Tabligh Bingung, Salafi Menjawab (1)
Oleh: Al-Ustadz Abul Fadhel Al-Bughisiy
إرشاد النبيه إلى بطلان تقولات جماعة التبليغ
على أهل السنة والجماعة
Setiap ahli bid’ah berusaha membela manhaj dan pemahaman mereka dengan berbagai macam uslub
(cara). Namun semua cara itu adalah batil. Diantara mereka ada yang
menggunakan cara dusta, menyebarkan syubhat, menghina orang tanpa
hujjah, memutar balik fakta, mencari perhatian orang banyak agar mereka
simpati kepadanya, menghujat para ulama sunnah, menggelari ulama dengan
sesuatu yang tidak mereka cintai tanpa berdasarkan bayyinah (keterangan), dan berbagai macam cara batil lainnya.
Seorang ikhwah fillah Abu Zahroh -hafizhohullah- yang bermukim di Papua telah mengirimkan kepada kami sebuah risalah dengan judul “Quo Vadis Mau Kemana Salafy, Hakikat Salafush Shalih”[1], sebuah tulisan yang disusun oleh dua orang Jama’ah Tabligh: Ustadz Adil Akhyar, dan Ustadz Muslim Al Bukhori.
Risalah ini merupakan sebuah pernyataan kejengkelan Tabligh Indonesia
ketika mereka mulai dinasihati dan diingkari oleh para Ahlus Sunnah
alias salafiyyin Indonesia. Kedua penulis risalah ini menggunakan cara
licik dalam menjatuhkan citra salafiyyin di mata masyarakat Indonesia
yang mulai simpati dengan dakwah Salafiyyah alias Ahlus Sunnah. Cara licik itu, kedua Penulis Quo Vadis Salafy mengaitkan dakwah Salafiyyah dengan dakwah Wahhabiyyah, sehingga seakan-akan menggambarkan bahwa dakwah Ahlus Sunnah taqlid dan fanatik buta kepada Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab -rahimahullah-.
Padahal telah masyhur dari manhaj Ahlus Sunnah bahwa mereka (Ahlus
Sunnah alias Salafiyyin) tidaklah menghalalkan taqlid secara global,
kecuali dalam perkara yang sempit sekali!!
Para Salafiyyun amat tahu bahwa taqlid adalah perkara yang dicela oleh Allah -Ta’ala-
dalam Al-Qur’an, karena seseorang hanya mengikuti orang, tanpa peduli
orang yang diikutinya di atas al-haq atau tidak. Bahkan kebanyakannya di
atas kebatilan, dan dosa. Allah -Ta’ala- berfirman saat mencela orang-orang kafir yang suka taqlid kepada nenek moyangnya dalam kebatilan,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang Telah
diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), bahkan kami Hanya
mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka
itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS. Al-Baqoroh: 170).
TAQLID kepada seseorang bukanlah merupakan suatu hal yang wajib, selain taqlid (baca: ittiba’) kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.
Karenanya, Al-Imam Malik -rahimahullah- berkata, “Setiap orang boleh diambil ucapan dan pendapatnya, dan juga boleh ditinggalkan kecuali penghuni kubur ini”.[2] Maksud beliau adalah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Jadi, setiap orang bisa diambil ucapannya, ketika sesuai dengan Sunnah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-,
bahkan itu wajib setelah nyata kebenarannya. Namun apabila tidak sesuai
dengan Sunnah, maka harus dilemparkan jauh-jauh ucapan orang tersebut.
Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata, “Setiap
yang saya ucapkan, lalu di sana ada hadits yang shohih dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam menyelisihi ucapanku, maka hadits Nabi
Shollallahu ‘‘alaihi wasallam lebih utama (engkau pegangi), dan
janganlah engkau taqlid kepadaku”.[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata,
“Sesuangguhnya kapan saja seorang meyakini bahwa wajib atas manusia
untuk mengikuti person tertentu di antara imam-imam yang empat tersebut,
tidak yang lainnya, maka dia wajib dimintai taubat. Jika ia bertaubat
(maka ia dimaafkan). Namun jika tidak taubat, maka ia dibunuh. Paling tidak (yang benar-pent.) dikatakan (dalam masalah taqlid ini-pent),
“Sesungguhnya boleh, atau seyogyanya, atau wajib bagi orang awam untuk
taqlid kepada seorang ulama siapa saja, tanpa menentukan orangnya
bernama Zaid atau Amer”.[4]
Adapun jika ada orang yang berkata, “Wajib atas ummat taqlid kepada
fulan atau fulan”, maka ucapan seperti ini tidak akan diucapkan oleh
seorang muslim.
Barangsiapa yang cinta kepada mereka (para Imam madzhab yang
empat), lalu bertaqlid kepada salah satu di antara mereka dalam perkara
yang tampak baginya bahwa (pendapat) itu cocok dengan sunnah, maka ia
telah berbuat benar dalam hal ini. Bahkan ia lebih baik kondisinya
dibandingkan selain dirinya.
Para ulama tersebut, persatuan mereka merupakan hujjah yang
memutuskan (perkara), sedangkan perselisihan mereka merupakan rahmat
yang luas. Maka barangsiapa yang fanatik kepada salah seorang
-secara khusus- di antara mereka, ia ibaratnya seperti orang-orang
Rofidhoh yang fanatik kepada salah seorang di antara sahabat, tidak
kepada yang lainnya, dan juga seperti Khawarij
Ini merupakan jalannya para ahli bid’ah dan ahwa’ yang telah keluar dari syari’at berdasarkan ijma’ ummat, Al-Kitab dan Sunnah.
Kemudian mayoritas orang-orang yang ta’ashshub (fanatik) kepada
seseorang, entah kepada Imam Malik, atau Asy-Syafi’iy, atau Ahmad, atau
Abu Hanifah atau yang lainnya, adalah orang yang jahil tentang derajat
ilmu ulama itu dan juga jahil terhadap derajat ulama’ lainnya. Maka ia
jahil dan zholim, padahal Allah memerintahkan (kita) untuk berbuat adil
dan melarang berbuat jahil dan zholim.
Kewajiban (kita) adalah mencintai kaum mukminin dan para ulama,
mencari kebenaran dan mengikutinya. Ketahuilah, barangsiapa yang
berijtihad di antara mereka, lalu ia benar, maka ia mendapatkan dua
pahala. Barangsiapa yang berijtihad (di antara mereka) lalu ia keliru,
maka baginya satu pahala.
Negara bagian Timur, di antara sebab Allah menguasakan
orang-orang Turki atas mereka adalah banyaknya perpecahan dan masalah di
antara mereka dalam hal madzhab. Semua itu merupakan perselisihan yang
dicela oleh Allah, karena berpegang teguh dengan Al-Jama’ah dan
persatuan merupakan salah satu di antara prinsip-prinsip agama.
Yang wajib atas seluruh makhluk :
mengikuti Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang ma’shum yang tidak
berbicara berdasarkan hawa nafsunya; ucapan beliau tiada lain kecuali ia
merupakan wahyu yang diwahyukan.
“Maka demi Tuhanmu, mereka( pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya”.[5]
Berdasarkan sabda Nabi -shollallahu ‘alaihi wasallam-, kondisi
dan perbuatan beliaulah, ditimbang seluruh kondisi, ucapan dan
perbuatan”.[6] Demikian yang dikatakan Syaikhul Islam -rahimahullah-
Dalam kitabnya yang lain, Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata,
“Apabila ada suatu permasalahan yang menimpa seorang muslim, maka ia
meminta fatwa seorang ulama yang diyakini bahwa dia (ulama itu) akan
memberinya fatwa berdasarkan syari’at Allah dan Rasul-Nya dari madzhab manapun.
Tidaklah wajib atas seorang di antara kaum muslimin untuk taqlid kepada
pribadi tertentu di antara ulama dalam segala yang ia katakan.
Tidak wajib atas seorang di antara kaum muslimin untuk melazimi madzhab
pribadi tertentu, selain Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dalam
segala yang beliau wajibkan dan kabarkan. Bahkan setiap orang di antara
manusia boleh diambil (dipegangi) di antara ucapannya atau ditinggalkan
kecuali Rasul -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.
Seseorang mengikuti madzhab pribadi tertentu adalah karena ketidakmampuannya untuk mengenal syari’at dari selainnya. Hal
itu hanyalah boleh baginya, bukanlah termasuk perkara yang wajib atas
setiap orang apabila orang itu mungkin mengenalnya (syari’at) tanpa
melalui jalan (madzhab) tersebut. Bahkan setiap orang wajib baginya
untuk bertaqwa kepada Allah semampunya, dan menuntut ilmu tentang
sesuatu yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, ia bisa
mengerjakan sesuatu yang diperintahkan dan meninggalkan sesuatu yang
dilarang, wallahu A’lam. “.[7]
- Judul Buku & Cover-nya
Para Pembaca yang budiman, buku yang menyudutkan Salafiyyun alias
Ahlus Sunnah ini perlu kita berikan catatan ringan demi menepis
tuduhan-tuduhan miring kaum Tabligh yang dilontarkan kepada Salafiyyun.
Buku itu perlu kita kaji dan cermati agar tampak siapa yang berada di
atas al-haq.
“…agar orang yang binasa itu, binasanya dengan keterangan yang
nyata, dan agar orang yang hidup itu, hidupnya dengan keterangan yang
nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Anfaal : 42)
Buku yang menyudutkan dakwah salafiyyah ini diberi judul yang aneh. Judul yang digunakan si Penulis Quo Vadis Salafy (QVS) -katanya- berasal dari bahasa latin yang arti harfiyah-nya adalah ke mana engkau pergi? Lanjut -katanya- quo vadis sering digunakan untuk mereka yang sudah jauh melenceng dari ketentuan umum yang berlaku. [Lihat QVS (hal. 15)][8]
Penulis dan Editor QVS berusaha menggambarkan kepada para pembaca
bahwa Salafiyyun alias Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang menyimpang
dari Al-Qur’an dan Sunnah. Insya Allah, anda akan lihat siapa sebenarnya
yang melenceng dari kebenaran, Tabligh atau Salafi?
Buku Quo Vadis Salafy ini diterbitkan oleh Putaka Zaadul Ma’aad, tanpa tahun. Buku ini diedit khusus (?) oleh seorang da’i jurnalis yang bernama Ustadz Abdurrahman Lubis[9]. Desain cover-nya
tampak dari luar seorang laki-laki berkaca mata yang menengadahkan
kepalanya ke beberapa lampu merah. Ini merupakan illustrasi tentang
orang yang bingung, hendak kemana mereka berjalan di atas dunia ini.
Siapa yang bingung?!!Nanti kita lihat hasilnya, Insya Allah -Ta’ala-.
Cover ini menunjukkan bahwa mereka (Jama’ah Tabligh) adalah kaum yang jauh dari petunjuk dan sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
walaupun mereka gembar-gembor menyatakan sebagai kaum yang gigih
mengamalkan sunnah. Kenapa mereka jauh dari Sunnah? Lihat saja mereka meremehkan gambar makhluk bernyawa, sementara Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- mengharamkannya.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda mengharamkan gambar makhluk bernyawa,
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ صُوْرَةٌ
“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambarnya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3054), dan Muslim dalam Shohih-nya (2106)].
An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para
ulama telah berkata, “Sebab keengganan para malaikat untuk masuk ke
dalam sebuah rumah yang ada gambarnya, karena gambar itu dianggap
sebagai maksiat yang keji. Pada gambar itu terdapat usaha menandingi
ciptaan Allah -Ta’ala-. Sebagian gambar itu dalam rupa sesuatu yang
disembah selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-”. [Lihat Syarh Shahih Muslim (14/84)].
Demikianlah hukum gambar menurut sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Adapun “sunnah” Tabligh, maka hal itu adalah remeh. Bayangkan da’i Tabligh menghalalkan gambar yang diharamkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Demikiankah pengikut dan “pendakwah sunnah”?!
- Maksud dan Defenisi Salaf
Para ulama kita telah menjelaskan maksud dan batasan kata “salaf” atau “As-Salaf Ash-Sholih”, yaitu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dari
kalangan tabi’in, tabi’ut tabi’in dan ulama-ulama yang mengikuti sunnah,
baik yang berkaitan dengan aqidah, ibadah, dan akhlaq. [Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama'ah (1/62-63)]
Bahkan menurut Al-Baijuriy dalam kitabnya Syarah Jauharoh At-Tauhid (hal.
111), bahwa yang dimaksud dengan “salaf” adalah semua orang yang
mendahului kita dari kalangan para nabi, sahabat, dan tabi’in. [Lihat Basho'ir Dzawi Asy-Syarof (hal. 19) karya Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly, cet. Maktabah Al-Furqon, 1420 H][10]
Apabila dikatakan “salaf”, maka biasanya
yang dimaksud adalah tiga generasi yang utama (sahabat, tabi’in, dan
tabi’ut tabi’in). Adapun orang yang berusaha menapaki jalan dan sunnah
mereka dalam perkara aqidah, ibadah dan akhlaq, maka mereka biasa
disebut dengan salafi (jamaknya: salafiyyun), artinya: pengikut salaf.
Penulis Quo Vadis Salafy memiliki pendapat nyeleneh dalam perkara ini, saat Penulis mengingkari bolehnya menggunakan label salafy.[11]
Menggunakan label “salafi” ini adalah sesuatu yang syar’iy, jika
disana ada hajat yang menuntut hal tersebut, misalnya: banyaknya
orang-orang yang menyimpang dari jalan salaf. Maka ketika itu kita boleh
menyatakan bahwa diri kita sebagai salafi (pengikut salaf). Ini tak ada
salahnya.
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhailiy As-Salafiy -hafizhohullah- berkata ketika menjelaskan bolehnya menggunakan kata salafy, “Ini
adalah perkara yang boleh menurut bahasa. Sebagaimana halnya benar bagi
kita bilang, “Sunni” sebagai penisbatan diri kepada Ahlus Sunnah, maka
benar juga kita katakan, “Salafy” sebagai penisbatan diri kepada salaf;
tak ada bedanya!!”. [Lihat Mauqif Ahlis Sunnah ()]
Adapun ucapan Penulis Quo Vadis Salafy,
“Belum ditemui satu pun riwayat shahih, bahwa ada diantara Imam Mujtahid seperti: Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad Ibn Hambal, Malik dan lainnya menyebut diri dan pengikutnya sebagai salafy ; tidak juga para Imam ahli hadits seperti Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at Tirmidzi dan lainnya…Seandainya predikat atau labelisasi seperti ini dipandang “sangat penting”, semestinya mereka paling layak disebut Salafy. Mereka semestinya yang pertama “mempopulerkan” istilah ini. Ternyata jangankan mereka, Ibn Taimiyyah sendiri tak pernah menggunakan istilah salafy untuk menyebut dan mendefinisikan harakah, atau madzhabnya dan para pengikutnya”. [Lihat Quo Vadis Salafy (hal. 16-17)]
Para pembaca yang arif, jawaban syubhat ini ada beberapa sisi:
Pertama, para imam –jika memang mereka tak
pernah demikian- tidaklah menyebut diri mereka salafy, karena tak ada
hajat ketika itu. Semua orang sudah tahu mereka adalah salafy. Sama ibaratnya dengan seorang guru sekolah, ia tak perlu menulis di belakang namanya fulan guru SMA. Ini tak perlu, kecuali dalam sebagian kondisi, yakni saat ada hajat.
Kedua, penggunaan kata salafy (pengikut salaf) sama artinya dengan sunny (pengikut
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Nah, kami bertanya kepada si Penulis QVS,
“Apakah para ulama itu pernah menyatakan diri sebagai sunny ?!”
Ketiga, murid-murid Imam Malik -misalnya- yang mengikuti metode fikih Imam Malik dan lainnya, apakah mereka menamakan diri dengan maliky, hanafy, syafi’iy, dan hambaly, dan tercelakah hal tersebut?!
Keempat, madzhab Asy’ariy dan Maturidiy
yang kalian anggap sebagai Ahlus Sunnah, tak ada diantara para sahabat
atau tabi’in yang melabeli diri mereka dengan Asy’ariy atau Maturidy.
Kalau tak ada, nah apakah madzhab Asy’ary, dan Maturidy adalah dua
madzhab yang batil?![12]
Kelima, sepanjang pengetahuan kami, tak ada
diantara sahabat yang menyatakan dirinya Ahlus Sunnah. Ketika tak ada
yang menyebut diri mereka sebagai Ahlus Sunnah, apakah kita yang
mengikuti mereka juga tak boleh menggunakan istilah Ahlus Sunnah. Nah,
bingungkan wahai Jama’ah Tabligh??!
Keenam, para ulama ketika butuh untuk
menampakkan madzhab dan aqidahnya dalam beragama, maka mereka
menggunakan label salafy atau atsary (pengikut atsar/hadits). Tak ada
yang mengingkari penggunaan istilah itu, kecuali orang-orang bingung
dari kalangan ahli bid’ah, semisal JT.
Sekali lagi, menamakan diri dengan As-Salafiy atau Al-Atsariy, ini
tak apa, jika seorang berada di atas manhaj dan aqidah salaf. Karenanya,
penggunaan nama Al-Atsariy atau As-Salafiy di akhir nama, atau dalam
menyifati seseorang sudah menjadi perkara yang masyhur di kalangan
salaf.
Kali ini kami akan menukilkan nama-nama para ulama Ahlus Sunnah yang terkenal dengan istilah salafy atau atsary agar menjadi bahan renungan bagi Jama’ah Tabligh –khususnya Penulis QVS-. Nukilan ini kami ambilkan dari kalam ulama berikut:
Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata, “Syu’bah bin Abdullah bin Ali Abu Bakr Ath-Thusiy Al-Atsariy“.[Lihat Tarikh Al-Islam (1/3421)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata, “Al-Husain
bin Abdil Malik bin Al-Husain bin Muhammad bin Ali Asy-Syaikh Abu
Abdillah Al-Ashbahaniy Al-Khollal Al-Adib An-Nahwiy Al-Bari’
Al-Muhaddits Al-Atsariy“.[Lihat Tarikh Al-Islam (1/3673)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata, “Muhammad bin Ahmad bin Kholaf bin Biisy Abu Abdillah Al-Abdariy Al-Andalusiy Al-Atsariy“.[Lihat Tarikh Al-Islam (1/3758)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata ketika menyebutkan orang-orang yang lahir sekitar tahun 593 H, “…dan Az-Zahid Ahmad bin Ali Al-Atsariy“.[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4234)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata ketika menyebutkan murid-murid Ibnul ‘Uwais, “…dan Ash-Sholih Abdul Karim bin Manshur Al-Atsariy“.[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4524)]
Ash-Shofadiy -rahimahullah- berkata, “Muhammad bin Musa bin Al-Mutsanna Al-Faqih Al-Baghdadiy Al-Atsariy Ad-Dawudiy Azh-Zhohiriy. Dia adalah seorang ahli fiqih yang cerdas; meninggal tahun 385 H”.[Lihat Al-Wafi fil Wafayat (1/4524)]
Ash-Shofadiy -rahimahullah- berkata, “Abdur Rahim bin
Muhammad bin Ahmad bin Faris Asy-Syaikh Ash-Sholih Abu Muhammad Ibnul
Zajjaj Afifuddin Al-Altsiy Al-Baghdadiy Al-Hambaliy Al-Atsariy ;lahir 612 H, dan meninggal tahun 685 H”.[Lihat Al-Wafi fil Wafayat (1/2647)]
Al-’Iroqiy berkata tentang dirinya di awal manzhumah alfiyyah-nya,
يقول راجي ربه المقتدر … عبد الرحيم بن الحسين الأثري
“Orang yang berharap kepada Robb-nya Yang Maha Kuasa…
Abdur Rahim bin Al-Husain Al-Atsariy“. [13]
Al-Allamah As-Sakhowiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan makna kata “Al-Atsariy”, “ Al-Atsariy
(dengan men-fathah hamzah-nya dan tsa’-nya) merupakan nisbah kepada
atsar. Sedang dia (kata atsar) secara bahasa adalah jejak. menurut
istilah, (atsar) adalah haditshadits yang marfu’ atau mauquf menurut
pendapat yang dijadikan standar”.[Lihat Fath Al-Mughits (1/7), cet. Darul Kutub Al-'Ilmiyyah, 1403 H]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Abu Isma’il Al-Harowiy (Penulis Dzammul Kalam)[14], “Dahulu Syaikhul Islam (Al-Harowiy) adalah seorang atsariy sejati; ia biasa mendapatkan celaan dari para ahli kalam”.[Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (18/506)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata tentang Yusuf bin Muhammad Al-Hauroniy, “Dia adalah syaikh yang mulia, sunniy, atsariy, sholih, qona’ah, dan menjaga kesucian diri”.[Lihat Mu'jam Al-Mukhtash bi Al-Muhadditsin (hal.19)]
As-Sam’aniy -rahimahullah- berkata dalam Al-Ansab (1/84), “Al-Atsariy
(dengan men-fathah alif-nya dan tsa’nya, diakhirnya ada ro’), nisbah
ini kepada atsar, yakni hadits, pencarian hadits, dan pengikutnya. Telah
masyhur dengan nisbah seperti ini Abu Bakr Sa’d bin Abdillah Al-Atsariy Ath-Thusiy”.
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Ad-Daruquthniy, “Orang
ini (yaitu, Ad-Daruquthniy) tak pernah masuk ke dalam ilmu kalam dan
jidal, dan tidak pula terjun ke dalamnya, bahkan ia adalah salafiy“.[Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (16/457)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Bahroniy, “Dia adalah seorang yang taat beragama, orangnya baik lagi salafiy“.[Lihat Mu'jam Asy-Syuyukh (2/280)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Sholahuddin Abdur Rahman bin Utsman bin Musa Al-Kurdiy Asy-Syafi’iy, “Dia adalah seorang salafiy bagus aqidahnya”.[Lihat Tadzkiroh Al-Huffazh (4/1431)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Abdullah Ibnul Muzhoffar bin Abi Nashr bin Hibatillah, “Dia adalah seorang yang tsiqoh (terpercaya), sholeh, lagi salafiy“.[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4236)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Al-Qodhi Abul Hasan Umar bin Ali Al-Qurosyiy Abil Barokat Ad-Dimasyqiy, “Dia adalah seorang yang waro’, sholeh, beragama, lagi salafiy“.[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4849)]
Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Abdur Rahman bin Al-Khodhir bin Al-Hasan bin Abdan Al-Azdiy, “Dia adalah seorang sunniy, salafiy , lagi atsariy –semoga Allah merahmatinya-”.[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4861)]
Al-Imam Ash-Shofadiy berkata tentang Al-Imam Tajuddin At-Tibriziy Asy-Syafi’iy, “Dia adalah seorang salafiy , lagi tegas menyatakan kebenaran”.[Lihat Al-Wafi fil Wafayat (1/2603)]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi -rahimahullah- berkata tentang Gurunya, yakni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Beliau senantiasa di atas hal itu (sibuk dengan ilmu) sebagai generasi penerus yang sholeh lagi salafiy“.[Lihat Al-'Uqud Ad-Durriyyah (hal.21)]
Inilah beberapa nukilan dan pernyataan ulama’-ulama’ tentang bolehnya seseorang menamakan diri dengan salafiy.
Jika pengakuannya sesuai dengan realita dirinya; ia benar-benar berada
di atas jalan Salaf, maka tak ada salahnya ia menamai dirinya dengan salafy. Perhatikan para ulama kita di atas mereka digelari dan dikenal dengan istilah salafy atau atsary ; tak ada yang mengingkari hal itu, kecuali setelah lahirnya Jama’ah Tabligh dan sehaluannya.[15]
Adapun jika seseorang tak sesuai manhajnya dengan manhaj salaf, dalam
artian ia adalah sufi, atau ahli kalam (seperti, Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah), lalu mengaku sebagai salafy alias Ahlus Sunnah, maka inilah yang tak dibolehkan, dan inilah kondisi Jama’ah Tabligh yang suka mengaku tanpa bukti.[16]
Jadi, Asy’ariyyah dan Maturidiyyah bukanlah pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, sebab mereka adalah ahli kalam yang telah di-tahdzir (diingatkan bahaya penyimpangannya) oleh para salaf.[17]
Kembali kami tekankan bahwa yang dimaksud dengan salaf,
mereka adalah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- , sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka. Ini yang
dimaksud SALAF.
Lalu dari manakah Ustadz Adil Akhyar dan Ustadz Muslim Al Bukhori
mendapatkan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Jawabnya, tentu dari
orang-orang yang terpengaruh dengan ilmu kalam, semisal Az-Zubaidiy (seorang yang bermanhaj Asy’ariyyah).
Ini menyelisihi pernyataan para ulama kita saat mendefinisikan kata
salaf atau Ahlus Sunnah sebagaimana yang dinukil sendiri Penulis dan
Editor QVS. [Lihat QVS (hal. 19 dan 63)]
- Antara Wahhabiyyah dan Ahlus Sunnah
Penulis QVS dalam hal ini berusaha membedakan antara Ahlus Sunnah dan
Wahhabiyyah (Pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab). Di lain sisi,
ia menyamakan Wahhabiyyah dengan Salafy.[18] [Lihat QVS (hal. 109)]
Dari sini tampak kelicikan Penulis QVS dalam menyudutkan setiap orang yang tidak sepaham dan seakidah dengannya. Nah, setiap orang yang ia benci –walaupun ia Ahlus Sunnah-, maka Penulis menggelarinya sebagai “Wahhabiy”. Padahal kata salafiy, artinya dalam bahasa Arab adalah pengikut salaf,
yakni orang yang berteladan dengan para sahabat. Orang seperti ini kok
dicela. Tapi para pembaca maklum saja, karena memang kedua Penulis QVS
memang kerjanya suka mencela, bahkan mengkafirkan ulama Ahlus Sunnah,
semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang telah menghabiskan umurnya
membela sunnah, dan menepis bid’ah.
Jadi, selain Wahhabiy, semua adalah Ahlus Sunnah, walaupun ia adalah ahli kalam. Ini konsekuensi dari sikap Penulis QVS. Karenanya, Penulis QVS
menggolongkan kaum ahli kalam dari kalangan Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah sebagai Ahlus Sunnah. Sungguh ini adalah kerancuan dan
kebingungan dalam berpikir pada kedua Penulis QVS. si Penulis QVS
menyangka bahwa yang diajak bicara hanyalah orang-orang dungu, dan anak
kecil yang tidak memahami arti kata yang keluar dari mulut dan pena
Penulis.
Para Pembaca yang budiman, dengan melihat kerancuan dan kebingungan Penulis QVS,
maka kami perlu jelaskan bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu adalah
mereka yang berusaha mengikuti dan merealisasikan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berdasarkan pemahaman Salaf (para sahabat). Mereka memiliki beberapa nama yang masyhur, diantaranya adalah salaf atau salafiyyun, Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh (kelompok yang ditolong), Al-Firqoh An-Najiyah (Golongan yang Selamat), Ahlul Hadits, dan Ahlul Atsar.[19]
Seorang menamai dirinya sebagai salafiy, bukan berarti ia
keluar dari nama yang syar’iy, yaitu Islam. Bahkan nama salafiy adalah
Islam itu sendiri, seperti halnya kata “Ahlus Sunnah wal Jama’ah”,
Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh, Al-Firqoh An-Najiyah, Ahlul Atsar
(Al-Atsariyyah), Ahlul Hadits, Sunniy, Salaf (salafiyyah/salafiyyun).
Semua ini adalah nama-nama bagi seorang atau golongan yang berada di
atas Al-Kitab dan sunnah berdasarkan pemahaman salaf. Sedang orang yang
demikian disebut muslim yang hakiki.
Bukan seperti yang digambarkan oleh Editor QVS (Ustadz A. Lubis) bahwa label salafy adalah sesuatu yang tak syar’iy. [Lihat QVS (hal. 42)]
Padahal kata salafy itu sendiri, artinya
adalah orang mengikuti Islam yang murni dan hakiki sebagaimana yang
pernah dianut oleh para sahabat dahulu di zaman kenabian. Jadi, jika
Al-Qur’an atau hadits menyebut kata “Sunnah”, maka yang dimaksud adalah Islam murni yang belum ternodai oleh bid’ah dan pemikiran menyimpang[20].
Nah, Islam murni inilah yang kita istilahkan dengan “Manhaj Salaf”
alias “Salafiyyah”. Orang yang mengikuti agama Islam murni itu disebut
dengan “salafiy” (jamaknya: salafiyyun) yang bermakna: orang-orang yang mengikuti salaf, yakni sahabat yang pernah mengikuti dan menganut agama Islam murni.
Saya kira ini jelas bagi semua kalangan, kecuali orang-orang yang buta mata hatinya dari kalangan ahli bid’ah dan ahli kalam!!! Nas’alullahal afiyah was salamah minal fitan wa ahlih.
Para Pembaca yang arif dan bijak, SALAFIYYUN
memiliki nama yang banyak, namun nama-nama itu bermuara dalam satu
makna, yaitu Islam hakiki, Islam yang belum dinodai oleh bid’ah, Islam
yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-; diyakini, dan diamalkan oleh para sahabat -radhiyallahu ‘anhum-.
Syaikh Ibrahin bin Amir Ar-Ruhailiy -hafizhahullah-[21]telah
menyebutkan beberapa nama bagi Ahlus sunnah setelah menjelaskan bahwa
Ahlus Sunnah tidak memiliki nama, dan gelar yang masyhur baginya, selain
Islam. Tapi kenapa Ahlus Sunnah memiliki nama-nama, apakah nama-nama
itu keluar dari makna dan kandungan Islam.
Menjawab hal ini, Syaikh Ibrahin bin Amir Ar-Ruhailiy -hafizhahullah- berkata, “Tatkala
telah muncul bid’ah dalam Islam, kelompok-kelompok sesat berbilang, dan
senuanya mengajak kepada bid’ahnya –disamping mereka menisbahkan kepada
Islam pada lahiriahnya-, maka para pengikut kebenaran, dan pemilik
aqidah yang benar, yang Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
meninggalkan ummat di atasnya, tanpa dikotori oleh suatu noda, atau
disusupi oleh sesuatu berupa hawa dan bid’ah; ketika itu mereka (Ahlus
Sunnah) haruslah dikenal dengan nama-nama yang membedakan mereka dari
para pelaku bid’ah, dan penyimpangan dalam aqidah ini. Maka ketika itu
muncullah nama-nama mereka yang syar’iy dan bersumber dari Islam. Maka
diantara nama mereka: Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Al-Firqoh An-Najiyah,
Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh, dan As-Salaf. Apa yang masyhur berupa
nama-nama ini, ini tidaklah menyelisihi sesuatu yang telah lewat
penetapannya bahwa mereka (Ahlus Sunnah) tidak memiliki nama dan gelar
yang mereka dikenal dengannya, selain Islam, karena nama-nama ini
menunjukkan Islam. Namun tatkala orang yang tidak menerapkan Islam
dengan sebenarnya dari kalangan ahli bid’ah menisbahkan diri kepada
Islam, maka muncullah nama-nama ini untuk membedakan antara orang-orang
yang menerapkan Islam dengan benar –dan mereka adalah Ahlus Sunnah-, dan
antara orang-orang yang menyimpang darinya. Barang siapa yang yang mau
merenungi nama-nama ini (nama-nama Ahlus Sunnah), maka akan nampak
baginya bahwa nama-nama itu seluruhnya menunjukkan Islam. Sebagian
nama-nama itu tsabit (ada) berdasarkan nash dari Rasul -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-, dan sebagiannya hanyalah terjadi bagi mereka karena
keutamaan mereka menerapkan Islam dengan benar”.[Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama'ah min Ahli Al-Ahwa' wal Bida' (1/44-45), cet. Maktabah Al-Ghuroba' Al-Atsariyyah]
Jadi, disini perlu kita luruskan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
yang pernah memperjuangkan agama Allah di Jazirah Arab, beliau adalah
ulama Ahlus Sunnah yang telah mengambil aqidah dan agama beliau dari
Al-Kitab dan Sunnah berdasarkan pemahaman salaf. Yang menjadi bukti
abadi dalam hal ini adalah kitab-kitab yang beliau tulis. Tak ada kitab
yang beliau tulis, kecuali berisi ayat-ayat dan hadits-hadits beserta
atsar yang beliau sarikan dari penjelasan para ulama sebelum beliau[22]. Beliau bukanlah perintis madzhab dan sekte baru.
Jika ada yang menuduh beliau sesat atau kafir, tolong datangkan
sebuah contoh kesesatan atau kekafiran beliau dari kitab-kitab beliau
sendiri. Kami yakin tak ada yang mampu, kecuali ia akan dusta atas nama
beliau. Jika beliau keliru dalam berijtihad, maka beliau adalah manusia
biasa sebagaimana kata Al-Imam Malik -rahimahullah- berkata,
كُلُّ أَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلاَّ صَاحِبَ الْقَبْرِ
“Setiap orang boleh diambil ucapan dan pendapatnya, dan juga boleh ditinggalkan kecuali penghuni kubur ini”.[23] Maksud beliau adalah Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Kapan diambil? Diambil saat sesuai dengan Sunnah, dan ditolak jika
tak sesuai sunnah!! Nah, sekarang mana aqidah beliau yang sesat, tak
sesuai dengan sunnah???! Jawabnya tentu sulit. Kalau hanya sekedar
menuduh, yah gampang. Anak kecil dan orang gila pun bisa menuduh.
Wahai Penulis QVS, ketahuilah bahwa menyesatkan dan mengkafirkan orang adalah sesuatu yang berbahaya jika tidak dilandasi dengan ilmu dan bayyinah.
Kalian akan ditanyai ilmunya di sisi Allah. Dosanya besar wahai
Jama’ah, sebab mengotori kehormatan seorang muslim, dan berkata dusta
atas nama Allah adalah dosa besar. Bahkan boleh jadi kesesatan dan
kekafiran itu akan kembali kepada anda, sehingga akhirnya kalianlah yang
kafir. Wal’iyadzu billah.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, “Wahai si kafir”,
maka sungguh ucapan ini akan kembali kepada seorang diantara keduanya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (6104)]
Ini merupakan kecaman keras bagi orang yang mengkafirkan orang tanpa
ilmu dan hujjah; serampangan dalam mengkafirkan sebagaimana yang
dilakukan oleh JT terhadap Salafiyyun.
- Awal Penggunaan Istilah Salafy
Abdur Rahman Lubis, Editor QVS (Quo Vadis Salafy) berusaha menjelaskan dengan kebingungannya bahwa istilah salafy pertama kali dimunculkan oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah-. Dengarkan Bang Lubis berkata,
“Sebutan Salafy pertama kali dari Syekh Nashiruddin Al-Albaniy sebagaimana terekam dalam dialog antara Albani dengan seorang pengikutnya, Abdul Halim Abu Syuqqah.Albani mendefenisi Salafy sebagai “orang-orang yang mengikuti cara beragama salafus shalih dalam memahami Islam”.Bang Lubis juga berkata, “Gaung salafy baru muncul sekitar awal kurun kedua puluh ketika kedua kali Wahaby berhasil menguasai Hijaz. Mendirikan Negara berbentuk kerajaan, bukan Daulah Islamiyyah atau Khilafah Islamiyyah”. [Lihat QVS (hal. 17-18)]
Menjawab pernyataan ini, biidznillah kami tanggapi dalam beberapa poin dan permasalahan berikut:
1. Penggunaan sebutan dan istilah
salafy telah masyhur, jauh sebelum lahirnya Al-Imam Al-Mujaddid Muhammad
Nashiruddin Al-Albaniy sebagaimana hal itu telah masyhur dalam ucapan
para ulama dari zaman ke zaman.
Penisbatan diri kepada salaf telah masyhur di kalangan ulama kita
sebagaimana anda bisa lihat dalam kitab-kitab yang berbicara tentang
nasab.
Abu Bakr As-Suyuthiy -rahimahullah- berkata,
السلفي: بفتحتين وفاء إلى مذهب السلف
“Salafy: dengan dua fathah dan huruf fa’ (adalah penisbatan diri) kepada madzhab salaf”. [Lihat Lubb Al-Lubab fi Tahrir Al-Ansab (hal. 45)]
Penisbatan diri kepada salaf telah masyhur di kalangan ahli sejarah. Lihat saja -misalnya- kitab Al-A’lam
karya Khoiruddin Az-Zirikliy, kalian akan menemukan banyak tokoh yang
disebut dengan istilah salaf sebelum dan setelah munculnya dakwah tauhid
yang diusung oleh Mujaddidul Islam Al-Imam Al-Faqih Syaikh Muhammad bin
Abdil Wahhab As-Salafiy Al-Atsariy –rahimahullah rahmatan wasi’ah-.
Sebelum Az-Zirikliy, ada Imam Abul Muzhoffar As-Sam’aniy dalam Al-Ansab telah menyebutkan sejumlah tokoh yang terkenal dengan sebutan dan label Salafy
sebagaimana halnya Al-Imam Adz-Dzahabiy dan Ash-Shofadiy juga
menyebutkan hal tersebut dalam kitab-kitab mereka. Jadi, orang yang
menyatakan bahwa Syaikh Albaniy yang pertama kali memunculkan istilah salafy adalah orang-orang yang tak memahami sejarah.[24]
2. Abdul Halim Abu Syuqqoh, dikatakan oleh Pengedit QVS bahwa
ia adalah pengikut Syaikh Al-Albaniy. Abdul Halim Abu Syuqqah hanyalah
seorang yang menggeluti dunia tulis-menulis yang datang bertamu kepada
Syaikh Al-Albaniy. Jika dikatakan ia adalah pengikut dalam artian murid
Al-Albaniy, maka jelas keliru. Bila maksudnya adalah orang yang
mengikuti manhaj beliau, manhaj Ahlus Sunnah, wallahu a’lam tentang hal
itu.
3. Perhatikan kebingungan Pengedit QVS[25]
yang menyatakan bahwa gaung salafy baru muncul ketika Daulah Su’udiyyah
menguasai Hijaz. Ini jelas merupakan tipuan dan kecohan yang memberikan
gambaran bahwa dakwah salafiyyah tak pernah ada sebelumnya, tapi nanti
muncul di zaman Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab[26].
Ketahuilah bahwa dakwah salafiyyah telah muncul sejak diutusnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada umat manusia. Oleh karena itu, Editor QVS sendiri yang menyatakan demikian ketika ia menukil ucapan seorang yang berkata, “As Salafiyyah mereka yang berjalan atas Manhaj Salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah”. [Lihat QVS (hal. 19)]
Bahkan orang yang diagungkan oleh Penulis & Pengedit QVS, yaitu Al-Bajuuri berkata dalam Syarah Jauharut Tauhid (hal. 111), “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu yaitu para Nabi, Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in”. [Lihat QVS (hal. 63)]
Pernyataan Al-Bajuuri ini meruntuhkan pemikiran dan kebingungan Abdur Rahaman Lubis (Editor QVS) dan Penulis QVS yang
menyatakan bahwa istilah salafiy tidak syar’iy. Sebab jika salaf sudah
ada sejak zaman kenabian, maka berarti pengikutnya harus ada. Nah,
pengikut salaf itulah yang kita istilahkan “salafy”.
Kalau Jama’ah Tabligh mau jujur, mestinya mereka jangan menggunakan istilah “Jama’ah Tabligh”, “Karkun”, “Jaulah”, “Bayan” dan “Khuruj”, sebab semua istilah ini tak pernah digunakan di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dan para sahabat. Terlebih lagi istilah-istilah itu digunakan untuk
program dan amaliah bid’ah yang tak pernah dicontohkan oleh para salaf.
Misalnya, “khuruj“; di dalam JT, semua harus khuruj (keluar berdakwah), entah ia jahil atau berilmu. Mana ada contohnya dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dan para salaf berdakwah asal-asalan seperti itu. Mereka ibaratnya
orang yang tak pandai berenang, lalu berusaha menyelamatkan orang-orang
yang hampir tenggelam. Akhirnya, ia mati bersama orang yang hendak
ditolong tersebut.
Seorang yang tak berilmu lalu terjun ke medan dakwah, maka ia akan
banyak menimbulkan kerusakan, sebab pasti ia akan mengada-ada atas nama
Allah. Sedang mengada-ada atas nama Allah adalah perbuatan haram. Allah
-Ta’ala- berfirman,
“Katakanlah: “Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui“. (QS. Al-A’raaf : 33)
Mengada-ada seperti ini banyak kita jumpai pada Jama’ah Tabligh saat
mereka menulis buku atau saat menyampaikan ceramah. Lihat saja buku
rujukan mereka yang berjudul Fadho’il A’mal, karangan Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawiy.
- Asal Salaf dan Manhaj Salaf
Kata “salaf” telah digunakan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabda beliau,
فاتقي الله واصبري فإنه نعم السلف أنا لك
“Bertaqwalah kepada Allah, dan bersabarlah, karena sebaik-baik Salaf (pendahulu) bagimu adalah saya“.[27]
Jadi, asal kata “salaf” telah ada di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dan para sahabatnya. Oleh karena itu, aneh jika ada yang mengingkari
penggunaannya dengan berbagai macam alasan yang tidak bisa diterima oleh
orang yang memiliki pikiran yang sehat.
Sikap salah seperti ini telah dinyatakan oleh Abdur Rahman Lubis dalam mukaddimah terhadap Quo Vadis Salafy. Dia mengingkari penggunaan istilah dan label “salafy” dengan alasan karena kekhawatirannya jangan sampai istilah itu digunakan oleh orang yang menyelisihi manhaj salaf.
Kita dengarkan sang Editor “Ulung” berkata dalam QVS (hal. 20) usai membawakan hadits di atas,
“Cukup jelas penamaan salaf dan penisbahan diri kepada manhaj salaf sebagai landasan kuat telah lama dikenal.[28] Jadi, siapa saja yang keyakinan dan amalannya mengikuti salafus shalih maka ia pasti berada di jalan yang benar. Di sini yang dimaksud adalah keyakinan dan amalan, bukan predikatnya, karena Rasulullah saw. pun bukan sebutan belaka, tapi contoh terbaik. Jadi tanpa menyebut diri salafy, kalau keyakinan dan amalannya mendukung insya Allah dia pengikut salafush shalih. Namun jika seseorang atau suatu jama’ah mengaku diri salafy, ternyata keyakinan dan amalannya tidak sama dengan salafush shalih, inilah kepalsuan. Karena kejahilan kita[29] hari ini muncul anggapan manhaj salaf suatu aliran, kelompok , atau sekte baru. Anggapan lain karena ungkapan, pengakuan, dan penamaan diri atau kelompok yang rancu dan membingungkan”. [Lihat QVS (hal. 20)]
Sanggahan ucapan sang Editor “Ulung” ada dalam beberapa jawaban berikut ini:
1. Tampak bahwa sang Editor QVS mengingkari penggunaan salafy karena
kekhawatirannya jangan sampai label (nama) dan istilah itu digunakan
oleh orang yang tidak mencocoki keyakinan salafus shalih. Dengan
anggapan seperti ini dia melarang kita menggunakan istilah salafy. Bagaimana jika seseorang yang mengaku salafy adalah
orang yang memiliki keyakinan dan amalan yang sesuai dengan keyakinan
(aqidah) dan amalan salafush shalih??! Pertanyaan seperti ini akan
membungkam mulut Penulis dan Pengedit QVS, bahkan akan membuat mereka
bingung dan terdiam seribu bahasa!!
Allah -Ta’ala- berfirman ketika mencela ahli Kitab yang mendebat
orang tanpa ilmu, dan inilah yang dilakukan oleh Penulis dan Pengedit
QVS,
“Beginilah kalian, kalian ini (sewajarnya) bantah membantah
tentang hal yang kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah tentang
hal yang tidak kamu ketahui? Allah mengetahui sedang kamu tidak
mengetahui”. (QS. Ali Imraan : 66)
2. Kata salafy bukanlah predikat yang harus disombongkan, tapi ia adalah predikat yang harus disyukuri di hadapan Allah -Azza wa Jalla-. Karenanya, sebagian ulama kita walaupun mereka tidak menyebut diri dengan salafy,
maka mereka berusaha mengikuti manhaj salaf. Namun –di sisi lain-
mereka juga tak menyalahkan orang-orang yang menyebut dirinya salafy,
dalam rangka mengenalkan dan membedakan jati dirinya dari ahli bid’ah.
Tak heran jika ada diantara mereka yang dikenal, bahkan menyebut diri
mereka salafy sebagaimana telah berlalu penukilannya dari kitab-kitab sejarah. Tak ada yang menyalahkan penggunaan kata salafy secara mutlak, kecuali orang yang buta mata hatinya.
3. Kalau seseorang mengaku salafy, lalu amalan
dan keyakinan (aqidah)nya tidak sesuai amalan dan keyakinan salaf, maka
inilah yang tercela; inilah salafy imitasi alias palsu. Yang layak menjadi misal dalam perkara ini adalah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah[30] yang menyalahi keyakinan (aqidah) salafush shalih dalam perkara asma’ was shifat
(nama dan sifat-sifat Allah). Mereka adalah ahli kalam yang suka
mentakwil nama dan sifat-sifat Allah -Azza wa Jalla-. Bahkan mereka me-nafi-kan (meniadakan) sebagian besar nama dan sifat-sifat Allah -Azza wa Jalla-
yang telah tsabit dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Jelas ini menyalahi
madzhab dan manhaj salaf dalam beraqidah. Bahkan menyalahi aqidah para
imam empat: Malik, Abu Hanifah, Syafi’iy, dan Ahmad bin Hambal.[31]
4. Tadi Pengedit QVS, Bang Lubis berkata, “Karena kejahilan kita hari ini muncul anggapan manhaj salaf suatu
aliran, kelompok , atau sekte baru. Anggapan lain karena ungkapan,
pengakuan, dan penamaan diri atau kelompok yang rancu dan
membingungkan”. [Lihat QVS (hal. 20)]
Memang manhaj salaf bukan kelompok, tapi ia adalah pemahaman dan
keyakinan yang pernah dipijaki para salaf. Salafiyyun tak pernah
menyatakan apa yang dinyatakan oleh Bang Lubis.
Kalau salafiyyun, maka ia adalah jama’ah, kelompok, dan golongan yang
berada di atas manhaj salaf. Mereka bukan pengikut sekte-sekte sesat,
semisal Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Namun jangan dipahami bahwa kata
“kelompok” maknanya adalah organisasi. Salafiyyun tidak mesti disatukan
oleh sebuah organisasi. Bahkan boleh jadi mereka tak berorganisasi, atau
berada dalam organisasi lain.
Jadi, jangan dipahami bahwa salafy itu adalah kelompok fanatik buta (hizbiyyah) kepada seorang tokoh, tanpa didasari ilmu.[32]
Karenanya, Syaikh Al-Fauzan -hafizhohullah- pernah berkata saat ditanya, “Apakah menggunakan nama As-Salafiy dianggap membuat kelompok (hizbiyyah)?”.
Syaikh Al-Fauzan -hafizhahullah- menjawab, “Menggunakan nama As-Salafiy –jika sesuai hakekatnya-, tak mengapa.
Adapun jika hanya sekedar pengakuan, maka tidak boleh baginya
menggunakan nama As-Salafiy, sedang ia bukan di atas manhaj Salaf. Maka
orang-orang Al-Asy’ariyyah -contohnya- berkata, “Kami
adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. Ini tak benar, karena pemahaman yang
mereka pijaki bukanlah manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Demikian pula
orang-orang Mu’tazilah menamai diri mereka dengan Al-Muwahhidin
(orang-orang bertauhid).
كل يدعي وصلا لليلى وليلى لا تقر لهم بذاكا
Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila
Sedang Laila tidak mengakui hal itu bagi mereka
Jadi, orang yang mengaku bahwa ia berada di atas madzhab Ahlus
Sunnah wal Jama’ah akan mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan
meninggalkan orang-orang yang menyelisihi (madzhab Ahlus Sunnah.-pent).
Adapun jika ia mau mengumpulkan antara “biawak dan ikan paus” –menurut
istilah orang-, yakni: mau mengumpulkan hewan daratan dengan hewan laut,
maka ini tak mungkin; atau ia mau mengumpulkan antara api dengan air
dalam suatu daun timbangan. Maka tak akan bersatu ahlus Sunnah wal
Jama’ah dengan madzhabnya orang-orang yang menyelisihi mereka, seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Hizbiyyun[33]
yang disebut orang dengan “Muslim Masa Kini”, yaitu orang yang mau
mengumpulkan kesesatan-kesesatan orang-orang di zaman ini bersama manhaj
salaf. Maka “Tak akan baik akhir ummat ini kecuali dengan sesuatu yang
memperbaiki awalnya”. Walhasil, harus ada pembedaan dan penyaringan”. [Lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah 'an As'ilah Al-Manahij Al-Jadidah (hal.36-40) karya Jamal bin Furoihan Al-Haritsiy -hafizhahullah-, cet. Darul Minhaj, 1426 H]
Jadi, menamakan diri dengan As-Salafiy, ini tak apa, jika seorang berada di atas manhaj dan aqidah salaf. Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, “Tak ada aibnya orang yang menampakkan madzhab Salaf dan menisbahkan diri kepadanya,
dan mengasalkan diri kepadanya. Bahkan wajib menerima hal itu darinya
menurut kesepakatan (ulama’), karena madzhab salaf, tidak ada, kecuali
benar”. [Lihat Majmu' Al-Fatawa (4/149)]
Al-Allamah Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah- pernah ditanya, “Bagaimana
pandangan anda tentang orang yang menamakan diri dengan As-Salafiy atau
Al-Atsariy; apakah itu tazkiyah (penyucian diri)?”
Syaikh bin Baz menjawab dalam sebuah ceramah[34] beliau “Haqqul Muslim”, “Jika ia benar bahwa ia adalah atsariy atau ia salafiy, maka tak mengapa, seperti para salaf dahulu berkata, “fulan salafiy, fulan atsariy”. Ini adalah tazkiyah yang harus ada, tazkiyah yang wajib”. [Lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah (38-39), karya Jamal bin Furoihan Al-Haritsiy, cet. Darul Minhaj, 1426 H; Irsyad Al-Bariyyah ilaa Syar'iyyah Al-Intisab li As-Salafiyyah wa Dahdusy Syubah Al-Bid'iyyah (hal.21), karya Abu Abdis Salam Hasan bin Qosim Ar-Roimiy As-Salafiy, cet. Darul Atsar, 1421 H; Al-Azhar Al-Mantsuroh fi Tabyin anna Ahlal Hadits Hum Al-Firqoh An-Najiyah wa Ath-Tho'ifah Al-Manshuroh (hal. 27), karya Fauzi Ibnu Abdillah Al-Atsariy, cet. Maktabah Al-Furqon, UEA, 1422]
Fatwa Syaikh bin Baaz -rahimahullah- di atas merobohkan ucapan Bang Lubis, Editor QVS yang berkata, “Toh mereka sendiri tahu, sebutan itu tak syar’i dan salah” [Lihat QVS (hal. 42)][35]
Penamaan As-Salafiy, bukan Cuma Syaikh bin Baz yang
membolehkannya, bahkan Syaikh Bakr Ibnu Abdillah Abu Zaid juga
membolehkannya ketika Syaikh Bakr -hafizhahullah- berkata,“Jika dikatakan, As-Salaf atau As-Salafiyyun atau bagi jalan mereka (disebut) As-Salafiyyah,
maka itu adalah penisbahan diri kepada As-Salaf Ash-Sholih, yaitu
seluruh sahabat -radhiyallahu ‘anhum- lalu orang-orang yang mengikuti
mereka dalam kebaikan, tanpa orang-orang yang diseret oleh al-ahwa’ [36]..Orang-orang
yang tegar di atas manhaj kenabian, maka mereka dinisbahkan kepada
salaf mereka yang sholih dalam hal itu. Maka dikatakan bagi mereka, “As-Salaf”, “As-Salafiyyun”.
Sedang nisbah kepada mereka adalah “salafi”. Berdasarkan hal ini, maka
kata “salaf” maksudnya adalah As-Sala Ash-Sholih. Kata ini secara mutlak
maksudnya adalah setiap orang yang berjalan dalam meneladani para
sahabat -radhiyallahu ‘anhum- sehingga walau ia berada di zaman kita.
Demikianlah halnya; berdasarkan inilah komentar para ulama’. Maka dia
(kata As-salaf atau As-Salafiy) merupakan penisbahan diri yang tak
memiliki tanda yang keluar konsekuensi Al-Kitab dan As-Sunnah. Dia
adalah penisbahan diri yang tak pernah lepas dalam sekejap apapun dari
generasi pertama (sahabat), bahkan mereka berasal dari mereka, dan
kembali kepada mereka. Adapun orang yang menyelisihi mereka dengan nama
atau simbol, maka ia bukan termasuk darinya, sekalipun ia hidup diantara
mereka, dan sezaman dengan mereka”.[Lihat Hukm Al-Intima' (hal. 46) karya Syaikh Bakr Abu Zaid]
Tidak cukup sampai disini, bahkan Syaikh Bakr Abu Zaid menganjurkan kita agar menjadi salafiy, ketika beliau berkata dalam Hilyah Tholib Al-’Ilm (hal.8), “Jadilah salafiy di atas rel”.
Sekali lagi, menamakan diri dengan As-Salafiy atau Al-Atsariy, ini tak apa, jika seorang berada di atas manhaj dan aqidah salaf. Karenanya, penggunaan nama Al-Atsariy atau As-Salafiy di akhir nama, atau dalam menyifati seseorang dengan label salafy sudah menjadi perkara yang masyhur di kalangan salaf.
- Penggunaan Istilah Salaf
Penggunaan kata salaf (السَّلَفُ) sering disalahpahami oleh sebagian orang. Lihat saja ucapan Bang Lubis, Pengedit Quo Vadis Salafy usai membawakan dalil bahwa kata Salaf bisa mengandung makna bagus dan makna yang jelek. Dengarkan Bang Lubis berkata,
“Nah, kalau orang Salafy cuma menggunakan satu kata salaf, berarti sama sekali tak ada kaitannya dengan salafus shalih. Mungkin itu pula menyebabkan kehadiran salafy di mana-mana menimbulkan kontroversi dan kekacauan. Dengan menggunakan ya nisbah, panggilan itu menisbahkan dirinya kepada salaf. Atau orang-orang salaf. Atau orang-orang yang mempunyai sifat salaf , dalam hal ini mereka menyebut ulama-ulama salaf , tanpa menambah kata shalih“. [Lihat Quo Vadis Salafy (hal. 27)]
Ucapan Bang Lubis ini perlu kita cermati dan koreksi dalam beberapa
sisi agar para pembaca yang setia dapat mengetahui “kepandaian” Pengedit
QVS ini, sebab dalam beberapa ucapannya ia menggambarkan dirinya
sebagai orang pintar. Nah, ucapannya di atas perlu kita koreksi dalam
beberapa segi berikut:
1. Penggunaan kata salaf jika di-ithlaq-kan (digunakan secara muthlaq), tanpa digandengkan dengan kata shalih (misalnya, ulama salaf, manhaj salaf, Aqidah salaf,
dan lainnya), maka yang dimaksud adalah As-Salafush Shalih (Pendahulu
yang Shalih/Baik) dari kalangan para sahabat, tabi’in dan orang-orang
yang mengikuti aqidah dan manhaj mereka dalam beragama.
Penggunaan model kata seperti ini banyak digunakan oleh para ulama kita, seperti kata Al-Hafizh. Jika para ulama kita menggunakan kata Al-Hafizh secara
muthlaq, tanpa menggandengkannya dengan kata lainnya, maka yang
dimaksudkan adalah Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, Penulis kitab Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy.
Demikian pula kata “Syaikhul Islam”; jika digunakan oleh para ulama
kita di zaman sekarang, maka yang dimaksud adalah Ibnu Taimiyyah. Kata
“Al-Bukhoriy”; jika digunakan pada hari ini, maka yang dimaksudkan
adalah Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Ju’fiy Al-Bukhoriy.[37]
2. Kehadiran salafy dimana-mana,
bukanlah sebab terjadinya kontroversi, dan kekacauan. Bahkan mereka
adalah kaum yang gigih dalam mengajak umat ini untuk kembali kepada asal
(prinsip) agama Islam, yakni kembali kepada aqidah dan ibadah murni
yang tidak terkotori dengan syirik, kekafiran, dan bid’ah. Mereka
mengajak umat untuk kembali kepada akhlaq karimah agar umat menghiasi
dirinya dengan adab-adab islamy, bukan dengan kekasaran dan kesombongan karena banyaknya pengikut dan harta benda.
Sebenarnya yang mengadakan kontroversi dan kekacauan dalam beragama
adalah para ahli bid’ah –diantaranya Jama’ah Tabligh-, sebab mereka
telah menjauhkan umat dari aqidah salaf, dan merusak ibadah umat, bahkan
merusak akhlaq mereka.[38]
Para Pembaca yang arif, jika JT (Jama’ah Tabligh)
bersikukuh menuduh kita dari kalangan Ahlis Sunnah alias Salafy sebagai
pengacau atau penyebab terjadinya kontroversi, maka kita katakan bahwa
memang Salafy telah mengacaukan dakwah para ahli bid’ah dan pelaku
kebatilan (diantaranya adalah JT) serta menyebabkan terjadinya
kontroversi diantara mereka dan kebingungan agar mereka nantinya sadar
dan kembali ke jalan Salafush Shalih. Karena mereka juga adalah saudara
kita yang muslim. Bagaimanapun juga, mereka adalah bagian dari saudara
kita yang harus dituntun kembali ke jalan semula.
Kita tak perlu under estimate atau sinis kepada Jama’ah
Tabligh yang gigih sekali dalam berdakwah, yakni berdakwah kepada bid’ah
dan tarekat para guru mereka dari Nizhamuddin, New Delhi, India. Namun
kegigihan mereka baru tingkat “membicarakan”, belum sampai hakikat yang
dibicarakan dan didakwahkan oleh mereka. Makanya mereka (JT), verbalitas ilmu saja mereka tak punya. Tapi anehnya mereka lancang berdakwah di jalan Allah. Sampai preman-preman yang baru sehari tobat, eh
malah ikut khuruj (berdakwah di jalan Allah). Verbalitas ilmu saja
mereka tak miliki, apalagi hakikatnya. Seorang tak mungkin akan memahami
hakikat ilmu dalam hati, jika ia tak memahami verbalitas ilmu dengan
akalnya yang bersih[39] .
Jadi, Jama’ah tabligh yang berdakwah tanpa ilmu ibaratnya orang yang
berusaha berenang demi menyelamatkan orang yang hampir tenggelam,
sementara ia sendiri tak bisa renang. Hasilnya, ia dan orang yang ingin diselamatkan, semuanya tenggelam.
Oleh karena itu para ulama kita telah membuat kaedah al-ilm qobla al-qoul wal amal (berilmu
dan belajar dulu sebelum mengucapkan dan mengerjakan sesuatu). Nah,
dakwah yang kita lakukan juga harus dipelajari sebelum dipraktekkan di
lapangan. Belajar dulu renang sebelum terjun ke laut!! Semoga
dipahami!!!
Contoh lain, seorang supir mobil tak mungkin akan
tahu jalan dan rute perjalanan Surabaya-Jakarta, kalau sebelumnya ia tak
pernah belajar dan bertanya tentang peta dan rute perjalanan itu kepada
supir lain yang sudah tahu dan punya ilmu tentang hal itu. Maka Jama’ah
Tabligh yang berusaha menuntun manusia menuju surga, harus belajar dan
mengilmui mana jalan-jalan yang mengantarkan ke surga dan mana yang
bukan. Kalau tak belajar, tapi sibuk khuruj, maka saat itulah JT akan
menggelincirkan manusia ke jalan kebinasaan!![40]
3. Banyak kalangan yang amat benci dan hasad
karena tersebarnya dakwah salafiyyah. Oleh karena itu, tak heran jika
para pembenci dakwah salafiyyah (seperti JT dan lainnya) berusaha keras
dengan segala macam sepak terjangnya untuk mencoreng nama baik dan citra
dakwah salafiyyah. Lantaran itu, mereka menggelarinya dengan gelar yang
membuat orang lari dan berburuk sangka terhadap dakwah salafiyyah,
seperti digelari dengan “Wahhabiyyah“, “Murji’ah“, “Keras dan kaku“, “Musyabbihah“, “Mujassimah“, “Antek-antek Yahudi“, “Kaki Tangan Zionis“, dan lainnya.
“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu,
begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar
dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta”. (QS. Al-Kahfi : 5)
[4]
Maksudnya seorang awam boleh mengikuti ulama siapa saja yang dia
pandang mendekati kebenaran dan orangnya terpercaya. Ia boleh mengikuti
ulama yang bermadzhab Malikiyyah, atau Hanafiyyah, atau Syafi’iyyah,
atau Hanabilah, tanpa terpaku pada salah satunya. Namun jika kebenaran
tampak baginya, maka ia bersedia meninggalkan ulama yang diikutinya,
lalu mengikuti kebenaran yang ada pada ulama lainnya. Tidak terpaku pada
salah satunya. Tapi itupun dalam sebagian kecil perkara yang susah ia
pahami, tanpa mengikuti seorang ulama terpercaya, Wallahu A’lam.
[6] Lihat Mukhtashor Al-Fatawa Al-Mishriyyah, hal. 46-47 via Al-Iqna’ bimaa Ja’a an A’immah Ad-Da’wah min Al-Aqwaal fi Al-Ittiba’, hal.41-42 karya Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkholy –hafizhohullah- , cet. Majalis Al-Huda, Al-Jaza’ir, 1425 H.
[8]
Quo Vadis dinukil oleh Penulis dari Injil yang berbahasa latin. Saking
bingungnya cari judul sampai harus menukil dan membuka injil.
[10]
Sengaja kami nukilkan dari Al-Baijuriy, karena ia merupakan orang
Asy’ariyyah yang semadzhab dengan Penulis Quo Vadis, dan Pengeditnya
(Abdurrahman Lubis). Ucapan ini menegaskan makna salaf yang diingkari
oleh Penulis QVS.
[11]
Kami khawatirkan jika pengingkaran ini dicontek dari orang lain, tanpa
direnungi, sebab pengingkaran seperti ini telah dilakoni oleh Penulis
buku Beda Beda Salaf dengan “Salafi” yang bernama Mut’ab bin Suryan Al-’Ashimiy.
[12] Asy’ariyyah dan Maturidiyyah
adalah dua kelompok ahli kalam yang telah dicela oleh para ulama salaf
sebagaimana nanti –Insya Allah- akan datang pemaparan dan bantahannya.
[14] Di dalam kitab beliau ini terdapat banyak atsar yang mencela ilmu kalam dan ahli kalam. Kami khawatir Penulis QVS akan menggelari Al-Harowi dengan “Wahhabiyyah”,
karena beliau mencela ilmu kalam dan pelakunya, semisalAsy’ariyyah dan
Maturidiyyah. Sementara Al-Harowi -rahimahullah- hidup sebelum lahirnya
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab -rahimahullah-.
[15]
Mudah-mudahan nukilan dari Al-Imam Adz-Dzahabiy diterima oleh Penulis
QVS, sebab mereka mengklaim bahwa Adz-Dzahabiy adalah tokoh salafy!!!
Perlu diketahui bahwa Adz-Dzahabiy bermadzhab Syafi’iyyah dalam perkara
fikih, dan salafiy dalam aqidah, alhamdulillah.
[16] Saking jahilnya si Penulis QVS,
keduanya menyangka bahwa Ahlus Sunnah adalah Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah. Padahal kedua madzhab dan kelompok ini adalah ahli kalam
yang dicela para salaf. Bagaimana ia dikatakan Ahlus Sunnah alias
pengikut salaf. Pernyataan Penulis yang salah ini, lihat dalam QVS (hal. 81).
[18]
Padahal Penulis QVS sendiri menyatakan bahwa Salaf itu adalah Ahlus
Sunnah. Lalu orang yang mengikuti salaf (baca: salafy) disebut apa? Ini
adalah permainan kata yang biasa digunakan anak kecil, dan orang pandir.
[19]
Mereka ditolong dan selamat karena mengikuti sunnah Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dalam semua perkara, baik aqidah, ibadah, maupun
akhlaq.
[20] Lihat Syarh As-Sunnah (hal. 59), karya Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Barbahariy, tahqiq Kholid bin Qosim Ar-Roddadiy, cet. Darus Salaf & Dar Ash-Shumai’iy, 1421 H.
[22] Sebagai contoh, lihat dan baca saja buku beliau semisal Kitab At-Tauhid, Al-Qowa’id Al-Arba’, Adab Al-Masyyi ilaa Ash-Sholah, Al-Ushul Ats-Tsalatsah, dan lainnya.
[23] Lihat Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlih (2/91)oleh Ibnu Abdil Barr
[24] Tampak bahwa Penulis QVS kurang membaca. Kerjanya suka menukil saja, tanpa merujuk dan membaca kitab-kitab lain. Wallahu a’lam, mungkin tak sempat karena sibuk khuruj!!!
[24] Tampak bahwa Penulis QVS kurang membaca. Kerjanya suka menukil saja, tanpa merujuk dan membaca kitab-kitab lain. Wallahu a’lam, mungkin tak sempat karena sibuk khuruj!!!
[25] Kami tak mau katakan kedustaan dan kelicikan Penulis, karena ucapan seperti ini terkadang membuat orang tersingung.
[26]
Tapi hal ini dibantah sendiri oleh Penulis QVS di halaman-halaman
berikutnya, saat ia menjelaskan biografi para ulama salafy. [Lihat QVS
(hal. 128-161]
[27] HR. Al-Bukhoriy (5928), Muslim (2450), Ibnu Majah (1621), An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (8516), Abu Ya’laa dalam Al-Musnad (6745), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (1032), Ahmad dalam Fadho’il Ash-Shohabah (1342), dan lainnya. (Takhrij ini khusus bagi kalimat bergaris)
[28]
Kalau telah lama dikenal, kenapa diingkari orang yang menisbahkan diri
kepada salaf dengan label salafy??! Demikianlah orang bingung membuat
orang bingung.
[29] Alhamdulillah. Pengedit mengakui kejahilannya. Tapi mengapa ia berani mengedit?! Yah, jawabannya terserah pembaca.
[30]
Perlu diketahui bahwa Jama’ah Tabligh termasuk penganut sekte
Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah. Mereka menganut dan mendukung kedua sekte
ini, karena kesalahpahaman mereka tentang Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ini
disebabkan karena tertipu dengan ucapan Az-Zubaidiy, Pen-Syarah Ihya’
Ulumuddin. Padahal kedua sekte ini yang diklaim oleh Az-Zubaidiy sebagai
AHLUS SUNNAH adalah dua sekte ahli kalam yang telah di-tahdzir
(diingatkan bahayanya) oleh para ulama Ahlus Sunnah sebagaimana akan
datang penukilan tentang hal itu dari mereka.
[31] Jika anda mau melihat kebatilan aqidah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah, maka silakan baca Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah, Majmu’ Al-Fatawa (karya Syaikhul Islam), Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah (karya Ibnul Qoyyim), I’tiqod Ahlis Sunnah Syarh Ashhabil Hadits (karya Syaikh Muhammad bin Abdir Rahman Al-Khumayyis), dan lainnya masih banyak.
[32]
Sebenarnya Jama’ah Tabligh itu lebih layak disebut hizbiyyah (kelompok
yang fanatic buta) kepada jama’ahnya, sebab mereka menganggap orang lain
di luar jama’ahnya adalah orang yang sesat. Semua orang yang ada di
dalam jama’ah mereka, maka mereka ber-wala’ (cinta) kepadanya.
Sebaliknya, semua orang yang tidak khuruj alias bukan jama’ah Tabligh,
maka mereka bukan saudara kita. Oleh karena itu, istilah “ikromul
muslimin” (memuliakan kaum muslimin), maksudnya adalah memuliakan
orang-orang yang mau mendukung mereka, atau minimal mendiamkan kebatilan
mereka. Kalau anda tak mendukung mereka, apalagi menjelaskan kebatilan
mereka, dan memberikan nasihat kepada mereka, maka tunggulah balasannya
berupa pukulan dan tinju dari tangan-tangan kasar mereka. Fakta dan
buktinya terlalu banyak bagaimana mereka menyakiti kaum muslimin di luar
jama’ah mereka. Kami mengenal orang-orang pernah dipukul oleh Jama’ah
Tabligh. Sebagian dari kisah pemukulan itu, anda bisa lihat kisahnya
dalam Al-Qoul Al-Baligh fi At-Tahdzir min Jama’ah At-Tabligh, karya Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiriy -rahimahullah-.
Sebuah buku dan karya besar beliau dalam menelanjangi kebatilan dan
penyimpangan Jama’ah Tabligh. Buku itu merupakan nasihat mulia yang
membuat para Jama’ah Tabligh (JT) berang. Padahal sebenarnya itu
merupakan obat (nasihat). Tapi dasar seorang yang tidak paham, obat
dianggap racun. Akibatnya, mereka terus berada dalam kebinasaan,
kebingungan dan kesesatan. Nas’alullahal afiyah was salamah.
[33]
Benar sekali apa yang dinyatakan oleh beliau !! Tak mungkin Ahlus
Sunnah (baca: Salafiyyun) akan bergabung dengan Khawarij, yaitu
orang-orang senang memberontak kepada pemerintahnya, baik berupa demo,
celaan terhadap pemerintah, perlawanan bersenjata di hadapan penguasa.
Tak mungkin Salafiyyun akan bersatu dengan Tabligh yang gandrung
sufiyyah, atau HTI, YWI, At-Turots dan IM yang senang mencela
pemerintah, dan mendemo mereka.
[34] Direkam dalam sebuah kaset ketika beliau menyampaikan ceramah di Tho’if, tertanggal 16/1/1413 H.
[35]
Alhamdulillah, Salafiyyun telah mengamalkan dan meyakini semua yang
diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesuai dengan
kemampuan mereka. Salafiyyun tak perlu diajari bahwa jika mengaku salafy,
yah harus beramal dan berakidah. Memang harus beramal dan berakidah
sesuai tuntutan manhaj dan aqidah salaf. Siapa yang tak beramal, dan
berkeyakinan sesuai salaf? Jama’ah Tabligh, atau kah salafiyyun yang
difitnah?? Tampaknya Penulis QVS buta karena
sikap salafiyyun yang selalu mengingkari dan menasihati ummat dari
bahaya penyimpangan para ahli bid’ah, khususnya Muhammad Ilyas
Al-Kandahlawiy, Muhammad Zakaria Al-Kandahlawiy, Cs. Apakah mengingkari
kemungkaran JT dianggap dosa, dan kejahatan salafy ??! Sebagaimana yang
dikatakan oleh Penulis dalam QVS (hal.
216-217). Nanti kita akan lihat siapa sebenarnya yang berbuat jahat dan
dosa pada pembahasan-pembahasan berikut, insya Allah.
[36] Faedah: Jika dikatakan al-ahwa’, maka yang dimaksud adalah bid’ah. Karenanya, ahli bid’ah biasa disebut ahlul ahwa’.
[38] Bukti kerusakan aqidah mereka –Insya Allah-
akan datang penjelasannya. Adapun kerusakan akhlaq Jama’ah Tabligh,
maka semua orang dapat mengetahui dan menyaksikannya. Lihat saja akhlaq
mereka yang buruk, seperti suka memukul orang, suka meninggalkan istri
dan anak-anak, suka menuduh orang tanpa hujjah sebagaimana akan datang
bukti-buktinya, suka berdusta, dan masih banyak lagi kerusakan akhlaq
mereka.
[39] Ini sebenarnya makna ucapan Pengedit QVS, Bang Lubis di (hal. 28) yang kami kembalikan kepadanya agar menjadi boomerang bagi dirinya.
[40] Sengaja kami bawakan contoh seperti ini, karena di dalam QVS
juga banyak contoh dan perandaian seperti itu. Perlu kami berikan agar
mereka memahaminya dengan baik mana yang benar dengan permisalan.
sumber : http://almakassari.com/tabligh-bingung-salafi-menjawab.html
sumber : http://almakassari.com/tabligh-bingung-salafi-menjawab.html
0 komentar:
Posting Komentar