Penulis : Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah
Mendakwahkan
dan menyampaikan kebenaran adalah perkara besar. Tidak setiap orang
layak menyandangnya, sebab dakwah butuh kesabaran dan pengorbanan harta
benda dan jiwa. Seorang yang menyampaikan kebenaran harus istiqomah
dalam dakwahnya agar ia senantiasa didoakan dan diiringi oleh para
malaikat dalam dakwahnya.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ
اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا
وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
(30) نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا
تَدَّعُونَ (31) نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ (32) وَمَنْ أَحْسَنُ
قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي
مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33) [فصلت/30-33]
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah”
Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun
kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah
dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam
kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu
inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta sebagai
hidangan (bagimu) dari Rabb yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat : 30-33)
Perhatikanlah orang-orang yang istiqomah (tegar) di atas amal
ketaatan kepada Allah; ia akan selalu diiringi pertolongan dari Allah
-Subhanahu wa Ta’ala- dan dilapangkan dadanya oleh Allah -Azza wa
Jalla-.
Al-Imam Abul Faroj Abdurrahman Ibnul Jawziy -rahimahullah- berkata saat menerangkan makna ucapan para malaikat yang terdapat dalam ayat-ayat di atas,
“Maknanya, kamilah yang akan menjadi pengurus-pengurus kalian di
dunia. Karena, para malaikat hanyalah mengurusi dan mencintai
orang-orang beriman, disebabkan oleh sesuatu yang mereka lihat berupa
amal-amal sholih mereka yang terangkat ke langit. Di akhirat nanti kami
akan bersama kalian, tidak akan meninggalkan kalian sampai kalian masuk
surga”. [Lihat Zaadul Masir (5/304) oleh Ibnul Jauziy Ad-Dimasyqiy]
Sebagian para muballigh dan da’i ada yang melanggar ayat-ayat ini sehingga merekapun segan menyampaikan kebenaran,
bahkan berusaha menyembunyikannya bila mereka berdakwah di tengah
masyarakat. Apalagi jika mereka berdakwah di tengah orang-orang yang
memiliki kedudukan dan kharisma di masyarakat. Tujuannya bukanlah
menyampaikan kebenaran. Tujuannya hanyalah menyenangkan masyarakat dan mengikuti selera mereka, dengan dalih bahwa ia mengikuti selera mereka, walaupun itu maksiat, demi mendekati dan menarik hati mereka.
Jalan dakwah seperti ini menyalahi jalan dakwah yang pernah
digariskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Allah menjelaskan
dalam Al-Qur’an bahwa tugas seorang da’i adalah menyampaikan amanah
dakwah dari Allah, tanpa mengikuti hawa nafsu manusia.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا
حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا
الْبَلَاغُ الْمُبِينُ [النور : 54]
“Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya,
dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan
kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang“. (QS. An-Nuur : 54)
Seorang da’i bukanlah diktator yang memaksakan
manusia seluruhnya harus beriman!! Sebab keimanan itu adalah hidayah.
Sedang hidayah hanyalah di tangan Allah. Kita sebagai da’i hanyalah
diperintahkan menyampaikan tugas dakwah dan penjelasan kepada manusia
tentang jalan kebenaran yang harus diikuti dan jalan kebatilan dan
keburukan yang harus dijauhi!!
Allah -Azza wa Jalla- berfirman
فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ (21) لَسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍ (22) [الغاشية : 21 ، 22]
“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang
yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka“.
Sebuah kesalahan besar bila seorang berdakwah dengan memegang prinsip bahwa dirinya siap menjadi “bagaikan lilin yang meleleh yang rela menghancurkan dirinya demi menerangi yang lain“.
Prinsip seperti ini adalah prinsip yang batil. Allah telah mencela Bani
Israil yang telah manusia, namun ia mengorbankan dirinya dan melakukan
maksiat.
Allah -Ta’ala- berfirman,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ [البقرة : 44]
“Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kalian membaca Al-Kitab
(Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqoroh : 44)
Al-Imam Abul Khoththob Qotadah bin Di’amah As-Sadusiy -rahimahullah- berkata,
كان بنو إسرائيل يأمرون الناس بطاعة الله وبتقواه وبالبر ويخالفون، فعيرهم الله.
“Dahulu Bani Isra’il memerintahkan manusia untuk berbuat ketaatan dan
bertaqwa kepada Allah serta berbakti kepada-Nya. Namun mereka
menyelisihinya. Karenanya, mereka dikecam oleh Allah”. [HR. Ath-Thobariy
dalam Jami' Al-Bayan (843) dengan sanad yang hasan]
Inilah keadaan sebagian da’i yang tidak konsisten dan tegar memegang
prinsip-prinsip agama dalam berdakwah, sehingga ia pun mengikuti selera
masyarakat yang ia dakwahi. Jika masyarakatnya senang musik, maka ia pun
“menghalalkan” musik demi menjaga perasaan mereka agar
tidak tersinggung dan menjauh dari agama dan dakwah Islam. Jika
masyarakatnya senang berbuat bid’ah, maka ia pun sengaja larut di
dalamnya demi menjaga kemaslahatan dakwah, menurut sangkaannya!! Jika
rakyat suka melawak dan melucon, maka ia pun mengubah dirinya sebagai
“pelawak”, bahkan lebih dari sekedar pelawak!!! Padahal ia tahu bahwa
melawak bukanlah jalan dakwah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Bahkan beliau melarang kita banyak tertawa.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَا تُكْثِرُوْا الضَّحْكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحْكِ تُمِيْتُ الْقَلْبِ
“Janganlah kalian memperbanyak tertawa karena memperbanyak tertawa bisa mematikan hati“. [HR. At-Tirmidzy dalam Sunan-nya (2305) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4193). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (506)]
Jika masyarakat senang menonton film, maka mereka pun membuat
sandiwara dan film sebagai jalan dakwah yang mereka tempuh. Padahal Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- tidak pernah mencontohkan dakwah melalui
sandiwara dan pertunjukan.
Para pembaca yang budiman, seorang da’i harus tegar dalam dakwahnya,
jangan goyah dengan macam rintangan yang akan melencengkan dirinya dari
petunjuk Allah -Azza wa Jalla- dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam-.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
(ألا لا يمنعن رجلا هيبةُ الناسِ أنْ يقولَ بحقٍّ إذا عَلِمَه)
“Ingatlah, wibawa manusia janganlah menghalangi seseorang dari
mengucapkan kebenaran, bila ia mengetahuinya”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2191) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (4007). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib (2751)]
Ulama Negeri Syaikh, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat larangan kuat dari menyembunyikan
kebenaran, karena takut kepada manusia atau karena ingin kehidupan
dunia. Setiap orang yang menyembunyikannya, karena takut gangguan mereka
dengan suatu jenis gangguan, seperti, pemukulan, celaan, diputuskannya
rezki, atau karena takut kalau manusia tidak menghormatinya dan sejenis
itu, maka orang seperti ini masuk dalam larangan ini dan ia menyelisihi
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Jika demikian halnya keadaan orang yang menyembunyikan kebenaran,
sedang ia tahu. Nah, bagaimana lagi dengan kondisinya orang yang tidak
cukup melakukan hal itu. Bahkan ia memberikan persaksian batil atas kaum
muslimin yang bersih (dari tuduhan) dan menuduh mereka dalam agama dan
aqidahnya demi sejalan dengan orang-orang rendahan atau karena takut
jika mereka menuduhnya juga dengan batil jika ia tidak sejalan dengan
mereka di atas kesesatan dan tuduhannya”. [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/325)]
Para pembaca yang budiman, sesungguhnya dakwah Islam yang diemban oleh seorang da’i adalah dakwah yang universal,
mencakup semua golongan, baik rakyat, maupun pemerintah. Di saat rakyat
butuh bimbingan, maka kita ajak ia kepada kebaikan. Demikian pula,
ketika penguasa memerlukan nasihat dan arahan, maka seorang da’i harus
mengarahkan mereka kepada jalan-jalan kebaikan yang ia ketahui.
Janganlah ia menyembunyikan kebenaran di depan pemerintah, karena segan
dan takut. Jangan pula bertoleransi dan mencari-cari muka dan menjilat
di depan mereka sampai harus meninggalkan dan menyelisihi petunjuk Allah
dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Tapi bersabarlah menghadapi dan mendakwahi mereka, karena
sesungguhnya nasihat bagi mereka merupakan jihad yang paling utama.
Sebab, dengan baiknya mereka, maka ikut baiklah seluruh rakyatnya.
Jangan gentar dengan ancaman dan kekuatan mereka. Masuklah menghadap kepadanya dengan segala adab-adab yang baik dalam menasihatinya.
Nasihatilah pemerintah dengan nasihat yang tersembunyi, dengan kalimat
yang lembut dan penuh kasih sayang sambil mengingatkan akibat yang akan
ia rasakan dan masyarakatnya jika senantiasa durhaka kepada Allah -Azza
wa Jalla-. Yakinlah dengan usaha dan tawakkal yang benar, nasihatmu
–wahai para da’i- akan diterima oleh mereka. Jika mereka menolaknya,
maka bersabarlah kalian.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَنْ َأَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ
فَلا َيُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ
بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فََذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى اَلَّذِيْ
عَلَيْهِ لَهُ.
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka
janganlah ia menampakkan secara terang terangan. Akan tetapi hendaknya
ia ia mengambil tangannya agar ia bisa berduaan. Jika ia terima ,aka
itulah yamg diharap, jika tidak maka sungguh ia telah menunaikan tugas
yan ada pada pundaknya”. [HR Ahmad dalam Al-Musnad (3/403-404) dan Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (1096, 1097, 1098). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Zhilal Al-Jannah (hal. 514)]
Al-Imam Muhammad bin Ali As-Syaukaniy -rahimahullah-
berkata, “Sesungguhnya bagi orang yang nampak baginya kesalahan
penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa, dan tidak
menampakan celaan padanya didepan publik”.
[Lihat As-Sail Al-Jarrar (4/556) karya Al-Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukaniy]
Sekali lagi, lakukanlah tugas nasihat ini dengan penuh keikhlasan,
sebab ia adalah amalan utama. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-
bersabda,
ألا إن أفضل الجهاد كلمة حق عند سلطان جائر”
“Ingatlah, sesungguhnya jihad yang paling utama, kalimat yang haq di
sisi penguasa yang curang”. [HR. Abu Dawud (4344), At-Tirmidziy dalam
Sunan-nya (2174), Ahmad dalam Al-Musnad (3/19) dan Al-Qudho'iy dalam Musnad Asy-Syihab (no. 1141)]
Di hari-hari yang seperti ini, seorang muslim (khususnya, da’i) amat
membutuhkan kesabaran dalam menghadapi dan mengatasi problematika umat
yang tengah tenggelam dalam gulita maksiat.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ.
“Akan datang suatu zaman, orang yang bersabar di atas agamanya
laksana orang yang menggenggam bara api”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (2260). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' Ash-Shoghir (8002)]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتَرَبَ ،
فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا ،
وَيُمْسِي كَافِرًا ، يَبِيعُ قَوْمٌ دِينَهُمْ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
قَلِيلٍ ، الْمُتَمَسِّكُ يَوْمَئِذٍ بِدِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى
الْجَمْرِ
“Kecelakaanlah bagi orang-orang Arab karena keburukan yang sungguh
telah mendekat berupa fitnah-fitnah (ujian dan problema keimanan, pen.)
ibarat potongan-potongan malam yang gulita. Seseorang beriman di waktu
pagi dan menjadi kafir di waktu sore. Suatu kaum akan menjual agamanya
dengan barang-barang dunia yang sedikit. Orang yang berpegang teguh
dengan agamanya pada hari itu laksana orang yang menggenggam bara api”.
[HR. Ahmad dalam Al-Musnad (2/390), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (70/35) dan Ibnu Wadhdhoh dalam Al-Bida' wan Nahyu anha (hal. 77). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syu'aib Al-Arna'uth dalam Takhrij Al-Musnad (no. )]
Al-Imam Ali bin Sulthon Al-Qoriy -rahimahullah- berkata,
“Lahiriah hadits ini bahwa maknanya, sebagaimana halnya tidak mungkin
akan menggenggam bara api, kecuali dengan kesabaran yang tinggi dan
menanggung kuatnya rasa susah, maka demikian pula di zaman itu, tidak
mungkin dibayangkan seseorang menjaga agama dan cahaya imannya, kecuali
dengan kesabaran yang besar dan rasa penat yang berat”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (6/445)]
Al-Imam Abu Ishaq Burhanuddin Umar bin Ibrahim Al-Ja’buriy -rahimahullah- berkata,
“Zaman ini adalah zaman kesabaran. Karena, sungguh perkara yang
ma’ruf (yang baik) telah diingkari, perkara mungkar dikenal (yakni,
dilakukan), niat telah rusak, sifat khianat telah tampak, orang
memperjuangkan kebenaran disakiti dan orang yang memperjuangkan
kebatilan dimuliakan”. [Lihat Mirqoh Al-Mafatih (15/307)]
Di akhir zaman seperti ini maksiat, kekafiran dan kesyirikan
merajalela dan tersebar dimana-mana sampai semua pelanggaran ini
menutupi kebaikan dan pelakunya. Orang-orang yang menjunjung tinggi
sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan mengamalkannya dijauhi
oleh manusia-manusia rusak. Mereka menganggap orang-orang yang
mengamalkannya dianggap aneh oleh kaumnya.
Inilah yang pernah diisyaratkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika beliau bersabda dalam sebuah haditsnya,
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing),
sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing. Maka beruntunglah orang-orang
asing”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 232)]
Islam asing dan aneh di mata manusia karena menyalahi hawa nafsu dan
kejahilan mereka. Ketika seorang mengamalkan sunnah (ajaran) Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- di awal munculnya Islam, maka semua orang tersentak kaget dan heran sebagaimana kondisi di akhir zaman sekarang.
Jika sekarang ada pengikut sunnah (yakni, petunjuk)
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengamalkan sunnah, seperti
memanjangkan jenggot, dan menggunakan jilbab besar beserta cadar, maka
banyak kaum muslimin yang berteriak kaget, dan menganggapnya asing alias
aneh, menakutkan, ketinggalan zaman, dan lainnya!! Keasingan ini
terjadi karena kebanyakan manusia menjauhi sunnah Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-.
Kenapa mereka jauh? Mereka jauh karena kejahilan dan
hawa nafsu menyelimuti mereka. Tapi keasingan ini sebenarnya adalah
sunnatullah (ketentuan dari Allah -Azza wa Jalla-).
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibiy -rahimahullah-
berkata, “Keterasingan ini adalah sunnatullah pada makhluk-Nya, yakni
pengikut kebenaran dibandingkan pengusung kebatilan adalah jumlahnya
sedikit berdasarkan firman-Nya -Ta’ala-,
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ (103)
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya-. (QS. Yusuf: 103)
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13)
“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih”. (QS. Saba’ : 13)
(Demikianlah) agar Allah membenarkan apa yang Dia janjikan kepada
Nabi-Nya berupa kembalinya sifat keterasingan itu kepada Islam. Jadi,
keterasingan itu tidak akan terjadi, kecuali karena hilangnya pengikut
(kebenaran) atau sedikitnya mereka. Hal itu terjadi saat perkara yang
ma’ruf berubah menjadi kemungkaran; kemungkaran berubah (dianggap)
sebagai sesuatu yang ma’ruf; Sunnah dianggap bid’ah, dan bid’ah dianggap
sunnah. Akhirnya, pengikut Sunnah diperhadapkan dengan cacian dan sikap
keras sebagaimana nasibnya dahulu para pengusung bid’ah, karena adanya
keinginan para pengusung bid’ah itu agar symbol kesesatan bias bersatu
(kuat)”.[Lihat Al-I'tishom (1/12), tahqiq Masyhur Hasan Salman, cet. Maktabah At-Tauhid, 1421 H]
Jumlah kaum muslimin pada hari ini amat banyak. Hanya saja yang kita
sesalkan, mayoritas dari mereka tidak mengetahui Islam yang pernah
dibawa oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan disebarkan oleh para
sahabat.
Lihatlah, ketika mereka diajak untuk meninggalkan kesyirikan, maka mereka menuduh kita sebagai “Wahabi”.
Perkara ini amat jelas jika ada seorang yang bertauhid melarang kaum
muslimin datang ke kuburan orang-orang “sholeh”, karena mereka kesana
untuk melakukan kesyirikan, seperti bernadzar di kubur, mengharap
pertolongan dan kesembuhan dari penghuni kubur, meminta dan berdoa
kepada mayit. Inilah yang dilarang dalam Islam dalam firman-Nya,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kamu menyeru (berdoa) kepada seseorangpun di dalamnya di
samping (menyeru) Allah”. (QS. Al-Jin: 18)
Perhatikan, saat kita menasihati mereka untuk meninggalkan maulid
karena hal itu tidak ada tuntunannya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-, maka manusia akan kiamat. Bukankah Allah -Ta’ala- berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu”. (QS. Al-Maa’idah: 3)
Bila agama telah sempurna, maka kita tidak perlu menambahinya dengan
amalan yang tidak ada tuntunannya dalam agama -seperti, maulid-, sebab
amalan yang tidak ada tuntunannya dalam agama akan tertolak, tidak
mendapatkan pahala, bahkan akan dimintai pertanggungjawaban!!
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌ
“Barang siapa yang mengadakan suatu perkara (baru) dalam urusan
(agama) kami ini yang bukan termasuk darinya,maka perkara itu
tertolak”.[HR.Al-Bukhory dalam Shohih-nya (2697)]
Para pembaca yang budiman, para wanita ketika diajak mengenakan
pakaian wanita muslimah yang syar’iy, maka mereka menolaknya dengan
seribu alasan. Sehingga kita tidak bisa lagi membedakan antara wanita
muslimah dan wanita kafir. Jika kalian berbelanja di mall-mall dan pusat
perbelanjaan lainnya, maka kalian akan menyaksikan wanita-wanita kita
berseliweran dan bekerja disana. Awal kita melihat mereka, kita
menyangkanya wanita kafir, karena ia tidak berjilbab, dan ia bersolek
ala wanita kafir. Tapi kita akan terperanjat ketika mengetahui bahwa ia
adalah muslimah. Bukankah seorang wanita diperintahkan mengenakan jilbab
yang tebal dan lebar sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan wanita-wanita orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab: 59).
Ketika para wanita kita diajak berjilbab yang syar’iy, maka mereka enggan dan menolak dengan dalih “kurang bebas”, “tidak modern, kuno!!”, “panas dan pengap”, “tidak sesuai gaya anak muda”, dan sederet alasan lemah.
Lebih ironis lagi, wanita-wanita ini muak dan sinis saat melihat
saudari-saudari mereka bercadar dan mengenakan jilbab lebar dan tebal.
Subhanallah, sudah salah, malah menyalahkan lagi orang yang tidak
salah!!
Para pembaca yang budiman, inilah fenomena yang kita lihat di masyarakat Islam. Banyaknya orang-orang Islam yang melakukan pelanggaran.
Sehingga semua hal ini menjadi sebab dan pemicu mereka membenci,
menjauhi, dan memusuhi setiap orang yang memperjuangkan kebenaran yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian hari-hari yang penuh
kesusahan dan tekanan jiwa bagi para penegak kebenaran. Di hari-hari
seperti inilah, orang-orang yang setia dan tegar memegang agama Islam
yang murni, membutuhkan kesabaran.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إن من ورائكم أيام الصبر ، للمتمسك فيهن يومئذ بما أنتم عليه أجر خمسين منكم
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran. Orang-orang
yang berpegang teguh di dalamnya pada hari itu dengan sesuatu yang
kalian pijaki, mendapatkan pahala 50 orang diantara kalian”. [HR. Ibnu
Nashr Al-Marwaziy dalam As-Sunnah (no. 32). Hadits ini di-shohih-kan
oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 494)]
Sungguh di hari-hari ini kita membutuhkan kesabaran dalam mengamalkan
sunnah (petunjuk) Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- di tengah
keterasingan ajaran Islam di tengah pemeluknya sendiri. Semoga Allah
menjadikan kita orang-orang yang tegar dan konsisten (istiqomah) dalam
memegang teguh ajaran Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang murni
sampai kita menjumpai beliau di telaganya, amiin…
SUMBER : http://almakassari.com/tegar-menyampaikan-kebenaran.html
0 komentar:
Posting Komentar