Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran
Pribadi para sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memang sangat mengesankan. Keimanan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala melandasi segalanya. Bahkan di saat-saat yang begitu
mudah untuk melampiaskan dendam, ternyata itu pun tak dilakukannya.
Seorang wanita yang saat itu masih musyrikah menyaksikan kemuliaan
pribadi seorang Khubaib bin ‘Adi yang ditawan di rumahnya. Dia tuturkan
ketika dia telah menjadi seorang muslimah. Wanita itu bernama Mariyah*.
Tahun
keempat hijriyah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan
pasukan mata-mata untuk mencari berita tentang orang-orang musyrikin
Quraisy. Mereka adalah para penghafal Al-Qur’an. Ternyata kabar tentang
pasukan ini tercium oleh Bani Lihyan.
Bani Lihyan segera mengejar
hingga berhasil mengepung para sahabat di tempat yang tinggi. Bani
Lihyan mengatakan akan menjamin tidak akan membunuh mereka jika mereka
mau turun. Namun pasukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
menolak. Kedua kubu pun bertempur hingga tinggallah tiga orang sahabat,
Khubaib bin ‘Adi, Zaid bin Ad-Datsinah, dan seorang lagi. Yang terakhir
ini pun akhirnya terbunuh.
Bani Lihyan membawa Khubaib dan Zaid
ke Makkah lalu menjual mereka berdua. Khubaib dibeli oleh Bani
Al-Harits. Mereka membeli Khubaib untuk menuntaskan dendam mereka karena
Khubaiblah yang membunuh Al-Harits bin ‘Amir, ayah mereka, dalam perang
Badr.
Namun saat itu adalah bulan haram. Dilarang menumpahkan
darah di bulan-bulan haram. Karena itu, untuk sementara waktu mereka
menawan Khubaib bin ‘Adi dalam ruangan yang terkunci di rumah Mariyah,
maulah Hujair bin Abi Ihab At-Tamimi.
Dalam tawanan, Khubaib
biasa menunaikan tahajjud dengan membaca surah-surah Al-Qur’an. Bila
para wanita mendengar bacaannya, mereka menangis dan luluh hatinya.
Mariyah
pernah mengintip dari celah-celah pintu. Dia terperanjat. Khubaib
sedang memegang setandan buah anggur, sementara saat itu bukan musim
anggur. Tak ada sebiji anggur pun di Makkah waktu itu. Mariyah tersadar,
itu semua rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Suatu ketika
Mariyah bertanya pada Khubaib, “Wahai Khubaib, apakah engkau membutuhkan
sesuatu?” “Tidak!” jawab Khubaib, “Hanya saja kuminta kepadamu tiga
hal, jangan kau beri aku minum kecuali air dingin saja, jangan kau beri
aku makanan dari sesuatu yang disembelih untuk berhala, dan kau
beritahukan aku jika tiba saatnya mereka hendak membunuhku.” Mariyah
menyanggupi.
Bulan-bulan haram pun berlalu. Dekat sudah waktu
yang mereka sepakati untuk membunuh Khubaib. Sesuai janjinya, Mariyah
memberitahukan hal itu kepada Khubaib. Mendengar kabar itu, Khubaib tak
sedikit pun terlihat gentar.
“Maukah kau pinjamkan padaku pisau,
agar aku bisa membersihkan diri?” pinta Khubaib pada Mariyah. Mariyah
memenuhi permintaannya. Dia menyuruh anak susuannya, Abu Husain, untuk
menyerahkan pisau itu kepada sang tawanan. Abu Husain pun menurut.
Setelah
anak kecil itu hilang dari pandangan matanya, Mariyah tertegun. “Apa
yang baru saja kulakukan?” ujarnya dalam hati. “Aku menyuruh anakku
membawa pisau itu kepadanya. Dia bisa dengan mudah membunuh anakku
dengan pisau itu, lalu beralasan seorang balas seorang!”
Mariyah bergegas menyusul.
Sementara
itu, si anak masuk menemui Khubaib sambil menyerahkan sebilah pisau
yang dibawanya. Khubaib mengangkat anak itu dan mendudukkan di
pangkuannya. Terdengar kelakar Khubaib, “Demi ayahku! Apa ibumu tidak
khawatir aku akan membalas dendam dengan membiarkanmu datang membawa
pisau, sementara mereka ingin membunuhku?”
Mariyah mendengar
ucapan itu. “Wahai Khubaib, aku percaya kepadamu dengan keamanan dari
Allah. Aku berikan pisau itu bukan untuk membunuh anakku!”
“Aku tidak akan membunuhnya,” jawab Khubaib, “Dan tidak halal dalam agama kami membalas dendam.”
Tenanglah Mariyah. Lalu Mariyah memberitahu Khubaib bahwa orang-orang akan mengeluarkannya dari tawanan besok untuk membunuhnya.
Keesokan
harinya, Khubaib dikeluarkan dari tawanan dalam keadaan dirantai. Dia
dibawa ke Tan’im, sekitar tiga mil dari Makkah ke arah Madinah. Di sana
telah dipancangkan tonggak kayu untuk membunuhnya.
Sampai di
sana, Khubaib meminta, “Maukah kalian melepaskan aku sebentar agar aku
bisa shalat dua rakaat?” Mereka meluluskan permintaannya. Khubaib pun
shalat dua rakaat dengan menyempurnakan shalatnya tanpa
memperpanjangnya. Setelah itu, orang-orang itu pun membunuhnya.
Di
kemudian hari, Mariyah maulah Hujair masuk Islam. Dia selalu mengenang
peristiwa ini. Dialah yang menuturkan kemuliaan Khubaib selama berada
dalam tawanan. Mariyah maulah Hujair, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
meridhainya ....
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (2/225-226, 8/312-313)
Al-Isti’ab, Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (2/564-565)
Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (10/285-286)
Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi
* Ada yang mengatakan namanya Mawiyah
Kisah dikutip dari : http://www.asysyariah.com
Kamis, 20 Desember 2012
Posted by Maktabah Al-Karawanjy on 12/20/2012 10:34:00 AM with No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar