Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas :
Kaligrafi, dari bahasa Yunani; καλλι ”keindahan” + γραφος ”menulis” ) Bahasa Jepang Nihongo 日
本語) adalah seni menulis dengan indah dengan pena sebagai hiasan. Tulisan
dalam bentuk kaligrafi biasanya tidak untuk dibaca dengan konsentrasi
tinggi dalam waktu lama, karena sifatnya yang membuat mata cepat lelah.
Karena itulah sangat sulit menemukan contoh kaligrafi
sebagai tipografi buku-buku masa kini.
Meskipun kaligrafi dalam tulisan arab lebih dikenal, tetapi banyak pula penerapan aplikasi ke dalam tulisan latin.
Salah satu bentuk penerapan kaligrafi Islam sebagai seni hias adalah di Istana Al Hamra, Spanyol.
Contoh kaligrafi Islam dari abad 11 dari Persia
Di dalam seni rupa Islam,
tulisan arab seringkali dibuat kaligrafi. Biasanya isinya disadur
ayat-ayat Al-Quran. Bentuknya bermacam-macam, tidak selalu pena diatas
kertas, tetapi seringkali juga ditatahkan di atas logam atau kulit.
Kaligrafi Arab Kayu
Kaligrafi Arab dari Kayu ini diukir di kayu, bisa dari kayu jati, kayu mahoni dan lainnya. Kaligrafi Arab Kayu ini di ukir oleh masyarakat Jepara. isi kaligrafi disadur dari ayat-ayat Al-Quran yang mempunyai khat turki atau yang lainnya. Kaligrafi arab Kayu terbagi menjadi beberapa kategori, kaligrafi Allah Muhammad, Kaligrafi ayat Kursi, Kaligrafi Ayat seribu dinar, kaligrafi asmaul husna, dan kaligrafi surah-surah Al-Quran.Kaligrafi Bermasalah
Pembaca yang budiman, mungkin anda sering menemukan kaligrafi
di sebagian tempat-tempat dan fasilitas umum. Kaligrafi ini bertuliskan
lafazh jalalah (lafazh Allah), dengan nama Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam-; tertulis dari kanan ke kiri ( اللهُ مُحَمَّدٌ ) .
Kaligrafi ini biasa dipasang dalam bentuk stiker poster, dan
lainnya di mobil-mobil, rumah-rumah, dan tempat lainnya. Bahkan
kaligrafi ini banyak ditemukan pada mayoritas masjid-masjid di negeri
kita, tanpa ada pertanyaan dan koreksi sedikitpun. Seakan-akan kaligrafi
itu tak bermasalah. Tapi apakah demikian halnya?!
Nah, mungkin ada baiknya jika kita mendengar dan menyimak
dengan seksama fatwa seorang ulama besar dari Timur Tengah, Al-Allamah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –rahimahullah-. Beliau pernah
ditanya, “Kami sering melihat pada dinding adanya tulisan lafazh jalalah
(kata “Allah”), dan di sampingnya terdapat lafazh “Muhammad”
-Shallallahu alaihi wa sallam-, atau biasa juga kami lihat pada stiker,
atau pada buku-buku, atau pada sebagian mushaf. Apakah membuat tulisan
seperti ini adalah benar?”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata dalam
memberikan jawaban, “Membuat tulisan seperti ini adalah tidak benar,
karena perbuatan ini telah menjadikan Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- sebagai tandingan bagi Allah, dan
sesuatu yang menyamai-Nya. Andaikan ada orang yang melihat tulisan
(kaligrafi) ini –sedang ia tak tahu yang punya nama-, maka pasti orang
ini akan meyakini bahwa keduanya adalah sama dan semisal. Lantaran itu,
wajib menghapus nama Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Kini
tinggal kata “Allah” yang perlu ditinjau.
Sesungguhnya lafazh “Allah” adalah kata yang biasa didengungkan kaum
sufi dan menjadikannya sebagai ganti dzikir (yakni, sebagai ganti dzikir
Laa ilaaha illallah). Mereka mengucapkan, “Allah… Allah… Allah”.
Berdasarkan hal ini, maka lafazh “Allah” juga dihilangkan. Jadi, tak
perlu ditulis lagi lafazh ALLAH dan MUHAMMAD, baik pada dinding, stiker,
maupun yang lainnya.” (Lihat Fatawa Arkan Al-Islam (hal. 192), cet. Dar
Ats-Tsuroyya, 1421 H)
Fatwa yang dinyatakan oleh Syaikh Al-Utsaimin adalah perkara yang
dikuatkan oleh hadits-hadits Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Tak
heran jika Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengingkari
sebagian sahabat yang mengucapkan kata-kata yang menjurus kepada
kesyirikan, karena ucapannya seakan hampir menyamakan Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dengan Allah -Ta’ala-.
Di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ada seorang yang pernah
berkata, “Sebagaimana yang Allah dan anda kehendaki.” Serta-merta beliau
mengingkarinya seraya bersabda,
أَجَعَلْتَنِيْ لِلّهِ نِدًّا ؟ بَلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ
“Apakah engkau hendak menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah.
Bahkan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah saja!” (HR. Ahmad dalam
Al-Musnad (1/214, 224, 283, & 347) Al-Bukhoriy dalam Al-Adab
Al-Mufrod (783), An-Nasa’iy dalam Amal Al-Yaum wa Al-Lailah (988), Ibnu
Majah dalam Sunan-nya (2117), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh
Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (139))
Jika menggabungkan nama Allah dengan Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- dalam perkara kehendak adalah terlarang, maka menggabungkan
kedua nama itu dalam kaligrafi semacam itu juga tentunya terlarang,
karena bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Apalagi kebanyakan kaligrafi
itu terletak di arah kiblat, sehingga jika orang-orang melaksanakan
sholat, maka mereka rukuk dan sujud menghadap kedua nama itu. Lambat
laun hal ini akan menimbulkan opini yang salah dalam menyamakan Allah
dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Ketahuilah, setan amat
lihai dalam mencari celah dan jalan dalam menjerumuskan manusia ke
lembah kesyirikan dan kekafiran.
Mungkin hari ini kaum muslimin yang sholat menghadap kepada kedua
nama ini belum berkeyakinan bahwa ia sujud menghadap kepada kedua
pemilik nama itu. Tapi boleh jadi, setan akan membisikkan ke dalam benak
generasi berikutnya bahwa orang-orang tua kalian dahulu bersujud
menghadap kedua nama ini, karena kedua Pemilik nama ini (yaitu, Allah
-Ta’ala- dan Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-) adalah sama.
Sisi lain, perlu kita ingat bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dan para sahabat melarang kita menghiasi masjid sebagaimana yang
tercantum dalam hadits-hadits shohih. Sedang menulis kaligrafi pada
dinding termasuk menghiasi masjid.
Kaligrafi ini dan lainnya merupakan sebab orang tak khusyu’, dan
membuat orang lalai dari jenis dzikir dan jumlahnya, sebab tulisan
kaligrafi itu ada di sekitar kita, bahkan ada di depan mata kita. Berapa
banyak orang yang melupakan jenis dzikir dan jumlahnya, karena adanya
kaligrafi-kaligrafi yang terpampang di dalam masjid.
Ketika seorang hendak sholat hendaknya ia menyingkirkan segala
sesuatu yang melalaikan dan menarik perhatian agar ia bisa meraih
khusyu’ dalam sholat. Perhatikan manusia yang paling bertaqwa, dan
bersih hatinya, yaitu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau
merasa terganggu sholatnya saat ia melihat gambar yang memiliki tanda
atau simbol.
A’isyah -radhiyallahu ‘anha- dia berkata, “Rasulullah -Shollallahu
‘alaihi wasallam- berdiri melakukan shalat dengan pakaian khamisah yang
memiliki tanda, lalu beliau melihat kepada tanda itu. Tatkala beliau
telah menyelesaikan shalatnya, beliau bersabda,
اِذْهَبُوْا بِهَذِهِ الْخَمِيْصَةِ إِلَى أَبِيْ جَهْمِ بْنِ
حُذَيْفَةَ وَائْتُوْنِيْ بِأَنْبِجَانِيَّةَ فَإِنَّهَا
أَلْهَتْنِيْ آنِفًا فِيْ صَلاَتِيْ
”Pergilah kalian dengan membawa pakaian khamisah ini ke Abu Jahm bin
Khudzaifah dan ambillah pakaian ambijaniyyah untukku. Sesungguhnya
pakaian khamisah tadi telah melalaikan aku dalam shalatku.” (HR.Bukhariy
no. 373, dan Muslim no. 556)
Pakaian anbijaniyyah yang diminta Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- adalah pakaian kasar yang tidak memiliki tanda (semacam, cap,
logo, simbol, dan lainnya). Berbeda dengan pakaian al-khamishah yang
dikembalikan oleh beliau, pakaian ini bertanda. Nampaknya kata “tanda”
lebih dalam maknanya daripada kata “gambar”. Sebab bila tanda dan cap
saja dilarang untuk dipakai, dan dinampakkan di depan orang yang sholat,
maka tentunya gambar makhluk bernyawa lebih layak dilarang, karena
menjadi sebab terhalanginya malaikat untuk masuk ke tempat atau masjid
yang di dalamnya terdapat gambar makhluk bernyawa!!
Ath-Thibiy -rahimahullah- telah berkata, “Dalam hadits ambijaniyyah:
menjelaskan, bahwa gambar dan sesuatu yang nampak (mencolok) memiliki
pengaruh terhadap hati yang bersih dan jiwa yang suci, terlebih lagi
hati yang tak suci.” (Lihat Umdatul Qori (4/94), dan Fathul Bari
(1/483))
Jadi, gambar,lukisan, atau kaligrafi dan simbol amatlah memberikan
pengaruh bagi orang yang memiliki hati yang bersih. Adapun hati yang
kotor lagi keras, maka ia tak akan merasakan pengaruh apapun, baik ada
gambar atau tidak!!
Anas -radhiyallahu ‘anhu- dia berkata,
كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمِيْطِيْ
عَنَّيْ قِرَامَكِ هَذَا فَإِنَّهُ لاَ تَزَالُ تَصَاوِيْرُهُ
تَعْرِضُ فِيْ صَلاَتِيْ
“Dahulu ‘Aisyah memiliki kain gorden, yang dia gunakan untuk menutupi
sisi rumahnya. Maka Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berkata
kepadanya, “Jauhkanlah kain itu dariku, sesungguhnya gambar-gambarnya
telah mengganggu shalatku. ” (HR. Bukhariy no. 374 dan 5959)
Hadits Anas menunjukkan tentang dibencinya shalat dengan pakaian yang
bergambar. Sisi penunjukannya, sebagaimana yang telah dikatakan oleh
Al-Qasthalaniy -rahimahullah-, “Apabila gambar itu melalaikan orang yang
shalat dalam keadaan gambar itu ada di hadapannya, maka terlebih lagi
jika orang yang shalat itu memakainya.” (Lihat Irsyad As-Sariy, 8/484)
Intinya, kaligrafi yang kita saksikan tersebar di masjid-masjid kaum
muslimin adalah perkara yang menyalahi sunnah (petunjuk) Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam-, dan para sahabatnya.
Jika lambang atau simbol yang menarik perhatian saja dilarang, maka
tentunya kaligrafi yang melalaikan kita dalam sholat dan usai sholat
juga terlarang. Bahkan lebih terlarang, karena mengandung unsur
penyamaan antara Allah -Azza wa Jalla- dengan Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam-, dan termasuk menghiasi masjid yang dilarang dalam agama
kita. Menghiasi tempat ibadah adalah kebiasaan orang-orang Yahudi dan
Nasrani.
Ibnu Abbas -radhiyallahu anhu- berkata,
لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى
“Kalian benar-benar akan menghias-hiasi masjid sebagaimana
orang-orang Yahudi dan Nasrani telah menghias-hiasi (tempat ibadah
mereka, -pen.).” (HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya secara mu’allaq
dengan shighoh jazm: Kitab Ash-Sholah; bab (62): Bun-yan Al-Masjid (hal.
97), cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1428 H)
Jadi, menghiasi masjid dan tempat ibadah adalah adat kebiasaan jelek
orang Yahudi dan Nasrani. Lantaran itu, perbuatan ini kita harus jauhi,
sebab Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
مَنْتَشَبَّهَبِقَوْمٍفَهُوَمِ نْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum
tersebut.” (HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5114), Ath-Thobroniy dalam
Al-Ausath (8327), Ibnu Manshur dalam As-Sunan (2370). Di-hasan-kan oleh
Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (4347) Al-Imam Abul Abbas
Al-Harroniy -rahimahullah- berkata, “Hadits ini serendah-rendahnya
mengharuskan pengharaman tasyabbuh (menyerupai orang kafir atau fasiq).”
(Lihat Iqtidho’ Ash-Shiroth Al-Mustaqim, 83)
Masjid adalah tempat beribadah, seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir,
menyebarkan ilmu, berdoa, dan lainnya. Masjid bukanlah tempat
berdekorasi, dan berbangga-bangga dengan cara menghias-hiasinya dengan
berbagai macam lukisan, kaligrafi, dan gambar Ka’bah, pemandangan atau
yang lainnya. Karena, perkara-perkara ini akan melalaikan ibadah,
sholat, dan dzikir.
Berbangga-bangga dengan cara seperti inilah yang pernah dikecam oleh
sahabat Anas bin Malik Al-Anshoriy -radhiyallahu anhu- ketika beliau
berkata,
يَتَبَاهَوْنَ بِهَا ثُمَّ لاَ يَعْمُرُوْنَهَا إِلاَّ قَلِيْلاً
“Mereka berbangga-bangga dengan masjid-masjid, lalu mereka tidak
memakmurkannya, kecuali jarang.” (HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya
secara mu’allaq dengan shighoh jazm: Kitab Ash-Sholah; bab (62): Bun-yan
Al-Masjid (hal. 97), cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1428 H)
Kebiasaan para salaf (pendahulu) kita dari kalangan sahabat dan
tabi’in serta pengikut-pengikut mereka adalah membangun masjid ala
kadarnya, tanpa dihias-hiasi. Inti dari pembangunan masjid adalah
menyatukan ibadah dan menggalang persaudaraan, bukan berbangga-bangga
dengan fisik masjid yang serba “waaah” dan megah yang dipenuhi dengan
kaligrafi, ukiran, pemandangan, spanduk-spanduk, dan papan informasi.
Masjid bukanlah tempat promosi dan pamer, tapi ia adalah tempat yang
dipenuhi dengan ketenangan lahir-batin. Oleh karenanya, kita amat
sesalkan kebanyakan masjid-masjid kita telah dihiasi dengan berbagai
macam assesoris, tulisan dan atribut yang melalaikan dan mengganggu
khusyu’-nya sholat kita. Sehingga kami pernah menyaksikan sebuah masjid
yang dipasangi marmer yang bergambar Ka’bah; usai sholat, maka semua
orang memperhatikan gambar itu.
Perkara seperti ini sangat sering melalaikan dzikir, bahkan sholat
kita. Tragisnya lagi, di sebagian masjid terpasang gambar dan foto
sebagian tokoh agama, tokoh politik, dan tokoh masyarakat. Ketahuilah
bahwa gambar dan foto makhluk bernyawa terlarang dalam Islam. Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,
لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ صُوْرَةٌ
“Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada
gambarnya.” (HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya no. 3054, dan Muslim dalam
Shohih-nya no. 2106)
An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Para ulama telah berkata, “Sebab
keengganan para malaikat untuk masuk ke dalam sebuah rumah yang ada
gambarnya, karena gambar itu dianggap sebagai maksiat yang keji. Pada
gambar itu terdapat usaha menandingi ciptaan Allah -Ta’ala-.” (Lihat
Syarh Shahih Muslim, 14/84)
Faedah: Gambar yang dimaksud dalam hadits ini adalah gambar bagi
makhluk yang memiliki roh, yakni manusia dan hewan atau malaikat dan
jin. Wallahu a’lam bish shawab.
Artikel asli bisa diklik di sini: http://almakassari.com/artikel-islam/fatwa/kaligrafi-bermasalah.html#more-678
0 komentar:
Posting Komentar