Tanya:
Bagaimana hukum menikah setelah hamil duluan? Karena saat ini ini marak terjadi di masyarakat.
Bagaimana hukum menikah setelah hamil duluan? Karena saat ini ini marak terjadi di masyarakat.
Jawab:
Akibat pergaulan bebas, tidak ada aturan. Dan yang sangat disayangkan, sebagian orang tua membiarkan hal ini, dibiarkan. Kalau ada teman laki-lakinya yang ingin bertamu ke rumah, maka alasan orang tuanya ke belakang. “Maaf, ada kebutuhan di belakang”. Dia dibiarkan berdua.
Akibat pergaulan bebas, tidak ada aturan. Dan yang sangat disayangkan, sebagian orang tua membiarkan hal ini, dibiarkan. Kalau ada teman laki-lakinya yang ingin bertamu ke rumah, maka alasan orang tuanya ke belakang. “Maaf, ada kebutuhan di belakang”. Dia dibiarkan berdua.
“Tidaklah sekali-kali seorang lelaki
berkhalwat dengan seorang wanita, melainkan yang ketiganya adalah
setan.” (HR. Tirmidzi, no.2165)
Setan yang bermain di situ, akhirnya terjadi perzinaan,
wal’iyadzubillah. Sehingga, tidak sedikit para wanita, mereka dalam
kondisi hamil sebelum menikah. Hamil diluar pernikahan, Allahul
musta’an. Para wanita yang tidak memelihara kehormatannya, hidup bebas.
Mendapatkan godaan dari seorang laki-laki, akhirnya tergoda. Dengan
mudahnya dia dipengaruhi. Sehingga dalam keadaan belum menikah dia sudah
dalam keadaan hamil.
Ini apa hukum menikah dalam keadaan seperti ini? Hukumnya tidak sah.
Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS:
Ath-Thalaaq Ayat: 4)
Adapun pada saat dia hamil, lalu kemudian dia menikah maka pernikahan
itu tidak sah. Pernikahan tersebut adalah pernikahan yang tidak sah.
Dan tidak diperbolehkan bagi seorang yang telah mengetahui hukum ini,
lalu kemudian dia menikahi seorang wanita yang dalam keadaan hamil.
Apabila dia mengetahui hukumnya, lalu dia masa bodo, dan dia tetap
menikahi wanita tersebut, maka pernikahannya itu bathil. Sebab wanita
itu belum hilang masa iddahnya. Dalam artian dia harus ditunggu sampai
melahirkan. Setelah itu dinikahkan.
Ada sebagian mengatakan, “ya tapi malu, bagaimana? masa dia hamil
dalam keadaan tidak punya suami, malu”. Sudah sejak awal, dia tidak
punya rasa malu. Dari awal, dia sudah tidak punya rasa malu. Kenapa dia
biarkan dirinya terjerumus ke dalam perbuatan nista seperti itu? Kalau
dia punya rasa malu, hendaknya dia memelihara kehormatannya. Apakah
setelah kemudian terjadi kecelakaan, lalu kemudian hendak ditutupi rasa
malu ini? Lalu kemudian kita melanggar syari’at Allah subhanahu
wata’ala?
Menikahkan begitu saja dalam keadaan hamil? Sekarang ini subhanallah.
Akhirnya semakin maraknya hal ini, sebagian pemuda menganggap enteng
permasalahan ini. Orang tua tidak setuju? Gampang. Katanya orang
Makassar, silariang. Sudah bawa lari saja sekalian, bawa lari sehari,
dua hari, kecelakaan, Allahul musta’an. Sudah, lalu kemudian
menggampangkan permasalahan ini. Orang tuanya ngamuk-ngamuk sementara
waktu. Pikirnya seperti itu. Sudah, dinikahkan saja. Menuntut tanggung
jawab. Laki-laki ya mau saja dia bertanggung jawab. Tapi tidak seperti
itu keadaannya. Tidak seperti itu keadaannya, tidak diperbolehkan.
Kecuali apabila dia telah melahirkan.
Jika dilakukan dalam keadaan tidak tahu, bagaimana hubungan nasab
anak dan ayahnya? Karena yang ana tahu, anak hasil zina dinisbatkan
kepada ibunya. Sedangkan dalam kasus tersebut, status anak adalah hasil
zina. Tapi yang menikahi ibunya juga ternyata ayah kandungnya?
Berbeda halnya apabila seorang tidak mengetahui hukum. Orang tuanya
menyangka bahwa itu boleh-boleh saja. Boleh menikahkan anak meskipun
dalam keadaan hamil. Berpegang kepada fatwa sebagian ustadz misalnya.
Akhirnya terjadilah pernikahan, anaknya dalam keadaan hamil menikah. Ini
apa hukumnya? Maka hukumnya sah, dibangun di atas pengetahuan dia yang
jahil ketika itu. Atau ada seorang yang telah memfatwakan kepadanya
dengan fatwa tersebut. Maka dibangun di atas hukum yang diyakini ketika
itu.
Meskipun kita mengatakan, yang shahih dalam permasalahan ini bahwa
seorang wanita menikah dalam keadaan hamil hukumnya tidak sah. Makanya
kita mengatakan bagi orang yang sudah mengetahui hukum ini, lalu dia
melakukannya maka pernikahannya bathil. Tapi seorang misalnya tidak
mengetahui, dia menyangka bahwa itu boleh. Mungkin ada yang memfatwakan
kepadanya. Maka dibangun di atas persangkaan sebelumnya bahwa yang
demikian menurut mereka sebelum itu adalah diperbolehkan. Maka tidak
perlu diulangi, sah.
Oleh karena itu, para sahabat yang mereka masuk ke dalam islam, nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memerintahkan kepada mereka
untuk mengulangi akad pernikahannya. Tapi dibangun di atas keyakinan
mereka dahulu. Keyakinan jahiliyah. Mereka menganggap pada masa itu,
pernikahan mereka di masa jahiliyah itu sah, maka itu sah. Padahal kalau
kita membaca sejarah pernikahan jahiliyah, macam-macam cara mereka. Dan
sekian banyak cara itu tidak sejalan dengan syari’at islam.
Akan tetapi nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
mempertanyakan itu. Ketika mereka semua masuk ke dalam islam, nabi tidak
pernah memerintahkan kepada mereka untuk mengulangi akadnya. Untuk
mengulangi akad pernikahan. Dibangun di atas keyakinan mereka dahulu
bahwa yang demikian sah. Bahkan ada seorang sahabat (Ghailan As-Tsaqafi)
ketika dia masuk islam, datang kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, lalu dia mengatakan “Ya rasulullah, saya masuk islam dan saya
memiliki sembilan istri, apa yang harus saya lakukan?”
Kata nabi ‘alaihi shallatu wasallam:
“Pertahankanlah istrimu empat saja, dan
ceraikan istri-istrimu yang lainnya”. (Riwayat Ahmad, Syafi’i, Tarmizi,
Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi)
Rasul tidak mengatakan, lepaskan dulu semua, nanti akad baru. Tidak
demikian, maka ini menunjukkan bahwa apa yang diyakini sebelumnya, maka
dibangun di atas keyakinan sebelumnya.
Adapun status anak tersebut, maka anak tersebut dinisbatkan kepada
ibunya. Anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya. Dia tidak punya ayah,
meskipun laki-laki tersebut dia yang melakukannya. Tetap tidak boleh
dinisbatkan kepadanya itu ayah. Dinisbatkan kepada ibunya. Karena itu
bukan orang tuanya secara syar’i. Bukan orang tuanya secara syar’i.
Tetapi tetap tidak diperbolehkan bagi dia untuk menikahi anak tersebut.
Kalau misalnya ada seorang laki-laki, dia berzina dengan seorang
wanita. Akhirnya wanita itu melahirkan anaknya dalam keadaan laki-laki
ini tidak menikah dengan wanita tersebut. Anaknya ini dewasa akhirnya
menjadi remaja, bolehkah laki-laki yang pernah berzina dengan ibunya
menikahi anaknya? Jawabannya tidak boleh, karena itu bagian darinya
meskipun tidak berstatus sebagai ayah. Meskipun secara syar’i tidak
berstatus sebagai ayah, tapi itu bagian dari dirinya dan tidak
diperbolehkan.
Download Audio disini
Sumber : Thalab Ilmu Syar’i (TIS)
http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-menikah-karena-hamil-duluan/
0 komentar:
Posting Komentar