Kota Madinah Diselimuti Kesedihan
Saat
matahari menyingsing di hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriyah,
Madinah diselimuti kesedihan dengan wafatnya Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam. Musibah terbesar yang menimpa umat, khususnya para
sahabat yang selama ini merasakan pahit getir perjuangan Islam bersama
Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam. Sebuah musibah yang benar-benar
membuat galau hati orang-orang terbaik umat ini. Di antara mereka pun
ada yang tak tahu harus berbuat apa. Sahabat ‘Ali bin Abi Thalib
radiallohu anhu, mengurung diri di rumah bersama sang istri Fathimah.
Sahabat ‘Utsman bin Affan radiallohu anhu, terdiam seribu bahasa.
Sementara sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radiallohu anhu, tak dapat
menguasai dirinya, hingga tidak terkontrol ucapannya. Dengan lantang
beliau berseru, “Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, tidak wafat!
Beliau hanya dipanggil oleh Allah subhaanahu wata’aala, untuk sementara
waktu sebagaimana yang pernah dialami Nabi Musa (selama 40 hari, pen.),
serta akan kembali untuk memotong tangan dan kaki orang-orang (yang
mengatakan bahwa beliau telah wafat).” (Lihat al-‘Awashim Minal Qawashim karya al-Qadhi Abu Bakr Ibnul Arabi, hlm. 37—39, dan ar-Rahiqul Makhtum, hlm. 468)
Sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq1 radiallohu anhu Pelipur Lara Kegalauan Umat
Demikianlah
kondisi umum yang menyelimuti kota Madinah di hari kematian Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam. Betapa rahmat Allah subhaanahu wata’aala,
yang sangat luas menghendaki sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu
anhu, manusia terbaik di umat ini setelah Rasul-Nya shallallohu alaihi
wasallam, sebagai pelipur lara bagi segala kegalauan di hari itu.
Alkisah,
ketika itu sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, tidak berada
di tempat kejadian. Beliau sedang berada di As-Sunh, sebuah tempat yang
terletak di ‘awali (dataran tinggi) kota Madinah. Saat mendengar berita
kematian Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, dengan cepat beliau
radiallohu anhu meluncur ke rumah sang putri, ‘Aisyah radiallohu anha,
tempat wafat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Sesampainya di
rumah ‘Aisyah, sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, langsung
mendatangi pembaringan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.
Disingkapnya kain yang menutupi wajah beliau shallallohu alaihi
wasallam, didekapnya tubuh beliau shallallohu alaihi wasallam, dan
diciumnya, seraya mengatakan, “Sungguh engkau, wahai Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam, selalu dalam kebaikan ketika hidup dan
mati. Demi Allah, tidaklah Allah subhaanahu wata’aala, menjadikan
untukmu dua kematian. Sungguh kematian yang Allah subhaanahu wata’aala,
tetapkan untukmu telah tiba.”
Kemudian
beliau radiallohu anhu keluar menuju Masjid Nabawi yang telah dipenuhi
oleh para sahabat. Ketika itu, ‘Umar bin al-Khaththab radiallohu anhu
tak dapat menguasai dirinya dan kata-katanya pun tak lagi terkontrol,
sebagaimana tersebut di atas. Naiklah sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq
radiallohu anhu, ke atas mimbar. Beliau mulai pembicaraan dengan memuji
Allah subhaanahu wata’aala, kemudian berkata, “Amma ba’du. Wahai
sekalian manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad shallallohu
alaihi wasallam, maka Muhammad shallallohu alaihi wasallam, sekarang
telah wafat. Barang siapa yang menyembah Allah subhaanahu wata’aala,
maka sesungguhnya Allah Mahahidup dan tidak akan mati.” Setelah itu,
beliau radiallohu anhu membacakan firman Allah subhaanahu wata’aala :
“Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik
ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia
tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberi balasan (kebaikan) kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali ‘Imran: 144)
Dengan
jiwa yang teguh, ilmu yang tinggi, dan akhlak yang mulia, sahabat Abu
Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu,—biidznillah—berhasil mengondisikan
umat dan membimbing mereka kepada kebenaran. Akhirnya, tidaklah mereka
keluar dari masjid melainkan telah terbimbing di atas kebenaran. Ayat
ke-144 dari Surah Ali ‘Imran tersebut kemudian dilantunkan di
lorong-lorong kota Madinah, seakan-akan baru diturunkan di hari itu.
Kemudian—seiring
berjalannya waktu—sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, yang
sangat dekat posisinya dengan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam,
tersebut dibai’at oleh kaum Muhajirin dan Anshar sebagai pemimpin umat
(khalifah). Di balai pertemuan (saqifah) Bani Sa’idah, beliau dipercaya
untuk memimpin umat melanjutkan misi perjuangan Islam yang telah
dilakukan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. (Lihat al-‘Awashim Minal Qawashim, hlm. 42—45)
Kondisi Umat di Awal Masa Kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu
Para
pembaca yang mulia, kondisi umat di awal masa kekhalifahan sahabat Abu
Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, sangat berbeda dengan kondisi mereka
di masa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Mereka terbagi menjadi
empat kelompok.
1. Sekelompok orang yang berteguh diri di atas jalan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Mereka adalah mayoritas umat.
2.
Sekelompok orang yang masih menyatakan keislaman, namun tidak mau
berzakat. Jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan kelompok yang
pertama.
3.
Sekelompok orang yang terang-terangan mengumumkan kekafiran dan keluar
dari Islam, seperti pengikut Thulaihah dan Sajah. Jumlah mereka lebih
sedikit dibandingkan dua kelompok sebelumnya. Hanya saja, di setiap suku
ada orang-orang yang memerangi orang-orang murtad tersebut.
4.
Sekelompok orang yang tidak menampakkan sikapnya, sambil menunggu
pemenang dari tiga kelompok tersebut, untuk kemudian bergabung dengan
mereka.” (Lihat Fathul Bari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani,
12/288—289)
Kebijakan Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, di Tengah Derasnya Arus Kemurtadan
Kondisi
umat yang memprihatinkan tersebut tak membuat Khalifah Abu Bakr
ash-Shiddiq radiallohu anhu, putus asa. Berbagai kebijakan strategis pun
beliau tempuh untuk stabilisasi keadaan. Dengan keilmuan yang tinggi
dan perhitungan yang matang, beliau memutuskan untuk mengirim pasukan
perang kepada kelompok orang-orang murtad dan orang-orang yang tidak mau
berzakat. Berkat pertolongan Allah subhaanahu wata’aala, tidaklah
berlalu setahun melainkan beliau telah berhasil mengatasi semua itu.
Al-Imam
Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahulloh dalam kitabnya al-Fashl fil Milali
wal Ahwa’i wan Nihal mengatakan, “Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq
radiallohu anhu, mengirim pasukan perang kepada mereka semua. Fairuz dan
pasukannya yang dikirim ke markas al-Aswad (di Shan’a) berhasil
membunuhnya.2 Sementara Musailamah al-Kadzdzab yang bermarkas di Yamamah
juga berhasil dibunuh (oleh pasukan Khalid bin al-Walid radiallohu
anhu, pen.). Thulaihah dan Sajah kembali memeluk Islam. Demikian pula
mayoritas orang-orang murtad lainnya. Tidak sampai setahun, semua telah
kembali ke pangkuan Islam. Walillahil hamdu.”3
Subhanallah,
ternyata kebijakan Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, yang
terkesan keras tersebut sangat strategis dalam mengembalikan kepercayaan
umat terhadap agamanya dan mengantarkan Islam kepada kejayaannya.
Gerakan bersenjata para nabi palsu dan pengikutnya berhasil ditumpas.
Bahkan, sebagian mereka kembali ke dalam agama Islam. Para penentang
zakat yang juga melakukan perlawanan bersenjata berhasil dilumpuhkan dan
ditundukkan di bawah naungan syariat Islam yang mulia. Syiar Islam
kembali bercahaya di tengah umat, yang sebelumnya sempat redup.
Panji-panji tauhid pun kembali berkibar, yang sebelumnya sempat melemah.
Tak
heran, bila sahabat Abu Hurairah radiallohu anhu, berkata, “Demi Allah,
Dzat yang tiada berhak diibadahi kecuali Dia, seandainya Abu Bakr
ash-Shiddiq radiallohu anhu, tidak diangkat sebagai khalifah, niscaya
Allah subhaanahu wata’aala, tidak diibadahi.” Beliau mengulangi ucapan
tersebut tiga kali, kemudian menyebutkan hujjahnya. (al-Bidayah wan
Nihayah karya al-Imam Ibnu Katsir, 6/305)
Demikian
pula al-Imam Ali Ibnul Madini t, beliau berkata, “Sesungguhnya Allah
subhaanahu wata’aala, mengokohkan agama ini dengan Abu Bakar ash-Shiddiq
radiallohu anhu, di tengah derasnya arus kemurtadan, dan dengan Ahmad
bin Hanbal t di tengah maraknya keyakinan sesat bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk (bukan kalamullah).” (Tadzkiratul Huffazh karya al-Imam
adz-Dzahabi, 2/432)
Syubhat Orang-Orang yang Tidak Mau Berzakat di Masa Kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu,
Tidak
diragukan lagi bahwa zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan
dalam Islam. Di dalam Al-Qur’anul Karim, banyak sekali ayat yang
menunjukkan perintah berzakat. Di antaranya adalah firman Allah
subhaanahu wata’aala :
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, serta taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (an-Nur: 56)
Dalam
mutiara kenabian, terpancar petuah mulia bahwa menunaikan zakat
merupakan bagian dari lima rukun Islam. Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam, bersabda:
بُنِيَ
اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ
الزَّكَاةِ, وَصِيَامِ رَمَضَانَ, وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Agama
Islam dibangun di atas lima hal: (1) bersyahadat bahwasanya tidak ada
yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad itu utusan Allah, (2)
mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) shaum di bulan Ramadhan,
dan (5) berhaji ke Baitullah.” (HR. al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16,
dari sahabat Abdullah bin Umar c)
Menurut
aturan syariat, tidak berzakat merupakan dosa besar. Di dalam
Al-Qur’anul Karim, dengan tegas Allah l mengancam orang-orang yang tidak
mau berzakat. Allah subhaanahu wata’aala, berfirman:
“Orang-orang
yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat)
siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka
Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka
(lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan
untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu’.” (at-Taubah: 34—35)
“Sekali-kali
janganlah orang-orang yang bakhil terhadap harta yang Allah berikan
kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang
mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat,
dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi,
dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imran: 180)4
Di
dalam kitab-kitab hadits, didapati pula ancaman Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam, terhadap orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut.
Para
pembaca yang mulia, kewajiban berzakat merupakan keyakinan yang telah
terpatri dalam sanubari umat di masa Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam. Namun, ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, wafat
dan sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, menjadi khalifah,
muncullah syubhat (kerancuan berpikir) pada sebagian elemen umat bahwa
kewajiban zakat tersebut hanya berlaku semasa hidup Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam, tidak berlaku sepeninggal beliau n. Mereka
berdalil dengan firman Allah subhaanahu wata’aala :
“Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan menyucikan mereka, serta berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa
kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (at-Taubah: 103)
Menurut
mereka, selain Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, tidak ada yang
dapat membersihkan dan menyucikan jiwa mereka, sehingga bagaimana
mungkin doanya dapat (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka? Akhirnya,
mereka tidak mau menunaikan zakat di masa kekhalifahan Abu Bakr
ash-Shiddiq radiallohu anhu, (Lihat Fathul Bari, 12/290)
Sikap Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohuanhu dan Para Sahabat
Para
sahabat Nabi bersepakat bahwa orang-orang yang tidak mau berzakat di
masa kekhalifahan Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, tersebut
bersalah, apapun alasannya. Namun, mereka berbeda pendapat dalam
menyikapinya. Dengan pertimbangan kondisi dan lain hal, mayoritas
sahabat berpendapat bahwa orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut
sementara waktu dibiarkan saja dan dilakukan upaya pendekatan persuasif
kepada mereka, dengan harapan keimanan mereka bisa kokoh dan siap untuk
berzakat. Disampaikanlah pendapat tersebut kepada Khalifah Abu Bakr
ash-Shiddiq radiallohu anhu. Ternyata Khalifah tidak sependapat dengan
mereka. Beliau radiallohu anhu lebih memilih bersikap tegas terhadap
orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat tersebut dan bertekad bulat
untuk memerangi mereka. (Lihat al-Bidayah wan Nihayah, 6/311)
Sikap
tegas Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu tersebut, awalnya
tidak mendapat respon dari para sahabat, termasuk ‘Umar bin al-Khaththab
radiallohu anhu. Terjadilah diskusi ilmiah di antara mereka, hingga
tampak jelas bahwa kebenaran berada di pihak Khalifah Abu Bakr
ash-Shiddiq radiallohu anhu. Akhirnya, terhimpunlah kata sepakat di
kalangan para sahabat bahwa orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut
harus diperangi.
Disebutkan
dalam Shahih al-Bukhari no. 6924—6925, dari Abu Hurairah radiallohu
anhu bahwa Umar bin al-Khaththab radiallohu anhu berkata kepada Khalifah
Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, “Wahai Abu Bakr, mengapa engkau
memerangi mereka padahal Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, telah
bersabda: ‘Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan laailaaha illallah (tiada yang berhak diibadahi kecuali
Allah). Barang siapa mengucapkannya niscaya akan terlindungi dariku
harta dan jiwanya kecuali dengan haknya, serta perhitungannya di sisi
Allah’.”
Abu
Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, berkata, “Demi Allah, aku akan
memerangi siapa saja yang membedakan antara shalat dan zakat, karena
zakat adalah hak harta (yang wajib ditunaikan, pen.). Demi Allah, jika
mereka menolak untuk menyerahkan seekor anak kambing betina (sebagai
zakat) kepadaku, yang dahulu mereka menyerahkannya kepada Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam, niscaya aku akan memerangi mereka
karenanya.”
Umar
bin al-Khaththab radiallohu anhu berkata, “Demi Allah, tidaklah aku
meyakini kecuali seperti apa yang telah dilapangkan oleh Allah
subhaanahu wata’aala, pada dada Abu Bakr, yakni keharusan memerangi
mereka. Aku menjadi tahu bahwa pendapat itulah yang benar.”
Asy-Syaikh
Hafizh al-Hakami t berkata, “Umar bin al-Khaththab z dan sebagian besar
sahabat memahami bahwa seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat
syahadat berarti telah terlindungi dari hukuman dunia. Berdasarkan hal
ini, mereka tidak menyetujui tindakan memerangi orang-orang yang tidak
mau berzakat (karena mereka masih mengucapkan dua kalimat syahadat,
pen.). Adapun Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu memahami bahwa
seseorang (yang mengucapkan dua kalimat syahadat, pen.) boleh diperangi
hingga benar-benar terbukti bahwa ia telah menunaikan hak-haknya. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi n, ‘Barang siapa menunaikannya niscaya akan
terlindungi dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya, serta
perhitungannya di sisi Allah.’ Kemudian beliau z berkata, ‘Zakat adalah
hak harta yang harus ditunaikan.’ Pemahaman Abu Bakr ash-Shiddiq
radiallohu anhu, tersebut ternyata juga diriwayatkan secara tegas oleh
beberapa sahabat—di antaranya Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan yang
lainnya radiallohu anhum,— bahwa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam,
bersabda, ‘Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka
bersaksi bahwa tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bersaksi
pula bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat…..’ Hal ini pula yang dikandung oleh firman Allah
subahaanahu wata’aala :
“Jika
mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (at-Taubah: 5)
Oleh
karena itu, perlindungan (terhadap jiwa dan harta) tersebut tidak
terwujud melainkan dengan menunaikan berbagai kewajiban yang datang dari
Allah subhaanahu wata’aala, dan diiringi tauhid. Ketika Abu Bakr
ash-Shiddiq radiallohu anhu menjelaskan hal ini kepada para sahabat,
mereka pun sependapat dengannya dan meyakini bahwa itulah pendapat yang
benar.” (Ma’arijul Qabul, 2/430)
Terkait
dengan latar belakang kesepakatan para sahabat untuk memerangi
orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut, para ulama yang tergabung
dalam al-Lajnah ad-Da’imah lil-Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’ menjelaskan
bahwa kesepakatan para sahabat bersama Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq
radiallohu anhu tersebut berdasarkan dua alasan.
1. Adanya kekufuran pada orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut.
2. Sikap mereka yang tidak mau berzakat.
Penolakan
mereka terhadap perintah Allah subhaanahu wata’aala, (kewajiban
berzakat) merupakan bentuk kekufuran, sedangkan penolakan mereka untuk
menyerahkan zakat kepada Khalifah merupakan bukti nyata bahwa mereka
tidak mau berzakat. Jadi, dua alasan itulah yang melatarbelakangi
kebijakan memerangi orang-orang yang tidak mau berzakat tersebut.
(Majallah al-Buhuts al-Islamiyyah, 42/45)
Sebagai
penutup kajian kali ini, ada satu faedah penting terkait rincian hukum
terhadap orang-orang yang tidak mau berzakat. Berikut ini pemaparannya.
-
Jika seseorang tidak berzakat karena penentangannya terhadap kewajiban
syariat zakat, dia dihukumi sebagai seorang kafir murtad.
-
Jika dia tidak berzakat karena sifat bakhil dan malas, namun tetap
meyakini kewajiban syariat zakat, maka zakatnya diambil secara paksa dan
dia diberi pelajaran.
-
Jika dia tidak mau berzakat dan siap berperang karenanya, dia tergolong
murtad, karena kesiapan berperang untuk mempertahankan sikapnya
tersebut merupakan bukti penentangannya terhadap syariat zakat. Inilah
kondisi (sebagian) orang-orang murtad (di masa kekhalifahan Abu Bakr
ash-Shiddiq radiallohu anhu). Mereka tidak mau berzakat dan siap
berperang karenanya. Kalaulah mereka tidak mau berzakat dan tidak siap
berperang karenanya, niscaya para sahabat akan mencukupkan dengan
mengambil (paksa) zakat dari mereka, memberi pelajaran kepada mereka,
dan tidak memerangi mereka. Namun, ketika mereka tidak mau berzakat dan
bersiap untuk berperang karenanya, ini adalah bukti penentangan mereka
terhadap syariat zakat. (Lihat Syarh Risalah Kitab al-Iman Abi Ubaid
Qasim bin Sallam karya asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah ar-Rajhi,
1/43)
Para
pembaca yang mulia, demikianlah secercah cahaya dari kehidupan Khalifah
Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, yang penuh ilmu dan iman,
khususnya ketika menghadapi berbagai fitnah dan gejolak besar yang
terjadi di tengah-tengah umat. Semoga kita dapat mendulang mutiara
hikmah darinya.
Amin Ya Rabbal Alamin.
Catatan Kaki:
1
Sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq radiallohu anhu, terlahir dengan nama
Abdullah bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin
Taim bin Murrah bin Ka’b bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi at-Taimi. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, pada
Murrah bin Ka’b. Sahabat Nabi n yang mulia ini akrab dipanggil dengan
‘Atiq (sebuah julukan beliau). Sebabnya ada beberapa versi. Menurut
al-Imam al-Laits bin Sa’d, al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Imam Yahya bin
Ma’in, dan yang lainnya, karena ketampanan wajah beliau. Adapun menurut
al-Imam al-Fadhl bin Dukain, karena bersegeranya beliau dalam kebaikan.
Menurut al-Imam Mush’ab bin az-Zubair, karena bersihnya nasab beliau
dari keburukan. Menurut riwayat Ummul Mukminin Aisyah radiallohu anha,
karena beliau terbebas dari azab api neraka.
Abu
Bakr adalah kunyah beliau, sedangkan ash-Shiddiq adalah gelar
kehormatan yang Allah subhaanahu wata’aala, sematkan untuk beliau
melalui lisan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Sebabnya adalah
beliau bersegera membenarkan segala yang datang dari Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam, senantiasa jujur dalam keimanannya, dan
tidak pernah muncul dari beliau kejelekan dalam semua kondisi. (Lihat
Tarikh al-Khulafa’ karya al-Imam as-Suyuthi, hlm. 31—33 dan Tahdzib
al-Asma’ wal Lughat karya al-Imam an-Nawawi, 2/181)
2
Menurut al-Qadhi ‘Iyadh dan yang sependapat dengannya, terbunuhnya
al-Aswad al-‘Ansi terjadi sesaat menjelang wafatnya Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam. (Lihat Fathul Bari, 12/292)
3 Dinukil dari Fathul Bari, 12/289.
4
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ayat ini turun berkaitan dengan
orang-orang yang tidak menunaikan zakat. Ini adalah pendapat mayoritas
ahli tafsir.” (Fathul Bari, 3/318)
(Ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc)
0 komentar:
Posting Komentar