Fuqaha
menyebutkan bahwa pada nikah diberlakukan hukum yang lima. Sehingga bisa jadi
dalam satu keadaan hukumnya wajib, pada keadaan lain hukumnya mustahab/sunnah
atau hanya mubah, bahkan terkadang makruh atau haram.
Adapun hukum asal
menikah adalah sunnah menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan
riwayat yang masyhur dari mazhab Al-Imam Ahmad. Sebagaimana hal ini merupakan
pendapat mayoritas ulama, menyelisihi pendapat mazhab Zhahiriyyah yang
mengatakan wajib.
Nikah ini
merupakan sunnah para rasul, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا
لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Sungguh
Kami telah mengutus para rasul sebelummu dan Kami jadikan untuk mereka
istri-istri dan anak turunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Utsman bin
Mazh’un radhiyallahu 'anhu, seorang dari sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, berkata, “Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengizinkan kami, niscaya kami akan mengebiri diri kami (agar tidak memiliki
syahwat terhadap wanita sehingga tidak ada kebutuhan untuk menikah, pent.). Akan
tetapi beliau melarang kami dari hidup membujang (tidak menikah).” (HR.
Al-Bukhari no. 5073 dan Muslim no. 3390)
Bagi
seseorang yang mengkhawatirkan dirinya akan jatuh dalam perbuatan zina bila
tidak menikah, maka hukum nikah baginya beralih menjadi wajib karena syahwatnya
yang kuat. Ditambah lagi bila di negerinya bebas melakukan hubungan zina. Hukum
nikah baginya menjadi wajib untuk menolak mafsadat tersebut. Karena meninggalkan
zina hukumnya wajib, dan kewajiban tersebut tidak akan sempurna penunaiannya
kecuali dengan nikah.
Hukumnya
mubah bagi orang yang tidak bersyahwat namun ia memiliki kecukupan harta. Mubah
baginya karena tidak ada sebab-sebab yang mewajibkannya.
Adapun orang yang
tidak bersyahwat dan ia fakir, nikah dimakruhkan baginya. Karena ia tidak punya
kebutuhan untuk menikah dan ia akan menanggung beban yang berat. Namun terkadang
pada orang yang lemah syahwat atau tidak memiliki syahwat ini, karena usia tua
atau karena impoten misalnya, diberlakukan hukum makruh tanpa membedakan ia
punya harta atau tidak. Karena ia tidak dapat memberikan nafkah batin kepada
istrinya, sehingga pada akhirnya dapat memudaratkan si istri.
Dan haram
hukumnya bila orang itu benar-benar tidak dapat menunaikan perkara- perkara yang
berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Karena, menikah disyariatkan
semata-mata untuk memberikan maslahat. Kalau ada tindakan aniaya seperti ini,
akan hilanglah maslahat yang diharapkan, terlebih lagi jika dia berbuat dosa dan
melakukan perkara-perkara yang diharamkan.
Haram pula
bagi seseorang yang sudah memiliki istri, kemudian ia ingin menikah lagi namun
dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istrinya. Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً
“Maka
apabila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil (bila memiliki lebih dari satu
istri) maka menikahlah dengan seorang wanita saja.” (An-Nisa`:
3)
[Bada`i’ush Shana`i’, 3/331-335, Al-Ikmal 4/524,
Al-Majmu’, 17/204-205, Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl fi Masyru’iyatin
Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’, Al- Ahkamusy Syar’iyyah fil Ahwalisy
Syakhshiyyah, 1/36, Asy-Syarhul Mumti’, 12/6-9)
Berikut
ini ucapan sejumlah ulama dari lima mazhab [Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah,
Hanabilah, dan Zhahiriyyah] tentang hukum nikah:
Ibnu
Abidin Al-Hanafi rahimahullahu dalam Hasyiyah-nya menyatakan, nikah lebih utama
daripada menyibukkan diri dengan belajar dan mengajar, dan lebih utama daripada
mengkhususkan diri untuk mengerjakan ibadah-ibadah nafilah/sunnah. (Raddul
Mukhtar ‘Alad Durril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar, 4/65)
Al-Qarafi Al-Maliki rahimahullahu berkata, “Nikah –tanpa melihat keadaan orang-
orang yang menikah– hukumnya mandub (sunnah). Menurut mazhab kami (Maliki) dan
menurut pendapat Asy-Syafi’i, meninggalkan nikah karena ingin mengerjakan
ibadah-ibadah nafilah bagi orang yang jiwanya tidak condong kepada nikah adalah
afdhal. Adapun menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal, nikah lebih afdhal,
karena ulama berbeda pendapat tentang kewajibannya. Minimal keadaannya adalah
nikah lebih dikedepankan karena dengan nikah akan menjaga kehormatan diri
sepasang suami istri, akan melahirkan anak-anak yang mentauhidkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dapat
membanggakan banyaknya umat beliau. Dengan demikian nikah bisa meraih
maslahat-maslahat yang besar. Orang yang bisa memberikan kemanfaatan/kebaikan
kepada orang lain adalah lebih utama/afdhal daripada orang yang membatasi
kemanfaatan untuk dirinya sendiri. Juga, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengedepankan nikah daripada puasa sebagaimana dalam hadits:
: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
“Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang
telah mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah….” (HR. Al-Bukhari no. 5060
dan Muslim no. 3384 dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu) (Adz-Dzakhirah,
4/190)
Asy-Syairazi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata, “Siapa yang dibolehkan untuk
menikah dan jiwanya sangat berkeinginan untuk melangsungkannya sementara ia
mampu memberikan mahar dan nafkah kepada wanita yang dinikahinya maka mustahab
baginya untuk menikah, berdasarkan hadits Abdullah. Juga, karena dengan menikah
lebih menjaga kemaluannya dan lebih menyelamatkan agamanya. Namun hukum nikah
tidak sampai diwajibkan atasnya.” (Al-Muhadzdzab dengan Al-Majmu’
17/203)
Ibnu
Qudamah Al-Hanbali rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin sepakat bahwa nikah
disyariatkan. Orang-orang dalam mazhab kami berbeda pendapat tentang hukum
wajibnya. Namun yang masyhur dalam mazhab ini, hukumnya tidaklah wajib kecuali
bila seseorang mengkhawatirkan dirinya jatuh ke dalam perkara yang dilarang bila
ia meninggalkan nikah, maka wajib baginya menjaga kehormatan dirinya. Ini
merupakan pendapat mayoritas fuqaha.” (Al-Mughni, kitab An-Nikah, fashl Al-Ashl
fi Masyru’iyatin Nikah Al-Kitabu was-Sunnah wal Ijma’)
Ibnu
Hazm Azh-Zhahiri rahimahullahu berkata, “Diwajibkan kepada setiap orang yang
mampu untuk jima’ bila ia mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak
agar melakukan salah satunya, dan ini suatu keharusan. Namun bila ia tidak bisa
mendapatkan jalan untuk menikah atau mendapatkan budak, hendaklah ia
memperbanyak puasa.” (Al-Muhalla bil Atsar, 9/3)
0 komentar:
Posting Komentar