisinya. Demikianlah yang dilakukan oleh manusia (pada
hari ini) pada kuburan orang-orang sholih mereka”. [Lihat Al-Mughniy (2/508)]
Disinilah hikmahnya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang
sholat di sekitar kuburan. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
bersabda,
لا تُصَلُّوا إِلَى قَبْرٍ، وَلا تُصَلُّوا عَلَى قَبْرٍ
“Janganlah kalian sholat menghadap kubur dan jangan pula sholat di atasnya”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (10/68)-Syamilah. Syaikh Al-Albaniy men-shohih-kannya dalam Ash-Shohihah (no. 1016)]
ÿ Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin
Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya tentang jawaban bagi
syubhat orang-orang yang menyamakan masjid yang ada kuburnya dengan
Masjid Nabawi, Madinah. Mereka menyatakan bahwa andaikan haram, maka
pasti kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tak akan dimasukkan ke
masjid.
Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam menjawab syubhat ini, “Jawaban bagi hal itu dari beberapa sisi.
Pertama,
bahwa Masjid Nabawi tidaklah dibangun di atas kubur Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-, bahkan ia dibangun saat Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- masih hidup.
Kedua, bahwa Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah dikubur dalam Masjid Nabawi
sehingga dikatakan, “Ini termasuk penguburan orang sholih dalam masjid”,
bahkan beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- dikubur di rumahnya.
Ketiga,
bahwa dimasukkannya rumah-rumah Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam-
(diantaranya, rumah A’isyah) ke dalam masjid, bukanlah kesepakatan para
sahabat. Bahkan setelah meninggalnya mayoritas sahabat, yaitu pada
sekitar tahun 94 H. Itu bukanlah termasuk perkara yang dibolehkan oleh
para sahabat, bahkan sebagian mereka menyelisihi dalam perkara itu.
Diantara orang yang menyelisihi hal itu, Sa’id bin Al-Musayyib.
Keempat,
bahwa kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bukanlah di masjid
sampaipun setelah dimasukkan, sebab kubur beliau di sebuah ruangan
(rumah) yang terpisah dari masjid. Jadi, masjid Nabawi tidaklah di
bangun di atas kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Oleh
karenanya, tempat ini (yakni, kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-)
jadi terjaga dan diliputi oleh tiga dinding. Lalu dinding itu dibuat
dalam sebuah sudut yang menyerong dari kiblat, yakni dindingnya
berbentuk segi tiga, dan juga tiangnya di sebelah utara sehingga tidak
dihadapi oleh manusia, bila ia sholat, karena ia menyerong. Dengan ini,
hancurlah hujjah pengagung kuburan dengan menggunakan syubhat ini”.
[Lihat Fataawa Arkaan Al-Islaam (hal. 165-166)]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy
-rahimahullah- bahkan menyatakan bahwa di zaman itu tak ada lagi seorang
sahabat pun di negeri Madinah yang hidup dan menyaksikan masuknya rumah
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ke dalam masjid sehingga syubhat di
atas tak bisa dijadikan hujjah, sebab hujjah hanyalah terambil dari
Al-Kitab dan Sunnah menurut pemahaman para sahabat. Selain itu, Syaikh
Al-Albaniy (Ahli Hadits Negeri Syam) juga menegaskan (setelah
mengutarakan sebagian alasan-alasan di atas) bahwa keutamaan Masjid
Nabawi akan hilang bila terlarang sholat di dalamnya. Berbeda dengan
masjid selainnya yang ada kuburnya, bila ditinggalkan, maka seseorang
masih memiliki kesempatan meraih pahala di masjid lain, seperti pahala
yang ia dapatkan di masjid yang ada kuburnya tersebut, bahkan mungkin
pahalanya lebih besar lagi!! [Lihat Tahdzir As-Sajid (hal. 178)]
Selain itu, para nabi –alaihimush sholatu was salam- bila meninggal
dunia, maka mereka dikuburkan ditempat mereka meninggal, tak boleh
dipindahkan. Adapun selain nabi (misalnya, orang-orang yang dikuburkan
di dalam masjid), maka ia berbeda dengan para nabi, bahkan haram
mengubur mereka dalam masjid, dan wajib dipindahkan atau kuburnya
dibongkar bila sudah terlanjur dikuburkan di masjid. [Lihat Fataawa Al-Azhar (9/31)-Syamilah, dan Tahdzir As-Sajid (hal. 61) oleh Al-Albaniy, cet. Maktabah Al-Ma’aarif, 1422 H]
Intinya, bahwa rumah A’isyah yang berisi kubur Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- masuk dalam perluasan masjid, bukanlah perintah dan
izin dari para sahabat. Itu hanyalah tindakan Kholifah Al-Walid bin
Abdil Malik bin Marwan Al-Umawiy, setelah meninggalnya para sahabat di
Madinah. Jadi,meng-qiyas-kan (menyamakan) Masjid Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dengan masjid lain yang ada kuburnya adalah qiyas
(analogi) batil!!!
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit :
Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe,
Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab :
Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu
Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk
berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201)
sumber : http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/masjid-vs-kuburan.html
subhaanallaah, semoga bermanfa'at, jazaakumullaah hasanal jazaa, jazaa an katsiirrrr..
BalasHapus