Senin, 11 Februari 2013

Hukum Menjual Jilbab Gaul

Oleh: Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi


Pertanyaan:
Apa hukumnya menjual jilbab gaul?

Jawaban:
Kalau berkaitan dengan masalah jilbab gaul ini, yang dimaksudkan adalah jilbab yang pendek misalnya—jilbab yang sebagian orang dikatakan tidak menutupi apa yang sepantasnya ditutupi—maka ini perlu saya ingatkan kepada sebagian ikhwah, jangan terlalu banyak menyoroti hal-hal yang seperti ini di tengah masa yang kebanyakan orang tidak memakai jilbab.

Ada di dalam syari’at kita itu apa yang disebut dengan nama taqlîlusy syarr, memperkecil kejelekan. Kalau kejelekannya tidak bisa dihilangkan diapakan? Diperkecil, bukan dibiarkan tapi diperkecil. Jadi, hal yang mengarah kepada memperkecil kejelekan, Antum jangan masuk ke dalamnya kemudian membuat hal tersebut menjadi kabur sebab ini akan menjadikan mafsadat [kerusakan] yang lebih besar.

Ini kadang saya ingatkan di dalam hal-hal yang seperti ini. Kadang ada sebagian dari kawan-kawan kita berbicara misalnya tentang bank-bank syari’ah.

Oh, ini bank syari’ah… kelihatannya lebih bejat daripada bank konvensional!”

Ini bahasa-bahasa yang seperti ini tidak bagus untuk diucapkan. Walaupun benar pada sebagian keadaan bank syari’ah itu kadang lebih jelek daripada bank konvensional dalam mengambil hal. Tapi mereka ini ada dua kemungkinan, mereka mungkin sengaja untuk hila mencari riba atau mereka mungkin salah jalan, salah langkah. Tapi tatkala mereka menyebut dengan nama syari’ah dan kita komentarnya tajam, akhirnya orang akan berpikir, “Wah, bank syari’ah saja dikomentari apalagi yang lain, kalau begitu kita bebas aja sudah berbuat riba.” Akhirnya membuka pintu kejelekan.

Jadi, ada yang disebut dengan taqlîlusy syarr, mempersedikit kejelekan. Dan ini kaidah—yang subhanallâh—kadang seseorang kurang memikirkannya, padahal ia adalah hal yang jelas dalam agama kita. Kaidah dasarnya seperti yang disebut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan selainnya, agama kita itu datang untuk mewujudkan sebuah kemaslahatan atau menyempurnakannya, dan agama kita itu datang untuk menghilangkan mafsadat atau menguranginya. Itu kaidah umum di seluruh perintah-perintah agama.

Kalau saya ingin lebih rinci lagi, hal yang diperintah dalam agama kita itu ada tiga bentuknya. Ada hal yang menjaga Adh Dhururiyat Al Khamsah, lima perkara yang wajib untuk dipelihara, dan ada yang dinamakan dengan Al Hajiyat, perkara-perkara wajib yang melengkapi, dan ada yang dinamakan tahsiniyat, hal yang menyempurnakan. Ini harus dibedakan semua pintunya. Dan ini pembahasan di dalam agama kita dimaklumi. Dan ilmu ini dimaklumi di kalangan ahlul ‘ilmi. Dan fatwa-fatwa para ulama kita yang memberi fatwa di masa ini, di situlah letak indahnya. 

Dan seperti yang saya katakan tadi, ada ilmu yang tidak bisa kita baca dari buku. Ada ilmu yang mereka miliki tidak ada di buku-buku tertulis. Seperti cara bagaimana mereka menerapkan fatwa sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at, maksud dari syari’at secara umum, sebab mereka melihat fatwa itu bukan di masalah itu saja tapi mereka melihat di seluruh sudutnya. Itu baru [benar] orang yang memberikan fatwa. Tapi kalau ia hanya melihat di satu masalah, ini kadang ia tidak memberikan jawaban yang tepat.

Saya beri contoh misalnya, sebuah fatwa yang indah dari Syaikh Shalih Al Fauzan, pernah saya tanyakan kepada beliau tentang masalah orang yang bekerja di perpajakan. Kata beliau, tidak boleh ia bekerja di situ, hendaknya ia keluar darinya. Kecuali kata Syaikh, kalau ia keluar dari pekerjaannya akan membahayakannya. Maka tidak apa-apa ia bekerja sambil mencari pekerjaan lain. Kapan ia mendapat pekerjaan lain, segera ia keluar. Ini fatwa sedemikian lengkap, banyak sudut pertimbangan, bukan di satu masalah saja, bukan di hukum pajak saja. Kalau hukum pajak saja tidak boleh—selesai—tidak boleh bekerja, bukankah begitu. Tapi beliau melihat banyak sudut sebab manusia itu beraneka ragam keadaan, keperluan, dan masalah yang dihadapi. Dan ini—subhanallâh—nampak di lisan dari fatwa para ulama kita rahmatullâhi ‘alaihim jami’an.

Dan di antara yang indah juga, Syaikh Muqbil rahimahullâh pernah ditanya, misalnya berkaitan dengan masalah suami-istri apakah boleh seorang istri berbuat begini terhadap suaminya? Maka Syaikh menjawab, adapun dari sisi hukum bolehnya, ya boleh saja. Tapi dari sisi nasihat, saya nasihatkan, ia nasihati perempuan tersebut pada hal yang mengarah kepada kebaikannya. Ini baru [benar] seorang mufti memberikan jawaban. Ia tidak melihat di masalah itu saja, tapi ia melihat ke sudut-sudut lainnya yang membawa manfaat bagi orang yang bertanya. Dan tidak semua orang bisa berpikir seperti ini. Karena itulah tidak semua orang yang belajar, hafal Al Qur’an dan Hadits mampu mengeluarkan jawaban yang seperti ini.

(Ditranskrip  dari rekaman kajian ilmiah di Masjid Pogung Raya [MPR] Yogyakarta, 13 Rabiuts Tsani 1431 H/29 Maret 2010)

0 komentar:

Posting Komentar