Ketika
mempelai lelaki telah resmi menjadi suami mempelai wanita, lalu ia ingin masuk
menemui istrinya maka disenangi baginya untuk melakukan beberapa perkara berikut
ini:
Pertama:
Bersiwak terlebih dahulu untuk membersihkan mulutnya karena dikhawatirkan
tercium aroma yang tidak sedap dari mulutnya. Demikian pula si istri, hendaknya
melakukan yang sama. Hal ini lebih mendorong kepada kelanggengan hubungan dan
kedekatan di antara keduanya. Didapatkan dari perbuatan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersiwak bila hendak masuk rumah menemui istrinya,
sebagaimana berita dari Aisyah radhiyallahu 'anha (HR. Muslim no.
590).
Kedua:
Disenangi baginya untuk menyerahkan mahar bagi istrinya sebagaimana akan
disebutkan dalam masalah mahar dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
'anhuma.
Ketiga:
Berlaku lemah lembut kepada istrinya, dengan semisal memberinya segelas minuman
ataupun yang semisalnya berdasarkan hadits Asma` bintu Yazid bin As- Sakan
radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Aku mendandani Aisyah radhiyallahu 'anha untuk
dipertemukan dengan suaminya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah
selesai aku memanggil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melihat
Aisyah. Beliau pun datang dan duduk di samping Aisyah. Lalu didatangkan kepada
beliau segelas susu. Beliau minum darinya kemudian memberikannya kepada Aisyah
yang menunduk malu.” Asma` pun menegur Aisyah, “Ambillah gelas itu dari tangan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aisyah pun mengambilnya dan meminum
sedikit dari susu tersebut.” (HR. Ahmad, 6/438, 452, 458 secara panjang dan
secara ringkas dengan dua sanad yang saling menguatkan, lihat Adabuz Zafaf, hal.
20)
Keempat:
Meletakkan tangannya di atas bagian depan kepala istrinya (ubun-ubunnya) sembari
mendoakannya, dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى
خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيُسَمِّ اللهَ عز وجل وَلْيَدْعُ
بِالْبَرَكَةِ وَلْيَقُلْ: اللّهمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا
جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا
عَلَيْهِ
“Apabila
salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak
maka hendaklah ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah Subhanahu wa
Ta'ala, mendoakan keberkahan dan mengatakan: ‘Ya Allah, aku meminta kepada-Mu
dari kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan/tabiatkan dia di atasnya
dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau
ciptakan/tabiatkan dia di atasnya’.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Kelima:
Ahlul ‘ilmi ada yang memandang setelah dia bertemu dan mendoakan istrinya
disenangi baginya untuk shalat dua rakaat bersamanya. Hal ini dinukilkan dari
atsar Abu Sa’id maula Abu Usaid Malik bin Rabi’ah Al-Anshari. Ia berkata: “Aku
menikah dalam keadaan aku berstatus budak. Aku mengundang sejumlah sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan
Hudzaifah radhiyallahu 'anhum. Lalu ditegakkan shalat, majulah Abu Dzar untuk
mengimami. Namun orang-orang menyuruhku agar aku yang maju. Ketika aku
menanyakan mengapa demikian, mereka menjawab memang seharusnya demikian. Aku pun
maju mengimami mereka dalam keadaan aku berstatus budak. Mereka mengajariku dan
mengatakan, “Bila engkau masuk menemui istrimu, shalatlah dua rakaat. Kemudian
mintalah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari kebaikannya dan berlindunglah
dari kejelekannya. Seterusnya, urusanmu dengan istrimu.” (Diriwayatkan Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf, demikian pula Abdurrazzaq. Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 23, “Sanadnya shahih sampai ke Abu
Sa’id”).
Wallahu
ta’ala a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar