Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak
Sufi, adalah salah satu kelompok sempalan
tempat beragam penyimpangan dari ajaran syariat ini berhuni. Salah satu
ajaran menyimpang yang menonjol adalah tabattul (hidup
membujang). Diyakini oleh penganut sufi, dengan “cara beragama” seperti
ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Benarkah?
Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah disyariatkannya nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis
kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Nikah termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung. Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan bagi hamba-Nya dan menjadikannya sebagai sarana serta jalan menuju kemaslahatan dan manfaat yang tak terhingga.” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 4/331)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya dengan lafadz perintah dalam beberapa ayat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
“Dan jika kalian takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (An-Nisa`: 3)
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ
يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari
hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui.” (An-Nur: 32)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ
مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ،
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ،
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa di
antara kalian telah mampu untuk menikah hendaknya menikah, karena itu
akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang
tidak mampu, hendaknya berpuasa karena itu adalah pemutus syahwatnya.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata kepada Sa’id bin Jubair rahimahullahu: “Menikahlah, karena orang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya.” (Dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya)
Bahkan para ulama menyatakan, seorang yang khawatir terjatuh dalam zina maka dia wajib menikah. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Nikah
menjadi wajib atas seorang yang khawatir terjatuh dalam zina jika
meninggalkannya. Karena, itu adalah jalan bagi dia untuk menjaga diri
dari perbuatan haram. Dalam keadaan seperti ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
berkata: “Jika seseorang telah perlu menikah dan khawatir terjatuh
dalam kenistaan jika meninggalkannya, maka harus dia dahulukan dari
amalan haji yang wajib.” (Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/258)
Seorang yang menikah dengan niat menjaga kehormatan dijamin oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ
الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Tiga golongan yang Allah akan
menolong mereka: budak yang hendak menebus dirinya, seorang yang menikah
untuk menjaga kehormatannya, dan seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa`i, Kitabun Nikah, Bab Ma’unatullah An-Nakih Al-Ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3166)
Janganlah seseorang meninggalkan
pernikahan karena mengikuti bisikan setan, dengan dibayangi kesulitan
ekonomi, padahal dia telah sangat ingin menikah serta takut terjatuh
dalam maksiat. Bertawakallah dengan disertai ikhtiar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjamin orang yang benar-benar bertawakal kepada-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakal kepada-Nya pasti Dia akan menjadi Pencukupnya.” (Ath-Thalaq: 3)
Tabattul ala Shufiyah (Sufi)
Tabattul adalah meninggalkan wanita dan pernikahan dengan dalih untuk fokus beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tabattul adalah keyakinan Shufiyah yang menyelisihi prinsip Islam.
Al-Imam Ahmad rahimahullahu
berkata: “Hidup menyendiri bukanlah termasuk ajaran Islam.” Beliau juga
berkata: “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak menikah, maka dia telah
menyeru kepada selain Islam. Jika seorang telah menikah, maka telah
sempurna keislamannya.” (lihat ucapan beliau dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah rahimahullahu)
Apa yang beliau sebutkan didasari banyak dalil. Di antaranya, ketika ada tiga orang datang ke rumah sebagian istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya tentang ibadah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika kembali, sebagian mereka menyatakan: “Aku akan puasa terus
menerus dan tidak akan berbuka.” Yang lain berkata: “Aku akan shalat
malam, tidak akan tidur.” Dan sebagian lagi berkata: “Aku tak akan
menikah dengan wanita.” Ketika sampai ucapan ketiga orang ini kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا: كَذَا
وَكَذَا؟! لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ،
وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kenapa ada orang-orang yang berkata
ini dan itu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga
berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku,
dia tidak di atas jalanku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Berpaling dari istri dan anak (tidak mau menikah, pen.) bukanlah perkara yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Bahkan bukan agama para nabi dan rasul. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَلَقْدَ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau dan kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38) [Ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullahu dinukil dari Taudhihul Ahkam]
Sehingga Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu menyatakan bahwa meninggalkan nikah dengan niat sebagai ibadah termasuk bid’ah (yakni bid’ah tarkiyah). (Lihat Al-I’tisham karya Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu)
Dalil-dalil yang Melarang Tabattul
Bahkan telah ada nash-nash khusus melarang tabattul. Dalam Ash-Shahihain, diriwayatkan bahwa Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata:
رَدَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، وَلَوْ أُذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menolak permintaan Utsman bin Mazh’un untuk terus membujang.
Kalau beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا
وَيَقُولُ: تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ
اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Rasulullah memerintahkan kami untuk
menikah dan melarang kami bertabattul. Beliau berkata: ‘Nikahilah oleh
kalian wanita yang subur (calon banyak anak), karena aku akan berbangga
kepada para nabi di hari kiamat dengan banyaknya kalian’.” (Hadits shahih riwayat Ahmad)
Bid’ah Tabattul Menjerumuskan Shufiyah ke dalam Kubangan Maksiat
Pemikiran bid’ah yang ada pada Shufiyah
ini menjerumuskan mereka kepada perkara-perkara yang menghinakan. Kami
akan sampaikan apa yang telah diterangkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu ketika menjelaskan kejelekan-kejelekan Shufiyah. Beliau rahimahullahu berkata:
“…Di antara khurafat Shufiyah adalah mereka mengharamkan atas diri mereka apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan berupa menikah -padahal menikah merupakan sunnah para rasul-. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau serta kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dibuat cinta kepadaku dari dunia kalian minyak wangi dan wanita, serta dijadikan penyejuk mataku adalah shalat.”
Datang tiga orang kepada istri Nabi, bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika diberi kabar sepertinya mereka menganggap sedikit, maka sebagian
mereka berkata: ‘Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.’
Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa dan tak akan berbuka.’ Yang lainnya
lagi berkata: ‘Aku tak akan menikahi wanita.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan diberi tahu tentang ucapan mereka ini. Beliaupun berkata:
أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا،
أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي
أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ،
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kalian yang berkata demikian dan
demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling takut di antara kalian
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan paling bertakwa. Akan tetapi aku
shalat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi
wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan berada di atas
jalanku.”
Rabbul ‘Izzah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ
تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ
اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Ma`idah: 87)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur`an:
يَابَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu
yang indah di setiap shalat, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Mereka menahan diri mereka dari wanita (tidak mau menikah, pen.). Siapakah yang mereka ikuti? (Mereka) mengikuti tokoh-tokoh Nashrani dan ‘abid (para ahli ibadah) dari kalangan Yahudi.
Akan tetapi, ketika mereka enggan kepada wanita, apa yang mereka lakukan? Mereka terfitnah oleh amrad (laki-laki yang wajahnya mirip wanita). Sampai pernah terjadi, seorang (Shufi) kasmaran kepada seorang amrad (sebagaimana dalam kitab Talbis Iblis).
Ketika keduanya dipisah, dia berusaha untuk masuk menemuinya dan
membunuhnya. Kemudian dia menangis di sisinya serta mengaku bahwa dialah
yang membunuhnya. Ketika bapak si anak tersebut datang, diapun berkata:
“Aku yang membunuhnya, aku minta kepadamu dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk meng-qishash-ku.”
Tapi bapak si anak ini memaafkannya. Maka orang ini kemudian melakukan
haji dan menadzarkan pahala hajinya bagi anak tersebut.
Dan yang lebih menjijikkan dari ini adalah ada seorang (dari kalangan Shufiyah, pen.) melakukan perbuatan nista (yakni liwath/homoseksual)
dengan seorang anak kecil. Kemudian dia naik ke atap rumah -kebetulan
rumahnya di atas laut- dan dia lemparkan dirinya (bunuh diri) seraya
membaca ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu.” (Al-Baqarah: 54)
Demikianlah keadaan Shufiyah. Masih banyak lagi kenistaan dan kebobrokan mereka, yakni dalam masalah wanita…” (Al-Mushara’ah, hal. 378-379, dengan sedikit perubahan)
Hendaknya seorang muslim menjaga agamanya
dan mendasari setiap amalnya dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Janganlah
seseorang beramal hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb kalian.” (Al-A’raf: 3)
Ketahuilah, di antara sebab kesesatan
manusia adalah ketika bersandar kepada akal dan perasaannya semata dalam
beragama, seperti apa yang menimpa kaum Shufiyah. Mudah-mudahan kita
senantiasa mendapatkan taufiq sampai akhir hayat kita.
Penyimpangan-penyimpangan dalam Masalah Nikah
Alangkah baiknya kita mengetahui juga
masalah-masalah lain yang merupakan penyimpangan yang ada di sekitar
kita. Perkara yang akan merusak dan mengotori aqidah kita.
Ketahuilah perbuatan syirik besar itu
menggugurkan tauhid seseorang. Kebid’ahan menghalangi kesempurnaan
tauhid seseorang. Sedangkan perbuatan maksiat yang lain akan mengotori
dan menghalangi buah dari tauhid.
Banyak keyakinan, pemikiran, dan amalan
sebagian muslimin yang berkaitan dengan masalah pernikahan telah
menyimpang dari tuntunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara pemikiran dan amalan menyimpang tersebut adalah:
1. Minta jodoh dan anak kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sebagian mereka ketika sulit mendapatkan
jodoh atau anak, pergi ke kuburan atau tempat yang dianggap keramat
untuk minta jodoh atau anak. Atau mereka pergi ke dukun. Padahal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Berdoa adalah ibadah.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Tafsiril Qur`an ‘an Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bab Wa Min Suratil Baqarah, no. 2895)
Tidak boleh berdoa minta diberi jodoh, anak kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena berdoa adalah ibadah, barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
berarti telah terjatuh dalam perbuatan syirik. Tidak boleh pula minta
bantuan dukun atau yang disebut ‘orang pintar’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi ‘arraf
(dukun, ahli nujum, tukang ramal dan sejenisnya), kemudian bertanya
sesuatu kepadanya, tak akan diterima shalatnya selama empatpuluh hari.” (HR. Muslim, Kitabus Salam, Bab Tahrimul Kahanah wa Ityanil Kuhhan, no. 4137)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata juga:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang mendatangi dukun
atau ‘arraf, kemudian membenarkan ucapannya, berarti dia telah kafir
terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Lihatlah bahaya mendatangi dukun! Semata
mendatangi dan bertanya kepada dukun akan mengakibatkan tidak
diterimanya shalat selama 40 hari. Jika membenarkannya, berarti telah
mengingkari apa yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Tathayyur
Di antara penyelisihan aqidah dalam
masalah menikah adalah melarang melakukan acara pernikahan di bulan atau
hari tertentu (karena takut sial, ed.). Amalan seperti ini disebut tathayyur. Tathayyur adalah beranggapan sial pada semua yang dilihat, didengar, serta beranggapan sial pada tempat dan waktu tertentu.
Keyakinan sebagian orang bahwa bulan
Shafar atau bulan Suro tidak boleh ada pernikahan karena akan ada
bencana bagi yang menikah di bulan tersebut adalah keyakinan yang batil.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada penyakit menular (dengan
sendirinya), tidak ada thiyarah/tathayyur, tidak ada pengaruh burung
hantu, dan tidak ada (sial karena bulan) shafar.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Ath-Thib, Bab La Hamah, no. 5316)
Ditafsirkan bahwa shafar adalah bulan Shafar, karena orang-orang jahiliah menganggap sial menikah di bulan Shafar. (Lihat Fathul Majid)
3. Tasyabbuh (meniru orang kafir)
Tasyabbuh (meniru) orang kafir adalah amalan yang haram dalam masalah pernikahan ataupun lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai satu kaum maka termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitabul Libas, Bab fi Lubsi Asy-Syuhrah, no. 3512)
Di antara perkara tasyabbuh yang ada dalam pernikahan adalah apa yang disebut dablah (tukar cincin/pertunangan, -ed).
Jika sampai ada keyakinan bahwa selama cincin tersebut masih di tangan
kedua mempelai maka akan tetap rukun rumah tangga keduanya, berarti
telah terjatuh dalam kesyirikan. Jika seseorang memakainya tanpa ada
keyakinan seperti itu, dia tetap terjatuh dalam tasyabbuh. Apalagi jika cincin tersebut dari emas, maka pengantin pria terjatuh dalam keharaman lainnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي حِلٌّ لِإِنَاثِهِمْ
“Sesungguhnya dua benda ini (yakni emas dan sutera, pen.) haram atas laki-laki umatku dan halal bagi kaum wanitanya.” (HR. Ibnu Majah, Kitabul Libas, Bab Labsil Harir wadz Dzahab lin Nisa`, no. 3585)
4. Menikah dengan Orang yang Berbeda Agama
Ketahuilah, seorang mukmin dan mukminah, bagaimanapun keadaannya, mereka tetap lebih baik daripada orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى
يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kalian menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati
kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian.
Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)
Sangat disayangkan, banyak orangtua
mengorbankan putrinya untuk mendapatkan dunia semata, menikahkan
putrinya dengan orang kafir yang tidak halal bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ
بِإِيْمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ
تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ
يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah Subhanahu wa Ta’alaebih
mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa
mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi
orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Orang kafir -walaupun ahlul kitab- tidaklah halal bagi seorang wanita muslimah.
5. Tiwalah
Tiwalah adalah sesuatu yang
dibuat dengan keyakinan bisa membuat suami cinta kepada istrinya atau
istri kepada suaminya. Inipun satu amalan yang terlarang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Inilah sebagian kecil masalah aqidah yang
dilanggar sebagian kaum muslimin dalam hal pernikahan. Masih banyak
lagi penyimpangan yang terjadi dalam acara pernikahan seperti: sesajen,
sembelihan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan lainnya.
Hendaknya setiap muslim berhati-hati, jangan sampai keyakinan dan
amalannya terkotori syirik atau kebid’ahan. Sehingga dia bisa meninggal
di atas tauhid dan di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Walhamdulillah.
(Sumber: Majalah Asy Syariah, Vol. IV/No. 39/1429H/2008, kategori: Akidah, hal. 41-46, 54. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=641)
0 komentar:
Posting Komentar