Oleh: Al Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
Pertanyaan:
Apa hukumnya menjual jilbab gaul?
Jawaban:
Kalau
berkaitan dengan masalah jilbab gaul ini, yang dimaksudkan adalah
jilbab yang pendek misalnya—jilbab yang sebagian orang dikatakan tidak
menutupi apa yang sepantasnya ditutupi—maka ini perlu saya ingatkan
kepada sebagian ikhwah, jangan terlalu banyak menyoroti hal-hal yang
seperti ini di tengah masa yang kebanyakan orang tidak memakai jilbab.
Ada di dalam syari’at kita itu apa yang disebut dengan nama taqlîlusy syarr,
memperkecil kejelekan. Kalau kejelekannya tidak bisa dihilangkan
diapakan? Diperkecil, bukan dibiarkan tapi diperkecil. Jadi, hal yang
mengarah kepada memperkecil kejelekan, Antum jangan masuk ke dalamnya
kemudian membuat hal tersebut menjadi kabur sebab ini akan menjadikan mafsadat [kerusakan] yang lebih besar.
Ini
kadang saya ingatkan di dalam hal-hal yang seperti ini. Kadang ada
sebagian dari kawan-kawan kita berbicara misalnya tentang bank-bank
syari’ah.
“Oh, ini bank syari’ah… kelihatannya lebih bejat daripada bank konvensional!”
Ini
bahasa-bahasa yang seperti ini tidak bagus untuk diucapkan. Walaupun
benar pada sebagian keadaan bank syari’ah itu kadang lebih jelek
daripada bank konvensional dalam mengambil hal. Tapi mereka ini ada dua kemungkinan, mereka mungkin sengaja untuk hila
mencari riba atau mereka mungkin salah jalan, salah langkah. Tapi
tatkala mereka menyebut dengan nama syari’ah dan kita komentarnya tajam,
akhirnya orang akan berpikir, “Wah, bank syari’ah saja dikomentari
apalagi yang lain, kalau begitu kita bebas aja sudah berbuat riba.”
Akhirnya membuka pintu kejelekan.
Jadi, ada yang disebut dengan taqlîlusy syarr, mempersedikit kejelekan. Dan ini kaidah—yang subhanallâh—kadang
seseorang kurang memikirkannya, padahal ia adalah hal yang jelas dalam
agama kita. Kaidah dasarnya seperti yang disebut oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan selainnya, agama kita itu datang untuk
mewujudkan sebuah kemaslahatan atau menyempurnakannya, dan agama kita
itu datang untuk menghilangkan mafsadat atau menguranginya. Itu kaidah umum di seluruh perintah-perintah agama.
Kalau saya ingin lebih rinci lagi, hal yang diperintah dalam agama kita itu ada tiga bentuknya. Ada hal yang menjaga Adh Dhururiyat Al Khamsah, lima perkara yang wajib untuk dipelihara, dan ada yang dinamakan dengan Al Hajiyat, perkara-perkara wajib yang melengkapi, dan ada yang dinamakan tahsiniyat,
hal yang menyempurnakan. Ini harus dibedakan semua pintunya. Dan ini
pembahasan di dalam agama kita dimaklumi. Dan ilmu ini dimaklumi di
kalangan ahlul ‘ilmi. Dan fatwa-fatwa para ulama kita yang memberi fatwa
di masa ini, di situlah letak indahnya.
Dan
seperti yang saya katakan tadi, ada ilmu yang tidak bisa kita baca dari
buku. Ada ilmu yang mereka miliki tidak ada di buku-buku tertulis.
Seperti cara bagaimana mereka menerapkan fatwa sesuai dengan
kaidah-kaidah syari’at, maksud dari syari’at secara umum, sebab mereka
melihat fatwa itu bukan di masalah itu saja tapi mereka melihat di
seluruh sudutnya. Itu baru [benar] orang yang memberikan fatwa. Tapi
kalau ia hanya melihat di satu masalah, ini kadang ia tidak memberikan
jawaban yang tepat.
Saya
beri contoh misalnya, sebuah fatwa yang indah dari Syaikh Shalih Al
Fauzan, pernah saya tanyakan kepada beliau tentang masalah orang yang
bekerja di perpajakan. Kata beliau, tidak boleh ia bekerja di situ,
hendaknya ia keluar darinya. Kecuali kata Syaikh, kalau ia keluar dari
pekerjaannya akan membahayakannya. Maka tidak apa-apa ia bekerja sambil
mencari pekerjaan lain. Kapan ia mendapat pekerjaan lain, segera ia
keluar. Ini fatwa sedemikian lengkap, banyak sudut pertimbangan, bukan
di satu masalah saja, bukan di hukum pajak saja. Kalau hukum pajak saja
tidak boleh—selesai—tidak boleh bekerja, bukankah begitu. Tapi beliau
melihat banyak sudut sebab manusia itu beraneka ragam keadaan,
keperluan, dan masalah yang dihadapi. Dan ini—subhanallâh—nampak di lisan dari fatwa para ulama kita rahmatullâhi ‘alaihim jami’an.
Dan di antara yang indah juga, Syaikh Muqbil rahimahullâh
pernah ditanya, misalnya berkaitan dengan masalah suami-istri apakah
boleh seorang istri berbuat begini terhadap suaminya? Maka Syaikh
menjawab, adapun dari sisi hukum bolehnya, ya boleh saja. Tapi dari sisi
nasihat, saya nasihatkan, ia nasihati perempuan tersebut pada hal yang
mengarah kepada kebaikannya. Ini baru [benar] seorang mufti memberikan
jawaban. Ia tidak melihat di masalah itu saja, tapi ia melihat ke
sudut-sudut lainnya yang membawa manfaat bagi orang yang bertanya. Dan
tidak semua orang bisa berpikir seperti ini. Karena itulah tidak semua
orang yang belajar, hafal Al Qur’an dan Hadits mampu mengeluarkan
jawaban yang seperti ini.
(Ditranskrip dari rekaman kajian ilmiah di Masjid
Pogung Raya [MPR] Yogyakarta, 13 Rabiuts Tsani 1431 H/29 Maret 2010)
0 komentar:
Posting Komentar